Ucap saudara istriku, bang Ucok. Rambutnya dibelah dua, memakai baju kotor baru dari kebun, terlihat udik sekali. Dia sesekali mengeluarkan senyumnya, dan terlihat gigi dua depannya yang dihiasi emas. Disini dia sukses sekali, tanah beratus-ratus hektar miliknya dan dibuatnya kebun buah, teh, dan sebagainya. Dia punya tiga mobil, satu buat dia, satu anaknya, dan satu untuk istrinya.
“Ini mobil, saya dapet pas kejatuhan Daun Dewandaru. Wah bapak pokoknya harus ada di bawah pohon itu, terus kejar tuh daun, jangan sampe kedahuluan orang lain.”
Ucok menunjuki mobilnya, mobil jeep yang kini ia kemudikan. Anak-anak aku titipkan di rumahnya, takut hilang ketika bermain di gunung tersebut, apalagi dengar-dengar tempatnya angker. Aku melanjutkan kembali pembicaraan kita, menanyakan yang tak habis pikir di pikiranku.
“Dikejar? Banyak yang rebutan gitu?”
“Banyak pak, duh, saya malah pernah lihat itu daun jatuh di atas cewek, bisa digrepe-grepe pas ngerebutin daunnya!”
Ucok menunjukan tangannya seakan dia meremas-remas sesuatu.
“Yeh bapak, itu mah cari kesempatan. Terus tuh cewek teriak minta tolong?”
“Yah enggak, dia juga pengen daunnya. Gak ada yang dapet, katanya di jepit di selangkangannya. Tahu gitu, besok-besok katanya mereka ngecek sampe selangkangan, gila!”
Kupastikan momen daun itu jatuh pasti bukan momen yang baik. Orang udik, mistik, dan kerakusan, oh juga nafsu.
Pikir-pikir lagi kudengar tempatnya di makam, tokoh agama lagi, dan bagaimana rasanya jika dia masih hidup, melihat orang-orang ini melakukan hal tersebut di tempat peristirahatannya yang terakhir? Bahwa orang-orang yang ingin dia bawa menuju pencerahan, malah makin parah butanya, jatuh ke dalam kegelapan, orang-orang yang seperti aku ini, yang juga tertarik. Ah, kupikir percuma saja kupikirkan ini, lagipula orang di sebelahku buktinya sukses? Berarti sudah restu tuhan, restu si Pak Kiai juga yang sudah meninggal, bahwa semua ini baik-baik saja, Insya Allah halal.
Lepas dari lamunanku, Ucok mulai menceritakan soal dirinya diantara liuk-liuk jalan menuju gunung kawi, tentang bisnis barunya, anaknya yang kini sedang keranjingan koleksi mobil kuno, lalu buah-buahnya sangat rimbun dan laku. Saat tahu diriku mau ke gunung kawi, dia juga ingin berkunjung, biar makin panen kebunnya, yang kupikir terdengar maruk sekali.
“Sudah sampai pak.”
“Oh ini gunung kawi?”
Sudah sampai, dan tidak kutemukan perasaan mempesona sama sekali, ekspresiku datar, jauh dari ekspetasiku tentang gunung slamet yang kukunjungi semasa kuliah, atau gunung merapi semasa liburan keluarga.
Gunung kawi bukanlah gunung yang indah, hanya 2000 meter tingginya. Pohon-pohonnya tidak tinggi maupun beragam, dan sudah banyak pemukiman masyarakat, menghilangkan keasrian hutan di gunung kawi ini. Walau demikian gunung kawi ini didatangi banyak sekali pengunjung, bahkan ketika bukan pada hari utama. Saat sampai, terpampang tulisan ‘Tempat wisata Gunung Kawi’, dengan tempat parkir luas dan mobil-mobil luar biasa bagus, Audi, Merci, BMW, dan sejenisnya. Ucok bilang bahwa Mentri, DPR, Calon Presiden, dan politikus-politikus sering berkunjung kesini, bahkan sampai Suharto sendiri, yang katanya butuh restu eyang jago untuk jadi raja jawa, kalah nyi roro kidul sama eyang jago ini. Katanya lebih baik kita langsung ke makam Eyang Jugo, tempat sumber rejeki kami.
Kita menaiki tangga-tangga yang telah dirawat dengan baik, terdapat tiang lampu yang cantik berjejer di tangga tersebut, dan gerbang yang menunjukan tempat padepokan. Di atas gerbangnya terdapat papan bertuliskan arab, juga terdapat ukiran-ukiran pada batu di antara kedua sisi gerbang, coraknya adalah khas orang-orang tionghoa. Mungkin kalau diperhatikan lagi, memang banyak sekali ornamen tionghoa di gunung kawi ini. Saat aku bertanya perihal ini, kata Ucok memang disini merupakan tempat tinggal warga tionghoa, dan juga tempat wisata utama warga tionghoa karena kebanyakan dari mereka yang percaya dengan keberuntungan. Kalo kita makan, tak jarang bakalan ketemu dengan warung sate babi, dan jajanan tidak halal lainnya.
“Dikit yang islam, tapi sembhayang di depan makam imam. Toh demi kaya, pindah agama beberapa menit juga gak apa menurut mereka…”
Aku tertawa mendengar ucapan Ucok. Berbicara ironi soal kemurtadan demi kaya, tapi tidak sadar bahwa kita ini juga ironi, bahkan menari-nari di atasnya. Aku yang ingin lepas dari hutang, dan dirinya ingin jadi lebih kaya.
Kita melanjutkan berjalan hingga sampai pada di depan rumah padepokan Eyang Sujo. Suasana disini nyaman, dingin tidak seperti di bekasi, dan angin nikmat sesekali melewati leherku. Padepokan Eyang Sujo khas dengan rumah yang kesannya daerah sekali, genteng segitiga bertumpuk, dan dominan dengan kayu. Tangganya putih terang karena bertatapan langsung dengan matahari. Disana terdapat orang yang berdiri menggunakan peci, matanya sipit, langsung menyambut kami.
“Bapak mau selamatan?” Ucapnya.
Aku langsung bertanya pada Ucok, dan dia berkata bahwa mereka adalah warga sini yang membentuk Yayasan Gunung Kawi. Selamatan tersebut katanya adalah ritual agar mendapatkan rezeki. Aku langsung bertanya pada orang tersebut untuk informasi lebih lanjut, karena Ucok bilang sudah agak lupa juga soal ini.
“Maaf pak, numpang nanya, Selametan disini maksudnya yang seperti apa yah?”
“Oh, hatur nuhun pak, nanti bapak siapin barang untuk sesajen, lalu bapak ikutin paket ritual kita, ada yang pukul sepuluh siang, jam tiga sore, dan pukul sembilan malam. Nanti ritualnya dipimpin tukang doa pake sesajen bapak. Kalo bapak mau ikut, silahkan bapak ikut saya ke loket, daftar dulu.”
Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya. Paket? Loket? Daftar dulu? Bayar berarti? Seakan acara ritual ini seperti sudah dimodernisasi saja. Orang tersebut berkata bahwa terdapat tempat yang menjual barang-barang yang biasanya umum dijadikan selametan, tetapi Ucok berkata bahwa dia sudah menyiapkan barang yang diperlukan, sesuai dengan uang yang kuberikan padanya sehingga diriku tak perlu beli lagi dari warga sekitar yang katanya mahal sekali.
Kita berjalan, mendaftar jam tiga sore, karena kebetulan sudah dekat-dekat jam segitu. Disana aku bisa melihat terdapat orang yang membawa kambing, dan sapi. Aku segera berbisik pada Ucok, karena yang dia sediakan untukku hanyalah sembako, seperti beras dan minyak. Ucok juga membawa ayam saat itu untuk dirinya sendiri.
“Ini gak apa sesajennya ini saja? Memang tuhan atau Eyang Jugo mau nyayur?”
“Yah, kalo mau bagus sih kambing hitam, tapi yang disediain masyarakat harganya semotor, mahal banget. Semakin besar harganya atau semakin langka katanya bakal lebih manjur. Tapi yah..”
Dia menatap bawaanku, tatapnya memperlihatkan rasa kasihan.
“Sembako juga lagi langka sekarang.”
Kepalaku langsung meledak marah, bahkan sampai lepas plastik sembako dari tanganku. Aku segera lupa diri dan mengutuknya jika saja uang yang kukeluarkan demi sembako ini bakal sia-sia.
“Pasti ada efeknya, pasti kok…” Ucapnya lirih, sambil mengambil plastikku, dia saja yang bawa katanya.
Sambil menunggu, Ucok mengajakku ke makam imam-imam disini. Ketika masuk, seorang satpam menyetop kami, menyuruh kami memberikan KTP kami, dan menyerahkan alamat rumah kami. Aku bertanya untuk apa, tapi mereka hanya berkata formalitas keamanan disini. Setelah itu kita dimintai harga masuk, lima belas ribu rupiah, dan belum cukup juga, si satpam meminta uang suka rela juga untuk mengurusi banyak hal, membuat kami keluar kocek sepuluh ribuan lagi.
Masuk ke dalam padepokan, Ucok langsung mengajakku ke antrean yang berujung pada dua guci kuno. Katanya minum air yang berasal dari guci tersebut akan membuat awet muda. Aku meminumnya, dan terasa segar sekali. Aku bertanya-tanya apakah karena air ini memang ajaib sehingga diriku merasakan kesegaran yang meliputi seluruh tubuhku, atau hanya karena memang air ini berasal dari mata air pegunungan. Kata Ucok lebih baik aku percaya versi air saktinya saja, lebih manjur jika percaya katanya, mungkin mirip seperti propolis, atau produk-produk MLM lainnya, kalau tidak percaya yah percuma, mungkin karena itu aku lebih senang resep dokter saja, tidak perlu percayapun sudah ada efeknya.
Lalu kita masuk dalam ruang makam. Setelah mengantri lama, kita mengikuti orang-orang kebanyakan, berjalan mengelilingi makam, lalu bertekuk berdoa. Sambil berdoa akan keselamatan, aku juga meminta keinginan untuk mendapat rejeki melimpah. Di dalam terdapat dua makam, dengan kain putih sebagai gorden sedikit menutupi dua makam tersebut. Tertulis Eyang Jugo dan Eyang Sujo di makam mereka masing-masing. Lampu pijar menyinari kedua makam tersebut, sekaligus menciptakan suasana mistis di tempat yang redup ini. Banyak bunga-bunga kemangi, kenanga, dan jenis-jenis bunga sesajen yang diletakan di depan makam. Tali tambang di ikatkan pada atas makam, dan terdapat reliku kayu di bawah makam tersebut.
Aku segera mengucapkan doaku, cepat-cepat karena di belakang sudah banyak yang mengantri. Saat itu Ucok menyatukan tangannya sambil menunduk, meletakan tangannya di atas kepalanya, lalu mulutnya komat-kamit dengan cepat dalam suara bisik. Kalau tidak salah, memang cara doa inilah yang dilakukan semua pengunjung, cara doa seperti di kelenteng. Aku bingung untuk mengikuti cara doa mana yang benar, namun akhirnya aku hanya menggunakan cara berdoa yang biasa saja.
“Mau ke pohon Dewandaru?” Ucapnya setelah berdoa.
Aku melihat jamku, masih tiga puluh menit lagi.
“Ayolah.”
Kami lalu berjalan menuju pohon dewandaru, tidak jauh dari tempat makam, berada di daerah pasarean tepat di depan padepokan, dan kemudian kami duduk di bawahnya bersama banyak orang yang duduk sambil melihat jam. Angin berhembus kencang karena cuaca yang kini mendung, dan dahan pohon ini meliuk-liuk mengikuti kencangnya angin, namun tak satupun daun yang jatuh. Kutanya bagaimana kalo dipetik saja, tapi Ucok bilang tidak akan ada efeknya. Aku kemudian hanya bisa menikmati semilir angin dan udara sejuk, sejenak hampir lupa soal hutangku, mungkin yang kulakukan mirip-mirip dengan orang disini yang juga berasal dari kota luar dan punya masalahnya masing-masing. Ingin kaya, atau butuh uang untuk kuliahin anak, atau juga buat bisnis yang hampir bangkrut, sudah benar-benar putus asa hingga percaya suatu pohon bisa mengubah hidup mereka.
“Shian-to”
Ucok membangunkanku dalam renungan.
“Apa?”
“Orang tionghoa sebut pohon ini Shian-to, pohon dewa.”
Apa yang kulihat adalah pohon cemere belanda yang di tertanam di antara ubin putih juga dipagari kawat yang dicat putih. Ucok kembali mengingatkan jika ada daun jatuh harus cepat-cepat disembunyikan, lalu bungkus pada uang dan ditaruh di dompet. Katanya dari segala ritual dengan proses yang panjang, pohon dewandaru yang paling berefek pada rejeki kita.
“Biasanya sampe kapan ini nunggu?”
Aku menatap jamku, sudah beberapa menit lagi hingga acara selametan diselanggarakan.
“Yah kalo hoki sekarang, mungkin berhari-hari, mungkin bertahun-tahun.”
Aku langsung menekuk mukaku, jika peruntungannya demikian tentu saja bahwa hal ini buang-buang waktu, atau setidaknya aku menginap, dan tidak mungkin kulakukan karena waktu akhir bayar hutang sudah dekat. Kini aku hanya bisa berharap sembako yang harusnya kusumbangkan pada orang miskin ini mau diterima eyang jugo, yang sesungguhnya sudah kaya dengan kambing dan ayam, dan mungkin butuh minyak untuk menggoreng, atau sayur untuk lalap, entahlah. Jelasnya kini waktu alarmku berbunyi, waktu upacara sudah mau dimulai dan kami langsung berdiri dengan orang-orang lain yang duduk di bawah pohon, berlari menuju tempat upacara.
Sampai di sana sudah ramai orang-orang yang menunggu, lalu disuruhnya kami meletakan segala hal sesembahan di lapangan tepatnya di depan tungku yang berhadapan dengan hutan, sedangkan yang membawa hewan sesembahan disuruh bersiap-siap, mereka disuruh berada di baris depan, prioritas pikirku, dan Ucok menarikku biar bisa melihat katanya. Sang pendoa lalu datang, berpakaian hitam, lebih mirip dukun daripada priayi, memantikan serbuk-serbuk pada tungku kecil. Sang dukun membaca berdoa, komat-kamit, kupikir bahasa jawa bukan arab. Dia melepaskan sesuatu pada tangannya, membuat percikan api di tungku kecil tersebut. Kambing dan sapi lalu disuruh dilepaskan dari talinya, dan mereka berjalan secara berirama ke hutan.
“Di kembalikan ke alam, bentuk penghormatan ke alam” Ucap Ucok berbisik.
Saat itu aku tahu bahwa hutan ini tidak besar juga, bisa-bisa kambing dan sapi ini berkunjung ke rumah warga, atau mungkin sudah ada yang menunggu di dalam hutan.
“Serius ini gak diambilin warga?”
“Enggak lah, kualat tahu, kualat!”
“Terus barang-barang yang bukan hewan ini mau diapain? Dibuang ke hutan? Dibakar? Disumbangin?”
Dia cuman bilang jika aku tidak percaya dan apalagi membuatnya tidak percaya, efek ritual ini akan hilang, dan setelah itu dia enggan berbicara padaku lagi. Saat itu kita disuruh berdoa bersama setelah itu dipimpin oleh dukun tersebut (aku kini hanya ingin menyebutnya dukun), sampai pada akhirnya doa sang dukun berhenti ketika sebuah cahaya flash keluar dari kamera seseorang.
“Woi!”
Tiba-tiba suara orang berteriak, menepuk kamera itu jatuh.
“Tidak boleh memotret!”
“Lah saya bayar kesini! Waduh..”
Pria itu melihat ke tanah, lensa besarnya yang bertuliskan nikon pecah. Aku ingat, harganya mahal sekali, 12 juta mungkin satu kameranya kulihat di situs jual beli. Hobby yang mahal, mungkin dia kesini untuk bisa beli satu lagi.
Tiba-tiba sang dukun bermuka masam. Ia segera berjalan ke arah para pendoa, meminta mereka membukakan jalan.
“Ritualnya gimana pak?” Salah satu asisten bertanya, bisik-bisik, tapi kami dengar.
“Tidak jadi! Salahkan orang tidak sopan tersebut, suasana hati saya jadi suram sekarang. Pendoa harus suci, tidak boleh kotor pikirannya. Besok lagi datangnya, saya ingin meditasi dulu.”
Aku hanya melongo tidak percaya, sama dengan Ucok. Bagaimana bisa seenak jidat si pemimpin doa melakukan hal tersebut! Saat itu orang-orang mengeremuni si pria berkamera, dan aku menarik Ucok yang sepertinya juga emosi pada laki-laki tersebut.
“Dikira harga ayam murah apa! Sialan! Buangsaaatt!!”
“Udah Cok, kita istirahat di depan pohon Dewandaru.”
Aku berusaha menenangkannya, padahal hatiku mungkin lebih muram daripadanya. Aku jauh-jauh dari Bekasi ke sini, dan hanya mendapatkan kekecewaan. Uangku juga sudah habis buat sesajen, dan kini pikiranku adalah bagaimana memberi alasan pada istriku yang menunggu kabar kesuksesanku di sini, yang nyatanya nihil sama sekali.
Lalu aku dan Ucok duduk dibawah pohon, dan rasa kantuk menyertaiku. Aku lalu tertidur sebentar, setidaknya cukup untuk membuatku fokus di jalan saat menggantikan Ucok mengemudi.
***
“Awakmu arep sugih?”
Seseorang mengucapkan bahasa jawa padaku yang kupikir bertanya jika aku ingin jadi kaya. Dia menggunakan baju hitam, seperti pakaian jaman belanda. Mukanya tidak terlihat selain asap yang keluar dari lehernya. Tongkat besar dipegangnya, berwarna emas berukir naga. Dia berjalan mondar-mandir mengucapkan sesuatu padaku, aku tidak paham, jawa kromo. Aku melihat sekitarku saat itu, diriku seperti berada di dalam padepokan, namun tanpa kedua makam tersebut. Bau manis dupa mengelilingiku saat itu, bercampur dengan bau sesajen bebungaan.
“Aku mehjupo anakmu.”
Dia menunjuk sesuatu padaku sambil mengucapkannya, dia berkata tentang anakku.
Lalu dia menghilang, begitu saja.
***
“Mas Rian!”
Ucok berkata dengan semangat sambil menggoyangkan tubuhku, dia kini terlihat sangat gembira seperti lupa masalah yang baru saja menerpa.
“Daun Dewandaru!”
Dia menunjukan daun padaku, namun langsung menutup mulutnya dan melirik ke kiri dan ke kanan takut jika ada orang yang mendengarnya.
“Ada di kepala mas tadi jatuh. Aduh, beruntung saya tadi lihat, kalo ketahuan orang bisa dicuri.”
Dia mengucapkan hal tersebut sambil menaruhnya ke tanganku, membuatku mengepalkannya.
“Uang mas dibungkus pake ini, taruh di dompet. Insyaallah, rejeki ngalir mas! Rejeki numpuk!”
Aku terdiam sebentar, lalu tiba-tiba senyum keluar dari mulutku, ternyata diam-diam aku percaya juga. Langsung kubungkus daun ini dengan uangku, kutaruh di dompet. Seketika tempat kelam ini jadi warna-warni, langit yang gelap jadi terang, dan rejeki segera datang padaku, walaupun mungkin efeknya tidak langsung, setidaknya berita baik untuk istriku. Ucok menepuk-nepuk pundakku, dia ingin traktir diriku di restoran paling mahal di malang katanya biar rezekinya nular, dan kini aku pikir ini rejeki pertamaku, akhirnya bisa makan selain tongkol di rumah!
Kita segera ke mobil, dan Ucok bilang dia saja yang nyetir. Di tengah jalan, dia bilang katanya menginap saja, seminggu gitu, tapi kubilang tiket yang kubeli sudah akan berangkat pulang, dan aku menolak tiket ganti. Lalu dia tanya apa aku bermimpi sesuatu tadi, kujawab iya, dan katanya itu berarti sudah restu dari eyang jugo. Aku hanya mengangguk saja karena mungkin memang ada hubungannya, dan kini aku sudah lupa-lupa sedikit, apa yang tadi kakek itu minta?