Seperti yang sudah mimin bilang pada episode kemaren, kalau POV di chapter ini dan chapter-chapter selanjutnya akan kembali ke POV Umam, ya.
So stay tune, guys!
..
..
“Aku sudah kasih kado itu ke ibumu. Sekarang cepat beritahu siapa penyebar rumor itu?” tanyaku lirih yang sedikit mengancam, menakuti hantu gadis kecil yang merasuki Ratna itu.
“Masa kau nggak tahu sih, kak? Orang itu adalah yang duduk di sebelahmu yang belakangan ini sering menguntitmu dari kejauhan,” jawab Ratna datar, bete.
Deg …
“Apa!? Maksudmu Pramesella?”
Gadis itu hanya terdiam, mengangguk. Aku tak habis pikir, mengapa Pramesella sampai melakukan ini semua. Apa untungnya buatnya pula.
Aku bergegas keluar, mencari kantin karena perutku sudah keroncongan. Aku berangkat sekolah kepagian, sampai aku lupa untuk sarapan tadi, sekalian mencari keberadaan Pramesella yang mungkin saja bisa kutemui di kantin nanti.
Singkat cerita, aku tak menemukan keberadaan Pramesella kala itu. Entah dimana dia berada, padahal biasanya dia selalu dan selalu mengekorku, dan kalau tidak, pasti dia akan menungguku di kantin ini.
“Di mana gadis itu, ya?” tanyaku dalam hati. “Biasanya dia selalu ada di sini saat jam istirahat berbunyi? Duh, gadis yang merepotkan,”
Tak mendapati keberadaan Pramesella, aku pun bergegas kembali ke ruang kelas, di mana para siswa-siswi sudah menunggu jam pelajaran berikutnya. Namun, aku tak menemukan keberadaan Pramesella di sana pula, padahal jam pelajaran akan segera berbunyi.
Aku pun menanyakan hal ini ke Niken, selaku teman sebangkunya, namun dia tak tahu keberadaannya.
“Ken, apa kau tahu di mana Pramesella?” tanyaku ramah dan penuh senyum pada gadis bunga sekolah itu. “Aku ada perlu dengannya, so …”
Dia pun terlihat acuh-acuh padaku, “Nggak tahu tuh! Semenjak jam istirahat berbunyi, aku sudah tak melihatnya lagi!”
Dasar, kenapa sih setiap aku menayakan apapun perihal gadis-gadis, Niken jadi sewot begitu. Ah, aku sih nggak perduli, lagipula fokusku kali ini bukan sikap sewotnya gadis itu.
Aku pun menoleh ke belakang, di mana Ratna masih memandangku dengan senyum-senyum sendiri yang membuat buluku bergidik ngeri. Ku yakin kalau hantu gadis kecil itu masih berada di tubuhnya.
Dengan indra batin, aku berkomunikasi dengannya.
“Heh, gadis kecil. Kenapa kau masih di sini dan tidak meninggalkan tubuh Ratna? Kan sesuai dengan yang kau ucapkan kalau kau akan meninggalkannya begitu urusanmu selesai,” kataku yang mempergoki hantu gadis kecil itu masih berada di tubuh Ratna.
“Ah, ketahuan rupanya? Hihi, ya mau gimana lagi, aku sudah nyaman di sini!”
“Cepat keluar dari tubuh gadis itu, atau kubakar kau!” ancamku, dia pun mengerti dan segera keluar, meninggalkan tubuh Ratna. Syukurnya dia masih mau mengerti, walaupun dia sedikit bandel.
Sebelum keluar, dia sempat mengatakan keberadaan Pramesella. Ternyata selama ini dia ada di ruang UKS. Kata orang-orang dari PMR sih, Pramesella jatuh pingsan tadi saat ia ditemukan di dalam gudang tua itu.
Belum sempat aku berdiri dan menuju ke ruang UKS, Bu Nur, selaku guru mapel Bahasa Indonesia datang dan mulai mengajar.
Namun, dari luar ruang kelas, terdengar suara ketukan pintu sebanyak tiga kali. Bu Nur bergegas membukakan pintu itu, yang mana di sana didapati Aan, ketua OSIS sekaligus anggota aktif PMR memanggilku untuk ikut bersamanya ke UKS.
Menurut keterangannya, sekarang ini Pramesella sedang ada di ruang UKS, dan dia memintaku untuk ikut bersamanya, karena Pramesella ingin berbicara sesuatu padaku.
“Ada apa sampai aku dipanggil ke sana oleh gadis penguntit itu?” tanyaku yang sedikit kesal itu. Aan waktu itu Cuma tersenyum tipis. “Apa dia mau bikin aku illfeel dengan tingkah pengekornya itu?”
“Tidak, Mam! Ada sebuah kejadian yang menimpanya tadi pagi. Kejadian yang cukup aneh, sampai Abah Nadjib memintaku untuk menemuimu,” jawab Aan yang terlihat serius. “Kejadian yang melibatkan hal-hal mistis.”
Tanpa bicara lebih jauh lagi, kami berdua bergegas menuju ke ruang UKS untuk menemui Pramesella.
Sesampainya di sana, kulihat ada Abah Nadjib yang sedang mengamati keponakannya itu dari luar pintu ditemani oleh Misbahudin, wakil OSIS.
Setelah mengantarku, Aan dan Misbah pun mohon pamit, karena OSIS sedang merencanakan acara Persami bagi kelas satu, sementara kelas dua yang belum ikut Persami, diharuskan untuk mengikutinya. Karena aku dan Pramesella adalah murid baru, maka kami diharuskan untuk ikut.
Oke, balik lagi ke topic.
Setelah Aan dan Misbah pergi, aku dan Abah pun masuk ke ruang UKS. Di sana kulihat Pramesella masih tergeletak, tak sadarkan diri.
Saat itu kulihat dia dalam kondisi terlemahnya, diam, dia terlihat begitu manis, seperti sesosok putri yang tertidur pulas di atas ranjang istana. Namun, setelah kulihat pakai mata batin, ada sebuah rantai yang menjerat jasad kasarnya. Sepertinya ada sesosok makhluk astral yang mencuri rohnya.
“Gawat!”
Abah langsung kaget mendengar celetukanku, “Ada apa, Umam? Apa yang terjadi kepada keponakanku!?”
“Roh Pramesella di bawa oleh sesosok makhluk astral. Kita harus segera membawa rohnya kembali atau dia akan mati!” jawabku yang merasa tegang dengan kondisi yang tengah kuhadapi. Pasalnya kejadian seperti ini jarang terjadi, dan apabila terjadi, sangat jarang ada seseorang pengguna mata batin yang bisa mengatasinya.
“Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk membantu?” tanya Abah gelisah.
Aku hanya menggeleng. Abah pun mengerti kalau tidak ada yang bisa ia lakukan untuk saat ini. Sebelum memulai ritual merogo sukmo, aku coba tanyakan rankaian peristiwa yang terjadi pada Pramesella, sampai dia jadi seperti ini.
Abah Nadjib pun sepertinya tak mau mengatakannya, namun karena kudesak, diapun mengatakannya.
Semua ini bermula karena rasa keingintahuan Pramesella sendiri. Tanpa seizin para guru maupun anggota OSIS dia nekat membuka gudang tua yang dipercayai oleh banyak penghuni sekolah kalau di sana ada penunggu gaibnya.
Namun aku tak mudah percaya begitu saja. Aku ingin mendengarnya dari mulut Pramesella sendiri. Karena waktu itu Abah Nadjib hanya mendapatkan laporan kondisi keponakannya itu saat sudah terjadi peristiwa ini, bukan sebelumnya, jadi aku ingin tahu langsung dari Pramesella sendiri.
“Oh ya, Abah. Sebelum itu, bisakah Abah panggilkan Aan dan Misbah? Aku ingin mereka berdua membantuku jikalau terjadi sesuatu. Bisa?” pintaku yang menduga akan terjadi sesuatu ke Pramesella begitu ku sentuh ubun-ubunnya. “Oh jangan lupa Abah panggilkan Pak Idris. Ku yakin dia akan sangat membantu.”
Dengan segera, Abah Nadjib pun memanggil ketiganya, yang ternyata masih ada di ruang guru. Aku sempat memberitahu ke Abah untuk tidak menggunakan sound system untuk memanggil mereka karena aku menduga ada dalang manusia yang sengaja melakukan ini.
“Dek Umam, ada yang bisa bapak bantu?” tanya Pak Idris ramah. Dari lakonnya sih, dia seorang jawa tulen.
“Iya, pak. Bisakah bapak doai air putih ini?” jawabku sambil menyerahkan segelas air putih kepadanya. “Setelah itu, tolong bapak oleskan air putih yang sudah bapak doai ke ubun-ubun, nadi-nadi, dan juga mata kaki!”
“Baik, dek Umam,”
“Aan, Misbah. Tolong ikat tangan dan kaki Pramesella, ya? Dan baringkan dia di lantai!”
“Oke, Mam. Kita mengerti!”
Setelah semua siap, aku bergegas membaca doa kemudian menekan ubun-ubun Pramesella. Tak sampai lama, Pramesella membuka matanya. Mata yang memancarkan kekosongan dan kengerian, bahkan korneanya tak terlihat sama sekali, Cuma putih matanya.
“Hahahaha…. Akhir Zaman sudah begitu dekat!!” teriak Pramesella menggema ke seluruh ruangan, bahkan sempat terjadi gempa karena gema suara pekikan dari akhir dunia itu.
Membuat kami berlima terpental sampai menabrak tembok. Memuntahkan darah segar dari mulut kami semua.
“Astagfirullah, sungguh teriakan yang menandai akhir dari dunia,” ujar kami berlima yang tak menyangka hal ini akan terjadi.