Pendekar Cinta dan Dendam episode 42

Chapter 42

Malam itu, keluarga mereka telah terpisah. Di dalam ruangan, Li Jia menangis dalam diam. Hatinya hancur hingga membuatnya ingin mati. Di atas pembaringan, dia terbaring tak berdaya. Hanya air mata yang jatuh di sudut matanya. Betapa dia sangat berdosa karena tak mampu menjaga kesucian cintanya.

Jenderal Wang Zhu yang berbaring di sampingnya hanya bisa mendengar tangisnya. Tangannya mengepal mendengar tangisan itu. Sungguh, dia tak mampu mendengar tangisan yang telah melukai hatinya.

Li Jia lantas bangkit. Dia mengambil pisau di atas meja dan mendekati Jenderal Wang Zhu yang tengah berbaring. Kedua tangannya memegang gagang pisau dan bersiap menghujam ke tubuh lelaki itu.

Jenderal Wang Zhu membuka matanya dan melihat Li Jia telah bersiap menghujamkan pisau ke tubuhnya. Bukannya mengelak, lelaki itu malah tersenyum. “Ayo, lalukan saja. Aku rela jika harus mati di tanganmu,” ucapnya.

Li Jia tampak ragu. Tangannya gemetar karena tidak sanggup untuk membunuh.

Lelaki itu bangkit dan memegang tangan Li Jia. “Kalau kamu takut, aku akan membantumu,” ucap lelaki itu sambil menarik pisau ke arah perutnya, tetapi Li Jia melepaskan pisau itu. Dia pun terduduk dengan tatapan hampa.

Rasanya, dia ingin membunuh lelaki itu, tetapi dia tidak sanggup. Li Jia menangis sejadinya. Dia lantas mencakar tubuhnya hingga memerah dan berdarah. Lebih baik dia mati daripada harus ternoda. Dia merasa telah kotor dan tidak mampu bertemu dengan suaminya.

Melihatnya seperti itu Jenderal Wang Zhu berusaha menghentikannya. “Hentikan! Jangan lakukan itu!” ucapnya sambil menahan tangan Li Jia yang masih mencakar tubuhnya sendiri.

Li Jia tidak peduli. Rasa putus asa dan kehilangan keluarga membuatnya kalap. “Kenapa kamu lakukan ini padaku? Apa salahku padamu, hingga kamu tega merenggut kebahagiaan dariku?” Li Jia menatapnya dengan kebencian.

“Maafkan aku karena telah membuatmu menangis,” ucap lelaki itu sambil menghapus air mata Li Jia, tetapi wanita itu mengelak.

“Aku hanya ingin bahagia walau aku tahu telah mengambil kebahagiaanmu bersama Wang Li. Aku tahu, aku berdosa padamu, tapi aku menutup mata dan telingaku karena aku terlampau mencintaimu. Aku hanya ingin memilikimu karena aku sangat bahagia jika berada di sampingmu. Aku tidak butuh cinta dan perhatianmu, karena kehadiranmu di sisiku sudah cukup untuk membuatku bahagia. Aku tahu, aku egois dan jahat pada kalian, tapi itu adalah jalan yang sudah terlanjur aku ambil. Li Jia, aku hanya memujamu bahkan jika kamu ingin membunuhku, aku takkan mengelak.” Lelaki itu menitikkan air mata.

“Malam ini adalah malam yang paling membahagialan bagiku, karena aku bisa memilikimu walau aku tahu malam ini adalah malam menyakitkan bagimu dan aku tak peduli. Hanya kamu satu-satunya wanita yang mampu meluluhkan hatiku. Bangkitlah, aku akan membawamu kepada suamimu. Jagalah dia karena racun itu tak lama lagi akan membunuhnya. Kalau kamu masih ingin menemaninya menjalani sisa hidupnya, maka turuti kemauanku. Kuatkan dirimu karena aku akan menunggu hingga kamu punya kekuatan untuk bisa membunuhku. Aku akan menunggu hari itu tiba, karena mati di tanganmu lebih aku sukai daripada harus mati sendirian.”

Lelaki itu bangkit. Namun, ada setitik air mata yang menggantung di pelupuk matanya. Rasanya, dia tidak ingin membawa Li Jia kembali pada suaminya, tetapi dia sudah berjanji dan dia tidak ingin membuat wanita itu semakin membencinya.

Li Jia kemudian bangkit, tetapi tubuhnya begitu lemah, hingga membuatnya memegang sudut meja. “Aku mohon, jangan biarkan aku kehilangan suamiku tanpa ada aku di sisinya,” batin Li Jia yang berusaha untuk bangkit. Namun, dia terjatuh.

Melihatnya tergeletak, Jenderal Wang Zhu berlari ke arahnya. Dia tampak panik saat melihat wajah Li Jia yang memucat. Dia lantas mengangkatnya dan membawanya ke tempat tidur.

Li Jia terlihat lemah. Hanya igauan yang terdengar. Dia tak henti memanggil suaminya. Jenderal Wang Zhu memeluknya walau dia harus menahan cemburu.

“Lepaskan aku! Biarkan aku menemui suamiku. Aku mohon, biarkan aku menjaganya,” pinta Li Jia yang kepayahan.

Jenderal Wang Zhu menitikkan air matanya saat melihat Li Jia yang bersikeras menemui suaminya. Padahal, kondisi tubuhnya begitu lemah.

“Kenapa di saat dirimu lemah dan tak berdaya seperti ini kamu masih memikirkannya?” batin Jenderal Wang Zhu yang tampak kecewa.

Li Jia masih berusaha bangkit. Jenderal Wang Zhu lantas menotoknya dan memeluknya. “Maafkan aku. Aku terpaksa melakukan ini karena aku tidak ingin melihatmu menderita,” ucapnya sambil membaringkan Li Jia. Lelaki itu kemudian berbaring di sampingnya dengan kedua tangan yang memeluk tubuh yang lemah itu.

Sementara Pangeran Wang Li tampak pasrah dengan kondisinya yang mulai melemah. Dia sudah tidak mampu untuk bertahan. Air matanya jatuh mengingat istri dan putrnya yang kini tidak berada di sampingnya. “Apakah aku akan mati dalam kesendirian?” batinnya.

Prajurit-prajurit yang mengejar Liang Yi telah kembali. Mereka kehilangan jejak. Liang Yi dan Pengawal Yue akhirnya tiba di desa. Pangeran Wang Yi yang masih tertidur dibaringkan di dekat Liang Yuwen. Liang Yi menatap bocah itu. “Maafkan aku karena tidak sempat menyelamatkan ayah dan ibumu. Aku berjanji, akan menjadikanmu lelaki yang tangguh agar kamu bisa kembali ke sana dan merebut apa yang seharusnya menjadi milikmu.”

Liang Yi mengepalkan kedua tangannya saat mengingat pertemuannya dengan Li Jia. Melihat darah di sudut bibir wanita itu, hatinya geram. “Li Jia, bertahanlah. Tunggulah putramu karena dia pasti akan datang menjemputmu.”

Keributan di paviliun membuat Putri Ling terganggu. Dia lantas menuju tempat itu. “Apa yang terjadi?”

Setelah mendengar penjelasan dari salah satu prajurit, dia lantas menuju ruangan di mana Li Jia dikurung. Namun, dia tidak menemukan wanita itu di sana. “Di mana Li Jia?”

“Jenderal Wang Zhu telah membawanya ke kamar pribadinya,” jawab salah satu prajurit yang membuatnya naik darah.

“Apa? Kamar pribadinya?” batin wanita itu yang terlihat marah dan cemburu.

Mendengar itu, Pangeran Wang Li menitikkan air mata. Dia menangisi dirinya yang tak mampu mempertahankan istrinya. Dia marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga anak dan istrinya.

Putri Ling lantas meninggalkan paviliun dan bergegas ke kamar Jenderal wang Zhu. Di depan pintu, langkahnya terhenti. Walau marah, tetapi dia ragu untuk masuk ke kamar itu. “Apa yang harus aku lakukan?”

Li Jia yang sudah tersadar perlahan membuka matanya. Dia terkejut saat mendapati Jenderal Wang Zhu berbaring di sampingnya. Walau dalam kepayahan, dia berusaha bangkit dan berjalan menuju pintu. Tangannya yang gemetar membuka pintu dan bertemu Putri Ling yang berdiri di depannya.

Melihatnya, Putri Ling geram. “Apa yang kamu lakukan di sini?”

Li Jia tidak memedulikannya. Dia berjalan melewati wanita itu.

“Dasar perempuan pelacur!” seru Putri Ling sambil menarik lengan Li Jia dan menamparnya hingga dia terjatuh.

Walau ditampar, Li Jia tidak peduli. Dia berusaha bangkit karena ingin segera bertemu dengan suaminya. Rasa rindu pada suaminya telah membuatnya tidak peduli dengan apa pun.

Melihat Li Jia yang mengacuhkannya membuat Putri Ling semakin geram. Wanita itu kembali ingin menamparnya, tetapi tangannya ditahan oleh Jenderal Wang Zhu yang sudah berdiri di sampingnya. Tak hanya itu, dia terkejut saat lelaki itu menamparnya.

“Sekali lagi kamu menyentuhnya, maka aku akan membunuhmu!”

Putri Ling tersentak. “Apa kamu sudah tidak waras? Bagaimana bisa kamu jatuh cinta padanya? Lihat dia! Dia itu hanya wanita murahan!” teriak Putri Ling sambil memegang pipinya yang memerah.

“Diam!” Jenderal Wang Zhu kembali mengangkat tangannya dan hampir menampar Putri Ling, tetapi dia segera menurunkan tangannya.

“Aku sudah bilang jangan ikut campur dengan urusanku. Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan, tapi jangan sekali-kali mengganggunya karena aku sendiri yang akan menghukummu.”

Jenderal Wang Zhu kemudian meninggalkannya dan berjalan ke arah Li Jia. Dia kemudian meraih tubuh Li Jia dan membawanya kembali ke kamar. Li Jia berontak, tetapi dia tidak mampu.

“Kenapa kamu meninggalkanku? Aku akan membawamu ke sana, tapi bukan sekarang. Saat ini, aku masih ingin bersamamu,” ucap Jenderal Wang Zhu yang membuat Putri Ling terkejut.

Melihat perlakuan Jenderal Wang Zhu pada Li Jia membuatnya cemburu. “Apa wanita itu benar-benar telah membuatmu jatuh cinta?” Putri Ling menatap pintu kamar yang sudah tertutup. Dia kemudian pergi dengan kemarahan.

Sementara di dalam kamar, Li Jia memohon agar lelaki itu membiarkannya bertemu dengan suaminya. “Tolong biarkan aku bertemu dengan suamiku, aku mohon,” pinta Li Jia sambil berlutut di depannya.

Jenderal Wang Zhu mendekatinya. “Apa wajahmu baik-baik saja?” tanya lelaki itu sambil menyentuh pipi Li Jia yang memerah karena bekas tamparan Putri Ling.

Li Jia menundukan wajahnya dan menghindar dari tatapan lelaki itu, tetapi dagunya kembali diangkat hingga wajah mereka hanya berjarak satu jengkal. “Jangan pernah menundukan wajahmu di depanku dan biarkan aku menatap wajahmu. Apa itu sulit untuk kamu lakukan?”

“Apa kamu benar-benar mencintaiku?”

Jenderal Wang Zhu terkejut saat Li Jia melontarkan pertanyaan itu. “Kenapa? Apa kamu tidak percaya kalau aku sangat mencintaimu?”

“Kalau begitu, biarkan aku menemani suamiku hingga dia pergi meninggalkanku, maka aku akan pastikan segala yang ada pada diriku akan menjadi milikmu,” ucap Li Jia tegas dengan air mata.

“Apa benar apa yang kamu katakan itu?”

“Setelah kepergiannya, hidupku sudah tidak berarti. Dan kamu boleh mendapatkan tubuhku yang sudah tidak berharga ini, tapi kalau kamu sudah bosan, silakan bunuh aku.”

Jenderal Wang Zhu menatapnya. Dia bisa melihat ada keputusasaan di wajah wanita itu. “Apa kamu pikir aku akan mengabulkan permintaanmu itu?”

Li Jia tersenyum kecut. Tangannya yang gemetar perlahan menyentuh wajah lelaki itu. “Jika kamu menolak, maka selamanya aku akan menolakmu. Apa kamu ingin aku meninggalkanmu?”

Lelaki itu terdiam. Ucapan Li Jia membuatnya berpikir.

“Baiklah, aku akan turuti permintaanmu dan setelah itu jadilah wanitaku. Apa pun yang aku inginkan darimu, maka penuhilah.”

Li Jia menangis dalam diam. Kini, hidupnya sudah tidak berharga. Hanya suami dan putranya yang membuatnya masih tetap bertahan. Karena mereka, dia sanggup menanggung kejamnya kehidupan. Dan kini, kehidupan yang kejam itu akan dilaluinya sendirian.

Li Jia akhirnya keluar dari kamar Jenderal Wang Zhu walau harus dengan perjanjian yang dibuatnya sendiri. Perjanjian yang terpaksa dibuat walau harus menderita.

Li Jia berdiri di depan pintu kamarnya. Dengan menahan air mata, dia memantapkan hati agar bisa tegar di depan suaminya. Walau dia sadar mungkin saat ini suaminya telah menganggapnya wanita kotor.

Li Jia membuka pintu perlahan. Pandangannya tertuju pada suaminya yang terbaring tak berdaya. Dia lantas mendekati suaminya dan berlutut di depannya dengan menahan air mata.

Pangeran Wang Li membuka matanya dan mendapati istrinya yang menangis di depannya. Sontak, matanya melebar dan berusaha bangkit untuk meraih istrinya itu. “Istriku,” panggilnya, “Mendekatlah padaku, aku mohon,” ucapnya. Dia berusaha mendekati istrinya itu. Li Jia lantas memeluk suaminya dan menangis dalam pelukannya.

“Kenapa kamu baru datang? Aku sudah menunggumu dari tadi,” ucap Pangeran Wang Li yang berusaha menahan tangis.

“Maafkan aku. Aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi.” Li Jia meletakkan kepala suaminya di atas pangkuannya.

“Istriku, tersenyumlah. Aku ingin melihatmu tersenyum,” pinta lelaki itu.

Li Jia lantas tersenyum sambil mengelus lembut wajah suaminya itu. Tiba-tiba, lelaki itu terbatuk-batuk. Darah hitam keluar dari mulutnya. Li Jia seketika panik. Dia menangis saat melihat penderitaan suaminya itu.

“Terima kasih, karena tidak membiarkanku mati dalam kesendirian. Aku takut jika aku mati tanpa melihatmu di sisiku. Aku tidak ingin mengingkari janjiku padamu. Istriku, aku ingin mati dalam pelukanmu.” Dia kembali terbatuk dengan darah hitam yang masih keluar dari mulutnya.

Li Jia lantas memeluknya. “Suamiku, aku akan selalu ada di sisimu. Di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya. Tunggu aku karena aku akan datang menemuimu dan melepaskan kerinduan ini. Suamiku, aku sangat mencintaimu dan izinkan aku untuk tetap hidup agar bisa melihat putra kita membalaskan dendammu.” Li Jia menitikkan air mata.

“Bertahanlah dan jangan buru-buru menemuiku. Jika putraku datang menemuimu, katakan padanya kalau aku sangat menyayanginya dan sampaikan maafku karena tidak bisa menemaninya hingga dewasa.” Lelaki itu kembali terbatuk.

Li Jia mengelus wajah suaminya yang pucat. Ditatapnya wajah itu sembari mendaratkan kecupan di bibirnya. Li Jia memejamkan matanya dengan air mata yang jatuh saat bibirnya menyentuh bibir suaminya yang sudah membiru. Itu adalah kecupan terakhir yang akan dia rasakan dari suaminya. “Tidurlah, aku akan menemanimu,” ucapnya sambil memeluk suaminya yang terasa dingin. Li Jia memeluknya erat.

“Istriku, aku mencintaimu,” ucap Pangeran Li yang mulai melemah.

“Aku tahu, aku juga mencintaimu,” jawab Li Jia dengan air mata. Dia masih memeluk tubuh itu, hingga tubuh itu melemah dengan genggaman tangan yang tak lagi erat.

Li Jia menangis dan memeluk tubuh suaminya yang telah kaku. Dia lantas membaringkan tubuh suaminya dan berbaring di sampingnya dengan kepala yang bersandar di dada suaminya itu. “Aku akan menemanimu tidur. Suamiku, bermimpilah yang indah. Aku selamanya akan selalu mencintaimu.”

Kini, dia telah kehilangan cintanya. Dia telah kehilangan sumber kebahagiaannya. Untuk kesekian kalinya, dia harus kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupnya.

Saat pagi menyapa, Li Jia masih berada di samping jasad suaminya. Dia tidak beranjak dari tempat itu. Genggaman tangannya semakin erat seakan tidak ingin melepaskan kepergian cintanya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Jenderal Wang Zhu berdiri di depan pintu dan melihat Li Jia tengah berbaring sambil memeluknya jasad suaminya. Lelaki itu mendekat dan menatap lurus ke arah mereka. Melihat Li Jia tidak mempedulikannya membuat lelaki itu meraih tubuh Li Jia agar menjauh dari jasad suaminya.

“Aku mohon, biarkan aku menemaninya. Dia telah pergi, jangan pisahkan aku darinya,” rengek Li Jia yang berusaha mendekati jasad suaminya itu.

Jenderal Wang Zhu memeriksa jasad Pangeran Wang Li dan mendapati kalau lelaki itu telah mati. “Pengawal, angkat jasadnya dan siapkan upacara pemakaman. Setelah itu, umumkan kepada seluruh penduduk negeri kalau Yang Mulia telah wafat karena penyakit parah,” perintah Jenderal Wang Zhu pada prajuritnya.

“Bangkitlah, bersihkan dirimu dan bersiaplah untuk pemakaman. Bagaimanapun, dia adalah raja dan pemakamannya akan dilakukan sesuai dengan peraturan istana. Ayo, aku akan mengantarmu,” ucap Jenderal Wang Zhu sambil meraih tangan Li Jia, tetapi dia menepis tangan lelaki itu dan bersujud di depannya.

“Aku punya satu permintaan,” pinta Li Jia sambil menudukkan wajahnya.

Jenderal Wang Zhu kemudian duduk di depan Li Jia sembari mengangkat dagunya. “Angkat kepalamu dan katakan saja permintaanmu. Aku akan mengabulkan apa pun yang kamu inginkan asalkan kamu tetap mengangkat wajahmu di depanku.”

Li Jia menatap lelaki itu. Rasa bencinya tiba-tiba mencuat saat melihatnya. Namun, dia harus bisa memendam rasa bencinya dan pura-pura tersenyum walau dia enggan melakukan itu. “Izinkan aku untuk mengkremasi jasad suamiku dan memiliki sisa abunya. Aku mohon, kabulkan permintaanku,” ucap Li Jia menatap lelaki itu.

“Baiklah, aku akan lakukan apa yang kamu minta. Apa sekarang kamu senang?”

“Terima kasih,” ucap Li Jia dengan senyum getir di sudut bibirnya.

Berita kematian Pangeran Wang Li menjadi berita yang mengejutkan bagi penduduk negeri. Mereka kehilangan sosok raja yang selama ini dikenal dengan kepemimpinannya yang merakyat.

Di gerbang istana, orang-orang berkumpul dan menangisi raja mereka. Tak terkecuali Liang Yi yang juga hadir di tempat itu. Dia merasa terpukul dan kehilangan saat mendengar berita kematian sahabatnya. Begitu pun dengan Pengawal Yue yang berdiri di sampingnya. Lelaki yang bertubuh tegap itu tak kuasa menahan tangis. Dengan menutup setengah wajah, mereka berdua ikut berbaur dengan penduduk sekadar untuk memberikan penghormatan terakhir untuk sahabat dan juga raja yang sangat mereka hormati.

Sementara Li Jia telah memakai baju berkabung dan berdiri di depan jasad suaminya yang sudah diletakkan di atas tumpukan kayu. Dia menatap wajah suaminya yang terlihat tampan dengan balutan jubah raja.

Dia kemudian mendekati jasad itu dan menyentuh wajahnya. Kembali, air matanya jatuh saat melihat wajah yang telah pucat itu. “Berbahagialah di sana. Jangan memikirkan aku dan putra kita. Dia pasti akan kembali dan mengambil apa yang menjadi miliknya dan menuntut atas kematianmu. Suamiku, aku mencintaimu,” ucapnya sembari mengecup bibir yang telah kaku itu.

Perlahan, air mata jatuh di sudut mata Pangeran Wang Li seakan dia begitu sedih karena harus meninggalkan kekasihnya. Melihat air mata itu, Li Jia menangis. Dia lantas menghapus air mata itu. “Jangan menangis, aku mohon. Pergilah dengan tenang dan tunggu aku di sana.” Sontak, air mata itu terhenti.

Setelah puas memandangi wajah suaminya, Li Jia mundur ke belakang. Tubuh Pangeran Wang Li kembali ditutup dengan kayu. Seoramg biksu lantas membakar jasad yang tertumpuk kayu itu.

Li Jia menatap kobaran api yang mengeluarkan asap putih. Dia masih berdiri menatap tumpukan kayu yang mulai habis. Tiba-tiba dia terduduk seraya menangis. Kini, dia telah sendirian tanpa tambatan hatinya. Lelaki yang dicintainya kini telah pergi untuk selamanya.

Li Jia berusaha tegar. Namun, penderitaan dan kesedihan yang datang bertubi membuat tubuhnya melemah. Dia tidak sanggup menanggung kegetiran hidup. Dia pun terkulai lemah di atas tanah.

Melihat Li Jia jatuh pingsan membuat Jenderal Wang Zhu berlari ke arahnya. Dengan kedua tangannya, lelaki itu mengangkatnya dan membawanya ke kamar pribadinya. “Cepat! Panggilkan tabib!”

Lelaki itu terlihat panik saat melihat wajah Li Jia yang memucat dengan keringat yang mengucur deras. Tiba-tiba saja, Li Jia memuntahkan darah hitam sama seperti yang dialami pangeran Wang Li. Jenderal Wang Zhu terperanjat saat melihat Li Jia terkulai lemah dengan darah yang sudah memenuhi mulutnya.

“Tabib, apa yang terjadi dengannya?”

“Maaf, Jenderal. Sepertinya gejala ini sama dengan yang dialami raja. Mungkin Yang Mulia Ratu juga terkena racun.”

“Apa? Racun?” Jenderal Wang Zhu terkejut. Racun yang sangat mematikan itu bisa membunuh tanpa jejak dan tidak bisa disembuhkan kecuali dengan obat penawar khusus.

“Jangan berikan dia obat apa pun. Aku akan mencari obat penawarnya. Pengawal, panggil Dayang Lin ke sini!”

Prajurit yang ada tempat itu lantas memanggil Dayang Lin. “Jaga dia. Aku akan mencari obat penawar untuknya. Mulai saat ini, kamu yang akan melayaninya,” ucap Jenderal Wang Zhu yang bergegas keluar dari kamar dan menuju ke kamar Putri Ling.

Melihat kedatangan Jenderal Wang Zhu membuat Putri Ling tersenyum. Selama ini, lelaki itu tidak pernah menginjakkan kaki di kamarnya. “Ada apa kamu datang ke sini? Apa ada yang ingin kamu katakan padaku?”

“Berikan penawar racun itu padaku!” seru Jenderal Wang Zhu.

“Apa maksudmu? Untuk apa aku harus memberikan obat penawar itu padamu? Bukankah penawar itu sudah tidak diperlukan lagi? Dia sudah mati, lalu untuk apa obat penawar itu?”

“Berikan saja padaku. Aku memerlukannya sekarang!” Jenderal Wang Zhu terlihat marah.

“Apakah penawar itu untuk Li Jia?”

Sontak, lelaki itu terkejut. “Apa kamu yang sudah meracuninya?”

Putri Ling tersenyum sinis. “Kalau iya, memangnya kenapa?”

Jenderal Wang Zhu terlihat marah. Dia lantas mencekik leher Putri Ling hingga wanita itu termundur ke belakang. “Aku sudah bilang jangan pernah mengganggunya. Apa kamu ingin mati di tanganku?”


Pendekar Cinta dan Dendam

Pendekar Cinta dan Dendam

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kepulan asap hitam tampak mengepul di atas sebuah bukit. Bukit yang ditinggali beberapa kepala keluarga itu tampak diselimuti kepulan asap dengan kobaran api yang mulai membakar satu per satu rumah penduduk yang terbuat dari bambu. Warga desa tampak berlarian untuk berlindung, tapi rupanya penyebab dari kekacauan itu enggan membiarkan mereka meninggalkan tempat itu."Cepat bunuh mereka! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah salah satu lelaki. Lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu menatap beringas siapa pun yang ada di depannya. Tanpa belas kasih, dia membantai setiap warga yang dijumpainya. Tak peduli anak-anak ataupun orang dewasa, dengan tega dia membantai tanpa ampun.penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset