Jalanan trotoar ramai oleh lalu lalang insan manusia dari berbagai macam latar belakang. Terkadang bisa kulihat kaum elit dengan segudang penampilan mahal mereka, di sudut lain anak-anak dan orang tua berpakaian lusuh masih bergelut mencari sesuap nasi. Meskipun hari semakin petang, namun gemerlap kota semakin benderang. Kehidupan malam yang menawan dapat membuat siapa pun terlena akan bisikannya.
Di tengah keramaian aku membubung dalam diam, memandang sekeliling memerhatikan tiap pasang mata. Kucing-kucing jalanan mengais sampah, burung-burung di langit mulai pulang ke rumah. Gedung-gedung pencakar langit mematikan lampu-lampu di tiap lantai ruangan. Pepohonan dan semak berdesir, memainkan alunan gesekan lirih akibat tersapu angin.
Tak terasa aku sudah dekat dengan tujuan, rumah kediaman Lisa. Bisa kulihat dari kejauhan, di antara deretan rumah, sebuah bangunan dengan dua lantai berwarna putih. Para tetangga mulai memasukkan kendaraan mereka ke dalam rumah sepulang kerja. Ada juga seorang ayah mengajak anak dan istrinya untuk pergi, masuk ke dalam mobil mereka. Semakin dekat, langkahku semakin pelan. Kutengok keadaan sekeliling yang membuatku terlihat seperti maling.
Di seberang jalan rumah Lisa aku berhenti, terhalang sebuah mobil SUV berwarna hitam yang terparkir di tepi jalan. Aku mengernyit, berusaha melihat situasi rumah. Terlihat kamar Lisa masih gelap, sementara lampu ruang tamu menyala kuning hangat. Terlintas untuk datang bertamu tapi takut akan menjadi canggung. Kupandang sejenak ponsel di dalam tas dan mencari percakapanku dengannya.
“Telfon enggak ya?” gumamku lirih kepada diri sendiri.
Ibu jariku terhenti di atas layar, tepat di sebuah gambar telepon. Sedikit gemetar, hatiku bercampur aduk. Ada rasa rindu yang sangat menggebu, namun di sisi lain sangat takut bahwa dia tak akan meresponku.
“Hmmh…” aku melenguh, menyandarkan badan ke tiang lampu jalan yang mulai berkarat.
Tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah mobil sedan berwarna putih yang datang dan berhenti tepat di depan rumahnya. Aku merunduk sedikit, mengendap-endap sambil mengintip lewat jendela kaca mobil di depanku. Kucoba memandang dan menerka siapa yang datang, dengan segudang pikiran yang mulai macam-macam.
Benar sesuai dugaanku, Lisa turun dan keluar dari sisi penumpang depan mobil tersebut. Wajahnya sedikit lesu namun berseri-seri. Tak lama berselang, seorang pria turun mengikuti. Dahiku mulai bercucuran keringat, nadiku serasa berdenyut semakin kencang. Pria tersebut mengenakan kemeja hitam lengan panjang yang dilipat hingga siku. Mereka berdua tampak sudah akrab. Lisa berdiri di depan pintu rumahnya, sementara pria itu berdiri menghadapnya.
Mereka saling berbicara dan Lisa tertawa malu sebelum pria tersebut seperti berpamitan pergi.
“Sampai ketemu besok,” ucap pria tersebut sebelum masuk ke dalam mobil.
Lisa melambaikan tangan dan segera dibalas dengan lambaian. Entah kenapa Lisa tampak senang dan bahagia, seolah tidak terjadi apapun di antara kita. Perasaanku semakin tidak enak. Bagaimana bisa dia menjalin hubungan dengan pria lain sedangkan aku ditelantarkan seperti anjing yang dibuang majikan. Segera kuambil kembali ponsel dan kali ini kutekan tombol telepon.
“Tut tut tut…” terdengar bunyi dari lubang sepiker.
“Ah sial, nomorku diblokir!”
Kucoba menuliskan pesan namun benar saja, pesan tersebut tidak terkirim. Jelas sekali bahwa Lisa sudah mencampakkanku. Tanganku semakin gemetar karena kesal, nafasku semakin cepat. akhirnya kuputuskan untuk menyeberang jalan dan berhenti tepat di depan pintu rumahnya. Aku bergumul dalam hati. Haruskah kuungkapkan rasa kesal kepadanya atau langsung menginterogasi dengan segudang pertanyaan.
“Tok tok tok,” kuketuk pintu rumahnya dengan kepalan tanganku. Namun tiba-tiba teringat, bahwa akulah yang meninggalkannya terakhir kali kita bertemu. Aku yang terakhir kali mengecewakannya saat kita berdua sudah membuat janji. Saat dia dengan antusias berharap bisa berkencan makan berdua. Akhirnya kuurungkan niatku menemuinya malam ini. Segera berlari pergi sebelum Lisa membukakan pintu.
Dengan nafas terengah, aku berusaha sekuat mungkin meredakan marah dan egoku. Jika akan menemuinya, sebaiknya tidak dalam keadaan seperti ini.
“Ceklak!” terdengar pintu rumahnya dibuka.
Secepat kilat aku bersembunyi di balik pohon cemara besar yang ada di dekatku. Sedikit mengintip di antara celah bercabang, terlihat Lisa keluar dengan wajah kebingungan. Dia menengok ke kiri dan ke kanan berusaha mencari tahu siapa yang mengetuk pintu. Aku yakin Lisa tak akan bisa melihatku karena hari sudah gelap. Dia sedikit berjalan ke depan menengok sekitar sekali lagi dan kemudian kembali masuk.
“Besok lagi aja deh,” ucapku dalam hati.
Aku pun kembali menyusuri jalan untuk segera pulang. Ada sedikit rasa gundah dan menyesal yang masih tertuang di lubuk hati. Setidaknya harus ada permintaan maaf dulu yang kusampaikan sebelum menjejalinya dengan pertanyaan. Namun untuk sekarang, lebih baik aku menenangkan diri terlebih dahulu. Aku tak mau jika pertemuan pertamaku setelah peristiwa terakhir waktu itu harus berakhir dengan kisah yang sama. Berharap semoga pria tadi hanyalah teman rekan kerjanya yang membantu mengantarnya pulang karena tidak tega. Aku terus menanamkan berbagai pemikiran positif agar esok hatiku kembali bersih.
Kupandang langit yang sudah mulai menampakkan bintang-bintang. Ada sedikit awan gelap yang menutupi sinar rembulan. Persis seperti keadaan hatiku sekarang ini. Jika bisa mendapatkan kesempatan kedua, maka aku ingin selesai dengan bahagia.
Tak terasa aku sampai di halte bus terdekat. Ada dua anak sekolah perempuan yang sedang duduk menunggu. Kuperhatikan bahwa salah satunya berkacamata dengan rambut terurai panjang sampai punggung. Matanya tertuju pada layar ponsel yang digenggam dengan kedua tangan. Sedangkan di sampingnya menggunakan headset sambil mengangguk-angguk menikmati alunan musik. Dia mengenakan jaket hoodie berwarna abu-abu dan kedua tangannya masuk ke dalam saku. Mungkin mereka baru selesai kerja kelompok atau mengikuti les.
Bus kota datang dan kami semua beranjak masuk. Petang ini sudah mulai sepi, hanya ada empat orang di dalam bus. Salah seorang pria tua yang duduk di belakang supir memandang kami dengan tajam. Entah matanya memandangku atau kedua remaja perempuan yang kini duduk di sebelah kiriku. Namun rasanya tatapannya sangat tidak enak. Aku pun menundukkan kepala dan memangku tas di kedua paha, berharap dia tidak melakukan tindakan aneh yang mengusik. Sesekali kulirik dari sudut mata dan pria tua tersebut masih memandang ke arah sini.
“Mau macam-macam nih tua bangka,” pikirku.
Bus terhenti di halte berikutnya dan akhirnya pria tersebut turun, yang anehnya dia masih memandang tajam ke kami. Ada sedikit perasaan lega karena setidaknya tidak terjadi hal yang aneh. Setelah bus kembali berjalan, aku melamun memandang keluar jendela. Terlihat kembali gedung-gedung tinggi dengan gemerlap cahaya warna-warni. Lampu-lampu jalan terlintas dengan cepat seperti gulali yang ditarik memanjang.
Hanya sekitar 15 menit aku pun akhirnya tiba di kos. Sejenak kupandang kembali langit yang kini semakin bersih. Bintang-bintang mulai redup, digantikan oleh cahaya bulan yang semakin menyala. Aku pun masuk dan naik ke lantai tiga. Penghuni lain ada yang baru pulang, ada juga yang keluar untuk pergi. Beberapa membawa pasangan mereka masuk ke dalam kamar, yang lain datang dengan teman.
Sesampainya di kamar, aku langsung meletakkan tubuh lelahku di ranjang. Memandang langit-langit yang mulai kotor karena usang, aku meregangkan kedua tanganku. Semakin lama mata ini semakin sayu, mungkin karena terlalu capek menguras tenaga dan emosi. Aku pun seperti terlelap dan masuk ke dalam mimpi, tiba-tiba terperanjat saat mendengar sesuatu!