Keesokan harinya, kami bangun pagi-pagi dan menggelar tikar. Pak Bus akan mengimami kita sholat Subuh hari itu. Setelah selesai, kami segera membereskan barang-barang bawaan kami, karena nanti jam setengah tujuh, kami harus segera meninggalkan tempat menyeramkan ini, dan persiapan besok untuk mulai mengikuti pelajaran kembali.
Di saat itu, aku mencari-cari keberadaan kak Vita dan juga Nana, berharap mereka berdua mau membawakan sebagian barang-barangku, namun setelah kucari di tenda mereka, tidak ada siapapun di sana, melainkan secarik surat yang diletakkan di atas rerumputan.Di saat itu, aku mencari-cari keberadaan kak Vita dan juga Nana, berharap mereka berdua mau membawakan sebagian barang-barangku, namun setelah kucari di tenda mereka, tidak ada siapapun di sana, melainkan secarik surat yang diletakkan di atas rerumputan.
Dear Umam, maaf kakak tidak bisa ikut pulang bersamamu, karena kakak lagi ada urusan dengan kak Eren. Oh ya, maaf atas sebelumnya yang telah menamparmu, kakak tak bermaksud melakukan hal itu, namun aku hanya berusaha menunjukkan hal terbaik yang bisa kau lakukan, dan aku tak menyerah untuk menyemangatimu terus!
Soal tenda, dan barang-barang kakak, hm, bisakah kau bawa pulang juga? Kakak tadi tak sempat membereskannya, jadi please! Kita akan bertemu lagi di ajang Test of Faith, dan jangan sampai kau kecewakan kakak.
Aku langsung meremas-remas surat itu sampai jadi bola kertas dan langsung kubuang ke tempat sampah yang tersedia. Aku tahu kalau di tempat begini, pamali untuk membuang sesuatu (sampah) ke tempat sembarangan, ya hitung-hitung sebuah pembelajaran supaya tak berperilaku dzolim.
Tak mau berlama-lama, aku bergegas merapihkan tenda yang dipakai kak Vita kemaren. Duh, dasar kakak aneh, pikirku. Samar-samar aku melihat sesosok bayangan putih dari kejauhan. Sosok samar-samar itu kemudian menampakkan dirinya sebagai Roni. Wajahnya menunjukkan rasa penyesalan dan keputusasaan. Dan tak lama kemudian, sosok itupun menghilang di dalam gelapnya malam.
“Semoga Allah mengampunimu, Roni! Kami semua di sini sudah memaafkan segala dosa-dosamu,” gumamku lirih.
Beberapa jam kemudian, akhirnya fajar pun muncul dari ufuk timur. Dia membawa kehangatan dan harapan akan hari ini jauh lebih baik dari hari kemaren. Setelah semua beres, kami semua segera masuk ke dalam bus kami masing-masing dan bergegas meninggalkan BPM angker yang telah merenggut salah seorang di antara kami.
Dalam perjalanan, aku, Bagos, dan Syaiful saling mengobrol perihal pengalaman-pengalaman apa saja yang terjadi di BPM angker tadi. Seolah-olah pengalaman itu layak untuk diperbincangkan dan dimasukkan ke dalam memori kenangan, atau malah dituliskan gitu.
“Heh, Mam, apa kau tahu kalau kemaren lusa kami ada yang menolong?” Bagos memulai obrolan sembari menepuk pundakku.
“Lo serius?”
“Iya, dia lah yang telah mengusir Pocong Hitam, Banaspati, dan Kuntilanak Merah itu, sehingga kita semua berhasil selamat malam itu!” jawab Syaiful menjelaskan.
“Lalu, kok kalian bisa selamat dari Roni?” tanyaku yang mulai penasaran mendengar cerita mereka berdua.
“Nggak tahu, Mam. Tapi kemaren lusa ada sesosok demit yang berwujud asap transparan berwarna hitam yang tiba-tiba masuk ke tubuh Roni. Tak berselang lama, Roni pun langsung memuntahkan organ-organ tubuhnya gitu!” jawab Bagos. “Dan yang anehnya, organ-organ Roni terasa terbakar, bahkan kami mampu merasakan panasnya dari jarak lima meter. Lalu …”
“Lalu apa, Gos?”
“Dah lah, Mam. Aku ngeri nyeritain kejadian selanjutnya,” sahut Bagos yang terlihat bulu kuduknya sudah mulai berdiri semua.
“Demit itu menitipkan pesan padamu, Mam. Katanya Dark Mistress akan segera datang menemui keluargamu!” jawab Syaiful.
Aku pun terdiam mendengar ucapan mereka. Sepertinya kejadian beberapa hari lalu sudah dirancang oleh seseorang, namun yang tidak kutahu ialah siapa dalang di balik semua ini.
Aku terdiam cukup lama, mencoba memikirkan apa yang dimaksud dari perkataan demit kalau sebentar lagi Dark Mistress akan mendatangi keluargaku?
Ternyata rasa diamku, menimbulkan kecurigaan dan rasa penasaran mereka berdua. Tanpa ragu sedikitpun, mereka mencoba menanyakan perihal hal ini kepadaku.
“Mam, kelihatannya kau tahu sesuatu mengenai ucapan dari demit itu? Kalau mau, kau bisa berbagi cerita pada kami. Iyakan, Gos?” tanya Syaiful sembari mengarahkan tatapan matanya ke arah Bagos di sampingnya.
“Iya, walaupun kami tak bisa membantu banyak. Kalau kau punya masalah, kita siap untuk bantu kamu kok!” tambah Bagos.
“Ah, iya. Demit yang kalian temui kemaren lusa adalah Wartasuro. Dia adalah demit yang pernah bertarung dengan Mbah Buyutku, Mbah Jayos saat dia masih muda. Katanya sih, Wartasuro adalah demit yang paling kuat yang pernah dilawan oleh Mbah buyutku itu!” jawabku menerangkan. Aku kembali diam untuk sesaat. “Sedangkan Dark Mistress … aku tak tahu persis, namun katanya dia adalah keturunan keluarga Immas yang berhianat gitu,”
Mereka terdiam untuk sesaat, mengetahui kalau diriku masih menyembunyikan sesuatu dari mereka. Namun, syukurlah mereka mau menghargai rahasiaku sehingga mereka tak bertanya lagi.
Sesampainya di sekolah, kami putuskan untuk segera pulang. Namun, tidak untukku. Karena waktu itu aku dipanggil oleh Abah Nadjib dan para anggota OSIS lainnya.
Mereka terlihat ingin mengintrogasiku.
“Mam, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Abah Nadjib membuka pembicaraan kala itu.
“Hm … bukankah Abah sudah diberitahu oleh bu Ike tadi?” jawabku yang balik bertanya. “Teman-temanku sudah menceritakan segalanya yang terjadi di BPM itu kepada bu Ike, Abah,” tambahku.
Abah menggeleng. “Nggak, nak! Bu Ike tak cerita apa-apa mengenai peristiwa yang terjadi di BPM itu. Sepertinya dia enggan untuk membuka kembali peristiwa yang meyayat hatinya itu!”
“Lalu, apa yang terjadi pada Amelia?” tanya Aan yang langsung nimbrung dalam percakapan kami berdua.
“Ceritanya panjang, An! Tapi yang bisa kukatakan hanya ini. Amelia kemaren lusa dijadikan tumbal oleh Roni, teman Alex. Dan sepertinya, Roni mempunyai buku terlarang, Kitab Septo Tapo yang harusnya tidak boleh disentuh oleh manusia,” jawabku serius. Karena tak ada yang bisa diperbincangkan kembali, aku mohon pamit.
…
Sesampainya di rumah, aku segera merebahkan tubuhku di atas kasur. Lelah, penat, dan pahit. Kubayang-bayangkan hidup indahku di sekolah baru, bisa terlepas dari semua hal-hal gaib ini, dan hidup biasa layaknya seorang murid biasa, namun semua itu percuma. Takdir yang berusaha kulawan, malah semakin menghantuiku di sekolah baru, dan untuk sekali lagi aku diamanatkan tanggung jawab yang besar sebagai Ghost Hunter.
Kulihat rumah lagi sepi, sehingga aku bisa beristirahat dengan tenang untuk beberapa jam, sampai waktu menunjukkan waktu Ashar. Aku segera mandi, berwudhu, dan kemudian sholat Ashar di Mushola dekat dengan rumahku. Di sana ada seorang teman yang bisa mendengar keluh kesahku mengenai hal-hal gaib, dan dia adalah Asabiq al-Haris, kupanggil Aris lebih mudahnya. Dia adalah putra sulung dari Imam Mushola itu, yang bernama Pak Makros.
“Gimana, Mam? Pengalamanmu berhubungan dengan makhluk-makhluk tak kasat mata itu? Enak?” tanya Aris yang seolah mengerti kalau diriku sama sekali tak menikmatinya.
“Enak apa!? Setiap hari aku harus berurusan sama makhluk-makhluk gitu. Ribet deh pokoknya!” jawabku ketus. “Jikalau tidak karena keluargaku mempunyai tanggung jawab untuk menjaga Angus Poloso, pastinya aku dah buang kemampuan ini. Pengen jadi siswa yang normal dan bisa belajar layaknya siswa-siswi lain,”
Aris langsung tertawa mendengarnya. “Keluargamu dengan keluargaku sudah jadi sahabat semenjak nenek moyang kita. Jadi, kalau kau ada masalah, cerita ke sini aja! Aku pasti bantu kok untuk nyelesaiin masalah soal demit-demit itu!”
Sebenarnya aku sedikit takut untuk menceritakan peristiwa beberapa hari lalu, namun aku membuang rasa raguku dan kemudian menceritakan segalanya yang kualami di BPM angker itu dan soal Test of Faith.
“Jadi kau diikutsertakan dalam test itu lagi, ya? Hm … aku tak tahu banyak hal untuk memberitahumu soal itu, karena itu dilarang, namun ayahku akan jadi salah satu pembimbing di sana nanti!” ujar Aris memberitahuku kalau ayahnya akan ikut jadi juri dalam test itu. “Soal Dark Mistress, ya? Aku mendapat ilham dari sesosok jin muslim yang mengatakan kalau Dark Mistress itu adalah Nyi Imas itu sendiri, atau malah titisan dari keturunan Nyi Imas yang memang cocok jadi wadahnya. Saranku, kau harus selidiki hal ini lebih lanjut, Mam. Aku merasakan sesuatu yang teramat buruk bakal terjadi ketika dia menemuimu!”
Setelah berbincang-bincang cukup lama dengan Aris, aku pun segera pulang. Dan sesampainya di sana, keluargaku belum ada yang pulang, bahkan para pelayan pun tak terlihat sejak tadi.
Kupikir-pikir ada sesuatu yang terjadi kepada mereka, namun rasa resahku terbayarkan ketika mendapati sms dari ibuku yang bertanya apa aku sudah pulang dan kapan akan menyusul mereka ke kediaman Mbah Jayos.
“Astagfirulloh, aku lupa. Pantesan saja rumah ini sepi banget. Sebaiknya aku bergegas ke sana sebelum ibu makin marah padaku,” gumamku teringat akan pesan ibuku sebelum pergi berkemah.
Aku beranjak bangun dari kasur dan bergegas mandi. Setelah selesai, aku pakai pakaian favoritku dan segera mengeluarkan motor matic dari garasi. Dan kutancap gas motor itu dan bergegas pergi menuju rumah Mbah Jayos.
…
Empat puluh menit kemudian, tibalah diriku di tempat mbah buyutku itu. Segera kuparkir motorku di bawah pohon rambutan yang lebat, dan diriku berlari masuk ke rumah Mbah Jayos.
Di sana aku melihat seluruh keluarga besarku sudah berkumpul. Terlihat mbah Jayos sudah terduduk ditemani oleh kursi goyang dan juga tongkat kayu kesayangannya. Dia menatapku dengan senyuman khasnya yang sudah rentan itu. Tak butuh lama dia pun segera memanggilku untuk mendekat.
“Le, mbah ingin bicara denganmu,”
“Nggeh, mbah. Ada apa?” tanyaku sembari memberi sebuah penghormatan kepada mbah buyutku itu. Mbah Jayos pun menyuruh yang lainnya untuk keluar dari kamarnya, karena dia ingin berbicara empat mata denganku.
Setelah semua keluar, dia melambai-lambaikan tangannya seolah ingin mengajakku untuk duduk di sampingnya. Sesaat aku duduk di sampingnya, tiba-tiba Mbah Jayos menghantamkan ujung tongkatnya ke arah perutku sampai aku mengaduh. Tak cukup sampai disitu, dia pun segera menyentuh leherku bagian belakang, dan menekannya kuat-kuat, sampai aku mengerang kesakitan.
Ya, dia mencoba menghapus ilmu kanuraganku. Tak lama setelah ilmuku dicabut oleh mbah buyutku itu, aku langsung terkapar, pingsan.
…
Aku terbangun keesokan harinya, beberapa menit sebelum kumandang adzan Shubuh. Aku merasa begitu lemas dan gemetar kala itu, tak kusangka tanpa alasan apapun, ilmu kanuraganku dicabut oleh mbah buyutku sendiri.
“Ada apa ini? Kenapa mbah buyut mencabut ilmuku?” gumamku yang bertanya-tanya apa yang direncanakan oleh mbah buyutku itu.
Tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamarku, “Halo, Umam. Kau sudah sadar sekarang?”
Iya, dia adalah anak dari Mbah Jayos, sekaligus adik dari ibu ayahku. Sebut saja dia itu Mbah Gel. Mbah Gel ini usianya jauh dibawah ayahku, namun karena dia adalah anak dari mbah Jayos langsung, dia disebut mbah oleh ayahku.
“Oh, mbah Gel to. Sudah kok!” jawabku singkat. “Lalu apa yang mbah lakukan di sini?”
“Aku hanya menjaga tubuhmu tadi, Mam. Tadi saat kau pingsan, ada segerombolan demit Cakranagala yang menyerang kami di sini. Untunglah, ada ayahmu, Pak Son, aku, dan Mbah Adi yang turun tangan menghadapi demit kelas atas itu!” jawabnya menjelaskan.
Demit Cakranagala adalah demit pengelana yang berbentuk layaknya iblis, dalam istilah islam. Dan dalam buku penjelasan yang dimiliki oleh keluarga Marwan, demit itu jauh lebih kuat ketimbang seratus demit tingkat atas dan biasanya demit itu digunakan sebagai penjaga buat dukun, bukan orang biasa.
Mbah Gel yakin kalau demit itu diutus oleh seorang dukun mahasakti, karena mengendalikan makhluk itu supaya tunduk bukanlah perkara mudah, apalagi sajen yang harus diberikan itu tak main-main. Hanya ada satu dukun mahasakti yang mampu melakukannya.
Ya, dia adalah Ki Sugeng.
“Lalu, apa urusannya denganku? Kenapa tadi Mbah Jayos menyegel kekuatanku, mbah Gel?” tanyaku pada point utama.
“Hm … kata Mbah Jayos, kau harus mengikuti Test of Faith itu tanpa menggunakan kekuatanmu, Mam. Dengan begitu, kau akan mengerti betapa susahnya mereka yang diganggu oleh para makhluk astral itu.” Jawab Mbah Gel kalem dan tenang. “Mungkin saat inilah yang tepat untuk memberitahumu sesuatu,” tambahnya.
Aku terkejut mendengarnya. “Memberitahuku? Memberitahuku apa?”
“Mbah Jayos mengatakan padaku kalau dirimu saat ini menjadi incaran dari sekte Immas. Untuk menyembunyikan keberadaanmu, dengan berat hati, Mbah Jayos menyegel kemampuanmu untuk sementara, sampai …”
“Sampai kapan, mbah?”
“Sampai kau tiba di kerajaan Mangkupati seratus lima hari dari sekarang. Kita akan menyerang kerajaan jin itu untuk menyegel ketujuh raja jin yang ada di sana ke dalam Angus Poloso!” jawab Mbah Gel dengan nada serius.
Aku melongo cukup lama mendengar jawaban Mbah Gel kala itu. Kerajaan Mangkupati adalah kerajaan jin yang dihuni oleh jin-jin dari timur. Menurut sejarah yang ada, dulunya kerajaan ini adalah kerajaan manusia yang terletak di antara kerajaan Malang dan Kediri, namun karena suatu alasan, kerajaan ini lenyap di telan bumi.
Kerajaan ini meskipun tak sebesar kerajaan jin Wentira ataupun kerajaan-kerajaan jin yang lain, namun kerajaan jin Mangkupati ini jauh lebih misterius dan kelam ketimbang kerajaan-kerajaan jin lain di Indonesia.
Tak berapa lama kemudian, Ulum, selaku anak pertama dari Mbah Gel datang menemuiku. Katanya kalau diriku dipanggil oleh Mbah Jayos untuk menemuinya di ranjang tidurnya sekarang.
Tanpa menunda-nunda lagi, aku bergegas pergi ke kamar Mbah Jayos yang ada di belakang. Sesampainya di sana kudapati kalau Mbah Jayos sudah terduduk dengan bersandar kepada tongkat Cokropati miliknya.
“Le, gimana? Mbah Gel sudah cerita?” tanya Mbah Jayos lemah.
“Nggeh, mbah! Mbah Gel sudah cerita semuanya tentang maksud penyegelan itu dan kerajaan Mangkupati. Apa hanya itu, mbah?” jawabku sambil bertanya. Mbah Jayos lalu tersenyum ke arahku.
“Iya, tapi ada sebuah pesan penting yang akan kusampaikan padamu mengenai keikutsertaan dirimu dalam test itu, nak!” kata Mbah Jayos lemah.
“Hm … apa itu, mbah?” tanyaku.
“Kau harus mengajak dan menjadikan Mela sebagai partnermu dalam mengikuti test tersebut!”
“Apa! Mela?” aku terkejut seketika, tak percaya atas apa yang kudengar barusan. “Maksudmu gadis sok centil dan lengket itu, mbah??”
Mbah Jayos pun mengangguk. Aku langsung merinding seketika ketika mengetahui kalau Mela akan menjadi partnerku. Bukan karena Mela itu menyeramkan atau semacamnya, namun karena dia adalah gadis yang suka sekali mengekorku dan kemanapun kami bertemu, dia selalu bertingkah layaknya gadis kecil manja yang selalu menyebutku dengan sebutan ‘Darling, darling’ mulu.
Iya sih, bukan berarti dia tidaklah cantik atau semacamnya, malah dia adalah gadis tercantik yang pernah kutemui, bahkan keluargaku pun sepakat menjodohkan diriku dengan gadis yang merupakan putri sulung dari keluarga Immas itu. Keluarga yang merupakan keturunan dari Nyi Imas.
Walaupun sudah kutolak beberapa kali, karena waktu itu, aku sudah mencintai seseorang, yaitu Astrid. Tapi dia tak pernah berhenti menguntitku, hingga aku pindah sekolah. Sejak saat itulah, aku tak pernah mendengar kabar lagi darinya.
Duh, dasar gadis yang merepotkan!