Jumat ini adalah minggu pertamaku bekerja. Beberapa menit lagi, akhir pekanku akan tiba.
Aku adalah seorang penulis iklan di Runtime Media, perusahaan periklanan di Jakarta yang kabarnya terbesar se-Asia Tenggara. Menurut teman-temanku, di sini tempat orang-orang menambatkan masa depan karirnya. Sekali kau punya reputasi cemerlang di sini, perusahaan-perusahaan lain akan membukakan pintunya untukmu.
Sejak kuliah aku sebenarnya bercita-cita ingin menjadi seorang wartawan musik. Aku senang berada di tengah-tengah anak band. Setiap bulan, aku berlangganan majalah Rolling Stone Indonesia. Setiap kali membacanya aku langsung membayangkan sedang menulis berita di belakang panggung konser. Malah aku pernah bermimpi, suatu hari nanti aku akan menerbitkan biografi seorang rocker dengan sampul foto dirinya yang berkarakter gelap. Siapa tahu, aku juga akan dapat jodoh seorang gitaris yang kurus dan cuek. Tapi, kupikir, untuk menjadi wartawan musik di majalah sekelas Rolling Stone, aku perlu menjadi seorang penulis iklan di Runtime Media dulu. Pokoknya, that would be an amazing dream story!
Kalau kau tak percaya, baiklah, akan kuceritakan padamu tentang minggu pertamaku di sini.
Sejak panggilan pertama, aku harus datang jam delapan pagi untuk memandangi berlembar-lembar soal tes psikologi. Untungnya, instingku berjalan dengan baik walau tanpa sarapan pagi. Aku berhasil menjawab sekitar 80 persen soal. Selesai tes pada siang harinya, aku muntah di toilet.
Tiga hari kemudian, jam sembilan pagi, datang lagi sebuah telepon. Saat itu aku masih tidur dan merasakan sebuah telepon memanggil-manggil diriku di dalam mimpi. Begitu mataku terbelalak melihat ponsel bergetar di hidung, aku langsung melompat bangun. Panggilan wawancara!
“Serius, Nit? Wow, itu perusahaan advertising terbesar se-Asia Tenggara! Semoga lo diterima!” ujar temanku Reny pada malam setelah kuterima telepon panggilan wawancara itu. Dia sendiri sudah hampir setahun bekerja di bank.
Awalnya aku senang diterima kerja di Runtime Media. Yah, minimal aku tidak jadi pengangguran lagi. Apalagi aku fresh graduate. Tentunya aku bersyukur sekali bisa diterima di sebuah perusahaan besar yang banyak sekali diperebutkan orang.
Hari pertama ke kantor, aku diantar oleh seorang staf HR bertubuh ceking yang kupanggil Mbak Lena. Dia memperlakukanku seperti karya seni baru yang diedarkan, dipamer-pamerkan ke sekeliling kantor. Saat itu aku langsung lupa nama-nama staf yang diperkenalkan. Aku lebih memperhatikan kakiku yang pegal gara-gara berkeliling dari lantai 1 sampai lantai 7. Tapi, semuanya kelihatan senang dengan kedatanganku. Mungkin juga mereka seperti dapat hiburan dengan kedatangan anak baru.
Hari itu aku tidak bertemu dengan bos tertinggi di Runtime Media. Namun, dari Mbak Lena aku diceritakan penampakan seorang perempuan yang—ia kira berusia menjelang 50—berwibawa.
“Dia perempuan yang sangat-sangat disegani. Kamu bakalan tahu kalau sudah ketemu Bu Dewi,” katanya. “Sayang, beliau jarang di kantor.”
Well, mendengar ucapannya, aku pun semakin bertanya-tanya. Apakah atasanku itu tidak merasa perlu berada di kantornya bersama anak-anak buahnya? Apakah dia tidak ingin melihat langsung progres pekerjaan? Atau, setidaknya, dia bisa menemui siapa saja orang yang baru direkrut oleh perusahaan ini. Entahlah, seorang atasan selalu punya caranya sendiri untuk bertindak. Lebih baik aku tidak membahas ini lebih lanjut.
***
Minggu pertamaku berlalu tanpa sekali pun pernah bertemu Bu Dewi. Aku sendiri tak berharap banyak untuk bertemu dia. Mungkin orang lain akan cemas kenapa atasannya tak kunjung menemuinya. Seolah-olah, tanpa bertemu dengan atasan, kau belum resmi diterima bekerja. Kalau menurutku, biar saja aku bertemu atau tidak dengan Bu Dewi. Karena aku hanya ingin membangun reputasi pribadi di sini.
Dan akhirnya, Jumat sore itu aku sudah bersiap-siap pulang untuk bertemu Reny. Letak kantor kami memang berdekatan, hanya terpaut shelter bus transjakarta antara Dukuh Atas dan Sarinah. Yup, rencananya kami mau mencari tempat ngopi di Sarinah. Cuma kami berdua, beberapa cemilan, dua tiket bioskop, tanpa obrolan tentang pekerjaan. Setelah bekerja di Runtime Media, aku menyadari bahwa kebahagian sederhana ini hanya bisa kumiliki setiap akhir pekan.
“Anita!” panggil seseorang. Aku menoleh dan ternyata dia adalah Mbak Lena dengan lengan kemejanya yang sudah tergulung, berlari kecil menghampiriku.
“Mau pulang ya?” tanyanya.
“Iya, Mbak. Aku ada janji.”
“Oh, sama pacar?”
“Bukan, teman kuliahku—“ aku menarik nafas. “Dia perempuan.”
“Hm, begitu, ya,” dia mengangguk-angguk. “Barusan Bu Dewi telepon. Dia butuh seseorang mengambilkan gaun pestanya di rumah, terus antarkan ke hotelnya di Gunung sahari.”
Aku diam saja. Tentu saja yang dia maksud dengan butuh seseorang maksudnya bukan aku. Ini sudah lewat jam kantor. Lagipula aku belum pernah ke rumah dan hotel atasanku itu. Banyak orang di sini yang lebih tahu.
“Kamu belum pernah ketemu Bu Dewi, kan?” ia bertanya lagi sambil tolak pinggang.
Aku cuma menggeleng.
“Jadi, Nit, Bu Dewi minta kamu untuk tugas ini. Sekalian dia mau mewawancaraimu, katanya.”
Aku? Wawancara? Kenapa tidak orang lain saja yang melakukan tugas itu? Kenapa harus aku? Seharusnya dia punya asisten atau pelayan, tukang ojek pribadi, atau apapun. Aku adalah seorang writer di sini. Tidak, tidak. Aku bukan office girl yang harus berhujan-hujanan mengantarkan sepotong gaun bos yang katanya amat disegani itu.
“Mbak Lena, aku belum tahu rumah Bu Dewi dan hotelnya. Lagipula itu bukan tugas seorang writer,” ujarku diplomatis. Suaraku stabil dan meyakinkan.
Ia hanya tergelak dan duduk di bibir meja. “Kamu kan baru satu minggu di sini—belum banyak tahu … Gimana kamu bisa bilang apa itu tugas writer dan apa yang bukan? Lagipula pada lowongan itu kami menuliskan multitasking… ingat?”
Ya, aku ingat. Tapi, persetan dengan apa itu multitasking. Aku punya rencana di luar sana, sebuah kebahagian sederhana yang bisa kudapatkan setelah satu minggu tersekap di gedung yang penuh dengan manusia-manusia seperti zombie. Kulihat satu minggu ini mereka hanya kerja, kerja, kerja. Tak ada musik, tak ada meja makan siang yang rileks. It’s all about task!
“Nit,” kata Mbak Lena seraya mencondongkan tubuhnya. “Persaingan di dunia kerja ini sangat-sangat keras. Banyak sekali yang menginginkan posisimu, tahu.”
“Aku tahu itu, Mbak. Tapi, ini sudah jam—“
“Masih jam lima,” potongnya. “Kamu tahu gak, berapa lama kita-kita ini biasa bekerja? 14 jam! Semua orang di sini berusaha menghasilkan karya terbaik. Mereka bekerja keras menunjukkan kredibilitas di hadapan perempuan paling dihormati di sini, Bu Dewi. Kamu sadar hal itu. Kalau kamu punya karir masa depan yang mau dikejar, kamu harus memulainya sesegera mungkin, sekarang juga.”
Argh! Aku tak percaya ini benar-benar nyata. Seandainya aku lebih cepat enyah daritadi. Aku tak peduli Bu Dewi itu, aku juga tak peduli mau bekerja sampai berapa lama para zombie itu toh mereka memang sudah mati. Tapi—dengan amat menyesal akan kusampaikan pada Reny nanti—aku sangat peduli dengan karirku di masa depan. Runtime Media adalah batu loncatan terpenting. Oh, akhir pekan itu pun mulai terlihat pudar dalam bayanganku.
“Oke deh, Mbak,” jawabku lemas. “Kasih tahu aku di mana…”
“Sini!”
Si HR itu langsung mem-briefing-ku secepat kilat.
Diberitahunya aku alamat dan siapa pelayan di rumah Bu Dewi di Pondok Indah yang akan memberikanku gaun pesta. Setelahnya, aku akan meluncur ke Sheraton Media Hotel & Towers di kawasan Gunung Sahari. Dari Sudirman ke Pondok Indah, langsung ke Gunung Sahari? Perfect! Aku semakin tak mengerti seperti apa sebenarnya perempuan bernama Dewi itu.
“Nanti aku berikan nomor HP-mu ke Bu Dewi,” tutup Mbak Lena.
Huh! Bahkan telah kuberikan akhir pekanku padanya!
***
Aku sudah dapat jalan keluar untuk satu masalah pertama. Aku akan meminjam sepeda motor milik kantor untuk melaksanakan tugas sialan ini. Di dalam joknya sudah tersedia jas hujan.
Masalah kedua, sebenarnya aku tak begitu memperhatikan sudah berapa lama hujan di luar sana. Kalau saja Jakarta kebanjiran, terus terang aku tak tahu bagaimana caranya tiba di Sheraton Media Hotel & Towers pada jam sembilan. Aku pesimis waktu sekitar empat jam akan cukup untuk menempuh Sudirman – Pondok Indah – Gunung Sahari dalam kondisi Jumat sore di Jakarta yang daritadi diguyur hujan lebat.
Sebelum berdo’a kepada Tuhan, aku berharap semoga bosku berubah pikiran.
“Huuugh!” entah kepada siapa aku memaki selagi bersiap mengeluarkan sepeda motor dari lokasi parkir. Baru saja kupacu sepeda motor itu, aku melewati Pak Nurdin, satpam kantor.
“Pulang, Mbak Nita … “ ujarnya basa-basi.
“Ke rumah bos dulu, Pak,” jawabku seraya cepat-cepat melesat ke jalan raya.
Sejenak kuperhatikan satpam itu dari kaca spion kiri, dia tampak terbengong-bengong. Aku mendadak tak enak hati. Sepertinya jawabanku tadi kedengaran agak ketus. Pak Nurdin banyak menolongku sejak aku tiba di kantor ini. Dia selalu menanyakan makan siangku mau beli apa, memesankan taksi untukku pulang, dan lebih dari itu semua, bagiku hanya dialah satu-satunya di kantor ini yang bisa membuatku bercanda.
“Pergi dulu ya, Pak Nurdin,” akhirnya aku membalas basa-basinya juga.
Satpam itu melambaikan tangan seraya tersenyum. “Ya, Mbak, hati-hati.”
Ternyata, otakku mulai tertipu seperti orang di kota ini yang selalu salah kaprah menganggap bahwa ketulusan orang lain sebagai basa-basi belaka. Senyum dan lambaian Pak Nurdin menjadi peringatan bagiku agar tetap menjadi manusia, bukan menjadi mesin pabrik atau zombie perkotaan yang saban hari terkekang oleh target dan menyumpahi atasannya.
Alkisah, aku menempuh rute Sudirman – Blok M – Radio Dalam sampai akhirnya tiba di Pondok Indah Mall. Selama perjalanan itu sudah kutemui sepeda motor, mobil, bus, pejalan kaki, dan pedagang kaki lima menggeliat di setiap ruas jalan. Genangan air setinggi 20 cm di jalan Metro Pondok Indah membuatku tampak seperti pembawa misi suci yang harus menyebrangi laut menuju pulau terpencil. Fak!
Kutarik gas lebih dalam. Sepeda motorku melewati genangan air bagai speed bout. Air terbelah, memancar ke kanan dan ke kiri. Rumah Bu Dewi tak seberapa jauh dari Pondok Indah Mall. Aku hanya perlu memutar balik setelah jembatan yang menghubungkan mall 1 dan 2. Setelahnya, aku memasuki sebuah jalan yang lebih kecil. Di sanalah persis kulihat rumah berlantai dua dengan pagar hitam menjulang.
Pagar itu segera terbuka begitu aku meminggirkan sepeda motorku. Ternyata, seorang perempuan muda berkaus oblong langsung menyambutku.
“Mbak Anita, kan?”
“Iya,” jawabku.
“Ini, Mbak, gaun ibu.”
Baguslah, dia langsung menyodorkan gaun yang sudah terbungkus plastik itu. Aku tak perlu memanggil-manggil dan membuang waktu. Kuambil gaun itu, menyimpannya di box jok sepeda motor.
“Lho? Enggak apa-apa tuh, Mbak, ditaro di jok?”
Aku langsung menutup jok itu dengan setengah membantingnya. “Tenang aja, Mbak. Kan, udah dibungkus. Aku lanjut pergi ya.”
“Tapi … yaudah deh, hati-hati ya, Mbak.”
“Oke, makasih ya.”
Kulihat jam tanganku. Pukul setengah tujuh. Thanks God! Aku akan tiba di Gunung Sahari sebelum jam sembilan.
***
Di tengah perjalanan, aku menimbang-nimbang rute yang akan kupilih untuk sampai ke Gunung Sahari. Menurutku, lebih baik aku menuju Jalan Sudirman saja sampai ke Merdeka Selatan. Ya, itu rute yang sangat masuk akal. Sip! Aku mulai merasa tugas ini ternyata tak begitu berat. Kupikir, Bu Dewi malah akan sangat senang dengan hasil kerjaku ini.
Di bawah jembatan shelter Gelora Bung Karno, aku berhenti untuk mengenakan jas hujan. Rupanya malam itu banjir akan semakin tinggi dan banyak di Jakarta. Mudah-mudahan aku cepat selesai dengan ini dan segera pulang ke rumah.
Lalu lintas di Jalan Sudirman sangat tersendat-sendat. Banyak pengemudi sepeda motor memilih berteduh di bawah jembatan. Aku juga berkali-kali memperhatikan orang-orang tak berdaya di shelter-shelter bus transjakarta. Kupikir, selain menunggu bus, mereka juga bertanya-tanya kapan semua ini akan berubah.
Kasihan sekali. Mungkin rumah mereka terletak di pinggir kota yang sebenarnya tak begitu jauh. Tapi, mereka seolah terkurung di penjara bernama Jakarta dengan banjir dan kemacetan sebagai teralinya. Mereka tak mudah keluar dari sana. Mereka pun terpaksa diseret-seret ke dalam mall untuk berteduh dan menunggu semua banjir dan kemacetan yang gila ini reda, memberikan kelonggaran barang sejenak bagi mereka untuk pulang ke rumah.
Yeah, begitu pula parahnya aku. Kalau orang lain cuma dipenjara oleh banjir dan kemacetan, aku lebih daripada itu. Selain dipenjara, tanganku juga diikat, dipasung, sampai-sampai untuk memencet tombol agar bisa mengamuk di media sosial pun aku tak sempat.
Sementara itu aku terus melintasi Dukuh Atas, kemacetan semakin menumpuk di sana.
“Bunderan HI banjiiiir!!” teriak salah seorang di sana.
Aku membuka kaca helm. Celingak-celinguk. Mobil di kanan dan kiriku. Sepeda motor di belakangku. Syit! Tidak ada jalan keluar!
Rrrrrr….
Rrrrr….
Ponsel di saku denimku bergetar. Ugh! Siapa sih!
Dengan kesal kutarik ponsel itu, kutatap layarnya yang segera dibasahi air hujan. Nomornya tidak kukenal.
“Halo?” kuangkat panggilan itu.
“Kutunggu satu jam lagi gaun itu. Jangan telat.”
Klik!
Aku bengong saja. Tak bisa kumengerti. Tak ada sapaan apa-apa. Kutunggu satu jam lagi gaun itu, jangan telat. Cuma itu! Diakah Bu Dewi? Astaga, pikirku, dia benar-benar monster gila!
Ketika aku terhenyak sesaat, kutatap jam di layar ponsel. Baru pukul tujuh, kenapa dia minta satu jam lagi? Siapa dia bisa seenak jidatnya mengubah segala rencana tanpa menyediakanku helipkopter untuk menghindari banjir dan macet ini?
Nafasku langsung memburu. Aku memaksakan diri memasuki celah sempit di antara kedua mobil. Aku harus keluar dari sini, berjalan ke bawah dan menempuh rute ke Manggarai. Melewati Wisma Kota BNI 46, aku mendapati tumpukan kendaraan lain di terowongan. Aku tak bisa memperkirakan berapa lama aku terseok-seok sampai akhirnya berhasil keluar melintasi Jalan Sultan Agung.
Ketika limpasan air Ciliwung menghadang, kuterobos ia tanpa pikir panjang.
Begitu tiba di Salemba, kondisinya nyaris serupa. Ketinggian air mencapai kira-kira 30 sentimeter. Terobosanku kali ini tak berjalan mulus. Ponselku bergetar lagi. Sedangkan pada saat yang bersamaan aku sedang berusaha menarik gas sekuat-kuatnya agar knalpot tak kemasukan air. Ponsel itu berhenti sejenak, tapi kembali bergetar. Sial, sial, sial! Tidak bisakah perempuan itu menunggu saja dan menonton berita apa yang sedang terjadi di ibukota yang malang ini?
Terpaksa kurogoh saku denim dengan tangan kiri untuk mengambil ponsel itu. Tangan kananku mencengkeram kuat-kuat gas motor. Ya, benar, itu nomor Bu Dewi.
“Ya—halo … “ kujepit ponsel itu dengan pundak dan telinga. “Halo, Bu Dewi.”
“Aku sama sekali gak ngerti kenapa kamu belum juga sampai. Waktumu sudah habis. Aku harus terburu-buru ke Soekarno-Hatta karena kudengar akses ke sana mulai sulit.”
Mendadak saja rasanya aku jadi orang gila. “Ya, Bu, maaf … aku juga keban—“
“Temui aku pada Senin. Kita lihat apa yang sudah kamu kerjakan hari ini.”
Klik!
Nada putus di seberang sana terdengar pekak di telingaku.
Cengkeraman tanganku pada gas perlahan-lahan melonggar. Suara mesin mulai terhenti sebentar-sebentar. Sekuat apapun aku berusaha, tampaknya tak akan ada jalan keluar.
Mesin sepeda motorku mati. Aku menoleh ke sekeliling, ke shelter Matraman, puluhan orang bersungut-sungut mengantri. Begitu pun kusadari ponselku yang mendadak sunyi.
Tiiin! Tiiin! Tiiiiiiiiin! Klakson semua kendaraan di belakangku.
Aku benci kota ini. Aku benci perempuan sinting itu! Buntu. Buntu. Buntu.
(Jakarta, Januari 2014, kebanjiran … )