ADA DIA DIANTARA KITA (Kehilangan) episode 1


Mencari Makna Dalam Jiwa

Kutemukan sosok wanita
Dimataku cukup sempurna
Seolah tanpa cela
Ukuran manusia dengan hati dan sikap yang bijaksana

Dialah yang mampu mengubah segala arah
Barisan mantan yang kutinggalkan tanpa perasaan
Tapa merasa berdosa kulepaskan saat sudah merasa bosan

Benar adanya
Jika wanita wanita mampu menciptakan petaka
Dan wanita pula yang bisa menuntun kejalan Jannah melebihi pria yang tercipta sebagai imam kodratnya

Sore dipojok terminal kota

Kusapa dia dengan kebiasaanku yang tak tertahankan melihan wanita cantik, julukan laki-laki playboy sudah melekat sejak aku duduk dibangku SMA, padahal ibuku tak jarang menasehatiku bahwa aku memiliki adek perempuan yang jika dilukai hatinyapun akan mengalami nasib yang sama. Sebenarnya semua itu bermula ada sebabnya, aku pernah jatuh cinta namun berakhir dusta.

Sahabatku yang sejak kecil sudah aku anggap seperti saudara, tega mengambil sesuatu yang paling berharga dalam hidupku kala itu, mengambil cinta pertamaku tanpa merasa berdosa, memang hati manusia siapa sangka, jangankan hanya teman, saudarapun terkadang rela menikung kita, dan anehnyapun “Aira” yang kala itu masih berstatus pacarku lebih memilih percaya pada sahabatku, hingga sakit itu memuncak dan membuatku terbentuk menjadi pribadi yang pendendam.

Dendamku pada perempuan membuatku lupa daratan, aku selalu berusaha menaklukkan hati perempuan dan kemudian kucampakkan, jika pada akhirnya mereka tak menerimanya akupun tak pernah mempedulikannya, yang penting hatiku puas dan anehnya akupun tidak pernah merasa puas, barisan mantan sudah tak terhitungkan, entah sudah berapa banyak korban yang menjadi santapan dengan alasan “Dendam”.

Hingga pada akhirnya kutemukan sosok “Naumi”, wanita soleh yang mampu mengubah arah pandanganku, menghilangkan rasa dendam yang bersarang menjadi hati yang pemaaf dan penuh kesadaran, bahwa apapun yang kita perjuangkan jika sudah berbicara soal takdir Tuhan, kita tidak akan pernah bisa mengubah kenyataan, sekuat apapun kita menolak, sehebat apapun kita menjadi pemberontak, tetaplah jalan terbaik yang telah Allah gariskan.

“Naumi, beruntungnya Ayah dipertemukan dengan sosok dirimu yang selalu menguatkan, mengajarkan bagaimana caranya menjalani segala yang pahit dan sulit, yang rumit dan yang sempit menjadi sesuatu yang indah dan luas dengan selalu mengembalikannya pada ketentuan Tuhan”, ungkapku dalam kesendirian.

Naumi adalah wanita solehah, wanita yang pertama aku sapa diperempatan terminal kota dengan penuh basa basi manja, mungkin niatku kala itu masih salah, masih berusaha mencari mangsa untuk yang kesekian kalinya, dialah sosok yang sabar dan pengertian, disampingnya aku merasa damai dan nyaman.

Kami sudah dikarunia dua orang anak yang lucu-lucu dan menggemaskan, maklum bundanya juga cantik jelita, solehah pula, mungkin Allah kala itu sedang sayang padaku hingga mengirimkan sosok wanita luar biasa untuk menuntunku yang seharusnya itu semua menjadi tanggung jawabku.

Anak kami yang pertama perempuan, Kanza Aqila Az-Zahra, yang kedua kebetulan laki-laki yang selalu aku semogakan tidak mengikuti jejak langkah Ayahnya, Akbar Azmi Al Bukhari namanya, berkat didikan dari bundanya yang sejak kecil sudah ditanamkan ilmu agama, Alhamdulillah mereka tumbuh menjadi anak yang insyaAllah soleh dan solehah.

Sejak kami menikah, aku tidak lagi mengijinkan Naumi bekerja, aku cuma ingin dia menjadi istri dan ibu yang baik untuk aku dan anak-anak kami, kebetulan dia memahami maksud dan tujuanku, hingga tidak pernah ada selisih paham diantara kami berdua, saling terbuka dan memahami satu sama lain, jika dibilang tidak pernah ada pertengkaran didalam rumah tangga kami selama 7 tahun.

Awal mula ketidak pahaman itu tercipta

Hati manusia memanglah susah ditebak, kadang berubah jika nyaman itu mulai hilang atau jenuh turut andil dalam keseharian, mungkin itulah yang dialami oleh istriku, dia yang sedikit mulai berubah, mulai dari mengajak teman-teman lamanya main kerumah, hingga terakhir dia memperkenalkanku pada sahabat lamanya yang kebetulan dulu seprofesi dengan istriku, aku hanya sekedar say hello karena merasa aku harus membatasi diri, aku tak ingin mengawali sesuatu hal yang tidak seharusnya atau hal-hal yang akan mengundang pemikiran diluar batas wajar. Namun sikap itulah yang membuat istriku sedikit kecewa terhadapku dengan alasan tidak menghargai sahabatnya dan merasa malu padanya.

Sedikit alasan itu bisa kupahami, hingga aku meminta maaf pada istriku dan berjanji untuk bersikap baik terhadap sahabatnya. Rasa mungkin tak akan ada yang menetap, jika tak pandai menjaganya ia bisa saja akan bermain-main layak nafas yang setiap detik keluar masuk tanpa ada hambatan.

Hari berikutnya istriku meminta ijin kepadaku untuk mengundang “Nabila” sahabatnya itu untuk makan malam bersama, dengan alasan sebagai permintaan maaf karena kemarin aku sempat mengacuhkan dan sama sekali tidak menghiraukan, namun yang membuat diriku heran kenapa istriku seolah-olah ingin membuatku dekat dengan Nabila yang kebetulan saat itu masih sendiri karena dia baru saja kembali dari Kairo, dia baru saja menyelesaikan studynya disana. Kuakui sebagai laki-laki melihat bahwa Nabila juga byaris sempurna meskipun aku tidak mengenalnya, mulai dari cara berpakaiannya yang walaupun tertutup rapi dan tidak terlihat bentuk tubuhnya namun penampilannya tetap elegan, wajarlah dia kan berpendidikan tinggi.

“Nabila, suamiku baik lho, pengertian, sabar, setia dan ganteng pula”, tiba-tiba istriku memujiku didepan Nabila, aku tidak memahmi maksud istriku apa, aku hanya bisa tersenyum dan menjawab “Ah bunda berlebihan”, Nabila hanya tersenyum simpul, dia tidak banyak bicara, dia sesekali tersenyum lebar hingga hingga gigi gingsulnya tampak menghiasi senyum dan menambah keindahan dibalik balutan jilbab warna merah muda malam itu.

Empat bulan berlalu, perubahan dari istriku semakin tampak dan itu sama sekali tidak aku kenali, sikapnya memanglah tetap sopan dan tetap melayaniku dengan baik sebagaimana mestinya, namun keinginannya yang terkadang menurutku berlebihan yang membuatku sering bertanya dan jawabannya tetap sama. Dia memintaku hampir setiap hari untuk mengantar Nabila ketempat kerjanya dan sorepun harus memastikan bahwa Nabila sampai dirumahnya. Setiap istri biasanya sangatlah tidak suka jika suaminya dekat dengan wanita lain, ini malah sebaliknya.

Hari itu aku terpaksa pulang cepet dari kantor, bermaksud untuk berbicara dari hati kehati dengan istriku, berharap ada jawaban yang tak lagi membuatku resah sepanjang perjalanan, sesampainya dirumah istriku tidak tampak, aku berkali-kali memanggilnya namun tetap saja tak ada jawaban. Aku mencoba menelphonnya berulang kali namun tidak aktif, tidak seperti biasanya dia pergi tanpa pamit, atau mungkin aku yang tidak tau, entah ini sudah yang keberapa kalinya. Kebetulan anak-anak kami sedang dirumah omanya karena libur panjang dan mereka meminta nginep dirumah omanya untuk beberapa hari kedepan. Aku berpikir Naumi menemui anak-anak, karena rindu mungkin, entahlah.

Aku mencoba menelpon Ibuku namun tak juga dijawab, lalu kutelpon adekku yang kebetulan saat itu tinggal bersama ayah ibuku, tak juga ada jawaban.

“Sedang sibuk apa sih mereka hingga menjawab telponku saja tidak bisa?”, gerutuku dengan nada emosi.
Tiba-tiba telponku berdering, nomor telpon rumah rupanya, tanpa berpikir panjang aku menjawabnya.

“Selamat siang pak, apa benar ini dengan bapak Ihsan?”, tanyanya dari seberang sana,
“Iya betul, maaf ini dari mana?”,
“Apakah benar bapak suami dari ibu Naumi?”,
“Iya benar, ada apa ya?”, tanyaku semakin penasan
“Maaf pak, kami dari rumah sakit Medika Utama, ingin mengabarkan bahwa istri bapak sedang kritis pak, bapak bisa datang kesini sekarang pak?,
“Dasar pertanyaan bodoh”, gerutuku sambil masuk mobil dan bergegas kerumah sakit, tak sempat kubertanya pada petugas yang tadi menelponku apa penyebabnya hingga istriku kritis, jika iya kecelakaan pastinya menyampaikan padaku, tapi jika sakit, sakit apa yang sedang diderita istriku yang tidak aku ketahui, segala macam bentuk pertanyaan bergerombol ikut antrian panjang, menemani penjalanan penuh kekhawatiran dan ketakutan yang tak pernah terbayangkan.

“Tuhan, tolong selamatkan istriku, aku masih ingin tetap dia ada bersama, melalui hari-hari sebagaimana mestinya, aku belum siang kehilangan, apalagi anak-anak yang masih membutuhkan bundanya, mereka terlalu dini untuk memahami makna sakit karena kehilangan, dan belum cukup kuat memikul beban karena kehilangan kasih sayang”, itu pintaku pada Tuhan dalam perjalan.

Sesampainya dirumah sakit aku kangsung menuju kamar yang merupakan tempat istriku saat ini berjuang, langkah itu terasa berat, dia adalah separuh jiwaku, aku tak ingin hal buruk terjadi, apalagi sampai pergi, aku benar-benar belum bisa kehilangan kekuatan, karena bagiku istriku bukan hanya pendamping, dia bisa menjadi sahabat saat aku butuh nasehat, bisa menjadi anak yang selalu ingin kumanja, bahkan juga bisa jadi ibu tempatku berkeluh kesah dan memanjakan, dialah sosok yang selalu memberiku kekuatan atas setiap cobaan dan ujian yang menimpa.

Sesampainya didepan ruangan istriku, suster melarangku masuk, dengan alasan “dokter sedang berusaha melakukan yang terbaik untuk istri bapak”,
“Saya tidak peduli sus, saya ingin melihat istri saya”, dengan nada amarah dan derai air mata yang tak lagi mampu kutampung, aku tetap memaksa masuk, aku ingin melihat apa yang terjadi denga istriku, aku tak ingin membiarkannya berjuang sendiri, kulihat sosok yang selama ini begitu sempurna, kini hanya berbaring tak berdaya dengan alat-alat medis yang tak kupahami untuk apa.

“Bundaaaaa,,,, “sambil kuberteriak dan dan memeluknya, dokter yang berusaha menengkanpun tak kuhiraukan.
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan istriku dok, dia kenapaaa?”,
“Mohon maaf pak, sebenarnya istri bapak sudah lama menderita kanker rahim pak, dan saat ini sudah stadium empat, bu Naumi tadi datang kesini diantar oleh bapak-bapak tua yang katanya menemukan bu Naumi pelingsan didepan rumahnya”, sontak penjelasan dokter membuatku semakin tak menentu, yang aku ketahui selama ini istriku baik-baik saja, dia tidak pernha mengeluh sakit ataupu terlihat pucat, sama sekali tidak.

“Bundaaaa,,, bunda banguuun, ini ayah bunda, tolong jangan tinggalkan ayah, ayah yakin bunda pasti kuat, seperti janji bunda kita akan menua bersama hingga kesyurga nantinya, bunda tolong bunda, banguuuun, demi Aqila dan Akbar, mereka tidak cukup hanya dengan kasih sayang ayah, mereka butuh bunda”, dengan tangis aku berusaha menguatkan istriku, mengajaknya berbica seperti sebelumnya kami lalui bersama, tertawa lepas dan menghilangkan lelahku setelah seharian berhadapan dengan segudang pekerjaan.

Tiba-tiba Aqila dan Akbar datang dengan isak tangis yang ditemani ayah ibuku, mereka memanggil-manggil bundanya sambil menangis dan berceloteh mengharap bundanya menjawab setiap panggilan mereka, wajar saja, Aqila masih berusia 6 tahun, sementara Akbar masih 4 tahun, mereka bukan hanya akan kehilangan, karena keseharian mereka tak terlewatkan tanpa pelukan dan suapan bundanya, karena istriku memang tidak mau anak-anak kami dibesarkan oleh orang lain terlebih suster. Dia lebih memilih lelah asalkan bisa memastikan pendidikan buah hati kami terbentuk dengan baik.

“Aqilaaa, Akbaaar, bunda sedang lelah nak, biarkan bunda istirahat sejenak, nanti kalau bunda sudah baikan, bunda akan kembali tertawa bersama kalian”, aku berusaha menenangkan kedua buah hatiku, walaupun aku sendiri tidak tau dengan cara apa kubahasakan kesedihan yang datang secara tiba-tiba, aku sungguh tak pernah berpikir, jika istriku menderita penyakit sampai seberat ini, karena ayng aku ketahui selama ini Naumi baik-baik saja.

Naumi memanglah perempuan hebat, dia kuat dan tak pernah mengeluh meski terkadang keadaan mempermainkan, bertahun-tahun lamanya aku hidup bersamanya, tak sekalipun kudengar keluhan meski aku pahami lelahnya mengurus dua orang anak itu luar biasa, aku hanya bisa memanjakannya untuk menghilangkan kejenuhannya, jika disetiap hariku saat makan siang bermasa teman-teman seprofesiku banyak yang bercerita tentang kekurangan istrinya, tidak halnya denganku, karena memang Naumi bagiku istri dan ibu yang sempurna.

Sudah tujuh hari Naumi tak sadarkan diri, bahkan dokterpun nyerah dan meminta persetujuanku untuk melepas segala peralatan medis yang terpasang ditubuh istriku yang selama ini membantu istriku bertahan, “Kasihan ibu Naumi pak, sudah tidak ada harapan untuk sembuh, jika dipaksa bertahan justru itu akan semakin menyiksa”, ucap dokter yang kebetulan selama ini menangani Naumi, “Saya bangga sama ibu Naumi, dia tidak ingin bapak tau dan lebih memilih menahan sakit itu sendiri”, sambug dokter dengan terus memuji istriku, siapa yang mengenalnya yang tidak akan memuji kebaikannya, dia bak malaikat yang Allah kirimkan bukan hanya sekedar melengkapi takdirku, tapi menyelamatkanku dari kesalahan yang menjatuhkan.

“Maaf dok, aku tidak bisa, jika aku menyetujui, sama saja akulah yang mengakhiri hidup istriku, bagaimana bisa, sementara dia adalah jiwaku dok, maaf dok aku benar-benar tidak bisa, jikapun dipaksa, akupun tidak akan melakuaknnya dok”, jawabku dengan sedikit marah, bagaimana tidak, aku harus mengakiri hidup istriku dengan menandatangani surat persetujuan yang disodorkan oleh dokter Gibran.

Begitu mudahnya nyawa manusia, cuma berakhir diatas secarik kertas, walaupun takdir kematian tak bisa dihindari, tapi aku bukanlah malaikat pencabut nyawa apalagi atas diri sosok yang begitu aku cinta.

“Ihsaaan, ihsan,,, Naumi sadar”, teriak ibuku
Aku langsung lari menuju ruangan istriku yang disusul oleh dokter Gibran, benar apa kata ibuku, istriku sudahmembuka matanya dan tanganya sedang memeluk Aqila dan Akbar,
“Bundaaa,,,, kupeluk tubuh indahnya, meski dalam keadaan sakit, dia tetap cantik jelita,
samar-samar kudengar suaranya yang berusaha mengajakku berbicara, selama 7 hari ini aku hanya berserita dengan air matanya, bahagia tak terkira dan luar biasa, “terima kasih ya Rabb, Engkau telah mengembalikan istriku”, ucapku sambil menengadah, berharap kebahagiaan kembali berpihak padaku.

“Ayah, tolong telpon Naumi”, pinta istriku, sepenting itukah Naumi untuknya, namun aku tak ingin terjadi perdebatan, istriku kembali sadaritu sudah lebih dari cukup bagiku, tak lama kemudia Naumi datang, diapun kaget setelah kuberi tau bahwa Naumi sakit keras.

“Naumi, kenapa kamu sembunyikan ini semua?”, tanya Nabila sambil memeluknya dengan tetesan air mata kesedihan, istrikupun tak bisa membendung air matanya, maklumlah mereka adalah sahabat sejak SD sampai ke perguruan tinggi, mereka terpisahkan sejak Nabila melanjutkan S3nya ke kairo, itu yang aku tau dari cerita sitriku beberapa bulan yang lalu, istriku juga tak jarang memuji-muji kesolehan Nabila dan budi pekertinya.

“Aqila dan Akbar dimana yah?”, tanya istriku tiba-tiba
Kupanggil Aqila dan Akbar, demikian ibu dan Ayahku serta mertuaku yang sudah seminggu terakhir ini juga tak beranjak dari rumah sakit menunggu Naumi dengan harapan kembali lagi ketengah-tengah kami dan tertawa bersama, mengarungi bahtera hidup yang penuh warna.

“Aqila, Akbar, kalian jangan nakal yaaa, nurut sama ayah, harus jadi anak yang kuat dan tidak boleh menangis, tetaplah jadi anak-anak bunda yang manis dan baik”, sambil mencium dan memeluk Aqila dan Akbar, kala itu Naumi benar-benar terlihat kuat dan sedikit segar dibandingkan seminggu terakhir ini yang begitu pucat dan berbaring tak berdaya.

“Bapak, ibu, papa dan mama, terimakasih atas setiap pengorbanan kalian, dan maaf jika selama ini Naumi sempai melukai dan menyakiti”, dengan senyum yang terkihat dipaksakan istriku membuatku bertanya-tanya, sebab kondisinya yang menurutku sudah sangat baik.

“Ayah, jangan pernah merasa sulit, apalagi berpikir bahwa Tuhan tidak adil, maafin bunda jika belum bisa jadi yang terbaik untuk ayah”,

“Bundaaa, bunda bicara apa, bunda bagi ayah adalah wanita paking sempurna, bunda harus menepati janji bunda, untuk terus menua bersama, menyaksikan anak-anak kita tumbuh dewasa, mereka tidak akan kuat tanpa bunda”,

“Ayah, berikan bunda senyuman terindah, peluk bunda ayah”, pintanya yang aku iyakan meski tanpa diminta.
“I love ayah, bisiknya pelan”,
“I love you to bunda”,

Pelukan hangat itu yang tak sanggup membuatku kehilangan, pelukan dimalam pertama yang hingga kini masihlah sama.

“Ayah Nabila mana?”,
Nabila yang kebetulan ada dibelakangku mendekati istriku.

Air mata istriku mulai bercucuran, seolah ada sesak yang tertahan, namun tetap dipaksakan mungkin agar beban itu tidak semakin dalam, istriku menggenggam tanganku, kemudian dia seolah mencari sesuatu dalam hatiku melalui binar cahaya mata yang tak bisa berdusta,

“Ayah, jangan pernah menangis untuk bunda, jangan biarkan beban itu menyiksa, jangan pernah bersedih yah, demi bunda”.

“Ayah,,, Tuhan sudah menuliskan takdir kita, umur dan jodoh adalah menjadi rahasinya, bunda tidak akan membiarkan hidup ayah hampa, karena ADA DIA diantara kita”, sambil menarik tangan Nabila dan menggenggamnya bersama tanganku, kemudian dia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menutup matanya.

Bundaaaaaaaaaaaaaaaa…..

Tak ada yang menginginkan perpisahan
Tapi Tuhan mengajarkan kekuatan dengan kehilangan
Inilah alasannya yang selalu berusaha mendekatkanku dengan Nabila ?

Tapi cukuplah Bunda dihati Ayah
Seperti janjiku 7 tahun yang lalu

Aku harus kuat, setidaknya demi anak-anak


ADA DIA DIANTARA KITA (Kehilangan)

ADA DIA DIANTARA KITA (Kehilangan)

Status: Completed Tipe: Dirilis: 2020 Native Language: Indonesia
Mencari Makna Dalam JiwaKutemukan sosok wanita Dimataku cukup sempurna Seolah tanpa cela Ukuran manusia dengan hati dan sikap yang bijaksanaDialah yang mampu mengubah segala arah Barisan mantan yang kutinggalkan tanpa perasaan Tapa merasa berdosa kulepaskan saat sudah merasa bosanBenar adanya Jika wanita wanita mampu menciptakan petaka Dan wanita pula yang bisa menuntun kejalan Jannah melebihi pria yang tercipta sebagai imam kodratnya

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset