Gunung Kawi episode 3

Chapter 3

Aih, benar saja ucapnya, setelah pulang istriku berkata bahwa dia baru saja mendapatkan harta warisan, dari saudara neneknya yang dulu sering ia kunjungi. Warisan tersebut berupa tanah yang telah dibanguni kontrakan, ramai dan uang yang tidak sedikit mengalir dari kontrakan tersebut. Saat itu katanya dia mimpi ketiban durian, dan tahu-tahu sudah dihubungi bahwa namanya tertulis dalam wasiat. Tak elak kucubit pipiku, minta anak-anak cubit juga, tapi sakit, sakit! Aku tidak bermimpi! Daun ini ngaruh, sakti mantraguna!

“Pria bernama Tumpal itu, kubayar langsung dimuka, lebih beberapa juta buat dirinya kasihan sih kesini mulu tiap hari dengan dekilnya itu, teriak siang-siang bolong, nahan malu diliatin orang-orang kayak macam orang gila aja. Dia langsung terima kasih mangut-mangut, cium tanganku di depan para tetangga. Berasa majikan budak saja!”

Setelah itu tiba-tiba temen kuliahku, Reza, mengajakku bisnis ikan sidat, dan aku hanya perlu investasi sedikit, dan langsung usaha ini laku keras, untungnya ratusan juta setiap bulannya karena siapa tahu sidat yang baru kutahu namanya saat itu tiba-tiba jadi makanan favorit seluruh indonesia? Media sosial memang edan, apa saja yang enak bisa kesebar, dan darimana saja pingin segera coba. Uang hasil keuntungan ini langsung kupakai untuk rumah, mobil, dan sebagainya dalam kebiasaan kami sebagai keluarga konsumtif. Tak lama istriku keluar dari bidan, dia langsung membuka bisnis baju dan usahanya juga tak kalah laku.

“Pasti karena Gunung Kawi bukan? Kubilang apa.”

Dia selalu mengucapkannya padaku, hidungnya kembang kempis saat mengucapkan hal tersebut.

Tapi kebahagiaan kita tidak lama, Ria jatuh sakit saat itu, dan seketika berapapun harta yang kita punya tidak mampu membendungi perasaan sedih kami. Ternyata kekayaan macam makanan mahal, mobil, rumah maha megah, dan sebagainya tidak ada artinya ketika seseorang yang kalian kasihi, ataupun dirimu sendiri sakit. Terutama istriku yang setiap hari menangis melihat kondisi Ria, kondisinya jelas bukan sakit biasa.

Pertama memar muncul di tubuhnya, kutanya apa dia jatuh, namun tidak katanya. Kupegang, dan katanya tidak sakit. Akhirnya kami bawa ke dokter, dan kata dokter dirinya kekurangan zat besi, dan saat itu juga Ria jadi tidak mau makan. Indomie kesukaannya, mie ayam, dan mie-mie lainnya dia tolak. Satu-satunya yang ia suka kini adalah daun sawi, tidak mau bayam atau semacamnya, hanya sawi saja, dan kini tubuhnya makin kurus dan kurus, jelas bahwa tidak ada kandungan gizi apa-apa di sawi.

Beberapa bulan kemudian, memar mulai muncul di lehernya, tangan kirinya, kakinya, seluruh badannya. Lalu yang paling mengerikan Ria mulai demam dan sering kejang-kejang, busa keluar dari mulutnya yang kami pikir ayan. Tapi bukan, ya tuhan, itu bukan ayan kubilang. Ria seketika itu berdiri berhenti dari kejangnya, matanya menjuling ke atas, dan dia berbicara bahasa yang lain, bahasa jawa, sesuatu yang tak pernah kami ajari padanya, bahkan ibunya sekalipun yang berasal dari jawa.

“Melu karo mbahmu, ojo nakal!”

Dia tampar dirinya sendiri, berkali-kali, dan saat istriku berusaha menghentikannya, dia merasakan sesuatu yang sangat kuat membuatnya tidak mampu menghentikan apa yang Ria lakukan, dia tetap menampar wajahnya sendiri keras-keras hingga biru dibuatnya. Istriku hanya bisa berteriak kencang-kencang, hingga tetangga datang, berbisik-bisik di depan pintu bahwa anakku kena ayan.

Di akhir dia akan menghadap padaku, melotot sambil menyeringai, mengucapkan sesuatu yang kami semua mengerti :

“Ku ambil dia, ku ambil!!”

Kami sekeluarga langsung ketakutan, dan seketika Ria jatuh, kupisah dirinya dari peluk ibunya dan kubawa dia menuju kamarnya lalu kuusir warga dari depan pintuku. Istriku saat itu langsung memukulku di dada dalam tangisnya, bertanya apa yang terjadi pada anakku.

“Aku ingat mah… aku lupa cerita ke kamu.”

“Apa?!”

Aku tidak bisa menahan tangisku, aku segera terduduk bersender pada tembok. Aku segera mengeluarkan dompetku, kubuka uang dan daun yang membukusnya.

“Ada kakek-kakek..”

Tiba-tiba omonganku terpotong oleh erangan dari dalam kamar.

“Papah..”

Ria keluar dari kamarnya, dia minta dibuatin Indomie dengan sawi. Istriku langsung memeluknya, mencium dahinya yang memar. Dia belum selesai mendengar ceritaku, tapi Ria berkata bahwa dia melihat sesuatu, dia bermimpi buruk, dan deskripsinya mirip dengan apa yang ingin kukatakan :

“Ada kakek-kakek, bajunya hitam, dia mukul aku pake tongkat, sakit pak bu… sakit…”

Beberapa hari kemudian hal yang sama terjadi pada Ria, dia tak sadarkan diri lagi setelah kejang-kejangnya, dan dokter berkata bahwa dia dalam keadaan koma.

Setelah itu Ria di opname di rumah sakit, sudah sebulan sekarang, setiap hari ibunya akan memandikannya dengan handuk basah di atas kasur, menekuk tangan dan kakinya biar tidak kaku jika saja ia bangun, biar bisa langsung main sama adik-adiknya kata dia kepadaku, dan ia tidak biarkan suster melakukan apa yang dia lakukan. Malam ia pakai untuk baca quran, shalat tahajud, lalu menangis sejadi-jadinya. Aku lama-lama juga ikut melakukan itu, tapi tak rela juga aku bakar daun ini. Ada apa sesungguhnya? Ada apa? Istriku juga tidak menyuruhku membakarnya walau dia sudah dengar ceritaku. Kenapa kita diam saja selama ini?

Menyadari ini, aku tidak tahan lagi, biar malu saja. Aku segera berbicara pada warga desa di warung kopi, kuminta mereka carikan diriku seorang kiai atau paranormal yang bisa mengusir ruh atau sebagainya, kubilang anakku dirasuki sesuatu, biarlah semua warga tahu bahwa kami memang menderita sesuatu karena pesugihan. Lalu akhirnya ditemukanlah aku dengan seorang pria dari pasantren, jauh dari bekasi, rela-rela aku ke sana dan kujemput untuk menengok anakku. Dia tidak menolak, katanya sudah nunggu lama aku kesini, kupikir dia bercanda saat itu.

Ketika telah sampai, dia segera duduk disebelah Ria tanpa istriku persilahkan. Saat itu dia menutup matanya, dan dibacakannya ayat-ayat quran.

“Bapak pesugihan?”

Kiai yang kutemui ini, Hamid namanya, langsung bertanya padaku sambil mengeluskan jenggotnya yang putih panjang. Dia menggunakan sorban putih, tua, dan matanya yang lembut memperlihatkan kebijaksanaan dalam dirinya. Aku hanya mengangguk, dia langsung tahu apa yang menganggu anakku saat ini. Sakti, hanya itu yang ada dipikiranku, tapi beda dengan dukun, yang di hadapanku ini auranya berbeda sekali.

“Saya iseng pak, tidak serius.”

Aku langsung menunjukan daun yang kini kugunakan sebagai jimat.

“Kejatuhan daun, terus disuruh bungkus ke duit terus ditaruh ke dompet. Saya langsung ketiban rejeki persis seperti rumornya, tapi… tapi…”

Aku menangis tidak bisa melanjutkan kata-kataku, istriku juga sama saja yang kini lemas kakinya, terjatuh di belakangku. Sang kiai menganggukan kepalanya, menyuruhku menyimpan jimat tersebut kembali.

“Semua itu atas restu Gusti Allah, semuanya itu atas persetujuannya, ujian untuk bapak… Bapak ngerti saya ngomong apa?”

Aku mengangguk, namun dia seakan belum percaya bahwa aku mengerti ketika lama menatap ke arah mataku.

“Tidak, bapak belum faham. Tempat itu gak ada apa-apanya kecuali mahluk ghaib, yang meninggal sudah ada di akhirat sana, sudah lepas dari dunia. Gusti izinin mahluk ini goda bapak, buat bapak terlena, terus ngambil anak bapak.”

“Ambil anak saya?!”

Bukan aku yang berteriak, tapi istriku. Seketika suara itu diikuti oleh suara jatuh, istriku pingsan di belakangku. Ketika itu istriku langsung di pegangi oleh suster, dan diberinya minyak kayu putih ke hidung istriku. Sang kiai tidak menunggu lagi, ia lanjutkan omongannya.

“Bapak mungkin gak bisa liat, dia sekarang duduk di leher bapak.”

Aku segera panik memeriksa leherku, namun aku tidak bisa merasakan apa-apa. Satu hal yang kusadari, rasanya leherku dan bahuku terasa pegal akhir-akhir ini.

“Gimana pak? Gimana caranya untuk nyelamatin anak saya?”

“Saya rukiah, terus coba minumin air yang saya udah doain ini. Insyaallah anak bapak nanti siuman, tapi mahluk tersebut masih ngelekat di bapak. Setelah ini bapak harus ajak anak bapak ke tempat ke depan tempat pesugihan tersebut, jangan masuk ke dalam. Bapak tiup daunnya di depan anak bapak, dan insyallah juga mahluknya lepas dari bapak.”

Aku mengangguk menuruti, lalu dia mulai membuka Qur’an dan membacanya. Aku juga ikut berdoa, walau yang kuhafal hanya sekedar An-Nas, ataupun Al-Ikhlas, aku berjanji pada Allah bahwa aku akan bertaubat, shalat lima waktu, berpuasa senin kamis dan tidak ikut dalam hal yang aneh-aneh lagi. Saat itu istriku akhirnya siuman dan melanjutkan tangisnya, dia berkata bahwa ini semua salahnya, menyuruhku mengunjungi tempat terkutuk tersebut, dan aku segera memeluknya, berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, semuaya akan kembali seperti sedia kala.

***

Di dalam mobil sambil memeluk Ria yang masih demam, mata Ucok sembab, mobil jeepnya kini berubah menjadi sedan butut. Katanya anaknya meninggal tak lama diriku berkunjung, kebunnya tak lagi berbuah, bisnisnya bangkrut, istrinya juga sakit-sakitan. Alhamdulilah katanya, kini dia bertaubat, dan tetangga yang peduli membantu keadaan keluarganya, kini mereka punya bisnis kecil-kecilan, tidak sesukses dulu, namun cukup membiayai hidup mereka. Dia dan istrinya hingga kini masih berduka soal anak mereka yang kecelakaan, mereka sangat menyesal sempat menjadi pesugihan, nasib yang persis seperti diriku kini.

“Saya bakar daunnya, saya langsung shalat taubat, gak mau berurusan sama yang kayak gituan lagi. Semoga mas Rian gak senasib sama saya, setiap hari saya mimpi buruk…”

“Mimpi apa mas Ucok?”

“Mimpi anak saya minta Tolong mas Rian, dan duh…”

Ucok saat itu menyeka air matanya yang mulai keluar deras, dan suaranya bergetar tak mampu berkata-kata. Aku menyuruhnya untuk tidak memaksakan diri menceritakan hal tersebut, dan aku bersyukur masih sempat menolong Ria.

Kami kemudian sampai pada halaman depan, tangga menuju padepokan. Anakku memeluk kakiku ketika kutiupkan daun tersebut. Tangannya gemetar, menggenggam kakiku erat-erat.

“Ada apa Ria?”

Dia menunjuk pada tangga yang kini banyak dilangkahi orang. Hari ini hari libur, dan ternyata banyak sekali, ribuan malah yang kini berkunjung ke tempat ini, membuat antrian yang sangat panjang di tangga-tangga.

“Itu gak apa orang-orangnya pah?”

“Orang apa?”

“Itu, yang diinjek-injek itu.”

Kusuruh duduk Ria untuk menjelaskan lebih lanjut, dan kini dia menjelaskan bahwa banyak sekali orang-orang yang bertumpuk membentuk tangga, bertelanjang, berteriak, menangis setiap kali terdapat seseorang menginjak mereka. Aku hanya memandangi Ucok yang kini menangis, berkata bahwa di dalam mimpinya sang anak telah menjadi bagian dari tangga tersebut.


Gunung Kawi

Gunung Kawi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Terlibat hutang, Rian memutuskan untuk menjadi pesugihan di Gunung Kawi yang terkenal mistis dan mampu membuat orang kaya dalam waktu semalam. Namun dia tidak sadar bahwa terdapat konsenkuensi berat dari tindakannya tersebut.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset