brakk…
Darah berceceran di mana-mana. Darah dari para demit itu membasahi seluruh medan tempur, membuat nyali Jin Watsin mulai menciut.
Kini tinggal tujuh genderuwo dan tujuh buto ijo yang tersisa. Tak mau menunggu semakin lama, kyai Marwan membacakan sebuah doa ke arah janur kuning itu yang langsung berubah menjadi tombak yang panjangnya tiga puluh hasta.
Sekali ayunan dari tombak panjang itu, langsung memenggal kepala tujuh genderuwo dan tujuh buto ijo itu. Menyisakan darah mereka yang mengalir ke mana-mana.
Aku terkagum-kagum melihat pertempuran seru ini. Tak kusangka kalau penghuluku bisa sehebat dan setangguh ini. Pantes saja dia bisa mengalahkan Nyi Imas dan para abdi-abdi demitnya.
.
.
.
Jin Watsin seperti kehilangan nafsunya untuk bertarung. Yang dia lakukan hanya meratapi gundukan mayat-mayat demit-demit bawahannya. Dia tak kuasa menahan rasa takut melihat sesosok manusia, yang selama ini dia rendah-rendahkan itu mampu membuat nyalinya ciut.
Meski bangsa jin, syaitan, dan iblis tak bisa mati sampai hari kiamat nanti, namun tetap mereka bisa dibunuh, walaupun mereka akan bangkit dan bangkit lagi hingga akhir zaman. Hal itulah yang membuat jin kafir itu ciut nyali. Dia tak ingin merasakan tubuhnya ditusuk oleh kedua tombak sakti itu untuk kedua kalinya, karena butuh waktu seratus tahun buatnya untuk bangkit kembali.
Setelah Kyai Marwan selesai membantai abdi-abdi demit dari jin kafir itu, kini tatapannya langsung mengarah ke Jin Watsin. Pandangan penuh amarah dan kutukan yang ditujukan pada jin itu. Memang sepertinya ada hubungan Kyai Marwan dengan jin itu tempo dulu.
“Nak, kamu tetap di sini. Jangan sampai kau lihat aku membantai jin kafir itu, ya?” pinta Kyai Marwan yang suaranya seperti menahan deru amarahnya. “Jika tidak, kau bisa terkena imbasnya. Karena apa yang akan kulakukan pada jin itu akan mampu membuat rusak mentalmu.”
“Tapi, kyai─ …” ucapku yang terputus oleh tatapan Kyai Marwan padaku.
Tanpa berucap lagi, aku pun menutup kedua mataku. Dia pun berjalan pelan-pelan mendekati jin kafir itu dan kedua tombak pusaka, Nagasaka dan Nagalacakra mengikutinya dari belakang.
Ketika kedua tombak itu melintasiku, aku dapat merasakan sebuah perasaan kalau kedua tombak itu adalah perwujudan dari kedua adik kembar siamku. Namun sekali lagi aku tepis semua praduga itu dan kembali menutup mata dan telinga berusaha untuk tak melihat dan mendengar apa yang bakal terjadi.
…
“Jin Watsin, kau adalah sesosok jin yang teramat berbahaya bagi umat manusia. Kau membelokkan hati mereka supaya mau berbuat dzolim. Kau meningkatkan hawa nafsu mereka supaya mereka berbuat hal-hal yang dilarang Allah SWT. Kali ini aku akan memberikan dua hukuman bagimu!” ujar Kyai Marwan lantang. Meski aku sudah menutup kupingku, namun suara itu masih saja terdengar.
“Dua hukuman? Apa maksudmu, kyai tua?” tanya Jin Watsin tegang.
“Dua hukuman itu akan dilakukan oleh kedua tombak suciku. Kau akan merasakan rasa sakit yang teramat sangat untuk kedua kalinya, jin kafir!” jawab Kyai Marwan garang. Dia sudah seperti seorang monster yang siap menelan mangsa kuat di hadapannya.
Jin itu sempat mundur beberapa langkah, ya walaupun Kyai Marwan tak mempedulikannya. “Heh! Kau pikir aku takut kepada dua tombak saktimu itu, kyai tua!? Dalam seratus tahun ini, aku jauh lebih kuat karena banyak manusia yang menyembahku dan rela memberikan tumbal untukku,”
Kyai Marwan mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke arah jin itu, bertanda kalau tombak Nagasaka akan maju duluan.
Dalam sekejap, tombak Nagasaka melesat menuju ke tempat jin kafir itu berada, dan secepat kilat tombak itu langsung menghancurkan tangan kanan jin itu.
Menjeritlah jin Watsin.
Suara jeritannya bahkan sampai terdengar keras sekali di gendang telingaku, membuatku merasa ngeri.
“Keparat! Keparat kau, kyai tua!!” umpat jin itu mengutuk.
Tak mempedulikan erangan jin Watsin, Kyai Marwan langsung mengarahkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah jin itu kembali. Dan melesatlah tombak Nagalacakra ke arah jin Watsin yang langsung menghancurkan tangan kirinya.
Jin Watsin kembali menjerit!
Suaranya semakin terdengar menyayat.
Kyai Marwan mampu mengalahkan jin kafir itu sebelum jin itu sempat melancarkan serangannya. Kemudian, kedua tombak itu melingkar ke dua arah kutub bumi dan langsung menghantam dari atas dan bawah. Tombak Nagasaka menghujam kepalanya sampai tembus ke dada, sementara tombak Nagalacakra menghujam duburnya sampai tembus ke dada.
Jin Watsin tak bergerak sama sekali, alias mati. Namun, kematian bagi bangsa jin itu tidak seperti ini. Jin itu hanya sekali lagi mati. Setelah period tertentu, jin itu akan dihidupkan kembali oleh Allah SWT, karena takdir dari bangsa jin, syaitan, dan iblis akan hidup sampai hari kiamat tiba.
Setelah mengalahkan jin itu, Kyai Marwan menghampiriku kembali dan menyuruhku untuk membuka mata. Dan tanpa menolak sedikitpun, aku menurutinya. Duh, aku layaknya bagai seorang kambing yang menuruti segala perintah si gembala.
“Apa semua ini sudah berakhir?” tanyaku membuka obrolan. “Apa jin kafir itu berhasil kyai bantai?”
Kyai Marwan tersenyum kecil mendengarnya.
“Iya, aku sudah membunuhnya untuk kedua kali. Tapi bagi bangsa halus macam mereka, itu tidak bisa disebut kematian, cucuku!” jawabnya kalem, membuatku mulai nyaman. “Karena setiap periodiknya, meskipun mereka dibakar hangus oleh lafadz-lafadz Al-Qur’an, mereka akan tetap hidup kembali, selayaknya keadaan kita saat hidup di neraka.”
“Lalu, kapan dia akan bangkit kembali, kyai?”
“Sudah tenang saja, cucuku. Dia akan bangkit lagi seratus tahun dari sekarang. Walaupun dia hanyalah satu dari kaum jin Watsin. Di luar sana, ada banyak jin Watsin yang lebih ganas dan kuat ketimbang dia, jadi kau harus lebih berhati-hati, nak!”
Aku mengangguk mendengar penjelasan dari pendahuluku itu. Tanpa menunda-nunda lagi, aku pun bertanya, dan entah mengapa kyai itu mampu mengerti apa yang akan aku tanyakan padanya.
“Soal temanmu itu, aku yang mengirimnya kembali ke jasad kasarnya. Dengan begitu kau sudah bisa kembali ke duniamu berasal, cucuku!” ucap Kyai Marwan yang langsung menjawab pertanyaanku, bahkan sebelum aku bertanya. “Sampaikan salamku pada keturunan-keturunanku, nak!”
Mendengar jawabannya, semakin membuatku gelisah. Aku seperti takut akan sesuatu kelak.
“Kyai, aku takut akan apa yang terjadi nantinya. Kedatangan jin Watsin meneror sekolahku, ku merasa kalau hal ini adalah sebuah pertanda, pertanda kalau Nyi Imas telah kembali dan bebas dari kekangan Angus Poloso,”
“Aku tahu itu, nak! Dia bukannya sudah keluar dari Angus Poloso, namun dia berhasil memindahkan jiwanya ke tubuh garis keturunannya. Dan kuyakin saat ini, dia sedang mengawasi kita dari suatu tempat,” jawabnya sembari menelisik ke kanan dan ke kiri, mencoba merasakan gelombang aura hitam yang begitu jahat di sekitar sana.
Aku terdiam sejenak mendengar penjelasannya yang makin membuatku gelisah. Kyai itu mengerti dan bergegas mengarahkan telunjuknya ke arah Jin Watsin yang sudah mati itu. Dengan segera, kedua tombak sakti, Nagasaka dan Nagalacakra itu langsung kembali menghampiri Kyai Marwan.
Sementara itu, tubuh Jin Watsin langsung mematung menjadi batu. Ketika aku ingin mengeceknya, kyai Marwan bergegas menghentikanku.
“Jangan, nak! Begitu kau menyentuhnya, dia akan langsung bangkit.” Ujarnya mencegahku.
“Lho, kenapa, kyai?” tanyaku yang masih bau kencur, tak mengerti sama sekali. “Bukankah kau bilang kalau dia akan hidup lagi seratus tahun dari sekarang. Lalu kenapa kyai melarangku untuk mendekatinya?”
Kyai Marwan hanya menggeleng. “Tanyakan semua itu kepada ayahmu atau kakekmu, nak! Kuyakin mereka bisa menjelaskan hal itu padamu. Namun, aku hanya akan bilang satu hal. Darahmu!”
“Darah? Darahku kenapa, kyai?”
“Tidak perlu kujawab sekarang, cucuku. Oh ya, apa hanya itu yang ingin kau tanyakan padaku? Kalau iya, maka kita harus segera berpisah dan akan kukirim kau kembali ke duniamu, cucuku,” jawabnya yang seperti sedang mengalihkan pembicaraan.
“Iya, kyai. Aku punya satu pertanyaan lagi. Dan ini yang paling penting dari semua kecurigaanku barusan. Apa tombak Nagasaka dan Nagalacakra itu mempunyai medium manusia?” tanyaku yang langsung dimengerti oleh Kyai Marwan. Karena sudah dua kali aku merasakan sebuah perasaan yang sama kalau kedua tombak itu mempunyai medium manusia. Lebih tepatnya adik kembar siamku.
Kyai Marwan sedikit ragu mau mengatakannya, dia pun terdiam sesaat, namun pada akhirnya dia mau mengatakannya juga.
“Iya, cucuku! Tombak Nagasaka dan Nagalacakra mempunyai medium manusia. Lebih tepatnya hanya sebagian kecil manusia yang bisa jadi medium dari tombak suci itu.” Jawab Kyai Marwan yang menjelaskannya secara singkat. “Kau pasti penasarankan dengan medium yang digunakan oleh kedua tombak suci itu?”
Aku mengangguk, Kyai Marwan tersenyum.
“Kedua tombak suci itu selalu pilih-pilih siapa orang yang layak jadi mediumnya, tapi sudahlah, biar kutunjukkan padamu bentuk transformasinya!” kata Kyai Marwan yang masih plin-plan mau mengatakannya. “Nagasaka, Nagalacakra, transformasi …!”
Kedua tombak suci itu langsung berputar-putar mengelilingi kutub bumi kemudian meloncat ke depanku. Dari sana kulihat kedua tombak itu mengeluarkan cahaya putih bersinar, yang mampu menutupi seluruh dimensi.
Ketika cahaya itu lenyap, aku dapat melihat dua gadis berusia delapan tahun yang berdiri dengan tatapan kosong dan telanjang bulat.
Dan ternyata mereka adalah …
Tiara dan Leina.
Kedua adik kembar siamku.
Seperti yang kuduga kalau mereka berdua dijadikan medium bagi kedua tombak suci tersebut karena keistimewaan yang ada dalam diri mereka, namun aku merasa sedih dan marah melihat kepolosan dan keistimewaan yang ada dalam diri mereka digunakan sebagai medium tombak suci tersebut.
Kutatap garang si pendahuluku itu, mengira kalau dirinyalah yang merencanakan ini semua, namun sebelum aku mulai berbalik menyerangnya, dia pun menjelaskannya.
“Aku tahu kalau kau merasa geram dan marah padaku, ‘kan? Namun aku pernah mengunjungi waktumu sekitar tiga tahun lalu karena aku merasakan sebuah energi yang begitu dahsyat dari masa depan. Sebuah energi putih dan hitam yang memancar dari tubuh kedua adik kembar siammu yang saat itu dalam keadaan koma,”
“Lalu, apa urusannya dengan kedua adikku!?”
“Kakek buyutmu, Mbah Jayos, selaku putraku menemuiku di perbatasan void ini. Dia memintaku untuk menyembuhkan adik kembar siammu karena banyak keistimewaan yang ada dalam diri mereka, dan kakek buyutmu itu tak ingin melihat keistimewaan itu terbuang sia-sia begitu mereka mati.” Jawab Kyai Marwan yang mulai gamblang menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. “Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan untuk menyembuhkan luka santet kembang bulan itu dari tubuh mereka, namun kedua tombak suci, Nagasaka dan Nagalacakra menginginkan kedua adik kembar siammu itu untuk jadi mediumnya. Dan dengan berat hati, aku melakukannya. Dan karena itulah, kedua adik kembar siammu itu berhasil terselamatkan dari kondisi komanya,”
Aku menyelidik setiap ucapan Kyai Marwan, berharap kalau dia tidak akan berbohong padaku, sampai aku mencurigai satu hal dari kata-katanya.
Santet Kembang Bulan.
“Santet Kembang Bulan? Santet macam apa itu?” tanyaku tak mengerti. “Baru pertama kali aku mendengar ada santet macam itu,”
Kyai Marwan langsung tertawa mendengar pertanyaan konyolku. Pikirnya aku ini Cuma anak bau kencur yang harus lebih banyak belajar lagi.
“Santet yang digunakan oleh Nyi Imas, nak!” jawab kyai Marwan penuh tawa. “Sebuah santet yang menyerang seseorang dalam keadaan sakit atau tertidur pulas (deep sleep). Santet ini bisa membunuh lewat mimpi ataupun ilusi, cucuku. Ini santet yang teramat berbahaya!”
Aku menelan ludah untuk sesaat. “Jadi selama ini anda melindungi kami?”
“Tidak, cucuku! Tidak selamanya aku bisa melindungi kalian. Tetaplah berserah diri kepada Allah SWT. Dia adalah pelindung yang kekal abadi dan tak ada pelindung terbaik melainkan dari perlindungan-Nya. Pertemuanku denganmu untuk pertama kali ini juga berkat izin-Nya.”
Karena sudah merasa cukup, aku pun mohon pamit ke pendahuluku itu. Sebelum mengirimku ke duniaku, dia mengirim terlebih dahulu kedua adik kembar siamku. Setelah itu, dia menasehatiku dengan sepatah dua patah kata.
“Nak, Nimas Sekar Sari sudah bangkit!”
“Nimas Sekar Sari? Siapa dia?”
“Itu adalah nama asli dari Nyi Imas. Aku mohon padamu untuk mengatakan berita ini kepada seluruh keluargamu. Sekarang dunia dalam bahaya besar. Kau harus terus menjaga keseimbangan dunia ini!”
“Tapi, kyai. Aku hanya anak biasa yang ingin hidup damai dan bersekolah dengan tenang,” jawabku segera. Mencoba menolak apa yang diperintahkan oleh pendahuluku itu. “Aku tak ingin terlibat dalam dunia gaib dan ilmu spiritual itu lagi.”
“Kau harus! Atau sekte Immas akan memburumu dan membunuhmu, nak!” jawab kyai Marwan yang seolah sedang mengancamku. “Takkan ada kedamaian sampai kau mengembalikan keseimbangan itu, nak! Kebaikan dan kejahatan harus tetap seimbang, tidak boleh ada di antara salah satu yang lebih kuat.”
“Tapi, kyai─”
“Semoga kalian semua selalu mendapatkan perlindungan-Nya. Dan semoga kita bisa bertemu lagi, cucuku!”
Dalam sekejap, muncul cahaya putih yang menyilaukan, membuatku harus menutup mata erat-erat supaya tidak terkena radiasinya.
.
.
.
Setelah membuka mata, aku kembali ke ruang UKS, melihat Abah Nadjib dan yang lainnya tengah menatapku dengan tatapan sendu.
Aku yang masih dalam keadaan dongkol, tiba-tiba Pramesella muncul dan langsung memelukku erat.
“Dasar bodoh! Kau itu memang pria yang benar-benar bodoh!” ucapnya yang dibarengi tangis yang membasahi wajah indahnya. “Seharusnya kau tak sampai berbuat nekad seperti itu. Aku jadi merasa bersalah, ini semua salahmu!”
“Ya, aku tahu. Maafkan aku!” jawabku meminta maaf. “Aku hanya … hanya tak ingin ada seseorang lagi yang harus menghilang karenaku, jadi meskipun harus mengorbankan nyawa, pasti aku akan tetap melakukannya.”
Setelah itu, kulepaskan pelukan Pramesella dan segera berterima kasih kepada empat orang lainnya yang sudah membantuku menyelesaikan masalah ini.
Aku meminta ke siapapun yang terlibat dalam masalah ini untuk diam dan merahasiakan hal ini dari siapapun. Dan tanpa menolak sedikitpun, mereka pun setuju.
Sebelum kembali ke kelas, aku menanyakan pada Pramesella soal apa yang sebenarnya terjadi. Katanya dia dipanggil oleh Abah Nadjib untuk mengambil cincin peninggalan ibunya di gudang.
Ku tanya siapa yang menyuruhnya, namun yang bisa ia katakan hanyalah orang itu memakai baju kejawen warna hitam dan memakai blankon warna hitam pula.
“Ki Sugeng,” gumamku, mengumpat.
Pramesella jadi penasaran dengan apa yang ku katakan barusan. Mengenai siapa itu Ki Sugeng. Namun ku tak mau menjawabnya sekarang, dan kualihkan pembicaraan ke obrolan lain.
“Lalu, di mana cincin itu, Pramesella?”
“Oh ya, ini dia!” jawabnya sembari menyerahkan cincin emas indah itu padaku.
Aku yang sudah berpengalaman dengan hal-hal gaib, cukup mengerti dengan trik murahan ini. Dengan segera kubacakan sebuah doa pengusir jin pada cincin itu.
“Allahumma raja Sulaiman,” ucapku membaca doa. “Dengan izin Allah, kau, jin yang mewujudkan dirimu menjadi cincin ini, dan menipu daya manusia, wujudkanlah dirimu, dan niat busukmu, sebagaimana kau telah mengabdi kepada Raja Sulaiman. Kun fayakun!”
Tepat setelah aku selesai membaca doa, cincin yang awalnya berlapis dengan emas yang indah mengkilau, kini berubah menjadi sosok kalajengking. Membuat Pramesella dan yang lainnya terkejut bukan main.
Kulemparkan kalajengking merah itu ke tempat kosong, lalu kubacakan ayat Kursi dan ketiga surat, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas.
Seketika itu juga, kalajengking merah yang kami yakini sebagai sesosok demit itu pun terbakar habis dan menghilang.