Saya masih melanjutkan pekerjaan saya yaitu ngojek online setiap hari dijakarta, yg biasanya sebelum pandemi berangkat jam 8/9 pagi saja sudah tupo(tutup point) pada jam 5/6 sore , skrg saya harus lebih pagi berangkat sekitar jam 7 ke stasiun berharap mendapatkan lebih bnyak penumpang. Penghasilan semakin tidak menentu, mendapatkan 1 penumpang saja sudah Alhamdulillah bahagianya, kadang dari pagi sampai siang tidak mendapatkan penumpang satupun.
Tapi hal tersebut tidak membuat saya patah semangat, dengan dibekali wajah anak dan istri saya yg sering terfikirkan ketika ngojek, dan kadang saya menangis
dimotor meratapi hasil dari usaha saya yg tidak seberapa setiap harinya. Hingga saya baru pulang ngojek sekitar jam 10/11 malam Tergantung ramai atau tidaknya dan tergantung pendapatan sudah cukup atau belum untuk tabungan keperluan anak dan istri saya perminggunya.
Minggu pertama pandemi saya pulang hanya membawa uang bersih 300/400ribuan, dan tentu saja uang itu habis untuk keperluan anak saya yg wktu itu masih berumur 1 tahun. Susu dan pampers sudah kewajiban yg harus dibeli tiap minggunya. Sampai istri saya pun hanya saya bekali uang 50ribu untuk pegangannya selama seminggu, dan untuk makan dll bergantung kepada mertua saya. Waktu itu mereka masih memaklumi keadaan. Sampai akhirnya setiap hari penghasilan semakin tidak menentu, kalo lagi benar2 sepi, tidak dapat penumpang samasekali, dan biasanya saya tidak fikir panjang, saya langsung pulang dan mencoba lagi esok hari, daripada harus keliling2 nyari customer dan bensin terbuang sia-sia, jadi saya putuskan untuk pulang. Kadang kalo lagi rame dapet 5-13 orderan paling banyak. Itupun random, kadang dapetnya food yg wktu itu harga perantarnya 10ribu, dan lebih mirisnya lagi, insentif mulai dihilangkan, dan kami para driver hanya berharap dari ongkos kirim yg customer berikan.
Minggu-minggu awal pandemi, respon ibu mertua masih terlihat memaklumi. Sampai suatu ketika, ibu mertua mulai mempermasalahkan biaya listrik atau beras atau kebutuhan pokok yg biasanya masih sanggup saya berikan, hingga akhirnya saya tdk mampu lagi memberikannya. Ia mulai komplen, dan menyindir2 istri saya dirumah, yg pastinya dia akan langsung laporan ke saya yg membuat keseharian saya semakin tidak tenang dijakarta. Dan akhirnya kami sering ribut di chatting, masalah penghasilan saya, kebutuhan, nyinyiran dari ibu mertua, dll .
Note*(ibu mertua saya adalah ibu kandung dari istri saya)
Bahkan hampir setiap minggu ketika saya pulang, keceriaan dan sikap baik dari istri saya yg biasanya dia berikan terhadap saya, perlahan mulai hilang. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan dia, mungkin karna dia mendapatkan tekanan dari mertua saya yg terlalu berlebihan, hingga akhirnya dia meluapkannya kepada saya. Jujur saja sbnernya saya sudah tidak kuat diperlakukan seperti itu sebagai suami, harga diri seolah jatuh berkeping2, tapi ketika melihat anak saya yg cantik, yg manis, yg senyum dan tawanya selalu membuat hati ini luluh disaat apapun, saya terus berusaha untuk sabar dan mempertahankan keluarga kecil ini.