Waktu demi waktu berlalu sejak kejadian itu, hingga tanpa terasa kami telah lulus SD. Akhirnya tiba juga saatnya aku pergi meninggalkan kota itu. Beberapa hari sebelumnya orangtuaku menerima surat pindah tugas dari atasan mereka ke tempat yang sama. Benar-benar kebetulan yang aneh.
Aku ingat, siang itu aku sedang berkemas, bersiap untuk pergi. Jadi kuputuskan untuk menemuinya dan mengucapkan selamat tinggal. Lagipula, saat itu kupikir mungkin saja kali itu terakhir kalinya aku bisa bertemu dengannya. Yah, setiap perjumpaan harus memiliki perpisahan. Jadi, kuputuskan untuk bertandang ke rumahnya. Meskipun letaknya cukup jauh, tapi tak apalah. Lagipula, mungkin kami tak akan bertemu untuk waktu yang cukup lama setelah hari ini. Langsung saja aku pamit kepada orang tuaku untuk pergi ke rumahnya, dan bergegas menuju ke rumahnya dengan segera.
Setibanya disana, kulihat dia sedang duduk sendirian di ruang depan. Pandangannya kosong, tetapi jauh ke depan, seakan sedang terhanyut dalam angan yang tak berbatas. Kelihatannya dia sedih.
“Kit”, panggilku.
Segera dia menoleh ke arahku. Tetapi, segera setelah dia melihatku, dia langsung saja memalingkan wajahnya. Kelihatannya dia enggan melihatku. Penasaran, akupun mendekatinya. Kembali aku bertanya kepadanya.“Kit, ada apa?”, tanyaku penasaran.
Dia menoleh lagi ke arahku. Saat itu akhirnya aku bisa melihat kedua bola matanya itu dengan jelas. Matanya tampak merah, kelihatannya sedang mencoba menahan air mata yang bisa tumpah kapan saja. Matanya memancarkan kesedihan. Baru kali itu aku melihat dia sesedih itu. Dia seakan sedang menahan rasa sakit hati yang sangat dalam.“Kit, kamu kenapa? Kenapa kamu menangis?”, tanyaku lagi.
Dia tetap diam. Penasaran, aku bertanya sekali lagi.
“Kenapa?”“Kamu akan pergi?”, tanya dia.
“Ya, sebentar lagi. Maaf, aku harus ikut dengan kedua orang tuaku.”, jawabku.
“Kamu benar-benar harus pergi, ya?”, dia kelihatan sedih.
“Ya. Maafkan aku.”, saat itu hampir tidak ada kata lain yang bisa kuucapkan, kecuali kata maaf. Heh, aku benar-benar payah…
“Kamu akan meninggalkan aku?”, tanya dia meminta kepastian lagi, seolah-olah tak rela aku pergi.“……”, saat itu aku terdiam, tak tahu lagi harus berkata apa. Suasana menjadi hening. Seolah telah mengetahui jawabanku, dia memalingkan wajahnya.
“Aku tahu, aku tahu itu.”, katanya.
Sebelum aku sempat berkata lagi, dia langsung balik bertanya kepadaku.
“Apa kamu masih ingat dengan pertanyaanmu yang dulu?”, tanya dia.“Huh? Pertanyaan yang mana?”, tanyaku penasaran.
“Tentang Cinderella”, jawabnya.
Aku terdiam. Waktu itu aku sama sekali tidak menyangka pertanyaanku yang sempat kulontarkan dulu masih diingatnya. Tapi, saat itu dia kelihatannya serius.
“Um, ya… Memangnya kenapa?”, jawabku sambil balik bertanya.“Apa kamu mau mengetahui jawabannya?”, tanya dia lagi.
“Ah, sudahlah, waktu itu kan aku hanya bercanda. Lagipula aku sudah tahu jawabannya, kok…”, jawabku dengan cepat, menutupi rasa gugupku saat itu.
“Benarkah? Apa itu?”, tanya dia tak percaya.
“Kamu pasti tidak mau, kan? Lagipula, mana mungkin sih aku menjadi pangeran dari seorang Cinderella yang begitu cantik seperti kamu? Jika dibandingkan, mungkin aku hanya setara dengan budak miskin yang tidak layak disandingkan dengan seorang putri seperti kamu. Ya, kan?”, sambungku dengan cepat. Aku benar-benar bodoh sekali saat itu. Uh!!
“Hehe.. Benar juga sih,” jawabnya dengan kepala tertunduk.
Akupun tertunduk. Saat itu aku benar-benar kecewa berat. Kesempatan terakhirku untuk mengungkapkan cinta kepadanya telah kusia-siakan. Bahkan sampai kini aku masih menyesali peristiwa itu. Mengapa aku benar-benar bodoh sampai tak menyadari bahwa dia juga menyukaiku. Padahal, kami telah bersahabat dan saling mengenal cukup lama.
“Hey, bukankah kamu harus segera pergi?”, tanya dia membuyarkan lamunanku.
“Oh ya! Aku lupa! Maafkan aku ya, Kit, tapi sepertinya aku harus segera pergi.” kataku.“Baiklah,” katanya. “Berjanjilah untuk kembali. Aku akan selalu menunggumu kembali.” katanya.
“Tentu saja.”, jawabku.
“Janji?”, tanya Kit sambil menyodorkan jari kelingking tangan kanannya kepadaku.
Segera kukaitkan jari kelingking tangan kananku dengan jarinya.“Janji.”, jawabku yakin. Dengan kata-kata perpisahan itu pula dia memberikan sebuah ciuman perpisahan di pipiku. Setelah itu ia langsung masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan aku. Aku terdiam seribu bahasa, seolah terlepas dari ikatan dunia dan terbang ke langit ketujuh saat itu.