Dan tiba-tiba dia menutup teleponnya. Duh, dasar anak aneh! Padahal aku ingin membuatnya menemaniku malam ini dengan chatting, karena aku tak bisa tidur malam ini. Kok aku bisa berteman dengan gadis seperti itu ya?
Tak mau memikirkan hal-hal lain lagi, aku mengambil gelas yang ada di meja sebelah ranjangku dan mengisinya dengan air putih dari galon di sampingnya. Sebelum kuminum air itu, aku lafadzkan surah Al-Iklas, Al-Falaq, dan An-Naas, dan juga ayat Kursi. Setelahnya aku pun meminumnya. Dan tak terasa tiba-tiba aku yang tak bisa tidur setelah terbangun tadi, merasakan kantuk, dan kemudian tertidur pulas sampai pagi.
Pagi itu, senyap-senyap ada seseorang yang mengetuk pintuku. Dengan rasa malas habis bangun, aku bergegas membuka pintu itu. Ternyata itu adalah nek Ifa. Seorang nenek yang mengabdi di keluargaku sebagai pembantu yang mengurusi villa keluarga ini.
“Permisi, non Eren. Saya hanya ingin mampir sebentar di kamar non Eren. Boleh?” sapa nenek Ifa itu begitu ramah. Tanpa curiga sedikitpun, aku mengijinkannya untuk masuk.
“Silahkan saja, nek! Lagipula aku malah senang mendapati ada nenek Ifa di sini, bersih-bersih!” jawabku sekenanya.
Aku mempersilahkannya untuk masuk. Dia pun duduk di salah satu kursi yang ada di kamarku. Tanpa bicara sedikitpun, diapun melirik ke sana ke sini, melirik ke setiap sudut kamar, seperti sedang mencari sesuatu.
“Permisi, non. Apa anda melihat sebuah benda mirip kilatan cahaya kecil memasuki kamar ini?” tanyanya setelah diam untuk beberapa saat.
“Nggak tuh, nek. Memangnya kenapa?” jawabku bertanya balik padanya.
“Oh, nggak kenapa-napa non. Wah, gelang yang non pake indah sekali, boleh saya lihat?” katanya yang matanya tertuju kepada gelang yang dikasih Vita kemaren. “Sebentar saja, boleh non lepaskan?”
Menyadari kalau gelang ini adalah gelang pelindung, aku pun menolaknya. Dan dengan pengertiannya nenek Ifa pun mengerti dan membiarkannya.
“Oh, aku bisa merasakan sebuah aura dahsyat keluar dari gelang itu. Apa non Eren dikasih seseorang?” tanyanya menerawang.
“Eh, iya, nek! Temanku yang kasih! Maaf nek, saya tak bisa melepasnya,” jawabku yang mulai merasa aneh dengan semua ucapan nek Ifa kala itu.
“Nggak papa non. Nenek bisa ngerti. Tapi bolehkan saya menyentuh gelang itu? Tenang saja, nggak akan saya lepas kok,” pintanya yang mulai merayuku.
Ya, Vita tak mengatakan kalau orang lain dilarang menyentuh gelang itu, jadi kubiarkan nenek Ifa menyentuhnya, walaupun untuk sesaat.
Setelah puas, nenek Ifa pun keluar dari kamarku dengan sendirinya. Tak lupa dia mengambil sebuah telur yang mirip dengan telur ayam cemani dari bawah ranjang tempat tidurku. Dia mengatakan ada seseorang yang saat ini hendak mencelakaiku, karena sudah diceritakan oleh kak Cynthia, jadi aku percaya saja ucapan nenek itu.
Tiga jam kemudian, tepat pukul 8:40 pagi, terdengar suara panggilan dari handphone ku yang mengabarkan kalau Vita telah tiba didepan villa dan aku disuruh untuk menyambutnya.
Tanpa pikir-pikir lagi, aku langsung menuju ke depan rumah untuk menyambut kedatangan mereka. Tak kusangka, di sana sudah ada kak Cynthia dan Tia yang juga turut menyambut kedatangan ketiga orang yang kuharapkan itu.
“Assalamu’alaikum, dek Eren, dek Tia. Kami datang ke sini karena mendapat panggilan dari dek Vita untuk ikut membantu melakukan pembersihan. Apa itu betul, dek Eren?” tanya seorang pemuda tampan, yang mengenalkan dirinya sebagai mas Hera.
“Eh, iya, kak. Vita sudah ngomong soal ini kemaren malam.” jawabku yang sempat terpukau dengan ketampanan kakak sepupunya Vita.
“Kalau berkenan, bolehkah kami masuk?” tanya kak satunya, yang bernama Nuril. Tak kusangka, dia dan kak Cynthia saling mengenal.
“Iya, silahkan…!”
Belum sempat kami bergerak dari depan rumah, tiba-tiba makhluk tinggi besar, sekitar sepuluh meter, berwarna hitam, dan mengeluarkan mata merah, langsung menghadang kami berenam. Makhluk yang bernama Genderuwo itu datang bersama sepuluh demit yang menjadi bawahannya. Tuyul, pocong, kuntilanak, rawa ronte, ular berkepala empat, dll.
Padahal aku tidak mempunyai indra keenam, seperti kak Vita dan kedua sepupunya, namun, demit-demit itu terlihat dengan mata telanjang. Kata kak Cynthia itu membuktikan kalau pengirim demit itu bukanlah seorang yang sembarangan.
“Astagfirullah, belum-belum sudah dikepung kaya gini. Gimana nih, Vit? Harusnya kita juga mengundang Pak Khoirul Anam nih!” kata kak Hera yang sudah mengeluh dan kesal karena Vita tak memberitahunya kalau lawannya adalah demit kelas menengah ke atas.
“Iya, maaf, maaf. Lagipula Vita suka dengan tantangan kak. Jadi, aku lupa untuk memberitahunya!” jawab Vita yang masih merasa tak bersalah itu. Dasar gadis aneh itu!
Demi keamanan, kak Nuril dan kak Cynthia memintaku dan Tia untuk tetap berada di belakang mereka, sembari menyuruh kami untuk terus berdoa. Memohon keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT.
Kak Nuril dan kak Cynthia membuat sebuah lingkaran dan meminta aku dan Tia untuk masuk ke dalamnya. Kak Cynthia mengatakan apapun yang terjadi kami dilarang untuk keluar dari lingkaran tersebut.
Kami menurut. Setelah itu, kak Hera langsung mengeluarkan sebuah tasbih dari dalam saku pakaiannya dan langsung melemparkannya ke arah demit-demit itu. Tiba-tiba di tempat jatuhnya tasbih itu, keluar sebuah lubang hitam yang langsung menarik demit-demit itu untuk masuk ke dalamnya.
“Alhamdulillah, semua di sini sudah beres!” kata kak Hera berucap lega.
“Jadi teror ini sudah berakhir, kak?” tanyaku cepat.
Dengan sedikit senyum, Vita menjelaskan. “Belum, Ren! Kak Hera tadi hanya mengirim demit-demit itu ke dunia gaib saja. Sekarang yang akan kita berempat lakukan adalah masuk ke dalam dunia gaib, atau istilahnya merogo sukmo. Di sana kami akan bertarung mati-matian dengan mereka.”
“Betul itu, dek Eren!” tambah kak Hera. “Selama kami berada di sana, jangan sampai di antara kalian keluar dari lingkaran itu, ya? Dek Tia, kau juga seorang indigo, kan. Jikalau ada makhluk-makhluk astral yang menyerang atau mendekati lingkaran, beritahu Eren untuk membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas, juga ayat Kursi, ya?”
Tia mengangguk pertanda mengerti. Setelah itu, kak Hera, kak Nuril, Vita, dan kak Cynthia bersila mengelilingi lingkaran itu dari empat sisi, dan langsung membaca doa-doa yang bahkan tak kumengerti. Dan setelahnya, kulihat seperti mereka sedang tertidur. Apakah ini yang disebut sebagai merogo sukmo??
Sementara mereka pergi ke alam gaib, aku mengobrol ini dan itu dengan Tia. Aku tak menyangka kalau selama ini Tia adalah seorang indigo. Dengan wajah imutnya, diapun menjelaskan semuanya.
“Iya, Ren! Awalnya aku juga nggak tahu. Tapi aku diberitahu oleh kak Cynthia kemaren malam.” jelasnya dibarengi muka riangnya. “Dan soal nenek-nenek yang ada di kamar mandi, sebenarnya nenek itu masih ada saat kau mengambil air wudhu kemaren, Ren. Tapi, karena kau tak memiliki mata batin, jadi lo nggak bisa ngelihat nenek itu. Tapi syukurlah, nenek itu benar-benar serem, Ren. Pasti lo bakal langsung pingsan saat kau melihatnya!”
“Sialan tuh kak Cynthia! Kenapa dia nggak beritahu gue sebelum aku keluar dari kamarnya kemaren??” umpatku kesal. Geram aku mengetahui kalau kak Cynthia merahasiakan hal ini padaku. “Kalau saja dia memberitahukan hal ini padaku, pastinya aku nggak bakal wudhu di tempat itu, Tia!”
Yuk kita tinggalkan mereka untuk sesaat. Oke, sekarang kita balik di alam gaib di mana kak Hera dkk sedang bertarung dengan Genderuwo dan para bawahannya itu.
“Hei, syaitan laknatulloh! Apa rencana kalian? Mengapa kalian semua mengganggu keluarga Astia? Jawab!” bentak kak Hera lantang dan keras. Sampai suaranya bergema, membuat demit-demit itu goyah mentalnya.
“Itu bukan urusanmu, manusia. Kami di sini karena diutus oleh seseorang untuk melindungi tempat ini!” jawab genderuwo itu lantang.
“Melindungi?? jangan kira kami tak tahu apa rencana kalian, demit! Setiap bulan kalian meminta tumbal-tumbal manusia. Apa itu yang kalian sebut dengan melindungi!?” sahut kak Cynthia menantang.
“Diam! Ini adalah tempat kami jauh sebelum manusia-manusia keparat dan rendah itu mendirikan villa itu di sana. Sebagai pemilik tempat, tentu saja kami meminta bayaran sewa, bukan?” jawab si Genderuwo itu.
“Kak, sebaiknya kita segera musnahkan saja para demit-demit itu. Dengan begitu, si dalang pasti akan keluar dengan sendirinya!” ajak Vita yang mulai geram dengan ejekan bangsa demit itu.
Para demit yang mendengar kata-kata Vita barusan langsung tertawa menjerit seketika. Mereka pikir ucapan yang dilontarkan Vita tadi cuman lelucon yang gak lucu bagi mereka.
Setelah itu, pertarungan terjadi sangat hebat antara genderuwo dan bawahannya melawan kak Hera dkk. Pertarungan yang cukup lama, yang menguras tenaga spiritual mereka.
Meski begitu, mereka sudah berhasil mengusir para demit-demit bawahan dari genderuwo itu. Namun, ketika mereka hendak menyerang genderuwo tersebut, dari belakang mereka melesat sebuah kilatan petir hitam yang langsung menyambar keempat orang tersebut sampai tersungkur bersimbah darah.
“Dasar manusia kroco! Memangnya kekuatan kalian sudah bisa untuk mengalahkanku. Asal kalian tahu, aku adalah demit yang dipanggil langsung dari kitab Septo Tapo. Jadi, dengan kekuatan kroco-kroco seperti kalian, takkan mungkin bisa mengalahkanku!” bentak genderuwo itu bangga.
“Sial! Hanya dalam sekali serang!” umpat Cynthia dan Vita lirih. Saat itu, sudah terlihat kak Nuril sudah pingsan, penuh dengan luka bakar di punggungnya.
Tak lama kemudian, dari belakang genderuwo itu, muncul empat genderuwo lain, menambah kondisi sulit kala itu. Di saat itu, dalang yang merencanakan semua ini, akhirnya muncul dari belakang para genderuwo itu.
Benar rupanya. Ternyata dia adalah Nek Ifa sendiri.
“Wah, wah, sepertinya kemampuan kalian cuma segini. Dengan kemampuan segitu, beraninya kalian mengacaukan rencanaku, bocah-bocah keparat!?” kata nek Ifa yang begitu geram dan mengancam.
“Tak kusangka kau akan mewujudkan diri, nek Ifa. Aku sudah menyadari dari awal kalau kau adalah dalang dari semua ini. Aku akan membersihkan namaku jika aku sanggup mengalahkanmu di sini!” jawab kak Cynthia yang langsung mengeluarkan pusakanya. Sebuah keris dari Aceh, yang didalamnya ada sebuah khodam ular, yang bernama ular panca.
Ular panca yang keluar itu mempunyai lima kepala yang masing-masing langsung membelit tubuh para genderuwo itu. Membuat kondisi nek Ifa sedikit terdesak.
Tanpa pikir panjang lagi, kak Hera dan Vita langsung mengeluarkan pusaka mereka. Keris Naga Kembar dan Tasbih Wali Songo. Kedua pusaka itu langsung menyerang dan menembus jantung nek Ifa kala itu, sampai ia terduduk, tak bergerak sedikitpun.
Merasa sudah mengalahkan musuh, mereka bertiga pun lengah, sampai dari belakang muncul ratusan panah api yang langsung menghujami tubuh mereka masing-masing.
Kalau saja mereka tak merapalkan doa pelindung sukma, pastinya roh mereka bakal hancur, dan mereka bakal mati. Tak lama setelahnya, tanpa gerangan, ular panca, keris naga kembar, dan tasbih walisongo pun terlepas dan melebur menjadi abu.
“Ada apa gerangan!?” tanya mereka bertiga yang seperti tak bisa percaya apa yang barusan mereka lihat. Ketiga pusaka kelas atas tiba-tiba hancur berkeping-keping layaknya sebuah nasi yang sudah dikunyah-kunyah sampai lembut.
“Kitab Septo Tapo,” kata seseorang yang muncul di belakang mereka. Orang itu adalah kak Nanang, yang merupakan wakil dari ketua keluarga Marwan wilayah Malang, yaitu Pak Khoirul. “Tak kusangka di masa akhir kuliahku, aku bisa melihat seorang nenek-nenek bisa menguasai ajian-ajian yang ada di dalam kitab iblis itu.” tambahnya.
Tiba-tiba nek Ifa pun kembali berdiri dan menatap geram ke pria yang baru datang itu. Dan dari kak Cynthia, kak Hera, dan kak Vita, yang masing berdiri tak terluka sedikitpun hanyalah Vita seorang.
“Senior!” sambut Vita senang.
“Dasar kau Vita, masih suka bercanda. Kau sudah terluka tuh!” jawab kak Nanang sembari geleng-geleng kepala melihat tingkah konyol adik sepupunya itu.
“Habis sih, kalau tidak bercanda dulu, jadi kurang menarik, kurang seru.” jawab Vita mengomel, dan sedikit manja.