Tak lama kemudian, kami mendengar lengkingan kuda yang terdengar dari seluruh penjuru arah.
Itu berarti …
Hantu-hantu tanpa kepala yang menaiki kuda itu telah mengepung kami. Yang kuheran adalah, kenapa mereka baru datang dan menyerang kami, padahal bisa saja mereka menyerang tadi siang.
Mereka semua yang berjumlah ratusan itu berjalan mendekat ke arah kami, tapi anehnya pagar yang sudah kupasang di setiap sisi tak mampu menahan mereka. Itu berarti …
Ada seorang penghianat di antara kami semua.
Seseorang yang menghilangkan dua dari pager gaib itu.
Sebelum semua tambah rumit, dari tenda perempuan, keluar dua siswi, Intan dan Siwi yang memberitahukan ke kami kalau Amelia telah menghilang.
“Apa! Amelia menghilang!?”
“Iya, kak. Pada awalnya dia ikut tidur bersama kita, namun setelah itu dia minta untuk pergi buang air kecil sebentar dan sampai sekarang dia tak kembali,” jelas Intan yang merasa cemas.
“Bukankah aku sudah peringatkan pada kalian semua untuk tetap dalam tenda?!” bentakku mengumpat pada mereka berdua. “Ah, sudahlah! Sebaiknya kalian cepat kembali ke tenda kalian. Biar aku, kak Bagos, dan kak Syaiful yang mencari keberadaan Amelia!”
Mereka menunduk, sepertinya mereka merasa bersalah tidak bisa menghentikan Amelia untuk keluar dari tendanya. Aku pun memaklumi kondisi mereka saat itu, karena siapa juga yang berani melarang sahabatnya sendiri saat ingin buang air? Nggak ada kan.
“Oke, kalian boleh kembali. Namun untuk sekarang, kalian coba bantu kakak di sini untuk menanamkan dua buah kain yang sudah taruh garam kresek dan sudah kudoain ini ke dua tempat yang berbeda. Kalian berani?” pintaku kepada dua gadis polos itu.
“Taruh di mana, kak?” tanya balik Siwi.
“Di barat dan di timur sana!” jawabku sembari menunjuk ke arah yang kusebutkan tadi.
Tanpa menolak karena memang penurut atau karena tidak tahu apa-apa, mereka pun setuju saja dan bergegas ke tempat yang kutunjukkan tadi. Aku yakin kalau mereka berdua akan baik-baik saja karena ketidaktahuan mereka.
Terkadang ketidaktahuan kalian mengenai sesuatu adalah sebuah berkah.
Setelah itu, aku kembali ke tempat Bagos dan Syaiful yang lagi berjuang mati-matian untuk menahan hantu tanpa kepala itu supaya tidak semakin mendekat ke perkemahan.
…
Sementara itu, di suatu tempat yang cukup dekat dengan perkemahan itu. Ada seorang yang memakai jubah hitam yang sampai menutupi kaki dan mukanya. Dia sedang terduduk ria di atas ranting pohon sembari memainkan kakinya.
Ya, dia adalah Dark Mistress yang ditemui oleh Vita dan Eren kala itu.
“Hihihi … sepertinya keadaan sudah semakin menarik nih!” ucap Dark Mistress. Dari suaranya terdengar kalau dia berusia kira-kira sama dengan Umam, yaitu tujuh belas tahun. “Para hantu bodoh itu ternyata mampu menjalankan tugasnya dengan gemilang!”
Di sebelahnya, ada sosok demit yang berbentuk asap warna hitam dan transparan.
“Apa anda cukup senang begini, Dark Mistress? Padahal anda mendapat tugas dari pemimpin keluarga Immas untuk membunuh keturunan Kyai Marwan itu.” Kata demit Wartasuro, demit hutan pembunuh sukma. “Dia suatu hari nanti akan jadi ancaman terbesar buat kita semua, Mistress,”
Dark Mistress menatap garang kepada Wartasuro. Sepertinya ia kurang setuju mengenai perkataannya barusan.
“Kau meragukanku, Wartasuro? Apa kau tahu kalau pria itu adalah idaman dari jiwa gadis yang menjadi wadahku ini, he?” bentak Dark Mistress yang tak suka kalau Wartasuro itu meragukannya. “Kalau aku membunuhnya sekarang, maka kendaliku atas jiwa ini akan hilang dan aku tak bisa mendapatkan tubuh asliku yang dikurung kyai sialan itu!”
“Kalau begitu, bolehkah saya ke sana untuk ikut bersenang-senang pula, Mistress?” pinta Wartasuro sembari meletakkan salah satu lututnya di lantai.
“Tidak perlu! Demit macam kau pastinya akan membuat semuanya jadi kurang menarik karena mereka bisa dengan mudahnya kau bunuh, Wartasuro!”
Balik lagi ke tempat aku saat ini yang lagi harus menghalau serangan hantu-hantu tanpa kepala itu.
Aku dan kedua temanku duduk bersimpuh, melantunkan doa-doa sembari menyatukan kekuatan, berharap kalau Intan dan Siwi segara menyelesaikan tugas mereka, sehingga kondisi bisa kembali kondusif dan kami bisa mencari keberadaan Amelia yang menghilang.
“Allahumma raja Sulaiman,” ucapku membaca doa. Ajian Reksadara dan Palasada tidak bisa digunakan di sini karena ajian itu hanya keluar saat kita berada di alam mereka. Jadi saat itu kami hanya berharap pada pertolongan Allah SWT di setiap kalam-kalam-Nya, dan berharap kalau Intan dan Siwi cepat berhasil. “Aku berlindung kepada naungan asma Allah, Tuhan yang Maha Agung. Yang menjaga kami dari kesesatan dan kegelapan, melindungi kami dari sihir dan dari makhluk-makhluknya yang sombong, dan dari kedengkian juga kenistaan. Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah!”
Setelah itu, kami melihat ratusan hantu tanpa kepala itu terbakar dan menjerit kesakitan, yang bahkan membuat bulu kuduk kami berdiri. Untunglah, hanya orang-orang yang diberi keistimewaan-lah yang sanggup mendengarnya.
“Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin!”
Saat kami selesai membasmi para hantu tanpa kepala itu, Intan dan Siwi akhirnya kembali dan melaporkan kalau tugas mereka telah selesai. Di saat itulah aku tahu keberadaan Amelia saat ini.
Tanpa menunda-nunda lagi, aku segera menuju ke tempat keberadaan Amelia saat ini. Entah kenapa kedua sahabatku dan juga sahabat Amelia, Intan dan Siwi justru malah mengikuti kami, walaupun resikonya akan semakin besar dengan adanya mereka mengekor kami.
“Kak, ada apa?” tanya Intan dan Siwi.
“Aku tahu keberadaan Amelia saat ini. Sial! Harusnya aku menyadari hal ini dari awal,” jawabku sedikit mengumpat. “Demit Gawur itu sedari awal menginginkan Amelia untuk jadi korban selanjutnya. Sejak bertemu kami, pandangan matanya selalu tertuju pada Amelia. Ya Allah, semoga Amelia tetap berada dalam lindungan-Mu!”
Kedua temanku, dan kedua teman Amelia shok begitu aku mengatakannya. Mereka langsung lemes seketika. Kusuruh mereka untuk kembali ke perkemahan, namun mereka tetap bersikeras untuk ikut, jadi aku tak ingin memaksanya lagi.
Sesampainya di telaga angker, kami melihat Amelia sedang terbaring di atas altar persembahan yang letaknya bersebelahan dengan tugu pemujaan. Di sana juga kami melihat empat sosok Gawur yang pastinya mereka adalah penguasa BPM sini. Dan …
Ada seseorang di sana …
Seorang manusia yang sedang melakukan ritual …
Roni.
“Roni! Ternyata penghianatnya selama ini adalah kamu? Nggak nyangka!” seru Intan dan Siwi. Menatap geram kepada sahabatnya itu. “Apa yang kau lakukan pada Amelia!?”
Roni pun tertawa kejam. “Aku? Aku hanya ingin menumbalkan Amelia supaya aku bisa bertemu lagi dengan kakakku.”
“Biadab! Kami takkan memaafkanmu, Roni! Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu ini di hadapan hukum.” Siwi melangkah dua langkah ke depan sembari mengumpat Roni. “Kami ini temanmu, Roni! Aku tak menyangka kalau kau sekejam ini!?”
Toni langsung tertawa histeris mendengar ucapan mereka berdua. “Kejam? Aku atau adik dari perempuan yang menolak cinta kakakku empat tahun lalu, he?”
Saat mereka bertengkar, kulihat Gawor mencoba mencengkeram tubuh Amelia yang terbaring tak sadarkan diri itu. Dengan segera kuambil tanah yang ada di sana dan kubacakan doa pengusir jin dan langsung kulempar ke arah mereka berempat.
Demit Gawur langsung menjerit sekeras-kerasnya mendapati tanah yang sudah kubacakan doa itu mengenai tepat ke matanya.
“Grr … panas. Panas …!”
“Jangan sentuh Amelia, makhluk laknat! Demi keagungan asma-asma-Nya dan ketinggian Arsy’-Nya, akan ku kirim kalian berempat ke tempat yang seharusnya. Di sana aku akan menghancurkan kalian!”
“Apa kau pikir kami akan takut padamu, anak manusia? Kalau itu yang kau mau, ayo! Akan kutunggu kau di dunia gaib sana.” Jawab salah satu Gawor itu. Mereka pun pergi setelah itu.
“Bagos, Menden. Kalian berdua tetap di sini dan jagalah mereka, biar aku yang menghadapi demit-demit Gawor itu.” Ujarku kala itu yang sudah dipenuhi oleh amarah. “Kau bawa janur kuningnya kan?”
Bagos pun langsung menyerahkan sehelai janur kuning yang kuminta. Sebenarnya aku suruh Bagos untuk menyiapkan janur kuning itu dari rumah, karena aku berasumsi kalau janur itu akan berguna, dan ternyata terbukti.
Tanpa menunda-nunda lagi, aku pun segera bergegas merapalkan ajian merogo sukmo dan meninggalkan urusan Roni dan Amelia pada mereka berempat.
“Oh, demit-demit penghuni telaga angker ini dan hutan ini. Berkumpulah dan santaplah kelima jiwa-jiwa yang ada di depanku. Atas nama kitab Septo Tapo, aku perintahkan kalian untuk datang. Datanglah, datanglah padaku!” seru Roni yang sepertinya sudah benar-benar gila itu.
Dari segala penjuru arah, tiba-tiba terdengar suara tawa makhluk-makhluk yang tak bisa dijelaskan apa-apa saja yang menyanggupi panggilan kematian yang keluar dari kitab Septo Tapo itu.
Kuntilanak merah, pocong hitam, banaspati, dll.