Setelah semua siap, aku bergegas membaca doa kemudian menekan ubun-ubun Pramesella. Tak sampai lama, Pramesella membuka matanya. Mata yang memancarkan kekosongan dan kengerian, bahkan korneanya tak terlihat sama sekali, Cuma putih matanya.
“Hahahaha…. Akhir Zaman sudah begitu dekat!!” teriak Pramesella menggema ke seluruh ruangan, bahkan sempat terjadi gempa karena gema suara pekikan dari akhir dunia itu.
Membuat kami berlima terpental sampai menabrak tembok. Memuntahkan darah segar dari mulut kami semua.
“Astagfirullah, sungguh teriakan yang menandai akhir dari dunia,” ujar kami berlima yang tak menyangka hal ini akan terjadi.
Kami semua shock seketika, ketakutan. Aku yakin kalau jin yang merasuki tubuh Pramesella bukanlah jin yang sembarangan. Aku tahu jenis mana jin itu berasal. Salah satu golongan jin yang bahkan kakek buyutku, Kyai Marwan tak mampu menyegelnya ke dalam Angus Poloso.
Jin Watsin.
Aku yakin kalau jin itu dikirim hanya sebagai pertanda dan penjaga tubuh Pramesella yang saat itu rohnya sedang berkelana di dunia gaib. Aku juga tahu hanya satu orang saja yang mampu mengendalikan salah satu jin kelas atas itu.
Nyi Imas.
Tapi aku ragu, bagaimana caranya Nyi Imas mengirim salah satu bawahannya itu sementara dirinya tersegel di dalam Angus Poloso. Apakah itu berarti kalau … Nyi Imas telah bereinkarnasi ke dalam jiwa dan tubuh salah satu keturunannya?
Sebelum kita lanjut, mari kita bahas dulu mengenai kata ‘Reincarnasi’ di sini.
Reinkarnasi di sini bukanlah seperti orang mati yang terlahir kembali ke jiwa dan tubuh yang baru, dan melupakan segala ingatan di kehidupan yang lama. Namun, reinkarnasi di sini itu adalah memindahkan rohnya ke dalam jiwa dari garis keturunannya menggunakan ajian terlarang, Ramuraga.
Oke, kita lanjut!
Aku kembali berdiri, dengan tangan dan kaki yang gemetar hebat, ketakutan bukan main. Kupaksakan diriku untuk mencoba menyembuhkan Pramesella, walaupun nyawa taruhannya.
Kuperintahkan Abah Nadjib dan yang lainnya untuk kembali memegangi tangan dan kaki Pramesella yang waktu itu sedang terlihat tenang itu. Dan kutekan ubun-ubunnya sembari membacakan doa pengusir jin sekali lagi.
Namun hasilnya tetap sama, jin itu masih terlalu kuat.
“Hahaha…. kalian memang bodoh, manusia. Aku heran kepada tuhanmu, mengapa kalian bisa jadi Khalifah di muka bumi dengan kekuatan yang hanya seperti ini!!” teriak Pramesella yang sekali lagi di barengi oleh gempa, setelah itu kami berlima kembali terhempas menghantam tembok dan tak sadarkan diri.
…
Bangun-bangun waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Kulihat Abah Nadjib dan yang lainnya masih tergeletak pingsan dengan noda darah yang tercecer di pakaian dan mulut mereka.
Kulihat tubuh Pramesella yang ternyata sudah tiada. Entah dibawa kemana tubuhnya itu oleh jin Watsi, namun aku harus segera menemukannya, sebelum dia benar-benar mati.
Kulangkahkan kedua kakiku dengan paksa untuk keluar dari ruang UKS. Sesampainya di luar, aku mendapati pemandangan yang jauh berbeda dari sekolahku sebenarnya. Darah bercecerah di mana-mana, jasad-jasad manusia tergeletak berserakan, tanpa ada yang peduli menguburkannya, dan demit-demit bergentayangan ke sana ke mari bebas.
Kuhiraukan semua itu, karena kuyakin kalau ini Cuma bayangan semu di perbatasan void. Tempat ini adalah surga bagi bangsa-bangsa jin kafir.
Aku beruntung rohku bisa terlempar di sini, karena jarang sekali ada orang yang sanggup berada di tempat ini, bahkan orang-orang yang mempunyai kekuatan spiritualis tinggi dan indigo pun tak mampu memasukinya.
“Kemana kau, Pramesella? Aku berjanji akan membawamu pulang hidup-hidup,” gumamku yang benar-benar mantap, yakin kalau diriku akan berhasil menyelamatkan gadis itu. “Jikalau ini sudah merupakan jalan yang ditakdirkan untukku, maka aku akan menggenggamnya dan dengan ini akan kuselamatkan orang-orang yang berharga buatku.”
Tiba-tiba demit-demit yang mulanya tak menghiraukan kehadiranku itu langsung jadi beringas dan menyerangku dari segala penjuru. Jikalau saja mereka mau menyerangku secara mendadak tadi dan dari tempat yang tak kuduga, aku pasti akan langsung mati.
Demit-demit kelas teri itu tak berarti apa-apa buatku. Aku pun langsung melantunkan doa pengusir jin, dan mereka terbakar tak bersisa. Aku terus dihadang oleh demit-demit kelas teri itu sampai aku tiba di sebuah gerbang.
Gerbang yang menjulang tinggi, setinggi gunung, bertiang tulang-belulang manusia, dan pintunya terdiri dari tengkorak kepala manusia.
Gerbang Neraka.
Ketika sampai di depan gerbang neraka, aku dihadang oleh tiga demit penjaga. Badannya mirip manusia sixpack, ekor babi hutan, dan kepala rusa.
Dia dijuluki Bathararusa.
“Mau apa kau anak manusia?” tanyanya menyelidik. “Kalau kau bisa sampai ke sini, itu berarti ilmumu cukup tinggi. Cepat katakan apa tujuanmu!”
“Aku datang kemari bukan untuk memulai perang antara manusia dengan jin, Bathararusa. Tapi salah satu golonganmu, Watsin, menculik salah satu temanku, dan aku ingin bangsamu mengembalikannya!” jawabku yang tetap tenang di hadapan jin penjaga itu.
Bathararusa masih terus menyelidik, bermaksud mengorek informasi dariku. “Lalu, untuk apa kau membantai para demit-demit itu, anak manusia?”
“Karena mereka menghalangi jalanku dan bermaksud menyerangku. Aku tak punya pilihan lain selain menyerang balik, ‘kan?” jawabku yang masih mencoba tenang, karena Bathararusa adalah jin yang cerdik dan mampu membaca pikiran.
Aku tak ingin membuat mereka menganggapku sebagai musuh di sini, karena Bathararusa adalah sesosok jin yang netral, jikalau dia mengamuk, aku belum tentu bisa mengalahkannya, apalagi di sini ada tiga.
Tanpa memperlambat jalanku, ketiga Bathararusa itupun akhirnya membukakan pintu gerbang neraka itu buatku. Aku langsung memasukinya, dan kemudian pintu gerbang itu tertutup kembali.
Aku menyusuri tempat yang tak terbatas, melihat di setiap sisi tumbuh pohon neraka yang di setiap batangnya selalu ada manusia yang diikat dengan rantai dan dipecut oleh rotan oleh kaum jin. Aku yakin kalau mereka adalah manusia-manusia yang membuat perjanjian dengan bangsa jin, sehingga berakhir seperti itu.
Ku terus melangkah, sampai langkah kakiku mengantarku ke sebuah puri yang terlihat begitu kuno dan kecil, kira-kira luasnya cuman tua puluh meter. Di sana kulihat ada lima belas penjaga, yaitu demit-demit berkepala khamving. Ki Cokro Suryo. Dan di inti puri, kulihat jin Watsin sedang duduk di singgahsananya, menatap jiwa seorang gadis yang tertidur di depannya. Pramesella.
“Watsin, keluar kau!!”
Para demit-demit berkepala kambving itu langsung mengepungku. Sementara jin Watsin sendiri malah enggan keluar dari purinya, seperti meremehkanku. Dari berbagai sisi kulihat percikan-percikan kilat kecil yang langsung menuju ke arahku. Aku mencoba menghindarinya dengan melompat ke depan, ke belakang, namun saking banyaknya jadi sebagian masih mampu menyentuhku.
Aku terpental jauh, setelah terkena serangan bertubi-tubi dari para demit itu.
Tak kenal menyerah, aku bangkit lagi dan lagi, tak perduli sudah berapa kali aku jatuh, membuat emosi para demit itu memuncak.
Dan inilah saat yang tepat.
Ajian Amaratungga. Ajian yang memanfaatkan emosi dan amarah musuh. Ajian ini hanya bisa digunakan jikalau emosi dan amarah musuhnya sudah memuncak. Ajian ini kalau di dunia anime mirip seperti kamehameha di anime Goku.
“Ajian Amaratungga!” jeritku mengucap mantra yang langsung kuarahkan ke para demit berkepala kambving itu.
Ajian itu membantai lebih dari separoh para demit itu, sampai ketika aku sudah hampir selesai membantai mereka semua, dari belakang muncul dua buah genderuwo yang langsung mencengkeram badanku, menggagalkan ajian Amaratunggaku.
“Grr … ternyata benar, aku mencium darah keturunan Kyai Marwan di dalam tubuh anak manusia ini,” kata salah satu genderuwo itu sembari mengendus-endus bau tubuhku. “Apa yang sebenarnya dia lakukan di perbatasan void ini?”
Sial! Aku lupa kalau di sekitar sini aku mencium bau keberadaan genderuwo. Tak kusangka akan jadi begini sekarang, umpatku dalam hati.
“Bagaimana kalau kita hancurkan saja dia, grr… lagian kita punya sejarah dengan kyai Marwan,” jawab genderuwo yang satunya.
Akhirnya salah satu genderuwo itu meremas badanku secara perlahan dengan tangan besarnya. Aku tak bisa melakukan apapun untuk bertahan, selain menjerit kesakitan. Jikalau saja aku berada di jasad kasarku, pastinya suara jeritanku akan terdengar di segala penjuru.
Tak puas sampai di situ, mereka melemparkan tubuh lemasku ke atas langit dan membiarkannya terjatuh ke atas lantai dengan kerasnya. Aku sudah layaknya sebuah batu yang jatuh menghantam besi.
Kesadaranku perlahan memudar, tak tahu lagi apakah aku akan mati saat ini, atau ada sebuah keajaiban yang akan menolongku lagi.
Keajaiban …?
Keajaiban bodoh yang pernah terjadi padaku hanyalah keajaiban yang terjadi tiga tahun lalu.
Keajaiban yang harus membawa petaka, dan pengorbanan seseorang yang kusayang.
Astrid Siswandi.
….
Semua ini berhenti saat salah satu dari mereka menghujamkan tangannya menembus tubuku. Aku tak bisa merasakan apapun lagi setelahnya. Semua terasa pudar, warna-warni dunia kini telah pudar, rasa sakit yang sempat kurasakan sebelumnya kini hanya terasa kosong, mata yang pernah melihat indahnya dunia, perlahan-lahan mulai tertutup.
Akankah aku sudah mati??
.
.
.
“Aku menyukainya,” ucapan yang begitu indah keluar dari mulut gadis sebayaku. Suaranya terdengar begitu merdu di telingaku sampai aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya. “Impian Umam sungguh mengagumkan.”
Aku langsung tersadar mendengar suara kenangan itu.
“Astrid …”
Kulihat sekujur tubuhku sudah bersimbah penuh dengan darah, membuatku tak bisa bergerak sama sekali. Syukurlah kepalaku masih dapat kugerakkan, walaupun hanya sedikit.
Aku menengok ke belakang, kudapati kedua genderuwo itu masih ada di sana sembari terduduk tertawa. Mereka seperti sedang merayakan sebuah pesta kecil-kecilan, seolah menganggap mereka sudah membunuhku.
“Ajian Palasada, Ajian Reksadara!” rapalku lemah. Kucoba bangkit sekali lagi dan akupun bisa melakukannya.
Ajian Palasada langsung mengikat kedua genderuwo itu dengan rantai-rantai api, membuatnya tak berkutik seketika dan juga terkejut, mendapati diriku masih hidup dan luka-luka yang mereka timbulkan, lenyap tak bersisa.
“Sepertinya kalian sudah cukup bermain-main ya tadi? Tak kusangka demit-demit macam kalian berani menyentuhkan tangan kotor kalian untuk melukaiku,” kataku yang mulai tak bisa mengendalikan diriku sendiri.
“Bagaimana bisa manusia rendahan macam kau masih bisa selamat setelah terkena serangan kami?” tanyanya geram. Mereka berdua menatap ke arahku dengan pandangan takut, kaget, dan benci.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan bodoh mereka itu, membuat mereka merasa semakin tak nyaman. “Simple saja. Pertama, karena aku merapalkan ajian penjagaan tepat setelah jin Watsin mengirimku ke perbatasan void ini. Dan yang kedua, karena aku telah bertarung dengan demit dan jin yang jauh lebih mengerikan daripada kalian!”
“Grr… ampuni kami, maafkan kami!” kata kedua genderuwo itu meminta ampun padaku.
“Percuma! Karena sudah saatnya penghakiman …!”