Beberapa hari pun berlalu setelah kejadian itu.
Aku kini mampu hidup layaknya seperti murid biasa seperti yang kuharapkan. Aku meminta Abah Nadjib maupun siapapun yang tahu akan identitasku untuk merahasiakan kalau diriku adalah keturunan Kyai Marwan dan mempunyai ilmu kanuragan. Tak ingin menambah masalah buatku, Abah Nadjib pun menyetujuinya.
Namun hal ini hanya bertahan selama tiga hari.
Entah siapa orang kuya yang telah menyebarkan rumor tentang diriku yang telah membasmi salah satu demit Angus Poloso, tapi mulai saat itu, kehidupan normalku berubah menjadi lebih meriah lagi. Orang itu memfoto aksiku saat menyelamatkan Viona dari kerasukan Ki Cokro Suryo dan dipajang di madin. Sungguh kesal aku dibuatnya. Pengen sih diriku untuk membongkar identitas si penyebar rumor itu, tapi kegiatan sekolah dan menjaga Angus Poloso itu lebih banyak menyita waktuku.
Pertama-tama kutuduh Viona yang menyebarkan rumor ini. Karena dia lah satu-satunya orang selain Abah Nadjib yang tahu akan identitasku. Namun, setelah memikirkan hal ini matang-matang, ku kira telah salah sangka menuduhnya.
Pagi itu, kelas kami kedatangan siswi baru. Dia memperkenalkan dirinya Pramesella Cahyani S. Usut punya usut, dia adalah keponakan dari Abah Nadjib. Setelah berkenalan, dia pun bergegas duduk di bangku sebelahku, bersama Niken. Pandangan pertamaku tentang gadis itu ialah dia gadis yang cantik, ceria, periang, dan mudah bergaul dengan sesamanya. Satu hal yang cocok ditempatkan satu meja dengan Niken yang terkenal sinis dan pendiam.
Saat jam istirahat, Pramesella pun melangkah mendekati bangkuku.
“Jadi kau ya yang bernama Umam itu? Tak kukira kau mampu menjadi Ghost Hunter yang membasmi demit2 itu!”
“Kau tahu darimana hal itu? Aku bahkan tak mengatakan hal ini pada siapapun?” tanyaku menyelidik, mencoba mengelak kalau bisa.
“Oh, sebelumnya aku pernah melihat tampangmu di madin sekolah. Jadi itu benar kalau kau adalah seorang pemburu hantu. Aku jadi mulai sedikit tertarik padamu,” jawab Pramesella yang seperti sedang menggodaku. “Ah, satu lagi. Apakah siswa seganteng kamu masih jomblo?”
Aku pun langsung tersedak mendengar ucapan gadis baru itu. Permen karet yang waktu itu masih kukunyah langsung kutelan bulat-bulat. Membuat tenggorokanku sakit.
“Kau itu ngomong apa sih? Aku tidak tahu apa yang kau maksud!” kataku terbatuk-batuk sembari memukul-mukulkan tangan ke dada, berharap permen karet itu bisa kumuntahkan. “Soal pemburu hantu itu juga tidak benar. Jangan percaya pada rumor anak iseng di sekolah ini!” tambahku.
Aku bergegas keluar, sembari melihat gadis kecil itu masih mengekor.
“Hey, kau belum menjawab pertanyaanku yang satunya!”
Aku merasa risih mendapati gadis itu tetap mengekor, lalu aku pancing dia dengan mendekati ruang kantor di mana Abah Nadjib saat itu masih terlihat mengurus arsip-arsip sekolahan. Dan dari sana, Abah Nadjib pun memanggil Pramesella untuk ikut membantunya. Sialnya, aku pun juga terseret dalam urusan ini. Duuh!
Tak sampai sepuluh menit kami bantu-bantu Abah di ruang guru, akhirnya kami diperbolehkan pergi. Pas mau pergi, kami berpapasan dengan Maftukhan, ketua OSIS di SMA Indratama. Aku pun menanyakan siapakah yang telah menyebarkan rumor-rumor tidak benar itu padaku, tapi dia hanya menggeleng.
“Apa kau tahu siapa yang menyebarkan rumor-rumor aneh itu tentangku, An (Aan)?” tanyaku.
“Nggah tuh, Mam. Memangnya kenapa?” jawabnya. Matanya menyelidik.
“Oh, gak papa. Cuiman akhir ini ada orang yang menyebarkan rumor tak benar itu sehingga aku jadi cukup terkenal di sekolah ini,”
Tak puas mendapat jawaban dari Maftukhan, aku pun bergegas ke kantin, menemui Mbak Hartantik yang bahenol itu. Lumayan buat penyegar mata. Tapi entahlah, sampai kapan gadis penguntit ini terus-terusan mengekorku. Bikin risih soalnya…!
Sesampainya di sana, memesan dua piring nasi goreng, dan dua gelas es teh, kami serasa hidup kembali. Tak lama setelahnya, Niken, Bagos, Agus, dan Viona pun datang. Mereka semua menganggap kami ini pacaran. WTH~! Kami pun sempat tatap menatap, satu sama lain. Iya sih kalau Pramesella ini cantik dan periang, namun hatiku masih belum siap. Atau lebih tepatnya hatiku masih ada di tempat lain, jadi nggak dulu lah, daripada harus merasakan pahit untuk kedua kali.
“Umam, makasih waktu itu lo dah menyelamatkan pacarku. Kalau tidak, entah apa yang bakal terjadi padanya, dan hubungan kita?” buka Agus. Dia terlihat berterima kasih sekali padaku. “Ku tahu kau sekarang sedang menghadapi masalah mengenai rumor-rumor itu, tapi sebagai balas budi, aku akan ikut membantumu untuk membongkar siapa dalang dibalik semua ini. Aku janji!”
Aku pun menyeruput tehku. “Nggak perlu. Lagian rumor-rumor itu memang benar adanya kok. Harusnya aku tidak menutup-nutupi hal ini dari siapapun.” Pramesella menatapku dibarengi dengan senyuman puas. “Yang lebih bikin gue bt saat ini adalah diekori oleh cewe penguntit ini lo. Kemana-mana dia ikut aja!”
Bagos pun memunculkan wajah berseri-serinya, “Wah itu berarti kau sudah pacaran dong sama murid baru itu? Siapa namanya… Aha, Pramesella,”
“Ya itu jikalau Umam bersedia aja,” jawab Pramesella tersipu malu. “Lagian siapa sih gadis yang gak mau sama orang yang sudah seperti sesosok pahlawan yang pernah mempertaruhkan nyawanya untuk orang lain?”
“Jangan ngasal kalau ngomong! Pacaran sama Pramesella? Bisa-bisa aku diekori 24 jam nanti!”
“Ih, dasar kakak jahat. Emangnya Pramesella seorang Stalker apa??”
Kami tertawa melihat tingkah Pramesella yang begitu manja itu. Terkecuali Niken, dia seperti acuh melihatku. Entah apa yang ia pikirkan tentangku, namun aku menelisik ada sebuah kecemburuan di sana. Memang sih aku pernah dekat dengannya, namun hingga sekarang hubungan itu cuma sekedar teman dekat, pikirku.
Selama bersekolah di sekolah ini, sudah banyak siswi yang nyatain perasaannya padaku, karena percaya atau tidak, aku adalah seorang pria yang layaknya seorang pahlawan yang melindungi sekolah ini. Benar juga kata Pramesella, gadis mana yang tak mau padaku?? Siswa berkarisma macam aku ini tak sulit buat cari pacar.
[SKIP TIME]
Hari mulai siang dan di langit masih mendung. Aku kepikiran soal Agus yang niat membantuku untuk membongkar dalang yang menyebarkan rumor-rumor itu. Namun kuabaikan hal itu untuk sementara waktu, karena hari ini Bu Dwi sedang mengajar, dan aku ingin bertemu dengan hantu gadis kecil yang menyebut dirinya sebagai putri Bu Dwi itu.
“Hai kakak,” sapa seorang gadis di belakangku.
Kulihat seorang siswi bernama Ratna Endang menyapaku. Namun ada yang aneh padanya, matanya menatapku kosong, bibirnya terasa berat, dan tangannya terasa dingin. Aku pun menyadari kalau saat ini dia tengah dirasuki oleh sesuatu. Ya, hantu gadis kecil itu kini telah merasuki tubuh Ratna.
Karena tak menganggu dan membuat kerusuhan di saat jam pelajaran, aku pun membiarkannya untuk sesaat. Aku pun berkomunikasi dengannya secara batin.
“Ada apa gadis kecil? Kenapa kau menggunakan tubuh siswi itu?”
“Tidak apa-apa. Begitu urusan di sini selesai, aku akan meninggalkannya kok.” suara batin Ratna yang terdengar olehku. “Aku menemui kakak karena ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu, kak. Ini penting!” tambahnya.
“Ada apa? Kalau bisa kubantu, aku pasti membantu. Tapi hari ini aku juga ada urusan lain yang lebih penting.”
Ratna pun menyelidik, “Oh, urusan dengan rumor-rumor itu ya? Aku tahu siapa pelakunya!” jawaban Ratna yang membuatku penasaran bukan main. Karena si penyebar itu begitu lihai sehingga aku tak bisa membongkar identitasnya. Dan kalau hantu gadis kecil itu tahu, maka aku pun juga harus mengetahuinya. “Akan kuberitahu kalau kau mau membantuku, Mam!”
“Oke, aku menyerah. Lalu apa yang bisa kubantu?”
“Berikan kado ini kepada ibuku sepulang sekolah. Aku ingin ibuku tahu kalau selama ini aku terus mengikutinya,” jawabnya seraya menyerahkan sebuah kado kecil kepadaku. “Selama seminggu aku membuatnya. Aku harap dia mau menerimanya!”
Singkat cerita, saat jam terakhir selesai, dan bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas menuju bangku Bu Dwi dan menyerahkan sebuah kado yang diberikan Ratna padaku. Dia pun mengerutkan dahi pertanda heran, karena ia tahu kalau hari ini bukanlah ulang tahunnya. Ragu-ragu, dia pun bertanya.
“Apa ini, Mam? Kenapa kau memberiku kado ini, padahal hari ini bukan hari ulang tahunku?” tanya Bu Dwi ramah.
“Oh, aku mendapat kiriman itu dari seseorang. Katanya dia ingin ibu membukanya,” jawabku sembari mengelus-elus rambutku.
“Kalau diperkenankan, orang itu memintaku untuk memberitahu ibu untuk membukanya setelah pulang dari sekolah, jadi jangan buru-buru untuk membukanya di sini.” tambahku.
“Hm… kalau itu mau orang yang kasih, apa boleh buat. Ibu pulang dulu ya, nak?”
Aku pun mengangguk dan membiarkan Bu Dwi keluar ruang kelas dan pulang. Setelah itu, aku pun langsung menghampiri Ratna yang masih melihat ke arahku dengan tatapan dinginnya.
“Aku sudah kasih kado itu ke ibumu. Sekarang cepat beritahu apa siapakah penyebar rumor itu?”
“Masa kau nggak tahu sih, kak? Orang itu adalah yang duduk di sebelahmu, yang belakangan ini sering menguntitmu dari kejauhan,”
Deg …
“Apa!? Maksudmu Pramesella?”