6 Tahun Mewujudkan Cita-cita Remeh episode 1

Chapter 1

Cita-cita apa sih, Gaes? Lama banget buat merealisasikannya? Cukup lah waktu segitu untuk nyicil KPR atau melunasi kreditan mobil. Apa sih? Bangun kontrakan delapan pintu? Haji? Umroh? Atau berlibur keliling Eropa? Oh tidak, Ezmeralda! Impian yang barusan aku sebut itu bukanlah cita-cita remeh. Cita-cita besar banget! Terus? Nih, ya. Aku bisikin. Persiapkan hati kalian untuk membacanya.

Impian tersebut adalah…Eng ing eng…kayaknya perlu backsound genderang yang dipukul bertalu-talu. Jawabnya adalah bisa naik motor, Gaes! Eit! Jangan marah! Sudah, ambil lagi tumpukan kertas yang hendak kalian timpukkan ke kepalaku! Aku nggak sedang bercanda! Aku serius teramat sangat. Cita-cita remeh yang selama enam tahun aku pendam itu ialah bisa naik motor!

What? Naik motor? Hari gini, siapa sih yang nggak bisa naik motor? Kayaknya semua bisa deh. Ada. Buktinya aku.  Aku emak-emak beranak tiga sudah enam tahun silam memendam hasrat untuk bisa naik motor. Karena apa? Hidupku kacau balau bila tak mahir naik motor. Sekacau apa sih? Oke, akan aku rinci satu persatu.

Semenjak menikah, aku sudah berada di zona nggak nyaman. Aku dan suami sama-sama pekerja pabrik. Kami berdua tentu kena shif. Suami sampai shif tiga, kebetulan aku hanya sampai shif dua. Bisa dihitung suami bisa menjemputku pulang kerja yakni pas libur saja.

Kala hidup bersama orang tua sih semua serba gampang. Ada bapak yang setia menjemput begitu puterinya ini pulang kerja. Namun begitu hidup terpisah dan punya rumah sendiri, semua menjadi runyam. Terlebih kediaman yang kami pilih jauh dari jalan raya. Mau naik bis saat berangkat kerja, masih harus jalan kaki sekitar sepuluh menit. Pulang apalagi, masih oper satu kendaraan lagi usai turun dari bis. Awalnya sih kalau pulang, begitu turun dari bis, aku selalu naik becak. Tahu kan, ya? Bila naik kendaraan yang satu ini, sudah pasti ongkosnya mahal. Dan aku hitung-hitung, jadi tekor setekor-tekornya, Gaes! Manalah dapat uang transport dari perusahaan cuma seuprit! Jadi mohon maaf, aku berpaling ke moda yang lain. Jangan tanya kenapa nggak pakai ojek online saja? Belum ada, Bro! Opang saja nggak ada di tempat aku biasa turun dari bis.

Akhirnya aku beralih ke angkot. Cuma ada satu-dua angkot yang melintas ke jalan dekat tempat tinggalku. Sampai aku bela-belain minta no ponsel si sopir buat mempermudah ketemuan. Eh, bukan pertemuan terlarang lho!  Biar mempermudah saja jikalau aku pulang kerja, tuh angkot posisinya dimana. Agar enak naiknya.

Tak disangka, ternyata si sopir angkot menyukai aku lho! Kelihatan lah dari gelagatnya. Tiap aku naik selalu disuruh duduk di depan, di sebelahnya. Manalah tak mau menerima ongkos dariku. Begitu uang aku kasihkan, dia tolak dengan mengembalikan ke tanganku. Aku angsurkan lagi ke arahnya, eh ditolak lagi pakai mengenggam tanganku seraya mengembalikan uangnya. Sudah kayak adegan sinema India saja! Orang-orang di dalam angkot bengong saja melihat tingkah kami. Uh, padahal si sopir juga sudah beristri lho! Gawat, kan!

Hampir setiap malam tuh sopir jadi keranjingan telepon. Aku tentu saja tak mau mengangkat. Ngapain juga? Duh, gini amat hidupku? Ingin lebih mudah pulang kerja malah terperosok dalam cinta terlarang macam gini. Eit, sampai detik ini suamiku nggak tahu lho kalau aku pernah ditaksir sopir angkot. Hehehe…

Finally, aku pasrah deh. Naik becak bikin tekor, naik angkot bikin ilfil. Akhirnya aku memutuskan satu hal kalau pulang kerja. Nunggu suami pulang kerja biar nanti pulangnya bisa bareng. Padahal nih ya. Aku pulangnya jam lima sore. Suami out pukul 7 malam. Nunggunya dimana? Di masjid, Gaes. Masjid yang letaknya dekat dengan tempat aku turun dari bis. Masih masuk dikit sih ke sebuah gang. Nih masjid megah banget. Berada di tengah komplek perumahan elite. Tapi sayang, tiap aku ke sana layaknya musyafir yang lagi melepas lelah, warga yang datang untuk sholat berjamaah sedikit sekali. Mungkin pada sibuk kerja kali. Terbukti dari megahnya rumah-rumah di sekitar masjid. Pasti si penghuni tipikal yang kerja terlalu keras hingga sholat berjamaah bukan urusan penting. Ups!

Sambil menunggu suami pulang, aku sempatkan sholat Maghrib, sholat Isak sekalian. Bahkan masih sempat baca Al-qur’an, lho! Hai, mungkin kalian bertanya-tanya. Anak kemana nih? Siapa yang jagain kok emaknya dengan enaknya nungguin suami di masjid? Tenang, anakku dua biji kala itu dimomong sama neneknya. Dan neneknya tinggal bersamaku. Ibuku tiap Sabtu ketika aku libur kerja, pulang ke rumahnya sendiri. Sekitar 30 menit perjalanan dari rumahku.

Begitu seterusnya hidupku. Berangkat kerja jalan kaki sepuluh menit ke jalan raya. Lantas naik bis. Turun dari bis pun sebenarnya masih jauh ke pabrik. Kalau ada opang, aku putuskan naik opang. Bila dompet lagi menipis, aku lebih memilih jalan kaki. Kadang ada tuh pekerja yang kebetulan bawa motor dan melintas- yang hatinya baik dan nggak medit- berhenti sebentar untuk memberi tumpangan sampai ke pabrik. Yang masa bodoh juga banyak kendati kenal!

Pulang kerja pun demikian. Masih cari tebengan buat ke jalan raya. Manalah cari tebengan itu sulit. Susahnya, kalau yang bawa motor cowok, masih kongkow-kongkow atau ngerokok dulu di bawah pohon ketepeng. Bila yang bawa motor cewek, masih dandan lama di locker room. Ada sekitar 15-20 menit hanya untuk cari tebengan motor ke jalan raya. Setelah sampai di jalan raya, masih nunggu bis lewat. Dipikir nunggu bis cepat? Lama, ding! Sampai berakar nih kaki. Pun begitu dapat bis, alamak, penuh banget! Nggak dapat tempat duduk. Berdiri di tepi pintu lagi. Saat agak longgar, disuruh merepet agak ke tengah. Eh, begitu ada yang hendak turun, kepala ini digempur tas penumpang yang besar banget. Tuh penumpang bepergian apa minggat?! Belum lagi kalau kaki keinjek-injek penumpang yang lewat. Masih mending bila sepatunya flat. Kadang ada yang haknya tinggi banget nginjek kakiku tanpa permisi. Rasanya sampai demam, Gaes!

Itu tahun 2014. Berapa tahun ya aku menjalani ritme kayak gitu? Capek di jalan. Selalu melintas keinginan untuk belajar naik motor. Suami juga mendukung. Karena memang suami paham, betapa sulitnya aksesku pulang kerja. Tapi lagi-lagi keinginan untuk belajar tak pernah terealisasi. Selain tak sempat belajar. Satu yang aku tak punya. NYALI. Begitu melihat berita kecelakaan, keberanianku menciut. Aku selalu iri menyaksikan teman wanita yang kerja bawa motor. Ah, kapan aku bisa seperti mereka? Sampai kapan pula aku harus berlari mengejar bis yang berhentinya kadang sangat jauh dari tempat kita menunggu? Sampai pensiun? Sampai usia 55?

Hidup mulai termudahkan dengan adanya ojek online. Sejak adanya Gojek, Grab dkk hidupku lebih ringan. Tak perlu naik becak, angkot ataupun menunggu suami di masjid waktu pulang kerja. Cuss, pencet-pencet aplikasi, si driver dengan mudahnya menghampiri. Aku pengguna setia ojek online dari awal berdirinya mereka. Dari tarif yang paling rendah hingga lambat laun tarif melangit. Bahkan pernah Gojek memberiku penghargaan peringkat satu pengguna terbanyak satu kecamatan. Hebat, bukan? Total dalam sebulan hampir 400 km jalan yang ku lalui. Wow, kayak jarak Pasuruan ke Purworejo (Jawa Tengah), tanah kelahiran suami!

Tapi, ya gitu deh. Pakai gojek sama tekornya juga sih. Aku berpikir, biarinlah! Yang penting hidupku nggak ribet.

Kendala mulai terjadi di kelahiran anak ketiga. Terlebih ketika ibuku tak lagi momong anak-anak di rumah. Aku butuh pengasuh anak-anak yang bersedia kerja di rumahku. Selama ini dua anakku hidup terpisah, yang sulung dengan mertua, adiknya dengan pengasuh, tapi momong di rumah pengasuh tersebut. Nemu, Gaes! Tapi pengasuh tadi kalau aku shif dua, yakni masuk jam dua siang dan pulang jam 11 malam, enggan momong di rumahku. Maunya aku yang nganter dan jemput ke rumahnya. Okelah, toh aku yang butuh.

Di sinilah aku merasa sedih tak berujung. Kalau aku berangkat siang, sedang suami tak ada di rumah karena masuk pagi, aku Gaes, yang usung-usung anak nomor tiga yang notabene masih bayi procot. Tentu saja masih setia dengan gojek. Sedang anak pertama dan kedua aku titipkan mertua sedari pagi buta. Manalah bayiku ketika di atas motor nangis terus. Nangis diam nggak masalah. Ini sama tubuhnya gerak-gerak. Aku kelimpungan. Keringetan. Drivernya nggak nyaman. Motor sampai goyang-goyang. Manalah aku bayar dobel juga karena habis dari rumah pengasuh nganter bayi, masih oper lagi ke jalan raya buat naik bis. Pengeluaranku membengkak banget. Pulangnya pun begitu, jam 12 malam jemput si bayi. Kalau ada suami tentu dengan suami. Kalau nggak ada, pakai becak motor.

Seminggu kayak gitu terus, badanku langsung ngedrop, Gaes! Capek banget. Tubuh rasanya loyo nggak ada tenaga. Di bis sering nangis-nangis meratapi keadaan. Ah, kapan semua ini akan berakhir? Lelah banget. Sangat capek! Ingin bisa naik motor!

Semua teman yang mengerti tentang kesulitanku selalu memberi suport untuk belajar naik motor. Menurut mereka, masalahku bisa teratasi jika aku bisa naik motor. Tunggulah! Aku masih berusaha mengumpulkan nyali yang berserakan.

Akhirnya momen itupun tiba. Saat aku libur panjang di rumah. Saat itulah mendadak ada tekad yang sangat kuat untuk belajar naik motor. Suami memberi arahan, dan pelan-pelan aku mulai berlatih. Aku latihan naik motor matic, Gaes. Matic sajalah. Nyari yang gampang. Belajar di komplek perumahan. Aku latihan usai sholat Subuh, Gaes. Dimana masih belum banyak orang lalu-lalang. Dimana aku nggak akan malu dipergoki orang kalau nggak bisa belok. Wkwkwk.

Waktu itupun tiba. Awal November 2020. Aku bawa motor ke tempat kerja, Gaes. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku. Selama 6 tahun menanti. Perjalanan 40 menit. Kecepatan hanya berani 50 km/jam. Itupun ngambil sisi kiri terus. Nggak berani nyalip. Badan gemetar. Takut-takut gimana gitu. Alhamdulillah sampai pabrik tanpa kurang suatu apapun. Teman-teman heboh. Pada ngucek mata. Beneran aku tuh yang bawa motor? Dapat nyali dari mana? Nyalinya kan nggak ada!

Kini, setiap hari, kalau nggak shif dua, aku selalu bawa motor. Kecepatan maksimal 60 km/jam. Sudah berani menyalip tapi dari jauh sudah pasang lampu sein. Sudah nggak gemetaran. Hidupku juga sudah nggak ribet. Sudah ketemu pengasuh yang mau momong di rumah. Kalau aku shif dua pun, pengasuh tersebut berkenan menjemput bayiku bersama suami untuk diasuh di rumahnya. Sudah nggak lagi pakai ojek online. Namun aplikasinya tetap nangkring di ponsel. Nggak mau buang. Kenangan, tuh!

Tiap pulang kerja juga nggak lama-lama di jalan. Pakai motor lebih mempersingkat waktu. Lebih cepat sampai rumah. Pengasuhku juga senang bisa pulang lebih awal.

Namun satu lagi impian. Aku masih belum bisa bonceng orang kalau naik motor, Gaes. Tentu saja beda kala pakai motor sendirian dengan bonceng orang. Aku belajar bonceng suami nggak bisa tuh. Malah motor mau tumbang. Kalau bonceng dua anak masih bisa. Mungkin lantaran badan mereka masih kecil. Next, mau belajar bonceng orang. Semoga segera bisa.

Demikian cita-cita remehku yang baru kesampaian selama penantian enam tahun. Semoga kalian dapat mengambil hikmahnya. Salam remeh temeh!


6 Tahun Mewujudkan Cita-cita Remeh

6 Tahun Mewujudkan Cita-cita Remeh

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Cita-cita apa sih, Gaes? Lama banget buat merealisasikannya? Cukup lah waktu segitu untuk nyicil KPR atau melunasi kreditan mobil. Apa sih? Bangun kontrakan delapan pintu? Haji? Umroh? Atau berlibur keliling Eropa? Oh tidak, Ezmeralda! Impian yang barusan aku sebut itu bukanlah cita-cita remeh. Cita-cita besar banget! Terus? Nih, ya. Aku bisikin. Persiapkan hati kalian untuk membacanya.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset