Pada suatu malam…
Tiba-tiba mamah masuk ke kamarku dan menyuruhku ganti baju yang sopan dan rapi. Begitu aku sudah siap mamah mengajakku ke ruang tamu dan ternyata… Sudah ada laki-laki tak dikenal duduk di sana bersama seseorang yang aku kenali sebagai ustad di mesjid milik bapa.
Aku merasakan firasat buruk.
Dan benar saja firasatku laki-laki itu dikenalkan ustad Yaya sebagai orang yang ingin melakukan taaruf denganku. Namanya… Sebut saja si Fulan. Aku tidak ingat wajahnya seperti apa. Aku tidak ingin tahu rupanya seperti apa. Taaruf? Memang benar taaruf itu cara yang benar untuk saling mengenal pra pernikahan, tapi kalau caranya memaksa begini memangnya bisa jadi pahala?
Aku tidak ingat orangtuaku dan kedua orang itu ngobrol apa. Aku hanya duduk dan terus menunduk saja.
Sampai ketika akhirnya mereka pulang aku kembali ke kamar dengan perasaan kesal.
Minggu-minggu berikutnya mamah cerita kalau dia intens berkomunikasi dengan Fulan. Kata mamah si Fulan orangnya baik, sopan, sholeh, dan mamah suka sekali dengan dia.
Aku mencibir dalam hati.
Mamah menunjukkan sms si Fulan padaku. Menurutku malah kata-katanya dia itu lebay, sok pamer, sok alim, dll. Tiap mamah nanya: “lagi apa?” jawabnya pasti “lagi sholat, lagi ngaji, lagi ibadah” ibadah terus ga kerja lu bro?
Ah, aku ga suka caranya si Fulan. Ngapain dia ngerayu2 mamah aku, ngambil hati mamahku. Padahal udah jelas sikapku jutek sama dia. Dan yang perlu diingat adalah:
TAK ADA SATU KALIPUN dia menghubungiku. Bagaimana cara aku menyingkirkannya coba? Andy kemarin kan langsung meng smsku, jadi gampang saja bagiku buat dia ilfeel, Coky mau diajak ngobrol jadi mudah pula bagiku untuk meminta bantuannya. Tapi si Fulan ini sama sekali ga menghubungiku! Yang dia sms, telepon tiap hari adalah orangtuaku. Dengan gaya carmuk yang memuakkan.
Tiap hari mamah makin suka dengan “calon mantu” nya yang satu ini. Banyak cara dilakukan orangtuaku untuk membujukku agar mau menerima lamaran si Fulan. Aku hanya bisa diam dan menangis tiap malam.
Aku sholat tahajud hampir tiap malam pada saat itu. Hanya Allah satu-satunya harapanku sekarang. Di satu sisi aku tidak mungkin melawan kehendak orangtuaku, di sisi lain aku sudah jatuh cinta pada orang lain. Apa aku tidak berhak memilih imamku sendiri?
“Ya Allah, tunjukkanlah jalan pada hambaMu ini… Hamba tidak ingin jadi durhaka, hamba tidak ingin melawan pada orangtua hamba…
Berilah petunjuk pada hamba, siapa sebenarnya jodoh hamba ya Allah, jika jodoh hamba adalah aa, hamba mohon mudahkanlah jalan kami, pertemukanlah kami, lembutkanlah hati orangtuaku agar mau merestui kami…
Namun jika si Fulan lah jodoh hamba, berikan hamba keikhlasan agar bisa menerima takdirMu…
Hanya kepadaMu hamba meminta, hanya kepadaMu hamba memohon pertolongan…”
Entah kenapa aku tidak tertarik sama sekali pada si Fulan. Memang benar aku menginginkan laki-laki yang baik dan soleh sebagai imamku, tapi entahlah…
Sikapnya itu rasanya terlalu dibuat-buat dan terlalu “manis”…
***
Sampai suatu malam, mamah dan bapa memanggilku lagi. Aku sudah pasrah mau diapakan lagi ini…
Dan ternyata…
Bapa memintaku menelepon aa, setelah tersambung, bapa meminta untuk bicara dengannya…
“Assalamu’alaikum? Mas Bambang?”
“Waalaikumsalam… Inggih pak…”
“Begini mas, saya harap mulai sekarang mas jangan hubungi anak saya lagi. Anak saya sudah saya jodohkan dengan orang lain, dan akan segera dilamar… Mengerti kan mas?”
“Pak, mohon maaf sebelumnya, saya minta bapak memberi saya waktu lagi, saya masih mengumpulkan uang untuk bisa melamar eneng pak…”
“Sampai kapan kami harus menunggu mas? Eneng sebentar lagi usianya sudah 25 tahun. Umur segitu di kampung sudah sangat cukup untuk menikah mas! Kalau mau nungguin mas siap ya sampai kapan? Saya tidak ingin anak saya jadi perawan tua!”
“…….”
“Saya harap mas Bambang bisa mengerti ya. Ya sudah. Assalamu’alaikum!”
Bapa mematikan telepon dan menatapku tajam:
“Mulai saat ini, kamu jangan berhubungan lagi sama dia! Bapa akan nikahkan kamu dengan Fulan. Ingat itu!”