Cuaca hari itu mendung kembali, dan sepertinya bakalan hujan lebat. Upacara pemakaman Niken telah selesai dilakukan dan para warga kampung yang ikut mengantar sampai ke pemakaman satu-persatu pulang. Tinggal ane, Bu Ratna dan Dito yang masih berada di dekat pusara Niken. Bu Ratna tidak henti-hentinya terisak sembari memegang kayu nisan bertuliskan nama putri kesayangannya. Sepertinya sulit bagi dia untuk menerima kepergian Niken. Sedangkan Dito yang sudah tahu kalau kakak yang dia sayangi telah tiada hanya menangis di pelukan ibunya.
“Bu, sudahlah, relakan Niken, biar dia beristirahat dengan tenang. ” kata ane sambil memegang pundak Bu Ratna.
“Langit sudah mendung bu. Sudah mau hujan. Ibu kan baru sakit. Ayo kita pulang bu. Lagipula kasihan Dito. ” bujuk ane lagi.
“Sebentar lagi mas. Saya masih ingin bersama Niken. ” jawab Bu Ratna sambil menyeka air mata.
Ane mengalah. Lagipula letak pemakaman juga nggak begitu jauh dari kampungnya Bu Ratna. Ane pun melihat sekeliling area pemakaman. Memang sudah tidak ada orang selain kami bertiga. Tapi benarkah ? Mata ane menangkap sosok tidak asing sedang berdiri dibawah pohon. Itu hantu Niken. Ternyata dia berada disitu entah sejak kapan.
Tanpa sepengetahuan Bu Ratna, ane pun berjalan mendekatinya. Ada yang berbeda dari Niken. Kali ini wajahnya lebih cerah, tidak sedih lagi.
“Kamu tidak ingin menemui ibumu ? ” tanya ane.
Niken lagi-lagi hanya menggelengkan kepala dan tidak berkata sepatah katapun. Dan dia tersenyum. Ane pun membalas senyumannya…
Waktu tidak bisa kembali
Yang telah tiada tidak bisa hidup lagi
Tapi seandainya waktu bisa diputar
Aku hanya meminta satu hal
Agar kita tidak pernah bertemu
