“Bagaimana bisa manusia rendahan macam kau masih bisa selamat setelah terkena serangan kami?” tanyanya geram. Mereka berdua menatap ke arahku dengan pandangan takut, kaget, dan benci.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan bodoh mereka itu, membuat mereka merasa semakin tak nyaman. “Simple saja. Pertama, karena aku merapalkan ajian penjagaan tepat setelah jin Watsin mengirimku ke perbatasan void ini. Dan yang kedua, karena aku telah bertarung dengan demit dan jin yang jauh lebih mengerikan daripada kalian!”
“Grr… ampuni kami, maafkan kami!” kata kedua genderuwo itu meminta ampun padaku.
“Percuma! Karena sekarang sudah saatnya penghakiman …!”
Saat itu juga, ajian Reksadara langsung menjatuhi hukuman pancung bagi kedua genderuwo itu. Dan tak lama kemudian, darah berceceran, membasahi sekitar. Kemudian kedua mayat genderuwo itupun lenyap.
Andaikata mereka tidak diberi keabadian sampai akhir zaman, pasti jumlah mereka sudah turun drastis sekarang ini.
Dengan tubuh lemah dan lemas, aku paksakan diriku untuk menuju ke dalam puri itu dan bertarung dengan jin Watsin guna menyelamatkan Pramesella. Kuyakin kalau saat itu diriku telah masuk ke dalam jebakan jin licik itu, namun demi menyelamatkan seseorang, ku tak peduli semua itu.
Selama masuk ke dalam puri, aku selalu dihujam dengan ribuan paku-paku neraka yang menghujamku dari berbagai sisi, namun dengan ajian pelindung sukma dan keyakinan kepada Tuhan YME, aku bisa bertahan dari siksaan itu.
Dan akhirnya, kini aku berdiri di hadapan Jin Watsin sendiri. Menatapnya penuh dengan amarah dan kebencian yang memenuhi relung hati karena kami sempat bertarung dalam perang besar tiga tahun lalu.
“Hebat juga, kau anak manusia!” sambut Jin Watsin dengan senyum liciknya. “Tak kusangka kita akan bisa bertemu lagi setelah tiga tahun lamanya,”
“Ya, karena kau dan Ifrit, manusia terancam dalam jurang kehancuran. Dan karena kau dan ifrit, aku kehilangan seseorang yang paling kusayangi!” jawabku geram, mendendam aku ke jin kafir itu.
Jin Watsin langsung merayap ke tembok-tembok puri sembari menyerangku dengan paku-paku neraka. Untuk menghalanginya, aku keluarkan ajian Cokronagoro. Dengan ajian itu, aku bisa bertahan dan menyerang.
Tak menyerah sampai disitu, Jin Watsin mengeluarkan pasukan-pasukan tengkorak kepala babinya yang jumlahnya sangat banyak. Dengan penuh keyakinan, aku keluarkan ajian Reksadara untuk menghabisi para kroco-kroco itu.
Pertarungan belum berakhir. Untuk menjerat Jin yang suka merayap-rayap di tembok bak seekor cicak itu aku keluarkan ajian Palasada. Namun karena ajian Palasada ini lambat, jadi dengan mudahnya dihindari oleh jin itu.
Pertarungan terus berlanjut seperti itu, dengan tak diketahui siapa yang bakal jadi pemenang, karena kekuatan kami berdua hampir setingkat.
Andai saja aku punya Pedang Pencabik Sukmo ataupun Pedang Damaskus, pastinya keadaannya gak bakal begini.
Jin itu tertawa terbahak-bahak, lalu melemparkan roh Pramesella ke belakang. Di sana ada api yang membara-bara. Jikalau tidak segera kucegah, maka roh itu akan hancur dan Pramesella akan musnah, bukan hanya mati.
“Kalau kau ingin menyelamatkan gadis itu, selamatkan dia sekarang, hahaha…” kata Jin Watsin itu sombong.
Aku pun bergegas berlari bertaruh dengan waktu untuk sampai di tempat roh Pramesella saat ini. Kuharap aku bisa sampai tepat waktu dan menyelamatkan Pramesella.
Namun waktu dengan cepat bergerak, menelan frame-frame waktu dengan cepatnya. Kini aku merasa putus asa. Dengan jarak yang teramat jauh, mustakhil bagiku untuk sampai tepat waktu.
Diriku yang kala itu sudah berada di samping jin Watsin, mulai menjerit, tak mau merasakan rasa putus asa lagi, sementara jin Watsin dengan angkuhnya tertawa menatapku.
Namun tiba-tiba, ada sebuah garis yang langsung membentuk balok sebening kaca yang menangkap roh Pramesella. Dengan segera balok itu melesat pergi, menjauh dari sana.
Jin Watsin melihat kejadian itu antara kaget dan tak percaya. Aku juga demikian. Aku merasa ada seseorang yang sudah menolongku.
“Kurang ajar! Siapa orang yang berani ikut campur urusanku!?” tanya Jin Watsin geram. “Keluar kau, anak cucu Adam! Aku tahu kalau kau ada di sekitar sini!”
Dari belakang, kudengar suara sejuk dan kalem dari seseorang. Kutolehkan kepalaku ke arah suara itu, mencoba menelisik siapakah orang yang mampu menyebrang ke perbatasan void ini sesuai dengan kehendaknya sendiri?
“Wah, wah, ternyata di zaman ini para jin dan demit sudah menjadi semakin sombong, ya? Tak kukira kalau perjuanganku dan ketujuh puluh dua ulama, jawara dan dukun, mengantarkan ke zaman yang seperti ini,” seru seorang pria berumur sekitar tiga puluh tahunan, memakai pakaian serba putih dan bersorban putih pula.
“Kau, …” sahut Jin Watsin menatap pria itu dengan penuh geram dan kengerian.
Dalam sekejap mata, pria itu sudah berada di sampingku, menyentuh pundakku, kemudian ada cahaya putih yang mulai merasuk ke dalam jiwaku, menyembuhkan segala luka-luka yang disebabkan para demit beberapa waktu lalu.
“Siapa kau sebenarnya? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya,” tanyaku yang terheran-heran melihat pria bersorban putih itu.
Dia pun menatap wajah bingungku dengan penuh senyuman hangat, seolah dia tahu siapa diriku.
“Aku Marwan, Kyai Marwan. Dan aku adalah penghulumu, nak!” jawabnya dengan penuh senyuman. “Sebelum kau bertanya lebih banyak, sebaiknya kita selesaikan urusan kita di sini, nak. Iyakan?”
Aku mengangguk. Dia membantuku untuk berdiri.
Jin Watsin menatap garang kepada Kyai Marwan. Tangannya pun mengepal, matanya menatap tajam, dan kuda-kudanya sudah bersiap untuk menyerang seorang Kyai yang pernah melawannya tempo dulu.
“Nagasaka, Nagalacakra, kemarilah …!” panggil Kyai Marwan. Tiba-tiba dari langit melesat dua ekor naga putih dan hitam yang kemudian menghantam tanah dan berubah wujud menjadi dua tombak sakti.
Saat percikan transformasi, sempat kulihat wajah kedua adik kembar siamku, Tiara dan Leina. Namun, kutepis begitu saja anggapan itu.
Kulihat Jin Watsin yang sudah siap kuda-kudanya itu langsung mengurungkan niatnya untuk menyerang. Sepertinya dia tahu sesuatu mengenai dua tombak sakti ini.
“Kemarilah, Jin kafir! Ayo rasakan kekuatan tombakku untuk kedua kalinya!” teriak Kyai Marwan yang menggema ke punjuru perbatasan void. “Sama seperti saat aku memenggal dua belas raja kalian dengan dua tombak ini!”
Aku hanya diam mendengarkan. Biarkan penghuluku untuk bertarung kali ini, karena diriku sudah terlalu lelah untuk berbicara, apalagi untuk menyerang jin kafir itu.
Tiba-tiba dari segala penjuru, datanglah demit-demit bergerombolan, pocong, genderuwo, kuntilanak, sundel bolong, buto ijo, dll, yang langsung mengepung Kyai Marwan dari berbagai sisi.
Melihat kondisi semakin sulit, Kyai Marwan pun membuat sebuah lingkaran di sampingnya dan menyuruhku untuk memasukinya.
“Cucuku, cepat masuklah ke dalam lingkaran ini! Jangan sekali-kali kau keluar dari lingkaran ini, kecuali aku suruh, ya?” pintanya dengan harap aku mau menurutinya. Dan entah karena aku seorang penurut atau apa, aku menurut saja kata-katanya tanpa sedikitpun menanyakan perihal dibalik semua itu.
Para demit-demit yang jumlahnya ratusan itu langsung menyerbu ke tempat Kyai Marwan berada. Kedua tombak sakti itu dia lemparkan ke belakang, seolah enggan untuk menggunakan tombak itu untuk melawan kroco-kroco itu.
Dari pinggangnya, dia keluarkan sebuah janur kuning yang langsung menjelma menjadi pedang Pencabik Sukma, yang tanpa ragu segera ia ayunkan ke arah demit-demit itu.
Dan brakk…
Darah berceceran di mana-mana. Darah dari para demit itu membasahi seluruh medan tempur, membuat nyali Jin Watsin mulai menciut.
Kini tinggal tujuh genderuwo dan tujuh buto ijo yang tersisa. Tak mau menunggu semakin lama, kyai Marwan membacakan sebuah doa ke arah janur kuning itu yang langsung berubah menjadi tombak yang panjangnya tiga puluh hasta.
Sekali ayunan dari tombak panjang itu, langsung memenggal kepala tujuh genderuwo dan tujuh buto ijo itu. Menyisakan darah mereka yang mengalir ke mana-mana.
Aku terkagum-kagum melihat pertempuran seru ini. Tak kusangka kalau penghuluku bisa sehebat dan setangguh ini. Pantes saja dia bisa mengalahkan Nyi Imas dan para abdi-abdi demitnya.