Di ujung jalan episode 9

Bab 9 - Undefined Feeling

Persiapan pernikahan Ardi dan Nata sudah hampir 60 %, orangtua dari kedua belah pihak juga merestui hubungan mereka. Semakin lama, Nata mulai mengenal kepribadian Ardi. Ardi adalah orang tersabar yang pernah dikenalnya, dan terlihat sangat penurut. Misalnya ketika Nata ingin konsep pernikahannya tanpa prosesi adat, Ardi dengan baiknya menuruti keinginan Nata. Nata juga melihat perubahaan dari diri Ardi, ia mulai jarang mengenakan pakaian berwarna gelap, berbeda jauh dengan saat pertama kali bertemu. Nata sudah nggak bekerja di La Lune, Ardi memutuskan untuk tidak lagi memperkerjakan calon istrinya dan meminta Nata hanya fokus menjaga Jack. Awalnya Nata terang-terangan menolak, tapi Mama Nata juga mendukung keputusan Ardi itu.

“Nat, kamu udah belom buka kuncinya ?” tanya Ardi yang sedang kerepotan membawa belanjaan Nata, sementara Nata berusaha membuka gembok rumahnya.
Mereka memang berencana untuk masak bersama, Nata selalu nggak menyukai kebiasaan Ardi yang selalu menolak jika ditawari sayur.
“Sabar, ini susah banget… Nah udah nih….”

Ardi buru-buru masuk sambil menenteng plastik belanjaannya dan meletakan di meja makan.
“Kamu mau masak apa sih Nat ? Aku gak mau ada sayurnya…” tanya Ardi sambil mengeluarkan beberapa bahan dari plastik belanjaannya.
“Aku mau bikin sup bayam sama perkedel jagung. Pokoknya kalo kita udah resmi, aku bakal masakin kamu sayur tiap hari.”
Ardi cemberut sambil memajukan bibirnya. Nata memang terlihat calon istri yang perhatian meskipun agak cerewet.

DING DONG DING DONG !

“Ar, kamu denger bel ga ? Aku bukain pintu dulu ya ?” Nata berusaha melepaskan pelukan Ardi di pinggangnya.
“Ah udah, biarin aja nunggu lamaan dikit. Siapa suruh gangguin orang pacaran aja …”
“Bentar doang, kasian tamunya…..”

Nata melihat dari jendela, tamunya seorang perempuan. Nata pun menghampiri perempuan yang berdiri di depan pintu.
“Halo, mbak cari siapa ya ?” tanya Nata sambil tersenyum ramah.
“Ini rumahnya Ardi kan ? Saya cari Ardi-nya, ada ?”
“Ada kok. Bentar ya dipanggilin dulu.”

Dua menit kemudian, Nata membawa Ardi ke depan pintu rumahnya. Sedetik kemudian Ardi terkejut melihat siapa yang ada di depannya saat ini.
“Bu…lan ?”
“Hai Ardi, long time no see.”

***

8 tahun yang lalu…

“Lan, ayo dong kita belom foto bareng,” kata Ardi sambil menarik sahabatnya itu untuk berdiri di antara Bimo dan dirinya.
“Bentar… bentar aku rapiin rambut dulu kali…”
“Udah deh, ayo langsung foto aja Bim.”

Klik, foto Ardi, Bimo, dan Bulan diambil lewat kamera butut dari hp Ardi. Foto-foto yang diambil dengan baju penuh coretan di hampir semua bagian. Masa SMA memang hampir berakhir, Ardi belum memutuskan akan kuliah di mana, apalagi dengan Bimo. Lalu bagaimana dengan Bulan ?

“Lan, lu mau kuliah di mana ?” tanya Bimo begitu selesai mengambil foto mereka bertiga.
“Bokap gue nyuruh gue nyusul ke Amrik. Kemungkinan gue bakal kuliah di sana.”[/I]

Ardi terlihat terkejut, ia mungkin lebih terkejut dari Bimo. Ardi tau bahwa ‘kemungkinan’ yang tadi dibilang Bulan adalah ‘kepastian’. Ardi mengenal benar orangtua Bulan, sehingga Bulan pasti akan kuliah di Amrik sesuai keinginan kedua orangtuanya. Sebenarnya ia akan merelakan Bulan, jika ia nggak punya perasaan apapun. Tapi ini berbeda, mengenal Bulan dari kecil lalu melepaskannya pergi dengan perasaan yang membuatnya hampir gila…

“Kamu berangkat kapan ?” Ardi akhirnya mengeluarkan suaranya setelah mengumpulkan cukup ketenangan.
“Besok.”
Seketika itu juga muncul perasaan emosi yang meluap. Bagaimana bisa Bulan meninggalkannya ? “Kamu gila ya Lan ? Berapa tahun kita temenan ? Dan kamu baru bilang kalo kamu mau pergi sekarang ? You are totally insane !” Ardi berlari sambil meninggalkan Bulan yang hanya duduk menahan tangisnya.

Ardi terdiam dengan sebatang rokok di tangannya. Hatinya takut untuk kehilangan Bulan, ia memiliki perasaan yang dalam untuk Bulan, meski mereka baru resmi pacaran 6 bulan belakangan ini.

“Ar, tolong biarin aku pergi.” Bulan datang sambil mencoba meraih tangan Ardi.
“Udahlah Lan… Aku gak mau bahas itu lagi.”
“Ar….”

Ucapan Bulan terpotong, ketika Ardi menempelkan bibirnya ke bibir Bulan. Ciuman pertama mereka, lembut dan tanpa paksan. Ardi kemudian menarik bibirnya, dan merasakan detak jantungnya yang begitu cepat.
Sedetik kemudian mereka saling bertatapan sebelum akhirnya bibir mereka saling menyatu untuk yang kedua kali lagi.

“Aku sayang banget sama kamu, Lan,” kata Ardi disela-sela ciumannya dengan Bulan, wanita yang paling disayanginya itu.

Bulan menitikan air mata. Ia tau Ardi seharusnya bukan untuknya. Dia terlalu mencintai Ardi dan gak mau membuat Ardi merasakan luka lagi. Bulan memantapkan diri untuk melepaskan Ardi, setidaknya selagi ia masih punya kemampuan.

“Ar, aku sayang banget sama kamu. Tapi aku tau, kalo kamu terus sama aku…. you wont be happy. Aku gak mau kalo kamu terus pura-pura baik-baik aja demi aku. Jadi aku mau kita udahan, bukan karena aku udah gak sayang kamu. But because i know we wont be happy.”

Ardi menatap wajah Bulan lekat-lekat. Mencoba mencari tatapan kebohongan dari matanya. “Lan ? Liat gue, bilang kalo lo udah siap sama semua resiko kehilangan gue !” Teriak Ardi hampir frustasi.

“Aku siap sama semua itu.”

Satu kalimat dari Bulan sanggup membuat hati Ardi remuk. “Jangan bertingkah seolah lo itu Tuhan ! Lo gak akan tau apa yang bakal terjadi ! Damn it !”

“Selamat tinggal Ardi.”

Tapi gak peduli seberapa keras Ardi memanggil nama Bulan, wanita itu gak akan kembali padanya.


Di ujung jalan

Di ujung jalan

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2016 Native Language: Indonesia
Kisah perjalanan cinta muda mudi pemilik kedai kopi yang jatuh hati dengan seorang reporter food and travel.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset