Angus Poloso. Legenda Ki Ageng Selo. episode 34

Horror 34 – (Test III) Sekte Mata Satu.

[Ella POV]

Namaku Ella Kusumaningtyas. Aku adalah putri dari keluarga Kusumaningtyas yang merupakan keluarga elit di kota Jember, Jawa Timur. Aku mempunyai sebuah kehidupan normal layaknya seorang gadis sampai usiaku menginjak tiga belas tahun.

Saat itu, pamanku yang bernama Rendro Kusumaningtyas bertengkar dengan kedua orangtuaku. Aku sempat menguping pembicaraan mereka.

“Rekso, apa kau yakin? Kita bisa menggunakan putri tunggalmu itu untuk kejayaan sekte kita,” ujar Rendro berdebat keras dengan ayahku. “Hanya putrimu itu satu-satunya yang bisa membangkitkan Ki Bradjamana… ayah kita.”

“Sudah berkali-kali kukatakan, aku telah meninggalkan semua ilmu-ilmu hitam yang diberikan oleh ayah… aku ingin hidup layaknya keluarga normal, sama seperti yang lainnya!” jawab Rekso mantap.

Mendengar ucapan itu, Rendro pun kesal. “Apa kau mau mati? Hukuman yang pantas bagi seseorang yang keluar dari sekte adalah kematian. Apa kamu menginginkan itu, Rekso!?”

Dengan cepat, Rekso pun mengangkat kerah baju Rendro.

“Aku tak peduli dengan semua itu!” kata Rekso geram. “…Yang penting saat ini adalah aku bisa menyelamatkan keturunanku dari pengaruh sekte sesat itu dan hidup layaknya sebuah keluarga!!”

Dengan menahan amarahnya, Rendro pun keluar dari rumahku. Mulai dari saat itu, aku tak pernah bertemu lagi dengan pamanku itu.

Setelah peristiwa itu, beberapa minggu kemudian, kedua orangtuaku tewas karena kecelakaan mobil saat ingin menuju ke kota Blitar untuk menemui salah satu keturunan kyai Marwan di sana. Kalau tidak salah… namanya adalah Mbah Jayos.

Setelah kematian mereka, kehidupanku yang damai, berubah menjadi kehidupan yang mengerikan. Setiap hari aku selalu dibayang-bayangi oleh sesosok bayangan yang selalu mengaku kalau dia adalah arwah Ki Bradjamana, kakekku yang meninggal tahun 1987 silam.

Karena sudah tak sanggup lagi dengan gangguan itu, aku sempat meminta empat temanku yang ahli ilmu supranatural (indigo) untuk membantuku menyelesaikan masalah gangguan itu, namun dua hari setelahnya, mereka pun menjadi gila dan hendak membunuhku.

Sempat aku berkonsultasi dengan ahli agama seperti ustadz-ustadz yang ada di daerah sekitar kampung halamanku, namun begitu melihat sebuah bayangan hitam yang terus mengikutiku, mereka angkat tangan. Kata mereka kalau aku sudah ditandai oleh seseorang ataupun sekte tertentu, sehingga untuk melepaskan pengaruh itu, dirasa hampir mustakhil. Meski begitu, mereka masih memberiku saran untuk tetap mendekatkan diri pada Allah SWT. Meski itu adalah saran yang sulit, dengan itu, aku sedikit mendapat ketenangan dalam batinku.

Seminggu setelah kematian kedua orangtuaku, pamanku, Rendro, datang dan membawaku ke sebuah tempat. Pamanku memaksaku untuk ikut, kalau tidak dia tak akan segan-segan mematahkan kaki dan tanganku, itupun hanya permulaan saja, karena yang paling sadis ialah dia akan membawa dan memperkosa adikku Selvi jika aku menolak.

Di dalam mobil.

“Kau harus ikut, Ella! Ini semua demi kebaikanmu!” kata paman Rendro padaku.

“Kita sebenarnya mau kemana, paman? Aku bahkan belum menyiapkan makanan untuk kakak dan adikku!” jawabku yang masih meronta-ronta ketika akan di bawa pergi. “Aku mau pulang, paman… mau pulang sekarang!”

“Diam kamu, Ella! Kalau kau tidak menuruti kemauan pamanmu ini, maka aku tak akan segan-segan untuk mematahkan kedua tangan dan kakimu,” Pak Rendro mengancam secara halus. “…Kalau itu belum cukup, maka aku tak akan segan-segan memperkosa adikmu, Selvi yang masih berusia sepuluh tahun itu. Pastinya dia akan menjadi aib untukmu dan juga Tio, kakakmu itu, ‘kan?”

Tanpa bisa berbuat banyak, aku akhirnya menuruti kemauan dari pamanku itu. Sempat aku berpikir untuk membunuhnya dengan pisau yang ada di depan meja mobil, namun kuurungkan niatku karena menurut kabar kalau pamanku itu mempunyai ilmu pancasona yang membuatnya tak bisa mati.

Setelah dua belas jam perjalanan, kami tiba di sebuah hutan, dan dari sana kami menemukan sebuah jalan lurus makadam yang mengarah tepat ke tengah hutan. Aku tak tahu nama hutan ini, namun yang kutahu bahwa hutan ini begitu aneh dan mengerikan, tidak seperti hutan pada umumnya. Hutan ini dipenuhi oleh api yang besar dan di tanahnya ditutupi oleh air asin, seperti air laut.

Paman membawaku semakin dalam menuju hutan itu, yang mana di setiap waktu aku menemukan demit-demit yang begitu mengerikan di segala sisi hutan yang sedang mengintip ataupun beterbangan ria ke sana dan ke mari.

Sampai di tengah hutan, aku terkejut mendapati kalau ada rumah yang cukup besar berdiri megah di sana. Arsitekturnya seperti bangunan kuno jaman kerajaan gitu, namun rumah ini kesemuanya terbuat dari batu, seperti batu yang digunakan untuk membangun candi Borobudur gitu.

Di sana, kami berdua disambut oleh beberapa orang yang kesemuanya memakai kerudung warna hitam, dan cadar yang hitam pula. Namun di kerudungnya ada sebuah sablon mata satu berwarna merah darah, yang kuyakini kalau itu adalah logo dari sekte mereka.

“Selamat datang, Raden Rendro. Kami semua sudah menanti kedatanganmu dan juga titisan dari Ki Bradjamana itu!” kata orang itu. Dari suaranya terdengar kalau dia adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan. “Kalau diperkenankan, Nona Saraswati menyuruh kalian berdua untuk segera menemuinya di aula utama!”

“Baiklah kalau begitu. Aku akan kesana,” jawab paman Rendro mengiyakan dengan nada kalem. Namun tidak padaku. “Ayo, kita masuk, Ella! Lebih cepat kita menemuinya, lebih cepat kita pulang!”

Tanpa bisa memberontak, aku pun mengikuti kemanapun paman Rendro menyeretku. Kami memasuki sebuah tempat yang semakin dalam, suasananya malah semakin mencekam. Di dinding-dinding lorong rumah itu, terdapat lilin-lilin yang menyinari ruang tanpa terlihat memercik sedikitpun, bahkan warna api lilin itupun juga sangat aneh, karena berwarna hitam keputih-putihan.

Tak beberapa lama kemudian, kami sampai di sebuah ruangan yang pastinya adalah aula utama di rumah itu. Di setiap sisi terdapat patung ular hitam yang terlihat matanya kadang melirik ke arahku, membuatku merasa takut. Ketakutanku tak sampai di situ karena di tengah aula, aku mendapati sebuah patung manusia yang mempunyai satu mata dan sebuah altar.

Di sanalah, aku bertemu dengan seorang wanita yang bajunya sama hitam, berkerudung hitam, namun kali ini dia tak memakai cadar, sehingga aku bisa melihat seperti apa mukanya.

Dia begitu cantik dan mempesona.

“Selamat datang, Raden Rendro. Aku yakin perjalanan anda tidak menemui hambatan apapun,” kata perempuan itu ramah dan penuh senyum. “Ah, seperti yang sudah kuduga kalau anda akan berhasil membawa titisan dari Ki Bradjamana. Aku sangat senang melihatnya!”

“Ya, sama-sama, Saraswati,” jawab paman Rendro ramah. “…Oh ya, aku lihat di sini sepi-sepi amat. Di mana anggota yang lainnya?”

“Ah, mereka semua sedang ada perlu dan tugas sendiri, Raden! Lagipula… perang gaib dengan keluarga Marwan dan keluarga Siswandi sudah semakin memanas belakangan ini,” jawab Saraswati ramah. “Saya belum mendapat kabar mengenai keluarga Immas dalam waktu seminggu ini. Mungkin telah terjadi sesuatu di keluarga itu!”

“Okelah, Saraswati. Aku telah membawa titisan yang telah diramalkan oleh ayahandaku. Namanya adalah Ella,” kata paman Rendro yang langsung menyeretku sampai terjatuh. “Bagaimana kalau ritualnya kita mulai sekarang? Karena setelah ini aku ada banyak urusan dengan bisnis-bisnisku di luar kota!”

Saraswati pun menunduk, memberi hormat. “Ya, lebih cepat, lebih baik.”

Aku diseret sampai di depan patung mata satu itu. Dari sana, Saraswati mengambil sebuah cangkir yang berisi oleh darah puluhan atau bahkan ratusan ular hitam dan ayam cemani. Paman Rendro menyuruhku untuk meminumnya.

Namun aku tak bisa melakukannya, karena bau yang tercium dari cangkir itu begitu menjijikkan, sampai hampir membuatku pingsan. Aku terus meronta-ronta dan mencoba mencari cara supaya bisa kabur dari tempat ini. Namun sebelum aku bisa melepaskan diriku, kepalan tangan paman langsung memukulku sampai aku hampir tak sadarkan diri. Dan di saat itulah, Saraswati meminumkan darah yang ada di cangkir itu padaku.

Aneh! Meskipun baunya terasa begitu busuk dan menjijikkan, namun rasanya begitu nikmat dan segar. Di saat kesadaranku mulai pulih, tanpa bisa menahan rasa dahagaku, aku ambil cangkir itu dari tangan Saraswati dan segera meminumnya.

Setelah semuanya selesai, aku dibopong oleh Saraswati untuk memasuki mobil paman. Dengan keadaanku yang cuman melamun dan kosong, aku di bawa pulang,

Anehnya, belum satu jam kami berada di jalan, tiba-tiba kami sudah berada di depan rumah, seperti pengalaman tadi hanyalah sebuah halusinasi semata.

Sebelum aku turun, paman Rendro mewanti-wantiku untuk tidak menceritakan semua kejadian tadi kepada siapapun, terlebih kepada kakak dan adikku. Karena tak punya pilihan lain, aku pun mengangguk dan bergegas turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah.

“Ingat, Ella. Jikalau kau sampai membocorkan kejadian tadi dengan keluargamu, maka kesialan dan keburukan akan menimpamu seumur hidup. Mengerti?” ancam paman Rendro.

Aku hanya mengangguk. “Saya mengerti, paman. Aku pamit dulu!”

Aku masuk rumah dengan perasaan kacau, tak karuan. Mataku sembab, ingin menangis, namun aku harus tetap tegar supaya keluargaku tidak mencurigaiku.

Saat itu, keadaan di dalam rumah sangatlah sepi. Lampu ruang tamu dan juga ruang tengah pun tidak dinyalakan, atau malah sudah dimatikan, padahal jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

“Aneh! Jam segini kok lampu ruang tamu dan juga ruang tengah mati? Apa kak Tio dan juga Selvi sudah tidur?” tanyaku berbisik. “Mudah-mudahan mereka berdua sudah tidur, dengan begitu—“

Sesaat aku menyalakan lampu ruang tengah, tiba-tiba aku mendapati kak Tio sedang terduduk sembari menatapku dengan tatapan yang begitu tajam, seolah dia sedang marah padaku.

“Darimana saja kau, Ella?” tanyanya emosi. “Tetangga-tetangga yang tinggal di sekitar sini memberitahuku kalau kau tadi pergi dengan paman tukang teluh itu, ya!?”

“N—Nggak kak, sudah lama kita sudah tahu kalau paman Rendro kabarnya tak pernah diketahui. Bagaimana bisa aku bertemu dan pergi dengannya?” jawabku mencoba membela diri sembari menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya.

Kak Tio diam dan manggut-manggut. “Oke, untuk kali ini kakak akan percaya padamu. Tapi asal kamu tahu, Ella. Kakak akan peringatkan sekali lagi. Jangan kau sekali-kali bertemu ataupun bekerja sama dengan tukang teluh yang telah membunuh kedua orang tua kita itu. Mengerti?”

Aku pun mengangguk, pertanda mengerti. Setelah itu, aku segera kembali ke kamarku dan bergegas tidur untuk hari esok. Saat dikamar, aku menangis pelan-pelan, tak kuasa mendapati kejadian tadi. Aku pun menyalahkan diriku sendiri.

Setipis inikah imanku??

Ketika tangisku mereda, dari pojok ruang kamar, aku melihat ada sosok seperti selir jaman kerajaan gitu. Selir itu menatapku datar tanpa emosi, namun rupanya itu begitu mengerikan, hampir membuatku menjerit sekeras-kerasnya.

Namun, karena takut apabila diketahui oleh kak Tio, aku pun menyumbat mulutku dengan bantal. Tapi selir itu makin lama semakin mendekat ke arahku, membuat ketakutanku semakin memuncak.

“Kau adalah titisanku, wahai anak manusia. Kau adalah aku, dan aku adalah kau,” kata selir itu datar. “Aku akan menjadi penjaga abadimu. Jika kau ada seorang musuh yang ingin kau singkirkan, ataupun orang yang membullymu, aku siap menghabisi mereka semua!”

“Tidak! Aku bukanlah kamu, dan kamu bukanlah aku!” bantahku.

“Hahaha… kita lihat saja kedepannya!” balas selir itu dengan tawa yang begitu menakutkan.

Tak lama kemudian, selir itupun menghilang. Seluruh tubuhku sudah berkeringat dingin mendapati peristiwa aneh dan mengerikan ini. Aku sudah tak tahu harus berbuat apa lagi untuk bisa keluar dari lingkaran setan ini, namun sesuatu yang gelap berbisik ke dalam hatiku.

Aku harus membunuh pamanku!

Keesokan harinya, aku dibangunkan oleh Selvi yang mengingatkanku untuk cepat mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Dengan perasaan malas dan tak ingin diganggu, aku menyeret kedua kaki ini dengan penuh paksaan, supaya mau diajak untuk bersekolah.

Setelah semua beres, aku bergegas menuju ke ruang makan, yang mana di meja makan sudah tersedia berbagai jenis makanan. Ternyata makanan-makanan itu dimasak oleh kak Tio. Dengan penuh semangat, aku duduk dan bergegas untuk memakan makanan itu.

Ada sedikit raut kecurigaan yang muncul dari tatapan kak Tio dan juga Selvi terhadapku. Pasalnya setiap makan aku tak pernah lupa untuk membaca doa ataupun semacamnya, namun kali ini aku melahap makanan-makanan itu tanpa berdoa sama sekali.

“Ada apa kalian menatapku seperti itu?” tanyaku penasaran. “Emang ada sesuatu yang di mukaku?”

Kak Tio pun merespon. “Ah, tidak. Bukan sesuatu yang penting. Ayo cepat lanjutkan makannya dan segera bergegas menuju ke sekolah!”

“Sini kak, biar Selvi tuangkan sayurnya!” sahut Selvi memecah ketegangan kami dengan sikap polosnya itu. Aku tak bisa berbuat apapun selain menanggapi sikap polosnya tersebut.

Setelah semua selesai, kami berangkat diantar oleh kak Tio dengan mobilnya. Dan di sinilah keganjilan pertama terjadi lagi.

Setiap akan berbelok ke tikungan jalan, aku selalu melihat penampakan sesosok kuntilanak yang hanya mempunyai satu mata berdiri di setiap sudut jalan, membuatku ngeri setengah mati. Pengen aku teriak, namun entah mengapa mulutku tetap terkunci rapat.

Sesampainya di sekolah, pemandangan anehpun kembali terjadi. Aku melihat ada ular raksasa sebesar bagong yang tengah berjemur di atas atap bangunan utama sekolah. Ular itu menatapku dengan tatapan datar, seolah dia adalah penjagaku. Namun, mempunyai penjaga gaib dari makhluk-makhluk itu, pastinya tidak akan pernah berakhir dengan baik.

Tak mau melihatnya, aku mencoba memalingkan tatapanku darinya dan bergegas memasuki kelas.

Di sana, aku bertemu dengan seorang gadis yang begitu menyebalkan. Namanya adalah Cindy. Dulunya aku dan dia berteman, sampai sebuah kejadian terjadi, membuat persahabatan kami rusak.

Ketika aku hendak memasuki ruang kelas, dia menarik rambut panjangku dari belakang, membuatku mengaduh seketika. Tak lupa juga, dia menendang sikutku dari belakang, membuatku terjatuh seketika. Membuat siswa-siswi lainnya tertawa keras.

“Rasain lo! Itu balasan kemaren lusa karena kau tak mau mengerjakan PR-ku.” Umpatnya kesal. Dia kembali menjambak rambutku. “Lain kali, kalau aku menyuruhmu untuk mengerjakan PR-ku, jangan sampai kau tidak kerjakan, ya? Karena aku tak segan-segan akan memberimu hukuman lain yang jauh mengerikan lagi. Paham!?”

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, selain mengangguk. Namun, entah apa yang terjadi, tiba-tiba ada sebuah bisikan yang kembali membisikan kejahatan di lubuk hatiku.

Sakiti dia! Dia akan menerima balasan atas apa yang dia lakukan padamu!

Jam istirahat tiba dan aku sedang asyik makan di kantin, tiba-tiba Cindy dan ketiga bawahannya, Seli, Rita, dan juga Rere datang hendak memalakku. Mereka meminta uang dua ratus ribu padaku untuk mentraktir teman-teman cowok mereka di klub nanti sore.

Aku yang tak mau diperdaya lagi, segera menolak keinginannya. Lagipula, uang jajanku tak sebanyak itu.

Geram, mereka berempat menyeretku menuju ke toilet sekolah. Anehnya, saat itu tidak ada siapapun yang berani melerai mereka. Aku tahu itu semua karena ayah Cindy adalah salah satu donatur utama di sekolah ini, jadi mereka tidak ingin mendapat masalah dengan menolongku.

Sesampainya di sana, kedua tangan dan kakiku diikat dengan tali karet, sehingga tubuhku membentuk bentuk salib. Setelah itu, mereka menelanjangi pakaianku dan memasukkan puluhan cicak dan kecoa ke dalam bra dan celana dalamku, membuatku ingin menjerit sekeras-kerasnya, itupun jikalau mereka tidak melakban mulutku.

Aku sudah hampir pingsan saat itu, saat suara bisikan jahat itu kembali membisikan kata-kata jahatnya padaku.

Sakiti mereka! Mereka akan menerima balasan atas apa yang mereka lakukan padamu!

Tiba-tiba, pandanganku menjadi gelap total. Mulutku terasa mengucapkan suara atau nada yang aku tak mengerti, membuat mereka semua ketakutan. Tanganku tiba-tiba membentuk seperti sebuah tombak yang dalam sekejap menusuk perut mereka satu per satu. Mereka menjerit kesakitan, sampai aku melihat darah mengucur dari perut mereka dan aku mampu melihat usus-usus mereka bertaburan keluar.

Sebelum aku selesai, tiba-tiba dari luar toilet terdengar suara dobrakan dari seseorang. Tak beberapa lama, muncullah dua orang laki-laki yang bernama Hasan dan juga Lukman dan juga perempuan yang merupakan teman baikku, Nanda.

Mereka langsung berteriak memanggil para guru yang langsung berhamburan menuju ke toilet.

“Astagfirullah, apa yang terjadi ini?” ujar pak Soleh, guru agama di sana. “Kenapa kau Ella bugil begini?”

“Pak, mereka berempat masih bernafas. Kita harus segera membawa mereka semua ke rumah sakit!” sahut Nanda.

“Cepat pergilah! Biar aku tangani demit yang sedang merasuki tubuh Ella.” Jawab Pak Soleh.

Aku terus menatapi guru agama itu dengan penuh kegeraman. “Mereka akan mati… mati… dan mati. Hahaha…!”

Dengan segera, pak Soleh membaca lantunan-lantunan ayat suci Al-Qur’an dari dalam batinnya dan bergegas mengusap mukaku dengan tangan kanannya. Dengan itu, aku merasa kekuatanku tiba-tiba hilang dan langsung tersungkur pingsan.

Sadar-sadar aku sudah berada di UKS sekolah. Pikiranku blank seketika waktu itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi sehingga aku tiba-tiba tersadar di UKS. Namun hal terakhir yang kuingat adalah sebuah bisikan jahat itu.

Ketika aku hendak bangun, dari pojok ruangan UKS, aku melihat sosok selir itu menatapku penuh hasrat, dengan senyum yang mengembang, membuatku takut. Syukurlah, beberapa saat kemudian Pak Suryadi, selaku kepala sekolah dan juga Pak Soleh segera datang, membuat sosok selir itu menghilang seketika.

“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, nak!” kata Pak Suryadi dan Pak Soleh lega. “Kami mengira kalau kau akan tersadar esok hari. Tapi syukurlah dengan begitu kami bisa menanyakan sesuatu padamu.”

“Aku kenapa, pak? Kenapa aku bisa ada di sini?” tanyaku dongkol.

“Kamu tadi kerasukan, nak. Ada sosok jin yang tengah menempel dalam jiwamu, sehingga kau akan dengan mudah dikendalikan olehnya.” Jawab pak Soleh menjelaskan.

“Jin? Mengendalikanku…?”


Angus Poloso. Legenda Ki Ageng Selo.

Angus Poloso. Legenda Ki Ageng Selo.

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Sekitar dua abad yang lalu, saat terjadi perebutan kekuasaan antara VOC dan Britania di nusantara, ada sebuah kisah. Kisah seorang Kyai yang mampu menghentikan para demit-demit yang menghantui seluruh Jawa Timur ini. Kuntilanak, Pocong, Genderuwo, demit, jin-jin kafir, dan lain sebagainya. Dia menyegel semua demit itu di sebuah gerbang gaib yang diberi nama Angus Poloso, sebuah gerbang gaib yang memungkinkan para demit kelas atas itu tak bisa keluar dalam waktu lama. Seperti yang kita ketahui, tidak ada yang abadi di dunia ini, ya termasuk gerbang gaib itu. Oleh karena itu, setiap seratus tahun sekali gerbang gaib itu akan terbuka dan menimbulkan teror di Jawa maupun di seluruh negeri ini.Pria yang menyegel para demit-demit itu adalah Kyai Marwan, atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Selo. Gelar Ki Ageng Selo itu di dapatnya setelah berhasil mengalahkan Nyi Imas, seorang yang sakti mandraguna dan pengguna Santet Lemah Ireng, sebuah santet yang menargetkan setiap jiwa di sebuah wilayah tertentu. Beda dengan santet-santet pada umumnya yang hanya menargetkan targetnya dan juga keluarganya serta anak-cucunya, santet ini menyerang siapapun yang berada dalam satu kota/desa dengan si target. Sebelum lanjut, mari kita bahas dulu mengenai Santet Lemah Ireng.Santet Lemah Ireng adalah sebuah santet yang tidak memerlukan bantuan para jin, setan, dan makhluk2 halus pada umumnya, tapi santet ini hanya mengandalkan lemah ireng dan target yang berjalan di atas tanah dalam suatu wilayah, tempat di mana lemah ireng itu diambil, tempat orang yang ditargetkan itu berada. Selama orang-orang masih menginjak tanah, mereka pasti mati. Santet ini seperti gabungan dari Santet Malam Satu Suro, Santet Pring Sedapur, Santet Sewu Dino, dan Santet Janur Ireng. Selain itu, para pemuka agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghucu) tidak ada yang sanggup ataupun berani mengatasi santet ini.Santet ini tidak bisa diajarkan kepada siapapun, karena yang menguasai ilmu santet ini dia harus menjadi satu dengan Raja Iblis Nusantara. Raja Iblis itu akan masuk ke dalam raganya, dan apabila raganya kuat, maka dia akan memperoleh kekuatan besar, sedangkan jikalau tidak, maka mereka hanya akan mati konyol.Seratus Sebelas tahun setelah penyegelan itu, Angus Poloso yang waktu itu diletakkan (ditanam) di tanah keramat yang berlokasi di Blitar, tanpa sepengetahuan mereka, berdirilah sebuah sekolah SMA. Sebenarnya pihak pengembang sudah berkali-kali diingatkan kalau tanah tempat didirikannya sekolah itu adalah tanah berkah, yang orang2 kita sebut sebagai tanah keramat. Mendengar ucapan dari para warga setempat, pihak pengembangpun menganggap kalau ini semua hanyalah tahayul, dan terus memaksakan pembangunan itu.Dan selama beberapa tahun pembangunan, akhirnya sekolah itu berdiri juga. Berserta SMP dan Universitasnya (1976). Sebenarnya sebelah yayasan pendidikan itu sudah berdiri pondok pesantren yang didirikan oleh Kyai Marwan seratus sepuluh puluh tahun lalu sebagai antisipasi jikalau Angus Poloso itu terbuka.Sekolah megah dan luar biasa, menindih Angus Poloso yang ada di bawahnya. Karena tak bisa terelakkan, waktu itu keturunan Kyai Marwan, yaitu Mbah Wo, Mbah Carik, Cokropati, Mbah Jayos, dan Mbah Ibu, yang usianya sudah mencapai seratus tahunan, memberikan sebuah pager gaib di sekitar sekolah itu untuk mencegah terjadi apa-apa dan mencegah hancurnya segel Angus Poloso di sana. Dan tiga tahun setelahnya, Mbah Cokropati pun meninggal.Cokropati adalah anak Sulung dari Kyai Marwan dan merupakan anak yang paling cerdas dan berpengalaman dari kesemua keturunannya. Sehingga kematiannya menimbulkan lara dan kecemasan, karena sekte Immas takkan pernah berhenti mencoba mengeluarkan Nyi Imas dari segel Angus Poloso.Setelah kematian Kyai Marwan dan Cokropati, perjuangannya diteruskan oleh anak-cucunya. By the way, Kyai Marwan mempunyai tujuh orang anak dan dua belas cucu, sekaligus dua puluh empat cicit. Mereka semua adalah orang-orang hebat, dan kesemua anaknya adalah orang yang berpengaruh di daerahnya.Perjuangan mereka menggantikan Kyai Marwan bisa dirasa mudah dan sulit. Mudahnya karena demit-demit kelas atas yang paling ganas telah disegel oleh Kyai Marwan di dalam Angus Poloso, dan sulitnya adalah demit-demit kelas kecil ini terlalu banyak dan selalu bergerak di bayang2 dan selalu menggunakan cara yang licik, menyerang di balik layar daripada berhadapan langsung dengan keturunan Kyai Marwan.Puluhan tahun kemudian, ketika segel Angus Poloso sudah melemah, ada sebuah petaka yang membuat segel Angus Poloso terbuka. Yaitu Vita, cicit dari Kyai Marwan yang saat itu tanpa ia sadari telah membuka segel itu, sehingga demit-demit yang disegel di dalam Angus Poloso pun keluar dan meneror seluruh penjuru sekolah. Untunglah saat itu, Nyi Imas masih belum bisa keluar. Sementara untuk para demit2 itu, banyak di antara mereka yang tidak bisa keluar dari lingkungan sekolah akibat pagar gaib yang dipasang oleh Kyai Marwan. Meskipun begitu, teror dan kengerian selalu mengancam siapapun yang ada di sekolah itu.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset