Dia melihat sebuah kedai sushi langganannya, sudah hampir 3 tahun ini dia selalu mengunjungi kedai ini tiap akhir bulan. Dia masuk melewati kain-kain yang digantung sebagai penghias pintu masuk. Suasana di kedai tidak sedang ramai, hanya sebuah televisi yang sedang menyala dan beberapa anak perempuan seumurannya yang sedang makan juga.
“Ah…Dai-kun!” seorang pria paruh baya menyapanya ketika baru masuk.
“Bos Norita!” Daimonji menyapa balik, lalu memilih tempat favoritnya yaitu berhadapan dengan rak kaca yang menampilkan sushi-sushi segar. “acara apa itu? Meriah sekali?” tanyanya.
“Itu…kota sebelah sedang mengadakan perlombaan makan tingkat kota, kalau tidak salah pesertanya ada yang seumuran denganmu Dai…,” ucap pak Norita pemilik kedai. “lihat betapa serunya melihat mereka memakan kue tart itu,” lanjutnya sambil tertawa.
“Eh…apa serunya menonton orang makan seperti itu, muka mereka sampai belepotan…,” ucapnya dalam hati. “saya pesan menu biasa ya bos!” pak Norita mengangguk lalu menyiapkan menu andalan yang biasa Daimonji pesan.
Perhatian Daimonji sempat teralihkan ke kerumunan anak perempuan yang duduk di dekat tembok. Mereka hanya berempat tetapi kehebohan yang mereka hasilkan membuat seisi kedai ramai. Dari seragam yang mereka kenakan, anak-anak perempuan itu merupakan anak SMA tetapi beda sekolah dengannya. Sadar diperhatian salah satu sisw perempuan melihat balik Daimonji, dirinya terkejut hingga salah tingkah.
“Ini pesanannya…,” melihat gelagat Daimonji yang aneh pak Norita bertanya kepadanya. “ada apa nak?”
“Tidak…,” mencoba mengalihkan perhatian. “wih lihat itu bos! Anak itu menang!”
“Haha! Dia memang hebat, sekarang poinnya sama dengan pria berbadan besar itu!”
Sementara Daimonji aman, namun ternyata tidak. Siswi perempuan di dekat tembok itu ternyata masih melihatnya, kini dengan tatapan yang tajam. Daimonji yang menjadi tidak enak menggeser tubuhnya sedikit sehingga membelakangi mereka. Lantunan lagu pop ceria terdengar dari televisi di kedai, pak Norita seperti biasanya suka mengajak Daimonji untuk berbincang. Tetapi situasi kali ini sedikit canggung karena posisi duduk Daimonji sangat tidak nyaman.
“Kamu yakin tidak apa-apa nak?” pak Norita menyakinkan Daimonji sekali lagi.
“Tidak..tidak apa-apa,” Daimonji akhirnya merubah posisi duduknya menjadi normal kembali, menghadap pak Norita. Sesekali matanya melirik, perempuan itu tidak lagi melihatnya, perasaannya menjadi tenang. Entah apa yang ada dipikiran Daimonji saat itu, lirikan matanya terus berlanjut. Sekelompok siswi perempuan itu terlihat sangat ceria, saling melontarkan guyonan yang berbalas.
Obrolan mereka berdua terhenti ketika perlombaan dilanjutkan, kata pak Norita ini merupakan final dan pemenangnya akan diumumkan. Daimonji hanya berpura-pura tertarik untuk menjaga perasaan pak Norita. Tidak terasa sushinya sudah habis, teh hangat yang disajikan juga tidak tersisa. Daimonji pamit pulang.
“Eh…tidak ingin menunggu sampai perlombaan ini selesai?” tanya pak Norita sambil membereskan piring bekas Daimonji.
“Tidak…mumpung di luar masih gerimis, saya takut jika nanti malah bertambah besar,” mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. Lalu membayar tanpa mengambil kembaliannya. Pak Norita sangat senang menerimanya.
Daimonji berjalan perlahan menuju pintu keluar, tapi tetap saja matanya tidak bisa berhenti melirik kumpulan siswi SMA tersebut. Walaupun dia mengakalinya dengan melihat lurus kedepan dan kebawah. Dia melewati kain yang ada di pintu masuk, menadahkan tangannya untuk mengecek apakah hujannya bertambah besar atau malah sudah berhenti.
“Hm..masih gerimis,” dia mengintip lalu memadangi langit yang putih. “ya sudahlah,” baru saja beberapa langkah keluar tiba-tiba dia dikejutkan dengan tendangan keras yang dia rasakan menghantam bokongnya. Daimonji tersungkur dengan wajah terlebih dahulu yang menyentuh aspal yang basah. “ouch!” memegangi hidungnya yang keluar darah, “sial apa-apa…,” berdiri dihadapannya sosok perempuan yang tadi dia sering perhatikan di dalam kedai. Kini sosoknya sangat jelas, berwajah kecil dengan rambut poni dan sebagian rambutnya diikat ke atas dan digerai panjang melewati bahu.
“RASAKAN LAKI-LAKI CABUL!” dua tangannya berada dipinggangnya seperti menantang.
“Hah cabul?” Daimonji sambil memegangi hidungnya yang terus mengeluarkan darah.