Tak berselang lama, muncul suara gagak di mana-mana yang dibarengi oleh suara lengkingan kuda. Tepat setelahnya, kabut yang tadi dilewati oleh bus, seperti berubah jadi hidup dan langsung menerkam kami.
Kami semua tak tahu apa-apa setelahnya, namun ketika kabut itu lenyap, kami tiba disebuah tempat yang tak terduga. Yaitu di BPM angker yang dulunya ada tiga siswa Indratama menghilang di sini.
“Tempat ini, …” gumam bu Ike yang seperti kenal tempat ini.
Aku hanya terdiam mendapati bu Ike berucap sesuatu. Aku yakin kalau wali kelas satu itu tahu soal tempat ini. Tanpa ragu, aku kembali mencoba menenangkan para siswa-siswi yang terlihat ketakutan dan sudah merasa putus asa.
“Adek, adek, tenang ya! Jangan ada yang panik,” seruku dengan suara lantang. “Untuk sekarang, sebaiknya kita mendirikan tenda di sini. Biar aku yang berkeliling sebentar.”
Para siswi pun sedikit tenang mendengar ucapanku barusan, walaupun masih ada di antara mereka yang ketakutan dan menangis, sementara siswa laki-laki, semua mengumpatku dan melempariku dengan botol air minum.
Mereka menuduhku kalau dirikulah biang keladi dari semua ini, yang membawa demit-demit itu untuk menyesatkan mereka semua.
“Dasar anak indigo sialan! Ini semua pasti ulahmu, ‘kan? Kau pasti satu-satunya orang yang membawa para demit itu untuk menyesatkan kita!” umpat para siswa sembari memaki-maki aku di depan para siswi lainnya.
Bagos dan Syaiful hendak maju, mencoba melerai para siswa yang sudah tersulut amarahnya itu, menghajarnya kalau perlu. Namun, dengan cepat kuhentikan geraknya, sehingga mereka berdua juga terkena imbas dilempari botol-botol air minum.
Dasar adek kelas tak tahu diri!
Dari semua siswa yang ada di sana, hanya ada satu orang saja yang mau maju guna membela kami bertiga. Seorang siswi yang manis dan imut, yang tadi mengintrogasiku di dalam bus.
Dia bernama Amelia Putri.
“Amelia, minggir! Biarkan kami menghakimi ketiga senior yang tak bertanggung jawab itu!” ujar Alex, pacar dari Amelia. “Mereka harus disalahkan karena pastinya para demit-demit itu menyerang karena mengetahui mereka ada bersama kita,”
“Alex bodoh! Bukan mereka penyebab para demit itu menyerang. Namun ada di antara kalian yang membawa pusaka yang merupakan sebuah punjer untuk menarik kehadirannya di sini!” jawab Amelia lantang, Alex sedikit tak berkutik mendengar bentakan dari pacarnya itu. “Kak Umam, kak Bagos, dan kak Syaiful ada di sini untuk menjaga kita dari demit-demit itu, dan kuyakin mereka bertiga akan sanggup membawa kita semua pulang dengan selamat!”
Aku terenyuh mendengar ucapan Amelia barusan. Aku tak menyangka kalau gadis loli itu mampu bicara seyakin dan sehebat itu.
Tak lama setelah itu, mereka semua membubarkan diri.
Dengan segera, kami semua gotong royong mendirikan tenda-tenda yang akan kami gunakan sebagai tempat teduh di siang ini. Setelah selesai, aku minta ke bu Ike untuk berkeliling sebentar, menyusuri daerah sini.
Sebenarnya bu Ike melarangku, karena tempat itu begitu menyeramkan dan berbahaya. Namun aku bersikeras dan berkata kalau diriku akan baik-baik saja. Sementara itu, untuk kedua temanku, aku suruh mereka tetap di sini untuk jaga-jaga apabila ada sesuatu yang hendak mengganggu siswa-siswi kelas satu.
Tanpa menolak sedikitpun, mereka iya-iya saja. Pastinya mereka bakal ketakutan jikalau ku suruh mereka menemaniku berkeliling.
Sebelum aku meninggalkan perkemahan, tiba-tiba Amelia datang dan memintaku untuk membawanya berkeliling. Aku menolak, karena sedari tadi aku mendapat tatapan sinis dari pacarnya, namun karena bersikeras, akhirnya aku biarkan dia ikut. Lagian kami Cuma berkeliling di sekitar sini kok.
“Sebelum berangkat, dek Amel, bisakah nanti jangan tanya macam-macam, ya?” pintaku sembari berbisik di telinga kanannya. “Aku tahu caranya untuk mencari buhul sihir yang dijadikan punjer gaib itu. Jadi, aku mohon adek diam saja ya!”
Dia mengangguk pertanda mengerti.
Setelah sepakat, kami berdua pun pergi meninggalkan perkemahan. Dengan segera aku melangkahkan kakiku menuju utara, tepatnya ke telaga yang jaraknya lima puluh meter dari perkemahan.
Dalam perjalanan, Amelia sama sekali tak berkata apapun. Ternyata gadis itu memang benar-benar penurut, aku jadi tenang. Karena kebanyakan orang yang kuajak selalu mengobrol ke sana ke mari tak jelas, sehingga membuyarkan konsentrasiku pada hal yang penting.
Sesampainya di telaga, kusuruh Amelia untuk menutup kedua matanya, dan tanpa bertanya sekalipun, diapun menurutinya. Aku pun segera menekan ubun-ubunnya dan membacakan sebuah doa secara lirih, dan setelahnya, kusuruh Amelia untuk membuka kedua matanya lagi.
Aku membuka mata batinnya.
Dia langsung tercengang melihat makhluk tinggi besar warna hitam yang ada di tengah telaga menatap kami dengan perasaan terusik.
“Grr … apa maumu, manusia?”
“Aku? Aku hanya mau memastikan siapakah demit yang telah mengirim hantu tanpa kepala itu untuk menggiring kami ke BPM terbengkalai ini,” jawabku tenang. Mencoba bersikap cool di depan gadis cantik coy. “Ternyata kamu-lah yang mengirimnya ya,”
“Grr … kalau iya, kenapa? Kau mau bertarung denganku!?” sahutnya yang mulai terpancing emosinya. “Manusia macam kau pastinya dapat aku telan dengan mudah, anak kecil!”
“Aku tak ingin bertarung melawanmu, Gawur! Aku hanya memastikan siapa di balik semua ini.” Kataku yang mencoba untuk tidak mencari masalah karena aku tahu demit gedhe dhuwur (Gawur) itu mempunyai kekuatan yang cukup besar. “Jadi aku minta kau untuk tidak melakukan apapun untuk mengganggu kami di sini. Mengerti?”
“Hahaha … memang siapa kau, bocah? Berani-beraninya memerintah kepada salah satu penguasa di tempat ini,” Gawur tertawa sombong, meremehkan kekuatanku. “Asal kau tahu, aku sudah membunuh ratusan, tidak, ribuan manusia untuk menambah kekuatanku. Jadi, jangan macam-macam kau!”
Tiba-tiba aku merasakan sebuah aura hitam yang begitu besar, yang hampir mencekikku. Aura ini tak muncul dari Gawor maupun para demit lain yang ada di sana, namun dari suatu tempat yang jauh.
Aku tak mau mengatakan hal-hal lain yang bisa membuat demit itu semakin murka. Yang terpenting sekarang aku tahu kalau dia takkan mau mengganggu kami selama kami tak mengganggunya.
Kami berdua kembali ke perkemahan dengan perasaan gusar. Tanpa mengatakan yang sebenarnya, aku suruh Bu Ike untuk melarang semua siswa-siswi untuk mendekati telaga itu. Dan sepertinya bu Ike mengerti dan segera mengumpulkan kembali siswa-siswi dan melarangnya untuk pergi ke telaga.
“Mam, lo nggak kenapa-napa?” tanya Syaiful heran, melihatku terdiam yang seperti sedang ketakutan itu. “Sejak dari telaga itu, aku merasakan ada sesuatu yang aneh denganmu. Kau seperti ketakutan setengah mati,”
“Ya, bukan karena Gawor yang ada di telaga itu yang membuatku takut, namun ada seseorang yang entah di mana sedang mengawasi kita. Aku takut padanya,” jawabku yang sudah merasa ketakutan setengah mati itu. Bahkan, lidahku sudah tak mampu merasakan rasa apapun alias mati rasa. “Aku ingin kita segera kembali ke rumah, Nden!”
“Apakah dengan ajian-ajianmu yang hebat itu tak sanggup mengalahkannya?”
“Tidak, Nden! Aku takkan sanggup, bahkan untuk melihat wajahnya saja.”
Syaiful tak bicara lagi setelahnya. Dia terdiam sama sepertiku sampai matahari terbenam dari ufuk barat. (Sorop). Kami segera menyalakan api unggun di tengah-tengah perkemahan dan berkumpul di sana untuk menghangatkan diri.
Di sela-sela kesenggangan kami, banyak siswa-siswi kelas satu yang bercerita pengalaman horror mereka. Dari melihat kejadian tragis sampai pertemuan mereka dengan pocong, kuntilanak, genderuwo, dll. Mereka semua tampak asyik sendiri menceritakan kisahnya, walaupun pada akhirnya mereka merinding sendiri.
“Hayo, siapa lagi yang mau bercerita?” tanya bu Ike mencairkan suasana yang sempat menegang itu. “Ayo yang kelas dua, jangan sampai kalah dengan kelas satu dong!”
Tak lama kemudian, dari tempat siswi-siswi kelas satu, semua pada menunjukku untuk menceritakan kisah horrorku pada semua yang ada di sana.
“Itu, bu. Kakak kelas yang ganteng di sana!” tunjuk semua siswi padaku dengan ria. “Pastinya seorang ghost hunter asli bisa membawakan cerita horror yang epic,”
“Ayo, nak, silahkan …!” pinta bu Ike.
Aku maju menuju ke tengah perkemahan, berada di dekat api unggun. Kuceritakan sebuah kisah mengenai peperangan antara keluarga Marwan melawan sekte Immas. Peperangan gaib yang terjadi sudah lebih dari dua ratus tahun, dan sampai sekarang masih belum bertemu titik temu akan adanya perdamaian di antara mereka.
“Keluarga Marwan …, bukankah itu nama keluarga kakak?” tanya siswa-siswi keheranan. “Lalu, apa itu sekte Immas? Apa yang mereka lakukan sehingga keluarga kakak harus bertempur dengan mereka?”
“Pertanyaan bagus. Keluargaku, yaitu keluarga Marwan mempunyai tugas yaitu untuk menjaga segel Angus Poloso yang ada di sekolah Indratama, sedangkan sekte Immas mempunyai tugas berbahaya yaitu membebaskan Nyi Imas dari dalam Angus Poloso. Paham?”
“Oh, begitu toh ceritanya. Aku pernah mendengarnya, karena itu ada dalam pelajaran sejarah sekolah kita. Yang jadi pertanyaan sekarang ialah apa peperangan itu sudah berakhir?”
Aku tersenyum melihat kepolosan mereka.
“Kalau berakhir sih belum. Namun, kalau gencatan senjata sih, iya. Tapi itu harus ada syaratnya, syarat yang mengikat kedua belah keluarga supaya bersatu,” jawabku yang sudah mulai tak senang melanjutkan cerita. “Yaitu dengan jalan pernikahan. Pangeran keluarga Marwan harus menikah dengan putri keluarga Immas.”
“Lalu siapakah pangeran dan putri dari kedua keluarga itu, kak?”
“Maaf, aku tak bisa menjawabnya. Permisi!”
Sebelum menjawab keraguan mereka, aku pun langsung menutup cerita dan langsung kembali ke tempat dudukku tanpa mengatakan sepatah katapun. Membuat mereka semua pada penasaran setengah mati, namun aku tak perdulikan semua itu.
Aku tak berani menceritakan lanjutan kisah itu karena ada dua alasan. Pertama karena itu bagian dari kisah kelamku di masa lalu. Kedua karena ada seseorang dari kegelapan yang sedang mengawasiku. Setelah kuselidik, aku menyakini kalau dia berasal dari keluarga Immas, karena saat aku menceritakan mengenai keluarga itu, orang itu langsung mengeluarkan aura asli tubuhnya, yang penuh dengan kemarahan dan kemurkaan padaku.
Satu jam kemudian, setelah banyak siswa-siswi yang bercerita dan bersuka ria bersama, bu Ike memerintahkan kita semua untuk tidur, sementara aku, Bagos, dan Syaiful akan ikut berjaga bersama bu Ike.
“Makasih atas kerjasamanya ya, dek Umam, Bagos, dan Syaiful. Ibu sangat berterima kasih atas bantuannya selama ini,” bu Ike membuka pembicaraan sekaligus berterima kasih pada kami bertiga. “Berkat kalian, ibu bisa menenangkan hati para murid kelas satu.”
“Tidak usah, bu. Lagian kita belumlah selamat.” Kujawab omongan bu Ike dengan sarkas. “Ibu bisa simpan rasa terima kasih ibu nanti, setelah kita semua bisa keluar dari tempat angker ini.”
Ku ambil segelas kopi hangat yang ada di meja lipat dan kuseruput kopi itu untuk menghangatkan badan. Setelah itu kurogoh saku bajuku dan kuambil handphoneku untuk menemani malamku.
Waktu berjalan begitu cepat dengan ditemani oleh kesunyian malam. Tak terasa waktu jam sudah menunjukkan pukul tengah malam.
Kulihat bu Ike sudah terlihat mengantuk, jadi aku minta dia untuk segera tidur, karena esok hari adalah hari yang panjang dan kita harus segera mencari jalan supaya bisa keluar dari tempat ini.
“Bu, sebaiknya ibu tidur duluan. Biar aku, Bagos, dan Syaiful yang berjaga malam ini!” pintaku ke guru yang sudah terlihat mengantuk setengah mati itu. “Lagian esok hari ibu harus menjaga anak-anak kelas satu, sementara kami bertiga akan melakukan sesuatu supaya bisa keluar dari tempat ini.”
“Apa kau yakin, Mam?”
“Iya, bu. Lagian, kami ada bersamanya kok, jadi tenang saja!” sahut Bagos antusias.
“Ya udah, ibu tidur dulu ya,”
Bu Ike pun kembali ke tendanya dan segera tidur. Sementara kami bertiga terjaga ditemani kesunyian malam. Dan di saat itulah, aku mulai bicara serius dengan kedua temanku itu.
“Gos, Nden, apa kalian tak merasakan sebuah keganjilan di sini?” tanyaku serius. Aku melirik ke sana ke mari, mencoba menelisik suasana sekitar. Benar-benar sunyi sepi, bahkan suara binatang-binatang malam yang tadi terdengar, tiba-tiba lenyap. “Sepertinya malam ini akan terjadi sesuatu yang gawat, jadi persiapkan dirimu!”
Mereka berdua mengangguk. Sepertinya mereka berdua juga merasakan apa yang kurasakan, walaupun mereka baru kemaren lusa menjadi seorang indigo.
Tak lama kemudian, kami mendengar lengkingan kuda yang terdengar dari seluruh penjuru arah. Itu berarti …
Hantu-hantu tanpa kepala yang menaiki kuda itu telah mengepung kami. Yang kuheran adalah, kenapa mereka baru datang dan menyerang kami, padahal bisa saja mereka menyerang tadi siang.
Mereka semua yang berjumlah ratusan itu berjalan mendekat ke arah kami, tapi anehnya pagar yang sudah kupasang di setiap sisi tak mampu menahan mereka. Itu berarti …
Ada seorang penghianat di antara kami semua.
Seseorang yang menghilangkan dua dari pager gaib itu.
Sebelum semua tambah rumit, dari tenda perempuan, keluar dua siswi, Intan dan Siwi yang memberitahukan ke kami kalau Amelia telah menghilang.
“Apa! Amelia menghilang!?”