Aku Lelah episode 1

Chapter 1

“Hari ini kamu gajiankan, Mas?” tanyaku kepada Mas Bima. Dia baru saja pulang kerja. Baru saja melepas kemejanya.
“Iya,” jawabnya dengan napas berat.
“Emm ….”
“Masak apa? Aku laper!” ucapnya, memotong ucapanku.
“Masak tempe aku sambal kering,” jawabku.

“Tempe terus … nggak bisa masak yang lain apa?” sungutnya.
“Halaah … kamu itu di kasih berapapun tetap saja kurang!” potongnya lagi. Kuteguk ludah ini sejenak. Terasa perih di dalam sini.
Mas Bima langsung menuju ke dapur. Aku lihat segera mengambil piring dan menyentong nasi. Tak ada basa basinya untuk menawariku makan. Padahal aku ingin sekali, ia menawariku makan. Biar tak merasa di abaikan.
Aku juga ikut mengambil piring. Karena untuk sore hari, aku sengaja menunggunya pulang untuk makan bersama. Berharap rumah tangga ini terasa hangat.

Aku lihat Mas Bima menumpahkan semua kering tempe itu di piringnya.
“Loo, Mas aku belum makan, kok aku nggak di bagi lauknya? Lauknya cuma itu!” ucapku terkejut dengan tingkahnya.
Brraagh ….
Tangannya menggebrak meja. Semakin membuatku terkejut.
“Salah siapa masak sedikit? Sudah tahu aku ini pulang kerja! Aku ini lapar!” sungutnya, kemudian melanjutkan makannya lagi dengan sorot beringasnya.
Lagi, aku hanya bisa meneguk ludah. Dengan area mata memanas aku menganbil kecap manis untuk lauk makanku. Tak mau mempertajam masalah.
Sesekali dengan cepat kuseka air mata ini. Karena kalau tahu aku menangis, amarahnya semakin menjadi.
Aku lihat dia makan dengan lahap. Tanpa memperdulikan aku yang makan hanya berlaukan kecap manis.

Memang sedikit aku memasak kering tempe. Karena hanya satu papah tempe saja. Sebenarnya bisa saling berbagi. Karena memang sudah tak ada uang lagi, untuk masak yang lebih banyak.
“Mana kopinya? Masak setiap hari minta di ingatkan!” sungutnya. Segera aku letakan piring ini dan segera membuatkan kopi untuk Mas Bima.
Ya Allah, di mana hati lelaki itu? Tak ada ibakah dia melihat istrinya hanya makan berlauk kecap manis? Sedangkan kering tempe yang ia anggap masakan itu-itu saja, tapi ia habiskan seorang diri.
“Ini kopinya!” ucapku dengan nada serak.
“Hemmm,” balasnya. Segera aku letakan kopi itu disebelahnya. Aku segera melanjutkan makanku lagi. Makan yang hanya berkauk kecap manis.
“Malah lanjut makan lagi! Ambilkan aku handuk dulu! Udah gerah ini!” sungutnya. Baru saja makanan ini masuk ke mulut, dia sudah memerintahku lagi.

Kutarik napas ini kuat-kuat dan menghembuskannya perlahan. Kembali aku letakan piringku lagi. Padahal cacing di dalam perut sudah berteriak meminta haknya.
“Ini handuknya!” ucapku.
“Hemmm,” balasnya, kemudian menyeruput kopi buatanku tadi.
“Ini uang gajiku!” ucapnya, seraya menyodorkan uang merah beberapa lembar. Kemudian aku menghitungnya.
Komunitas Kita Bisa Menulis Pun Membaca Grup Publik | Facebook
“Harus cukup sampai gajian bulan depan!” pesannya.
“Gajimu kan tiga juta, Mas? Ini cuma satu juta?” tanyaku.
“Kamu pikir ibu dan adik-adikku kamu suruh puasa? Lima ratus untuk kebutuhanku, sisanya aku kasihkan Ibu semua,” jelasnya.
Kupejamkan sejenak mata ini. Kuremas uang satu juta rupiah itu. Bagaimana aku harus membaginya? Sedangkan token listrik saja hampir dua ratus ribu. Belum jajan Azkia, yang sekarang lagi ngaji sore.
Semenjak Bapak mertua meninggal dua bulan yang lalu, hasil kerja Mas Bima, kepotong sana sini. Bahkan menurutku lebih banyakan ke Ibunya.

“Kalau gitu, ijinkan aku kerja. Uang segini nggak cukup untuk sebulan!” keluhku.
“Mau bikin malu aku kamu? Nggak usah kerja! Kalau kamu pinter ngaturnya pasti cukup uang segitu!” balasnya.
“Tapi sama sekali nggak bisa nabung! Bagaimana nasib kita di masa tua, kalau tak ada tabungan dari sekarang? Bagaimana nasib pendidikan Azkia?” bantahku.
“Halaah … protes mulu bisanya! Bersyukur bisa nggak sih? Masih banyak orang di luar sana yang kelaparan! Nggak megang duit sepeserpun! Bersyukur! Jangan ngeluh terus!” sungutnya, kemudian berlalu seraya menyambar handuknya.
Hilang nafsu makanku. Menetes lagi air mata ini dan segera aku menyekanya. Sesaknya di dalam sini luar biasa.
Ya Allah aku lelah! Berdosakah jika aku memilih mundur? Tak ada bayangan masa depan yang cerah jika aku bertahan dengan lelaki seperti itu.

Belum lagi, biaya sekolah Azkia. Aku tak mau Azkia tak menempuh pendidikan yang tinggi. Azkia harus lebih dariku. Harus!
Aku segera masuk ke dalam kamar. Meraih sepucuk surat dari Abah. Lelaki cinta pertamaku. Surat yang baru saja sampai tadi pagi.
Dalam surat ini berisi, Abah memintaku segera pulang, karena warisan akan segera di bagi dengan kakak dan adikku. Aku tak mau, Mas Bima tahu hal ini. Karena jika ia tahu, bisa jadi akan dia kuasai dan aku hanya gigit jari.
Bismillah … aku harus segera pulang, hanya bersama Azkia, bagaimanapun caranya.
Ya Allah aku lelah…..


Aku Lelah

Aku Lelah

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Cerita pendek tentang curhatan seorang istri yang lelah dengan perlakuan suaminya.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset