“Oh, demit-demit penghuni telaga angker ini dan hutan ini. Berkumpulah dan santaplah kelima jiwa-jiwa yang ada di depanku. Atas nama kitab Septo Tapo, aku perintahkan kalian untuk datang. Datanglah, datanglah padaku!” seru Roni yang sepertinya sudah benar-benar gila itu.
Dari segala penjuru arah, tiba-tiba terdengar suara tawa makhluk-makhluk yang tak bisa dijelaskan apa-apa saja yang menyanggupi panggilan kematian yang keluar dari kitab Septo Tapo itu.
Kuntilanak merah, pocong hitam, banaspati, dll.
“Astaga! Makhluk-makhluk macam apa itu!?” kata semua orang yang ada di sana terkejut, ketakutan, terkecuali Roni yang merupakan si pemanggil.
“Hahaha … kalian pasti ketakutan, bukan? Inilah kekuatan yang kudapat dari kitab Septo Tapo ini. Dengan buku ini, aku bisa mewujudkan apapun yang kuharapkan. Sungguh luar biasa,” kata Roni tertawa menggila sembari menunjukkan kitab itu ke hadapan mantan teman-temannya. “Jikalau kalian ingin selamat, maka yang perlu kalian lakukan hanyalah bersujud di depanku. Maka, mungkin aku akan mengampuni kalian!”
“Astagfirullah, Roni. Sadar Ron, sadar!” tegur Intan.
“Hai anak manusia, di mana tumbal yang telah kau janjikan itu? Kitab Septo Tapo itu memerlukan banyak tumbal untuk memanggil iblis-iblis yang ada di dalamnya. Kalau kau tidak menyediakannya, maka nyawamu, orangtuamu, teman-temanmu, saudara-saudaramu, anak cucumu, dan tetangga-tetanggamu itu yang bakal jadi tumbalnya!” kata Banaspati itu mengancam. “Sekarang katakanlah, tumbal apa yang kau sediakan buat kami?”
Tanpa ragu sedikitpun, Roni langsung menunjuk ke arah Amelia yang terbaring di atas altar dan kedua temannya yang lain yang saat ini berada di samping Bagos dan Syaiful.
Banaspati, Pocong Hitam, dan Kuntilanak Merah yang dipanggil dari kitab Septo Tapo itu langsung melesat ke arah Bagos dan yang lainnya. Mereka hanya pasrah menerima nasib. Mereka tahu kalau tidak ada yang sanggup mereka lakukan untuk keluar dari musibah ini.
Namun, sebelum cakar dan taring dari demit kelas atas itu menyentuh mereka berempat, dari barat dan timur melesat dua pusaka. Pedang Damaskus dan Pedang Pencabik Sukmo. Membuat demit-demit itu langsung menghindar.
“Grr … ada pengganggu!” kata Banaspati geram.
“Hihihi … sepertinya si pengganggu ini punya ilmu yang cukup tinggi, sampai mampu membuatmu menghindar seperti itu, Banaspati?” tanya Kuntilanak Merah mengejek.
“Wah, wah, ternyata ada Banaspati, Kuntilanak Merah, dan Pocong hitam rupanya? Benar-benar sebuah kebetulan,” ujar suara itu dari tempat yang tidak diketahui. “Apa yang sebenarnya kalian bertiga lakukan di tempat seperti ini, hm?”
“Keparat! Siapa kau? Keluar!”
“Tidak perlu terburu-buru, Banaspati! Sebelumnya, terimalah sedikit hadiahku ini!”
Tiba-tiba dari depan Banaspati, Kuntilanak Merah, dan Pocong Hitam muncul sebuah tasbih, yang dikenal sebagai Tasbih Walisongo. Dengannya, tasbih itu mampu mengirim mereka bertiga menuju dunia gaib.
Dan di sanalah ketiganya bertemu dengan pemilik suara misterius itu.
Mbah Joyos, Pak Khoirul, dan Mas Nanang.
“Oh, ternyata yang mengirim kami kemari adalah Jayos, putra bungsu dari Kyai Marwan rupanya? Tak kusangka kita akan bertemu lagi setelah enam puluh tahun lalu, Jayos!” ujar Banaspati yang terlihat sumringah melihat musuh bebuyutannya muncul di hadapannya.
“Dunia dan waktu memang kecil ya, Banaspati? Sampai kita bisa bertemu jikalau kita menghendaki,” gumam Mbah Jayos yang sedikit teringat peristiwa masa lalu.
“Hihihi … Banaspati, apa sebaiknya kita habisi mereka sekarang?” tanya Kuntilanak Merah cekikikan. “Sepertinya mereka semua lemah,”
“Jangan kau bodoh, Kumer! Mereka adalah kuturunan dari Kyai Marwan yang pernah membunuh kita. Apa kau tidak ingat? Para bawahan kuntilanakmu di sayat habis saat perang gaib itu, he?”
Sebelum mereka bertempur, mari kita menuju ke suatu tempat yang tidak jauh dari tempat pertempuran mereka.
“Gawor, aku tak ingin melawanmu, tapi kau telah melukai dan menjadikan adik kelasku sebagai tumbal. Aku takkan terima dengan hal itu!”
“Terima? Kami para jin tak perlu alasan dalam menyesatkan manusia, bocah! Karena itu semua sudah menjadi naluri kami,” jawab Gawor itu. “Kalian para manusia seharusnya tak pantas menjadi khalifah di dunia ini. Kalian adalah makhluk yang jauh lebih lemah dari kami!”
“Memang benar! Manusia adalah makhluk yang lemah, dan jikalau tidak ada perlindungan dari Allah SWT, kami akan selamanya jadi yang terlemah dan bukan tandingan dari bangsamu, demit!” jawabku sembari menjelaskan dengan rinci kemuliaan manusia di mata Tuhannya. “Namun, manusia jauh lebih sempurna dari kalian karena diberi jasad kasar dan dibekali tugas sebagai khalifah di dunia ini. Selain itu, kami selalu dilindungi oleh kalam-kalam-Nya yang agung, sehingga jin kafir macam kalian tak bisa menang melawan kami!”
“Ahh, banyak omong kau manusia. Telingaku rasanya mau pecah setelah mendengar omong kosongmu itu!”
Tak terduga, ketika aku dan salah satu Gawur itu bicara, ketiga temannya sudah bergerak menyerangku dari ketiga sisi. Membuatku terkejut dan tak bisa menghindar kala itu. Seluruh tubuhku terkena tapakan tangannya yang begitu kuat dan keras, membuatku terjatuh seketika.
Tak berhenti sampai di situ, mereka langsung menginjak-injak tubuhku yang kecil dengan kaki-kaki mereka yang besar, serasa ingin mati saja aku kala itu. Setelah itu, tubuhku pun diangkat tinggi-tinggi dan langsung dilempar ke arah timur jauh.
…
Yuk sekarang kembali ke tempat Mbah Jayos.
Pertarungan di antara mereka masih saja belum dimulai, walaupun tensi di sana sudah meningkat drastis. Mbah Jayos, Pak Khoirul, dan Mas Nanang menduga ada yang direncanakan oleh Banaspati, sehingga ia belum menyerang kala itu.
“Ada apa, Jayos. Kenapa kau belum menyerangku?” tanya Banaspati itu kekeh. Padahal dia tahu kalau dirinya-lah yang belum melakukan apapun. “Apa ada yang sedang kau rencanakan?”
“Hihihi … mungkin kau takut, pak tua? Kalau takut, menyerahlah saja dan jadi budak kami!” pancing Kuntilanak Merah itu terkikih.
Mendengar ucapan itu, Pak Khoirul dan Mas Nanang geram.
“Lancang sekali kau demit! Kami manusia yang masih ingat akan kebesaran Tuhan kami. Jadi jangan harap kami akan tunduk padamu sebagai abdimu!” ujar Pak Khoirul lantang dan mengancam.
“Aku belum menyerang kalian karena aku belum tahu motif kalian, Banaspati,” kata Mbah Jayos seraya tersenyum. “Kalau aku sudah tahu rencana kalian, mungkin saat ini kalian bertiga sudah hangus ditanganku!”
“Banyak bacot kau, orang tua!!” jawab Kumer yang tak terima dengan hinaan kakek tua itu. Dia pun langsung melesat menyerang kakek tua itu, walaupun Mbah Jayos tahu kalau Kumer itu bukan apa-apa buatnya.
Mbah Jayos pun langsung menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, merespon serangan dari Kumer tersebut. Dengan segera, dari lubang tanah, muncul sebuah tongkat kayu berukuran satu meter yang mirip seperti tongkat yang digunakan oleh orang-orang tua.
“Tongkat Cokropati!” gumam Mbah Jayos menyeringai penuh senyum, antusias melihat Kumer berhasil termakan jebakannya. “Ajian Ronggolawe!”
“Hah? Ajian macam apa itu?” Kumer heran dan bingung.
“Gawat! Cepat kembali kau, kuntilanak!” teriak Banaspati dari kejauhan. “Ajian itu mampu melenyapkanmu, bodoh!”
Mbah Jayos menghentak-hentakkan tongkat itu ke tanah sebanyak dua sampai tiga kali, melakukan sebuah tarian silat yang semuanya bertumpu pada tongkat itu dan kemudian mengarahkan ujung tongkat itu ke arah Kumer yang sedang menuju ke hadapannya.
Brakk …!!
Tongkat itu langsung melenyapkan si Kumer itu tanpa sisa. Betapa terkejutnya Banaspati dan Pocong Hitam itu saat melihat tongkat itu menari bagaikan pasangan dalam pesta tari, mengayun-ayun indah yang mampu melenyapkan seluruh eksistensi demit dengan mudahnya, padahal dia yakin kalau Mbah Jayos masih belum mengeluarkan ajian apapun.
“Huh! Benar-benar Kuntilanak yang tak mau berpikir rasional!” keluh Mbah Jayos. “Tapi syukurlah dengan itu, aku bisa mengurangi jumlah di antara mereka!”
Pak Khoirul dan Mas Nanang hanya terdiam, terpaku. Tak menyangka kalau Mbah Jayos mempunyai kekuatan besar seperti itu. Tanpa ajian apapun, dia mampu mengalahkan kuntilanak merah itu Cuma dengan tongkat.
Sekarang pertarungan akan jadi semakin menarik, melihat yang tersisa di antara mereka hanya dua demit saja. Mbah Jayos pun segera menghilangkan tatapan tenang dan santainya. Kini dia sudah siap untuk bertarung melawan demit-demit itu.
“Khoirul, Nanang, kalian yang akan melawan Pocong Hitam itu. Biar aku sendiri yang melawan Banaspati itu!” kata Mbah Jayos yang langsung berubah menjadi serius dan tegas. “Jangan remehkan pocong hitam itu sama seperti kalian bertarung dengan demit-demit kelas menengah. Dia jauh lebih kuat dari yang kalian bayangkan, apalagi dia keluar dari kitab iblis, Septo Tapo.”
“Baik, mbah. Kami mengerti!”
Dan terjadilah pertarungan dahsyat antara mereka. Jikalau saja mereka bertarung di dunia nyata, pastinya apapun yang ada disekitarnya bakal luluh-lantak terkena aura dan serangan-serangan mereka.
Pertarungan hebat masih terus berlanjut, dan tidak ada di antara mereka semua yang ingin mengalah kali ini, karena mereka semua sudah pasti tahu kalau mengalah, pasti mereka bakal mati. Oleh karena itu, mereka bertempur dengan sekuat tenaga mereka.
Banaspati menyerang dengan ajian Apiarang yang langsung membakar sekelilingnya, dan api itu langsung mengepung ketiga orang itu, sementara Mbah Jayos hanya menari-nari dengan tongkat Cokropatinya sembari berusaha memadamkan api Banaspati itu dengan ajian Alirurip.
Sementara itu, di pihak Pak Khoirul dan Mas Nanang, mereka sama-sama mengeluarkan pusaka mereka. Keris Panca Kusuma dan Pedang Damaskus. Sementara Pocong Hitam itu mengeluarkan lalat-lalat pemakan mayat bewarna hitam yang langsung menyerang kepada dua orang itu.
Pertarungan mereka bertiga semakin sulit, karena lalat-lalat pemakan mayat itu jumlahnya ribuan dan jikalau terkena gigitannya bakal menimbulkan luka penuh nanah yang teramat sakit dan menjijikan. Lalat itu tidak hanya menyerang Pak Khoirul dan Mas Nanang, namun menyebar sampai menyerang Banaspati dan Mbah Jayos.
Mereka semua kewalahan dalam menghadapi serangan pocong hitam itu.
Sampai …
Sebuah hempasan mirip meteor jatuh dari arah barat meluncur di tengah-tengah mereka semua. Hempasan itu jatuh di tengah-tengah mereka yang sedang melakukan pertarungan hebat. Di sanalah mereka mendapati kalau meteor jatuh itu membawa seseorang yang terluka parah dan tak sadarkan diri.
Umam.
“Mbah, dia Umam, mbah. Cicitmu!” kata Mas Nanang khawatir. Dia pun langsung meletakkan tubuhku yang masih tak sadarkan diri itu ke samping Pak Khoirul. “Ada perihal apa sehingga Umam datang ke sini?”
“Astagfirullah, nak! Ada apa ini?” tanya Pak Khoirul yang juga khawatir.
“Sial! Khoirul, cepat sembuhkan dia dengan ajian Sukmo Mari-mu. Sebentar lagi pertarungan ini akan semakin besar dan sengit.” Suruh Mbah Jayos yang lagi mengawasi pergerakan dari Banaspati itu.
Tak berselang lama kemudian, dari langit menghempas empat sosok makhluk tinggi duwur besar yang sempat kuhadapi tadi.
Ya, empat Gawur itu ternyata masih mengejarku dan ingin memastikan kematianku.
“Apa-apaan ini? demit dua saja masih belum selesai, eh, malah muncul demit lain.” gerutu Mbah Jayos menatap keempat Gawur itu dengan kesal. “Empat demit lagi.”
“Hm … ternyata di sini ada pertarungan yang begitu seru juga. Banaspati, izinkan kami untuk ikut dalam pertarungan ini!” pinta salah satu Gawur yang terlihat begitu antusias melihat ada tiga lagi keturunan Kyai Marwan di sana.
“Terserah kau saja, Gawur! Tapi mereka bukanlah musuh yang bisa kau anggap remeh!” jawab Banaspati sumringah, senang ada bala bantuan yang mau membantu mereka mengatasi tiga keturunan Kyai Marwan.
Sementara itu, ayo kita kembali ke tempat di mana Intan, Siwi, Bagos, dan Syaiful lagi berhadapan dengan Roni.
Di sana, Intan, dkk masih mencoba untuk menyadarkan Roni dari tingkah gilanya dan berusaha mengambil tubuh Amelia yang masih tak sadarkan diri itu.
“Roni, hentikan semua ini!” pinta semuanya kala itu.
“Aku sudah sampai sejauh ini dan tujuanku sudah begitu dekat. Aku tak mungkin mau mundur lagi. Ini adalah satu-satunya jalan buatku supaya diriku bisa bertemu dengan kakakku,” jawab Roni yang sedikit kalem itu.
“Dasar bocah tolol! Kakakmu itu sudah tiada, dan tidak ada keajaiban maupun sihir apapun yang mampu membawanya kembali ke dunia ini.” Bentak Syaiful keras. Dia sudah merasa gatal ingin menghajar berandal itu, namun dia kuminta untuk menjaga jasad kasar juga kedua adik kelasku, jadi mereka menurut saja.
“Bohong! Aku mampu mewujudkan apapun dengan memiliki kitab ini. Iblis-lah satu-satunya cara untuk bisa menghidupkan kakakku!”
Mereka berempat sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menyelamatkan Roni dari jurang kehancuran. Bersekutu dengan para iblis, syaitan, maupun jin akan selalu membawa kepada kehancuran, dan Allah SWT enggan diduakan dengan makhluk-makhluk rendahan macam mereka dan itu merupakan perbuatan syirik.
Di tempat lain …
“Ah, jadi membosankan. Keempat demit Gawur itu malah pergi ke dunia gaib, jadi aku tak bisa melihat pertarungan seru antara mereka.” Ujar Dark Mistress mengeluh.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan di sini, Mistress? Kalau diperkenankan, bolehkah saya membantai anak-anak manusia lemah itu?” tanya Wartasuro memohon.
“Hm … terserah kau saja, lagian aku juga sudah bosan terus-terusan di tempat becek dan kotor seperti ini. Tapi Wartasuro, aku hanya mengizinkanmu untuk membunuh satu orang saja.” Jawab Dark Mistress sembari tersenyum licik.
“Siapa? Siapa yang boleh aku bunuh?”
“Sebenarnya aku ingin kau membunuh ketiga gadis-gadis itu dan kau ambil hatinya buatku, namun, dalam hati mereka sudah tercemar akan rasa keduniawian dan cinta,” kata Dark Mistress lagi. “Jikalau aku mengganti hati wadahku ini dengan hati mereka, maka itu akan jadi percuma. Kau harus mencari hati yang masih suci dan belum pernah ketemu maupun ditemui oleh keturunan Kyai Marwan itu untuk mengganti hati wadah baruku yang terlanjut kotor karena cintanya pada pemuda keturunan Kyai tua itu.” Tambahnya.
“Lalu, siapa yang boleh kubunuh?”
“Bunuh saja pemuda bernama Roni itu dan ambil kitab Septo Tapo ‘Sin of Madness’ itu dan bawa kitab itu padaku!”
“Baik, dengan senang hati akan saya lakukan.”