Setelah puas mendengar ucapan Vita, aku memutuskan untuk pulang cepat dengan diantar oleh Tia. Terpikir olehku kalau demit-demit suruhan orang misterius itu akan menerorku lagi ketika berada di villa, aku meminta Tia untuk ikut menginap di sana bersamaku.
Tak tahu atau memang dianya terlalu polos, Tia pun bersedia untuk menginap di sana bersamaku. Lumayanlah di sana aku bakal ada teman menginap untuk malam ini.
Ketika kami sampai di tempat parkir, Tia menemukan sesuatu yang teramat busuk dari dalam mobilku. Aku langsung menyuruh Tia untuk membuangnya jauh-jauh, namun dia tak mengindahkan ucapanku dan malah membuka tas kresek itu. Di sana dia mendapati sebuah jeroan busuk, yang terlihat mirip seperti jeroan manusia itu. Dan tanpa menunda-nunda lagi, Tia langsung membuangnya ke tong kosong di pinggir jalan dan membakarnya.
“A-Apa itu barusan, Tia?”
“Jeroan, Ren. Kayaknya itu jeroan manusia!”
Aku pun mual mendengarnya. Dan menyuruh Tia untuk segera masuk ke mobil dan kita segera cabut meninggalkan tempat itu.
Benar! Ternyata hal-hal yang diucapkan Vita tadi pagi ada benarnya. Ada seseorang yang sedang mengincarku sebagai tumbal. Tapi aku tak tahu siapakah orangnya. Oleh karena itu, aku terus berharap kalau esok hari akan segera datang dan aku bisa mendapat pertolongan dari Vita secara langsung.
Singkat cerita, sesampainya kami di villa, aku segera parkirkan mobilku di garasi dan bergegas masuk ke dalam kamar villa yang kosong bersama Tia.
Segera aku pun merebahkan tubuhku di ranjang dan berpikir kalau hal yang terjadi beberapa saat lalu hanyalah hayalan semata. Setelah mulai tenang, aku pun mengalihkan pandanganku ke arah Tia yang masih terduduk di atas kursi samping ranjangku.
Dia masih terdiam. Mungkin dia lagi shock melihat pemandangan yang mengerikan untuk kali pertamanya.
“Tia, lo nggak kenapa-napa?” tanyaku yang cemas melihatnya.
“Nggak, Ren! Aku cuma shock melihat jeroan itu. Nggak usah cemas, Ren!” jawabnya singkat. “Oh ya, di mana tempat mandinya? Aku mau mandi dulu!”
Aku menunjukan kamar mandi yang letaknya dua kamar dari kamarku. Dia pun bergegas mengambil anduk dan keluar dari kamar.
Ditinggal oleh Tia, aku segera mengambil handphone yang ku letakkan di dalam tas dan langsung menghubungi Vita.
“Halo, Vit,” kataku membuka obrolan di telepon. “Bagaimana nih, Vit? Gue dan Tia tadi mendapat teror dari orang itu. Gue takut, Vit!”
Mendengarnya Vita cuma tersenyum seolah mengejekku. “Nggak usah cemas gitu, Ren! Aku sudah menduga kalau hal ini pasti terjadi. Selama gelang yang kuberikan itu masih ada padamu, semua akan baik-baik saja kok. Ya, walaupun tidak menjamin kau tidak akan dihantui oleh hantu-hantu itu!”
“Ealah, malah bercanda dong. Gue ni serius, taug!” balasku kesal ke Vita. Bisa-bisanya dia masih santai dan bicara seolah tidak terjadi apa-apa. Dasar!
“Oh ya, Ren! Aku sudah menghubungi kak Cynthia. Dan katanya kau harus segera menemuinya di kamarnya.” kata Vita.
“Cynthia? Kalau itu maunya, okelah, Vit! See you…!”
Aku menutup teleponku dan bergegas beranjak dari ranjang, bermaksud untuk pergi ke kamar kak Cynthia, namun aku tak bisa meninggalkan Tia seorang diri, jadi aku putuskan untuk menunggunya beberapa menit lagi.
“Duh, Tia mandinya lama banget, ya? Gue sudah merinding sendiri di sini!” bawelku. Aku kesal mendapati Tia lama banget mandinya.
Tak sampai sepuluh menit, Tia pun kembali ke kamarku dan menyerahkan anduk yang ia pinjam padaku. Tanpa basa-basi, aku langsung mengajaknya ke kamar kak Cynthia, dan tanpa menolak sedikitpun, dia pun mengekor mengikutiku.
Sesampainya di sana, kami mengetuk pintu kamar kak Cynthia. Tak lama kemudian, kak Cynthia membukakan pintunya dan memperbolehkan kami untuk masuk.
“Eh, dek Eren dan dek Tia, ya? Silahkan masuk!”
Kak Cynthia pun mempersilahkan kami masuk. Kami duduk di meja kecil yang berhadapan dengan ranjang kak Cynthia.
Sebelum kak Cynthia berbicara, dia menyuruh Tia untuk berdiri kemudian kak Cynthia menekan bagian tulang ekor Tia dan menariknya sampai ke ubun-ubun. Tia menjerit keras sekali saat itu. Sempat aku niat untuk menghentikan kelakuan kak Cynthia kala itu, namun setelah mendengar suara tertawa jekikikan keluar dari Tia, membuatku tersadar, kalau Tia sedang ketempelan.
“Hihihi … mati, mati, mati…!” jerit Tia kala itu. Membuat bulu kudukku berdiri. “Percuma saja kau meminta bantuan ke keturunan Kyai Marwan, aku bisa membunuh kalian semua dalam sekejap kalau ku mau.”
“Diamlah, iblis! Kami tak akan terpengaruh oleh tipu dayamu. Sekarang pergilah dari tubuh gadis ini atau akan kubakar kau!” Cynthia geram mendengar ancaman itu.
Semakin kak Cynthia menekan bagian ubun-ubun Tia, jeritan Tia semakin menjadi-jadi. Sampai dia lemas dan jatuh pingsan.
Kami pun mengangkat tubuh Tia yang masih tak sadarkan diri itu ke atas ranjang. Sementara kami ngobrol serius di meja.
“Kenapa Tia jadi seperti itu, kak?” tanyaku yang langsung menanyakan perihal itu. “Padahal sebelum pergi ke kamar mandi, dia baik-baik saja.”
“Dia cuman ketempelan, dek Eren! Dia sudah ketempelan saat kalian menemukan kantong kresek yang ada jerohan itu sepulang sekolah tadi,” jawab Cynthia ramah. “Sepertinya tubuh Tia sama sekali mudah dirasuki oleh makhluk gaib, karena setiap hari dia selalu melamun,” tambahnya.
Aku terheran-heran mendengarnya, “Ha? Tia, melamun? Nggak salah, kak? Cewek itu adalah cewek hyper active, mana mungkin cewek cerewet itu bisa seperti itu?”
“Banyak hal yang belum kau tahu mengenai teman-temanmu itu, Ren! Apa kau pikir sikap dan sifat yang selalu ia tunjukan padamu itu pancaran dari kepribadian dia? Nggak, Ren!” jelas kak Cynthia. “Kalau boleh aku bicara, kehidupan Tia jauh lebih tragis dan menyedihkan ketimbang kehidupan lo saat ini!”
Tak lama kemudian, ada ketukan pintu yang terdengar di kamar kak Cynthia. Dengan sigap aku berdiri dan berniat membukakan pintu itu, namun aku dicegah oleh kak Cynthia.
Dia bilang tidak ada siapapun yang mengetuk pintu itu. Karena sudah terlanjur percaya padanya, aku pun menuruti kata-kata kak Cynthia dan suara ketukan pintu itu tak terdengar lagi.
Tiba-tiba suara ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Kata kak Cynthia ketukan itu bukanlah ketukan manusia, jadi aku disuruh untuk tetap diam di tempat. Setelah ketukan tak digubris untuk beberapa saat, akhirnya berhenti. Namun …
Brakk…!!
Suara saat keras seperti pintu yang didobrak muncul dari pintu kamar. Aku membeku seketika, keringat dingin mengucur deras membasahi dahiku, aku ketakutan setengah mati mendapati fenomena itu. Sementara kak Cynthia hanya tenang, seolah hal itu sudah biasa terjadi dalam hidupnya.
“Kak, kakak tidak takut?” tanyaku gugup.
“Hahaha… enggak, dek. Hal itu sudah biasa dan sering saya alami di kampung halaman saya. Kalau ada waktu, dek Eren bisa mampir ke sana, biar saya kasih tahu pemandangan yang lebih mengerikan lagi dari ini!” jawabnya yang sedikit tertawa geli melihatku sudah membeku ketakutan itu.
Dia pun bergegas mendekatiku dan meniup kedua telingaku. Sebelum melakukannya, kulihat dia merapalkan sedikit doa-doa yang lirih, entah doa apa itu.
Oh ya, btw, aku lupa mengatakannya dari awal. Kami sekeluarga adalah seorang mualaf, jadi kami kurang pemahaman mengenai islam dan ibadah-ibadah yang ada di dalamnya. Karena kami baru tujuh bulan masuk islam.
Tak terasa sudah dua jam lebih setelah Tia pingsan. Setelah menunggu selama itu, akhirnya dia pun bangun juga.
“Tia, kau baik-baik saja?” tanyaku cemas.
“Di mana aku, Ren? Bukankah aku sedang mandi tadi?” jawabnya yang masih linglung.
“Tenang saja, Tia! Kau sekarang berada di kamar kak Cynthia. Dialah yang menolongmu barusan.” kataku mencoba menenangkan Tia. “Sana ucapin terima kasih!”
“Oh, makasih kak!”
“Tidak apa-apa. By the way, sebenarnya apa yang terjadi padamu saat kau mandi, dek Tia? Bisakah kau ceritakan kejadian yang menimpamu saat di kamar mandi?” kata Cynthia memulai obrolan serius. “Aku sebenarnya tahu apa yang menimpamu di sana, dek Tia. Tapi, jikalau hal ini keluar dari mulutku, pastinya dek Eren takkan percaya,”
Tak terasa sudah dua jam lebih setelah Tia pingsan. Setelah menunggu selama itu, akhirnya dia pun bangun juga.
“Tia, kau baik-baik saja?” tanyaku cemas.
“Di mana aku, Ren? Bukankah aku sedang mandi tadi?” jawabnya yang masih linglung.
“Tenang saja, Tia! Kau sekarang berada di kamar kak Cynthia. Dialah yang menolongmu barusan.” kataku mencoba menenangkan Tia. “Sana ucapin terima kasih!”
“Oh, makasih kak!”
“Tidak apa-apa. By the way, sebenarnya apa yang terjadi padamu saat kau mandi, dek Tia? Bisakah kau ceritakan kejadian yang menimpamu saat di kamar mandi?” kata Cynthia memulai obrolan serius. “Aku sebenarnya tahu apa yang menimpamu di sana, dek Tia. Tapi, jikalau hal ini keluar dari mulutku, pastinya dek Eren takkan percaya,”
Tia pun mengangguk dan menceritakan semua kejadian yang menimpanya saat di kamar mandi. Katanya di sana dia bertemu dengan seorang nenek-nenek bungkuk yang lagi membelakanginya.
Terlihat selintas nenek itu seperti nenek-nenek pada umumnya yang sedang mandi, namun tiba-tiba aura di kamar mandi seketika berubah begitu Tia mendengar tawa melengking keluar dari mulut nenek itu.
“Apa kau tahu siapa nama nenek itu, Tia?” tanyaku menyela cerita Tia dengan cepat.
“Tidak, Ren! Tapi nenek itu pernah kita temui saat kita mengiranya sebagai pengemis di jalan tadi.” jawab Tia terus terang. “Aku jadi takut, Ren!”
“Nggak usah takut begitu, Tia.” kataku mencoba menenangkan Tia yang mulai ketakutan itu. “Gimana ini kak Cynthia? Apakah nenek yang ditemui oleh Tia dalam kamar mandi itu adalah dalangnya?”
Cynthia terdiam sejenak. Dia pun menggeleng. “Tidak, dek Eren! Nenek yang ditemui oleh Tia di kamar mandi adalah demit yang menjelma menjadi seseorang yang pernah kalian temui.”
Aku semakin merinding dibuatnya. Gangguan demi gangguan selalu kami dapat namun sampai saat ini kami masih belum tahu siapa dalang dibalik semua ini.
Karena waktu sudah larut malam, kak Cynthia memintaku untuk segera kembali ke kamar dan tidur. Karena esok hari aku akan diikutkan dalam proses pengusiran. Waktu aku mengajak Tia untuk tidur bersamaku, kak Cynthia pun langsung menarik tangan Tia kembali.
“Biarkan Tia tidur denganku malam ini, dek Eren! Karena hanya kau yang diberi geleng pelindung itu oleh Vita, jadi membiarkan Tia tidur bersamamu mampu membahayakan jiwanya. Jadi, dia akan tidur bersamaku malam ini.” kata kak Cynthia dingin, meski begitu masih dibarengi senyuman manis. “Setidaknya aku di sini mampu melindunginya,”
“Tapi kak, aku …” jawabku yang terpotong oleh ucapan kak Cynthia.
“Tidak perlu takut. Sebelum kau tidur, sebaiknya kau ambil air wudhu dan sholat malam. Dan jikalau nanti ada siapapun dan apapun yang mengetuk pintu kamarmu, walaupun itu adalah orang tuamu sendiri, jangan pernah kau buka. Mengerti?”
Aku pun beranjak meninggalkan kamar kak Cynthia dengan perasaan resah. Kalau Tia tak tidur bersamaku, lalu siapa yang akan menemaniku dari gangguan demit-demit itu?
Setelah keluar, aku pun bergegas berwudhu dan solat dia rokaat. Anehnya aku tidak diganggu sama makhluk-makhluk itu, padahal aku wudhu di tempat Tia dihantui oleh nenek-nenek itu.
Kulihat jam telah menunjukkan pukul 23:22. Jadi sudah saatnya untukku tidur, namun entah mengapa aku merasa di luar kamarku aku merasakan banyak sekali aura hitam yang mengepung kamarku dari segala sisi.
Tak mau memikirkannya dan jadi parno, aku bergegas menutup mataku, dan akhirnya aku pun tertidur pulas.
Sementara itu, di kamar Cynthia. Kak Cynthia lagi ngobrol serius dengan Tia. Tia pun dapat mengerti mengenai obrolan serius mereka berdua, dan diapun akhirnya mendengarkan.
“Dek Tia, apa kau bisa melihat makhluk di belakangku?” pinta kak Cynthia ramah.
“Haa… I-Itu kan, ular panca! Iyakan, kak?” jawab Tia yang sempat kaget dan takut melihat ular segede bagong itu dibelakang kak Cynthia.
Mendengar jawaban dari Tia membuat Cynthia tersenyum. “Sudah kuduga. Kau memiliki mata batin juga, Tia. Pantesan saja saat demit di kamar mandi itu mewujudkan dirinya sebagai sesosok nenek-nenek, kau bisa melihatnya.” kata kak Cynthia. “Padahal, sedari tadi nenek itu ada di dalam kamar mandi, namun dek Eren tak melihatnya sedikitpun. Jadi kau memang seorang indigo, ya walaupun ketakutanmu itu malah lebih besar ketimbang kekuatan mata batinmu itu!”
“Aku pikir hal ini adalah hal yang normal, tapi jikalau ini adalah sesuatu yang hanya bisa dilihat dengan mata batin, aku jadi ngeri!” jawab Tia sembari mengelus-elus leher belakangnya. “Apa kakak tidak bisa menutupnya?”
“Bisa saja sih. Tapi apa kau tidak merasa beruntung dengan mempunyai kemampuan ini, Tia?”
“Tidak, malah bisa tambah sial aku!”
“Hahaha… benarkah? Padahal setiap hari kau malah berinteraksi dengan mereka semua.” kak Cynthia sedikit tertawa mendapati permintaan si Tia. “Setiap orang yang kau ajak berinteraksi, yang kau pikir masih hidup, gadis kecil yang sudah kau anggap sebagai adik kecilmu itu sebenarnya sudah tiada. Termasuk kedua paman-paman yang selalu menyambut kedatanganmu di kampung halamanmu itu juga sudah tiada. Namun, kau mampu melihat mereka dan bisa berinteraksi dengannya seperti saat mereka masih hidup. Apa kau yakin mau membuang kemampuan itu?”
“Ha? Jadi mereka sudah mati?” tanya Tia terkejut bukan main.
“Iya, Tia. Inilah sebabnya kau selalu dijauhi oleh orang-orang di sekitarmu karena mereka pikir kau adalah seseorang yang gila, karena melihatmu bicara sendiri.” jawab kak Cynthia yang masih ramah.
Setelah cukup basa-basinya, Tia pun menanyakan mengenai perihal masalah yang dialami temannya itu. Dan dengan sigap kak Cynthia pun menyuruh Tia untuk mengambil sebuah diari yang ia letakkan di dalam rak buku.
07/13
Sudah sebulan aku tinggal di villa ini. Seperti yang kuduga sebelumnya, kalau villa ini berdiri di atas tanah perjanjian.09/15
Hari ini tepat tiga bulan aku tinggal di villa ini. Aku menemukan banyak hal ganjil yang terjadi di sini. Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang dikabarkan hilang misterius, setelah mereka membongkar kamar kosong yang ada di basement. Terlebih lagi mereka semua menuduhku sebagai biang keroknya.09/22
Kurasa aku mulai tahu siapa dalang dibalik semua ini. Tuan Anton dan istrinya cuma boneka. Dalang dari semua ini adalah kepala pelayan … Nek Ifa. Saat itulah aku mulai tahu siapakah yang bakal jadi korban berikutnya. Eren Astia.
Di dalam diari itu sudah dijelaskan semuanya mengenai tanah perjanjian, dalang, dan tumbalnya. Dan dari sana Tia tahu semuanya. Dia bermaksud memberitahukan hal ini ke aku, namun hal itu segera dicegat oleh Cynthia.
“Tidak perlu kau lakukan, Tia! Kau hanya akan menjadi santapannya nek Ifa. Biarkan Vita yang menangani semua ini.” kata kak Cynthia. “Lagipula kita takkan mampu menang melawan khodam milik nek Ifa. Sekarang sebaiknya kita berdoa demi keselamatan kita dan keluarga Astia,”
Tia pun mengangguk, dan mereka bergegas tidur.
Balik lagi di kamarku. Entah sudah berapa lama aku tertidur, namun perasaan buruk masih terus menghantuiku dalam mimpi. Sampai aku terbangun.
Entah mengapa aku terbangun jam satu malam. Ketika aku mengedipkan mata, tiba-tiba muncullah sesosok bayangan putih, memakai kain kafan, yang masih terikat dengan tali pocong muncul di depan mukaku.
Aku langsung menjerit seketika melihat pemandangan mengerikan itu, tapi anehnya, suaraku tak bisa keluar, tak peduli seberapa kerasnya aku berteriak. Sial!
Untuk mengalihkan pandanganku dari pocong itu, aku menoleh ke arah jendela yang ada di pojok kanan kamar. Awalnya sih tak kulihat apa-apa di sana, namun tiba-tiba muncul seorang wanita yang memakai pakaian serba putih, rambutnya panjang tak terurus, dia menyeringai di luar sana sembari tertawa yang jelas-jelas itu bukan tertawaan manusia.
Rasanya aku ingin pingsan kala itu. Belum sempat aku merasa lega, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sesosok nenek-nenek yang entah datang darimana langsung tiduran di samping kiriku. Kalau tak salah ingat, kurasa inilah nenek-nenek yang ditemui oleh Tia sewaktu ia pergi ke kamar mandi tadi. Sial, benar-benar sial hidupku!
Kukira diriku akan tamat, tiba-tiba gelang yang dikasih Vita tadi di sekolah memancarkan aura putih yang menyilaukan, mirip dengan cahaya senter. Saat itu, gelang itu mengeluarkan sejenis asap warna putih yang langsung mengikat ketiga demit itu dan menghisapnya.
“Dasar, keturunan Kyai Marwan sialan!” umpat mereka. “Ini belum berakhir. Setelah ini, aku pasti akan mendapatkan gadis ini untuk kujadikan tumbalku,” tambah mereka.
Setelah mereka menghilang, aku mendapatkan notif dari handphone kalau Vita ingin chat lewat telepon. Dengan mengusap keringatku yang sudah berceceran, aku pun mengangkat teleponnya.
“Halo, Ren! Gimana?” tanya Vita yang terdengar seperti mengerti dengan kejadian yang barusan kualami. Dia terdengar seperti orang yang senang melihatku seperti hampir mati barusan. Duh!
“Gimana apanya? Aku hampir mati tau!” umpatku kesal.
“Hahaha … jangan khawatir gitu, Ren! Kan sudah kubilang kalau selama kau memakai gelang itu, takkan ada demit yang bisa menyentuhmu. Tapi aku senang kau baik-baik saja,” jawabnya seperti tak merasa bersalah sedikitpun.
“Lalu, memangnya kau telepon aku cuma ingin mengejekku gitu ya?!”
“Tidak, tidak. Aku tak bermaksud begitu. Esok hari aku akan datang ke sana dengan mengajak kedua kakak keponakanku, kak Hera dan kak Nuril. Aku harap kalau kau bisa bekerja sama, Ren!”
Dan tiba-tiba dia menutup teleponnya. Duh, dasar anak aneh! Padahal aku ingin membuatnya menemaniku malam ini dengan chatting, karena aku tak bisa tidur malam ini. Kok aku bisa berteman dengan gadis seperti itu ya?
Tak mau memikirkan hal-hal lain lagi, aku mengambil gelas yang ada di meja sebelah ranjangku dan mengisinya dengan air putih dari galon di sampingnya. Sebelum kuminum air itu, aku lafadzkan surah Al-Iklas, Al-Falaq, dan An-Naas, dan juga ayat Kursi. Setelahnya aku pun meminumnya. Dan tak terasa tiba-tiba aku yang tak bisa tidur setelah terbangun tadi, merasakan kantuk, dan kemudian tertidur pulas sampai pagi.