Setelah pulang dari rumah Mbah Jayos aku seperti orang linglung saja. Karena dalam ujian kali ini, aku harus mengajak gadis yang begitu merepotkan itu, dan bahkan gadis payah yang tak bisa apa-apa, selain bermain dengan makhluk kecil piaraannya itu.
Sesampainya di rumah, untuk meredakan penatku, aku bermain sebentar dengan Leina dan Tiara, ya bermain PS2 yang dua tahun lalu aku belikan untuk mereka sebagai hari ulang tahun keenam mereka, walaupun harus menguras sedikit uang simpananku. Duuh!
Saat itu, belum ada game PS2 yang benar-benar dikhususkan untuk para gadis, jadi kami bermain Dynasty Warrior dan juga Harvestmoon bersama-sama. Di saat itulah, aku baru menyadari betapa menyenangkannya bermain bersama. Rasa gundah, takut, dan bimbang pun langsung sirna melihat tingkah konyol dan kepolosan mereka berdua.
Setelah bermain permainan yang seru, datanglah Danang yang menyuruhku untuk mengikutinya. Dengan segera kuletakkan stick PS2 nya di lantai, yang langsung disambar oleh Leina, dan aku bergegas mengikuti Danang.
“Ada apa, Nang?” tanyaku penasaran.
“Ayah memanggilmu, kak. Katanya dia ada perlu denganmu mengenai keluarga Immas,” jawabnya yang terdengar kaku, tegang, dsb.
Kami berdua tiba di aula utama, dan segera bersimpuh, memberi penghormatan kepada Pak Zaenal Abidin, selaku ayahku sendiri itu. Di sana sudah berkumpul ayah, ibu, kak Vita, Pak Son, Pak Khoirul, Mbah Gel, Pak Khubinada, Pak Helim, Eyang Mudah, Mas Nanang, Mas Toni, dan Mbah Adi.
Mereka memanggilku demi satu tujuan.
Keluarga Immas.
Mereka semua sudah tahu kalau diriku ditugaskan oleh Mbah Jayos untuk berpartner dengan Mela yang berasal dari keluarga Immas yang aneh, misterius, dan juga mengerikan itu.
“Kalau itu semua sudah merupakan keputusan dari Mbah Jayos, aku akan menerimanya,” kataku waktu itu sudah pasrah dengan semua yang akan terjadi kedepannya. “Lagian, kami berdua juga sudah dijodohkan, ‘kan?”
Ibuku dan kak Vita menatapku dengan sendu. Seolah mereka tidak mau diriku harus berpasangan dengan putri keluarga Immas itu.
“Umam, apa kau tahu konsenkuensinya atas kata-katamu barusan!?” ayahku geram dan langsung menamparku. “Kau akan membahayakan dirimu sendiri dengan menginjak ke tanah di keluarga itu. Paham!?”
Eyang Mudah, selaku eyangku sendiri menatapku, “Le, memang benar kami telah menjodokan kalian berdua. Kami yang selaku eyang-kakungmu merasa bersalah karena itu. Namun keadaan sekarang sudah berbeda. Keluarga Immas sudah berniat mengajak kita untuk perang penghabisan, nak!”
“Tapi setidaknya, di sana ada Mela dan Vira, kan? Mereka berdua adalah gadis-gadis baik yang tak menginginkan perang di antara kita,” jawabku membela diri.
“Vira?” mereka saling menoleh, menatap satu sama lain dengan penuh heran. “Bukankah dia sudah meninggal tiga tahun lalu, tiga bulan sebelum Astrid meninggal. Apa kau tak mengingatnya?”
Deg!
Perasaanku campur aduk kala itu. Masa sih aku bisa melupakan peristiwa itu. Sebuah peristiwa ironi yang telah memancing kemarahan dan kesedihan Mela. Sebuah peristiwa yang membuat Mela keluar dari sekolah, yang mana setelah peristiwa itu, aku sama sekali tak mendengar kabar apapun darinya.
Apakah ada yang telah menghapus ingatanku??
Ya sepertinya memang begitu. Pasalnya aku juga merasa kalau diriku tidak mengingat apapun mengenai kematian Astrid dan bagaimana kondisinya saat ia meninggal. Yang kuingat hanyalah ada Jin Watsin dan Jin Ifrit di sana, namun aku tak tahu apakah memang benar kedua jin itu yang telah membunuhnya.
“Pokoknya, sebaiknya kau urungkan permintaan dari Mbah Jayos itu, Mam. Karena kita tak tahu apa yang sedang direncanakan oleh keluarga Immas dalam ujian itu,” ujar Pak Son menasehatiku. Meski dia hanyalah teman ayah, namun keluarga kami sudah menganggapnya sebagai bagian dari inti keluarga Marwan. “Apalagi seperti yang sudah kudengar dari Mbah Gel kalau ilmu kanuraganmu telah disegel oleh Mbah Jayos,”
“Kami sependapat dengan apa yang diucapkan oleh Pak Son,” sahut Pak Ubin dan Pak Helim antusias.
“Iya, nak! Kami takut terjadi apa-apa padamu saat kau menginjakkan kakimu di sana.” Pak Khoirul yang sedari tadi diam pun akhirnya menambahkan.
Aku terdiam, tertunduk, menatap kedua kakiku sembari berpikir matang-matang apa yang akan kulakukan. Menyanggupi permintaan Mbah Jayos untuk mengajak Mela atau menolaknya dan aku akan dicarikan pasangan baru untuk mengikuti test itu.
Danang yang ada di sampingku langsung mencubit lenganku dan menyuruhku untuk segera memutuskan.
“Aku sudah memutuskan! Aku akan tetap mengajak Mela dalam ujian kali ini, tidak atau dengan restu kalian semua,” jawabku yang sudah mantap memutuskan. “Aku mengerti kekhawatiran kalian semua, namun aku sudah menyanggupi permintaan Mbah Jayos itu, dan aku bukanlah orang yang akan menarik omonganku sendiri!”
Tentu saja semua orang di sana yang mendengar jawabanku langsung terkejut bukan main, bahkan ayahku yang punya tempramental tinggi pun ikut terkejut sampai hampir membuat jantungnya copot.
“Itu baru cucuku,” kata Mbah Adi dan Eyang Mudah bersamaan yang dibarengi oleh senyuman lega.
“Ya, kalau itu berjalan lancar,” sambung Pak Toni yang sepertinya ragu mendengar ucapanku barusan, ya walaupun aku tak peduli sih.
“Hah, aku lupa kalau kau mewarisi sifat keras kepalaku dan juga kakungmu, Satori.” Ayahku yang masih memegangi dadanya itu menggeleng-geleng. “Pokoknya jangan sampai kau memicu peperangan di antara kedua keluarga di sana! Kalau bisa, kau harus segera menikahinya supaya tercipta kedamaian di antara kedua keluarga, Mam!”
“Le, berhubung ada sesuatu yang ingin dibicarakan, sebaiknya kau, Danang, dan Vita segera keluar dulu.” Suruh Eyang Mudah kalem. Dia adalah nenek sekaligus istri dari alm. Satori, kakekku. “Kami tidak ingin ada anak-anak kecil macam kalian ikut mendengar pembicaraan kami ini,”
Tak mau begitu memikirkan apa yang hendak mereka perbincangkan, aku, Danang, dan juga kak Vita segera keluar dari aula utama.
Aku segera bergegas menuju kamarku untuk merapihkan kamarku dari debu dan semacamnya. Tak lama berselang, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarku. Di sana aku mendapati kalau kak Vita dan juga Danang sedang mematung, dan berkeinginan untuk masuk ke dalam kamarku.
Mereka ingin berbicara enam mata denganku.
Tak mau berlama-lama, kupersilahkan mereka berdua untuk masuk ke dalam kamarku yang sudah bersih karena barusan kubersihkan.
“Umam, ada yang ingin kami berdua bicarakan denganmu,” kata kak Vita yang begitu datar namun serius itu. “Ini semua menyangkut dengan keinginanmu yang keras kepala itu untuk mengajak Mela jadi pasanganmu dalam ujian nanti,” tambahnya.
Aku hanya menghela napas panjang, “Ini lagi kak? Bukankah sudah kukatakan tadi di ruang aula?”
“Iya benar, namun apa kau mengerti kalau─” kak Vita langsung menghentikan ucapan Danang tadi. Sepertinya ia ingin terlebih dulu yang berbicara denganku.
“Kalau apa?’ tanyaku penuh curiga.
“Kalau ada pergerakan mencurigakan dari keluarga itu belakangan ini. Sepertinya keluarga itu sudah mulai bergerak untuk mengumpulkan kembali kitab Septo Tapo itu dari berbagai tempat,” jawab kak Vita serius. Matanya tak berkedip sedetikpun, menunjukkan betapa seriusnya ucapannya. Dan inilah gaya darinya. “Nana sudah membaca setiap pergerakan keluarga itu dari kartu tarotnya. Pokoknya kau harus berhati-hati dengan mereka, terlebih kepada Mela!”
“Lho, itukan cuman orang-orang dari keluarganya, bukan Mela. Mengapa aku harus waspada padanya?”
“Karena dia adalah yang memimpin keluarga itu sekarang. Semenjak dia kehilangan adiknya, semuanya tidak berjalan baik baginya maupun keluarga kita. Mereka dengan tanpa pemberitahuan apapun memutus hubungan yang sudah terjalin lama, dan mereka … menghilang!”
“Apa? Menghilang katamu!?”
Mereka berdua mengangguk. Aku terpikir-pikir apakah mereka hanya ingin mengatakan hal itu supaya diriku mengurungkan niatku untuk menemuinya esok hari? Tapi mana mungkin mereka melakukannya, karena mereka adalah saudara-saudari kandungku.
Aku kemudian menepuk pundak mereka. “Tenang saja, aku akan baik-baik saja. Doakan saja diriku dilindungi oleh Allah SWT dan semua kecurigaan dan keresahan kalian mengenai keluarga itu tak terbukti!”
Mereka berdua saling tatap-menatap satu sama lain. Aku heran melihat kelakuan keduanya, namun keherananku terjawab begitu melihat kedua saudaraku itu menyerahkan sepasang gelang yang mirip dengan gelang yang biasa digunakan untuk memperhias handphone.
Mereka menyuruhku untuk menerima dan memakainya. Aku menerimanya dengan senang hati tentunya. Mereka mewanti-wanti untuk tidak melepaskan kedua gelang itu selama berada di kediaman keluarga Immas.
“Pokoknya jangan sampai kau melepasnya ya, kak,” pinta Danang dengan penuh permohonan kali ini aku mau menuruti keinginannya. “Sekarang ilmu kanuragan kakak sudah disegel oleh Mbah Jayos, jadi kami hanya bisa memberikan ini sebagai perantara Allah SWT untuk melindungi kakak.”
Aku tersenyum mendengarnya. “Makasih ya, dek!”
Aku menoleh ke arah kak Vita yang masih terngiang-ngiang akan sesuatu yang masih meresahkan pikirannya. Kutanya apa itu, namun dia cuman menggeleng, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi melihat tingkahnya, sudah membuatku yakin ada yang disembunyikan olehnya.
Kucoba tanya lagi dia. “Ada apa, kak?”
“Pokoknya kau harus hati-hati sama Mela. Dia bukan seorang gadis yang kau kenal dulu. Dan … coba cari tahu keberadaan Pak Rudi!” jawabnya yang sepertinya tak ingin bicara banyak.
“Ayahnya Mela? Kenapa?”
“Sudah gak usah banyak tanya. Hanya itu permintaan kakak,” jawabnya sinis. Kak Vita pun tanpa tegur sapa lagi langsung meninggalkan kamarku diikuti oleh Danang.
Aku hanya terbengong melihat tingkah kakakku yang biasanya penuh canda tawa, berubah menjadi seperti itu. Kutepuk kedua pipiku guna menyadarkanku dari lamunan itu.
…
To make the whole story short, let’s begin with our main story.
Keesokan paginya, setelah ikut sholat Subuh berjamaah di Mushola Pak Makros, aku segera bersiap-siap, menyiapkan bekalku untuk menemui Mela di rumahnya di perbatasan kota Malang-Blitar. Dan setelah semua siap, aku bergegas memasukkannya ke dalam tas sekolahku. Tak lupa aku juga membawa oleh-oleh berupa jajan pasar dan sebuah semangka merah favoritnya.
Aku keluar dengan tergesa-gesa karena tak mau membuat Aris menunggu lama. Oh ya, kali ini aku mengajaknya untuk ikut menemaniku pergi ke kediaman Mela, ya walaupun dia hanya mau mengantarku saja sih.
Ketika keluar dari kamar, tiba-tiba tak disengaja aku menabrak Tiara sampai terjatuh dan menangis. Leina yang melihatku langsung memanggil ibuku, ibuku datang dan langsung menjewer kupingku sampai terasa panas dan sakit.
“Kalau jalan itu hati-hati dong! Lihat itu adikmu jadi menangis, ‘kan?” kata ibu memarahiku. Tangannya sudah dilipat layaknya seorang wayang deh. “Lagian kamu nggak perlu terburu-buru seperti itu. Memangnya kenapa sih kamu terburu-buru gitu?”
“Nggak kenapa-napa, bu! Cuman aku sudah ditunggu oleh Aris sedari tadi. Jadi, aku tak ingin membuatnya menunggu lebih lama lagi, dan semuanya terjadi begitu cepat …” jawabku membela diri atas framing ibuku. Kutolehkan kepalaku ke arah Tiara, “Maafkan kakak ya, Tiara. Sungguh kakak tidak sengaja tadi!”
Tiara pun langsung mengusap sisa-sisa air matanya yang masih membasahi wajah imut dan polosnya. “Iya, nggak apa-apa kok! Sebagai permintaan maaf, kakak harus membawakan oleh-oleh makanan yang enak begitu kakak pulang. Harus ya, kak!”
Duh kedua adik perempuanku ini. Selalu saja berulah untuk mendapatkan perhatianku. Dan pasti ujung-ujungnya harus membelikan sesuatu untuk mendapatkan maaf dari mereka.
“Eh, iya. Kakak pasti akan membawakan oleh-oleh jajan kok, tenang saja!” jawabku yang tak kuasa menolak karena ada ibu di samping mereka, menatapku dengan amarah dan ancaman apabila tidak kuturuti kemauan dari kedua adik perempuanku itu. Duh!
Setelah percakapan yang sedikit menegangkan itu, aku bergegas menuju gerbang depan rumah, di sana sudah menunggu Aris dengan motor satriya-nya yang sudah siap mengantarku ke kediaman keluarga Immas.
“Lama banget kamu keluarnya, Mam! Aku hampir pulang tau!” kalimat pertama yang keluar dari mulut Aris hanya keluhan dan keluhan. “Kalau kau tak jadi ke sana, ngomong dong, jangan buat aku nunggu lama gini!”
Aku langsung buru-buru menghentikan langkahnya yang sudah siap memutar motor satriya-nya. “Eh … iya, jadi-jadi!”
“Oke, ayo!” ajaknya.
Kami pun akhirnya berangkat menuju kediaman Immas. Dalam perjalanan, Aris tak henti-hentinya mengajakku untuk ngobrol, namun hanya sedikit yang membuatku tertarik untuk mengeluarkan suara. Di antaranya ialah mengapa di pinggir jalan kami seperti di sambut oleh ratusan, bahkan ribuan gadis-gadis cantik yang menyanyikan lagu jawa.
Aku dengan sigap memberitahunya untuk tidak mempedulikan semua itu, karena seperti yang Aris tahu juga mereka adalah orang-orang bangsa jin yang sedari dulu mengabdi pada keluarga Immas. Selain itu, itu adalah sebuah bukti kalau si tamu telah disambut oleh si tuan rumah, yang berarti si tuan rumah sudah tahu kalau kami berdua ingin bertemu dengannya.
“Gile! Mereka semua apaan, cok!” kata Aris mengumpat menyaksikan apa yang ada di pinggir jalan terasa tak begitu bersahabat.
“Lo itu anak seorang kyai! Jangan kebanyakan cok, cok gitu! Nggak malu apa? Bukankah kau sudah tahu kalau mereka adalah makhluk bangsa jin. Mereka datang untuk menyambut kita,” jawabku yang sedikit eneg mendengar umpatan Aris tadi. Anak kyai kok gitu. “Udah ayo kita percepat laju motornya. Kita sudah ditunggu oleh si tuan rumah!”
“Enak aja! Yang kyai itu ayahku, bukan aku. Jadi fine-fine aja kalau aku begini. Lagian ilmuku itu jauh di atasmu tau!”
Kemudian, dengan perasaan emosi karena habis kuledek, dia pun mempercepat laju motornya, kenceng banget sampai membuatku sedikit takut.
Dua jam kemudian, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Kediaman keluarga Immas. Kediaman yang berisi orang-orang yang menjadi musuh keluarga Marwan selama dua abad lebih. Sebuah keluarga yang mengabdi dan menyembah Nyi Imas, pendahulu mereka, tanpa mau diajak untuk menyembah Tuhan, Allah SWT.
Aku turun dari motor Aris, mengamati sekitar rumah itu. Tak ada siapapun dan apapun yang berlalu-lalang di sana seperti saat kukunjungi dulu. Semua terasa sunyi dan sepi. Yang ada suasana di sekeliling rumah itu terasa gelap, bahkan tak kulihat cahaya sinar matahari menembus rerimbutan pohon yang mengelilingi luar rumah itu.
Rumah kediaman keluarga Immas benar-benar terisolasi dengan rumah-rumah tetangga yang lainnya. Paling dekat berjarak tiga ratus meter, dan itupun harus menyebrangi sungai.
Sungguh! Kalau orang-orang lain melihat pemandangan ini, pasti kalian akan lari ketakutan.
Ku segera menekan bel yang ada di samping gerbang depan rumah, namun tak ada siapapun yang menjawab ataupun datang mendapati suara bel yang telah kubunyikan. Kutekan untuk kedua hingga kelima kali, namun tiada seorangpun yang muncul.
Sampai bel kutekan sebanyak tujuh kali, yang seperti angka yang disukai Mela, baru ada seseorang pelayan wanita ala eropa abad pertengahan datang dan membukakan pintu buatku.
“Selamat datang, tuan muda. Nona Mela telah menunggu kedatangan tuan dari tadi. Kalau berkenan silahkan tuan ikut masuk ke dalam bersama hamba,” kata pelayan wanita itu ramah. Bahkan dia sampai meletakkan tangan kanan di dada kiri sembari membungkukan badan memberi hormat.
Keluarga Immas memang mengajarkan pelayan-pelayan mereka untuk bertata krama seperti itu.
Tak mau menunggu si pelayan yang sudah berjalan sepuluh langkah, aku bergegas mengikutinya dari belakang. Merasakan perasaan yang tak enak atau takut terjadi apa-apa padaku, Aris membatalkan niatnya untuk pulang dan bergegas menyusulku.
Ketika kami berdua masuk ke rumah itu, tak terasa hawa-hawa gaib yang pekat sama seperti saat di luar. Kami berdua pun dipersilahkan duduk di atas sofa di ruang tamu, sementara pelayan wanita yang tak kuketahui namanya itu segera masuk ke salah satu kamar belakang paling jauh guna memanggil Mela.
Sementara pelayan itu tak ada, kami berdua pun mengobrol.
“Mam, sebenarnya aku tadi tak ingin mengikutimu untuk masuk ke dalam rumah ini. Namun ketika aku merasakan aura negatif yang besar dan samar-samar, aku putuskan untuk mengikutimu. Aku khawatir dengan keputusanmu untuk masuk ke dalam rumah ini,” kata Aris yang sepertinya sudah terlihat gemetar itu.
“Iya, aku tahu. Aku juga merasakan sebuah perasaan yang sama. Aura di sini sangat pekat dan jauh berbeda dari saat aku berkunjung ke mari tiga tahun lalu,” jawabku yang juga merasakan apa yang dirasakan Aris. Jujur waktu itu aku sudah merinding ketakutan, apalagi saat ini ilmu kanuraganku disegel oleh mbah buyutku.
“Pokoknya kalau sudah selesai dengan urusanmu di sini, kita harus cepat keluar dari sini. Paham?”
“Iya deh, aku setuju.”
Tak berapa lama kemudian, Mela keluar dengan masih mengenakan pajamasnya, yang terlihat masih terbuka di bagian lengan atasnya, sedikit menunjukkan belahan dadanya yang sudah tumbuh indah itu.
Kami berdua segera berpaling melihatnya. “Astagfirullah …!”
Tanpa mengindahkan ucapan istigfar kami, dia pun bergegas berlari dan melompat ke arahku, sampai sofa yang kududuki pun jatuh. Bahkan belahan dadanya itu menyentuh sebagian tubuhku.
Duh, untung saja aku sudah siap mental lahir-batin, kalau tidak, pasti aku bakal tergoda.
“Darling, akhirnya kita berdua bertemu lagi!” kata Mela yang sepertinya sudah teramat rindu padaku itu. “Aku senang bisa melihatmu lagi, darling, darling!” tambahnya.
Setelah dia melepas pelukannya dariku, aku pun berdiri dan membenarkan sofa tempat dudukku. Mela yang tak mau terpisah dariku, mengajakku untuk duduk di sofa yang lebih panjang di dekat sofa yang Aris duduki, dengan tanpa melepaskan pelukannya ke lengan kananku.
“Ehm, sepertinya aku diacuhkan ya di sini.” Kata Aris berdehem melihat tingkah konyol Mela padaku. Duh, dasar gadis aneh ini memang tak pernah berubah.
Tak mempedulikan ucapan Aris barusan, Mela masih melengket padaku. “Darling, kau membawakanku oleh-oleh, ‘kan?”
“Eh, iya. Ini ada jajan titipan dari ibuku. Dan ini ada juga jajan favoritmu dariku. Semangka merah. Diterima yah!” kataku sembari menyerahkan tas kresek dan wadah plastik itu ke Mela. Dengan senang hati dia pun mau menerimanya.
Ketika aku hendak mengatakan maksud kedatangan kami, seperti dia sudah tahu akan maksudku, dia bilang. “Ya aku tahu. Soal Test of Faith itu, kan? Kalau kau yang mengajakku, pastinya aku akan menyetujuinya.”
Ketika kami berdua lagi asyik ngobrol dan Aris lagi sibuk dengan smartphone-nya, datanglah kedua pelayan Mela yang langsung meletakkan suguhan jajan yang terlihat mewah dan lezat dan minuman teh yang terlihat kental itu.
“Oh ya, Mela. Di mana ayahmu? Kok kelihatannya kau tinggal di rumah ini seorang diri cuman ditemani oleh pelayan-pelayanmu itu?” tanyaku mencoba memecahkan kecurigaanku atas rumah ini. Terlebih lagi aku ingin mencari tahu apa yang dikatakan kak Vita kemaren soal menyuruhku untuk mencari keberadaan Pak Rudi, ayahnya Mela.
Mela sepertinya mencoba menghindar dari pertanyaanku itu. Dia bahkan melepaskan pelukan eratnya dari lenganku dan berpindah ke sofa yang lain. Aku yang tak curiga apapun, langsung kuraih gelas berisikan teh hangat yang terlihat kental itu diikuti oleh Aris yang sudah sedikit meminum teh itu.
Tak kutemukan kecurigaan apapun mengenai teh itu, dan kami berdua pun meminum sedikit teh manis yang enak itu.
Sampai …
“Tolong, tolong …!” terdengar suara jeritan minta tolong dari seseorang. Namun aku kenal suara siapa ini. Ya, itu adalah suara Pak Rudi, ayahnya Mela. “Tolong selamatkan aku, aku tak mau mati dengan cara seperti ini!”
Kami berdua saling tatap-menatap, mencoba memastikan apakah kami benar-benar mendengar suara minta tolong itu. Namun tidak ada di antara kami yang tahu darimana datangnya arah suara jeritan itu.
“Mela, aku mohon, keluarkan ayahmu, keluarkan aku dari sini. Aku akan memperlakukanmu layaknya putriku, dan semua keinginanmu pasti akan aku penuhi!” suara Pak Rudi memohon.
Suara itu terdengar lagi, namun lagi-lagi kami tak tahu darimana suara itu berasal, bahkan saat Aris mengeluarkan ilmu kanuragan dan mata batinnya untuk melacak keberadaan Pak Rudi. Di samping itu, kutolehkan kepalaku ke arah Mela, dan kucoba paksa dia mengatakan di mana ayahnya.
Namun sebelum itu, ada sebuah perasaan di mana suara itu berasal dari sebuah kalung giok merah yang dikenakan Mela. Saat suara itu terdengar, terlihat giok merah itu sedikit memancarkan cahaya kemerahan yang indah, walaupun dalam skala kecil.
“Mela, boleh kutanya sesuatu padamu?” tanyaku yang memberanikan diriku untuk bertanya sesuatu padanya. “Dimana Pak Rudi, ayahmu itu berada?”
Mela langsung menghela napas panjang dan semua tingkahnya berubah seketika. Aura kegelapan pekat yang samar-samar itu tiba-tiba bisa kami rasakan dengan begitu kuat keluar dari tubuh Mela. Membuat tubuh kami sesak dan panas.
Tak berhenti sampai di situ, teh pekat yang manis tadi langsung berubah menjadi darah kental yang baunya anyir dan mengerikan. Padahal sedari tadi kami menggunakan mata batin kami, namun minuman darah itu benar-benar tak bisa dilihat oleh kami berdua.
“Ah, sepertinya orang tua itu sama sekali tak mengenal akan kondisi ya? Padahal aku lagi asyik bermesraan dengan calon tunanganku,” kata Mela menyeringai, memberikan senyuman jahat pada kami berdua.
“Kau bukan Mela! Siapa kau!?” bentakku sambil menahan rasa sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku.
Tiba-tiba Aris memuntahkan banyak darah, baik dari mulut, hidung, telinga, maupun kedua matanya. Aku langsung panik saat itu, tak tahu apa yang harus kulakukan untuk bisa keluar dari sini, karena kuyakin kalau Mela tak mungkin membiarkan kami keluar dari rumahnya.
Mela menjentikkan jarinya, dan waktu Aris pun terasa terhenti.
“Aku Mela, namun aku bukan Mela seperti yang dulu, Mam. Dan kalau kau ingin tahu di mana ayahku, akan kutunjukkan sesuatu padamu.” Jawabnya yang terdengar datar dan tak terasa hidup itu. “Risa, kemarilah …!”
Kemudian datanglah pelayan wanita yang tadi membukakan pintu gerbang buat kami. Diapun memberikan penghormatan buatku dan juga Mela.
“Risa, tunjukkan dirimu yang sebenarnya pada anak yang tak tahu kalau dia telah terjun ke dalam lubang neraka hitam!” suruh Mela. Dengan sigap Risa melepaskan kaca matanya, melepas jepit rambutnya, dan terlihatlah seperti seorang gadis yang sangat cantik.
Namun, setelah kulihat wajahnya dan raut matanya yang begitu menderita dan kosong, aku menyadari kalau dia bukanlah Risa, namun Pak Rudi. Apa yang sebenarnya Mela lakukan kepada Pak Rudi??
“Pak Rudi? Apa yang sudah kau lakukan padanya, Mela?!” tanyaku membentak. Mela waktu itu terus tersenyum saja mendapati sikap keterkejutanku atas semua yang terjadi.
“Aku membunuhnya, itu saja!” jawabnya terlihat antusias sekali. “Raganya aku rubah menjadi seorang wanita, untuk melayaniku setiap saat, sedangkan rohnya, seperti yang sudah kau sadari, aku memasukkannya ke dalam kalung liontin merah ini!”
“Kenapa, Mela? Kenapa kau lakukan semua ini?? Kau adalah satu di antara tiga orang dari keluarga Immas yang tak menginginkan peperangan dan berkeinginan untuk hidup damai layaknya manusia pada umumnya,”
“Ah, maksudmu kakek dan juga Vira, ya? Apa kau tahu kalau mereka mati terbunuh, Mam?” tanyanya balik, “Mereka berdua dibunuh oleh Pak Rudi, selaku ayahku sendiri, dan itu semua atas perintah beberapa petinggi di keluarga Marwan,”
Aku menatap Mela dengan tatapan geram dan amarah yang sudah tak terbendung lagi. Ku keluarkan sebilah pisau yang sudah didoai dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an oleh Pak Makros dari pinggang Aris, dan langsung kugunakan untuk menyerang Mela.
Tanpa bergeming sedikitpun, Mela dengan senang hati menerima tusukan pisau itu. Meski tusukan itu mengenai perutnya, namun tiada setetes darahpun yang keluar, malah diriku sendiri yang terkapar, bersimbah penuh darah yang keluar dari perutku.
“Risa, antarkan mereka berdua untuk pulang ke kediaman keluarga Marwan sekarang, dan kembalilah sebelum ada siapapun yang melihatmu!” suruh Mela yang membalikkan badan, membelakangiku.
Kulihat saat itu, dia meneteskan air mata, entah air mata penyesalan atau air mata kebahagiaan. Setelah itu, aku jatuh pingsan.