Hearts Color episode 3

Chapter 3

Lama, cukup lama kami saling membisu, dan hanya memandang kearah yang sama. Aku memang sangat menyukai, suasana hening seperti ini. Tapi tidak dengannya. Sangat jarang kulihat dirinya hanya duduk manis, tanpa mengatakan sura gaduh apapun. Kecuali saat sedang makan, tentu saja.

Dan aku pun tertarik, untuk melirik kearahnya. Hanya sekedar memandang wajahnya, dan memastikan bahwa dia tidak sedang tertidur lelap.

Tapi jantung ini seakan berhenti berdetak, saat kulihat air mata diwajahnya.

Dia menangis ?

Kenapa ?

Kapan ?

Tapi Ekspresi wajahnya itu, sama sekali tak ada yang berubah. Bibirnya tetap tersenyum, seperti terakhir aku melihatnya. Kedua matanya masih menatap indah, langit sore itu. Tapi, air mata itu ?

Kenapa?

“Hei!!” Hardikku keras. Memecah apapun, yang tengah dipikirkannya saat ini.

“Ya?” Sautnya cepat, dengan menoleh kearahku.

Aku hanya bisa terdiam, dan memandangnya heran. Aku masih tak mengerti, apa yang sedang terjadi dengannya. Mimik wajahnya, sama sekali tak menunjukkan dia ingin menangis. Tapi, air mata itu. Air mata yang keluar dari kedua matanya itu…

Dia mulai menyeka matanya dengan tangan kanan. Dan berceletuk—“Eh?!”—saat melihat tangannya yang basah. Dengan cepat, ia kembali menyeka air mata itu, kali ini dengan kedua tangannya.

Aku benar-benar tak bisa mempercayainya. Perasaan macam apa, perasaan seperti apa, yang tengah menyelimuti hatinya saat ini. Hingga dia tak menyadari, bahwa dirinya sendiri tengah menangis!!

“Ha ha ha, apa yang terjadi”—ujarnya dengan tawa yang jelas terlihat itu sangat dipaksakan—“k-k-kenapa bisa begini,”—lanjutnya, dengan suara berbata-bata. Dan tampak jelas, raut wajah kesedihan yang tak bisa lagi ia tutupi.

Mungkinkah, senyum palsu ?

Apa dia coba membohongiku, dengan menunjukkan dirinya baik-baik saja ?

Tapi sejak kapan? Dan kenapa aku begitu bodoh, hingga sama sekali tak bisa menyadarinya.

Apa sejak dia berpura-pura tersenyum, dan menatap langit itu? Atau saat dia mengatakan lelucon tak lucu itu? Saat dia berteriak keras, dengan menunjukkan foto itu? Saat dia berpura-pura lupa, bahwa kami sudah berpisah?

Ataukah… sejak dia meneleponku, dan memintaku untuk datang ke tempat ini ?!

Kugenggam erat pergelangan tangan kanannya. Karena tak tahan melihatnya, yang terus-terusan berusaha menghapus air mata itu. Dan bukannya menghilang, air matanya malah mengalir semakin deras.

Aku bodoh, sangat bodoh. Terlalu egois, terlalu memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Padahal tanpa kusadari. Dia, seseorang yang kucintai ini, sedang menanggung bebannya seorang diri.

Kusentuh pipinya, dan coba menghapus air mata itu dengan lembut. Dan saat kedua bola mata kami bertemu, ku berkata pilu, “maaf…”

Dia terkesiap, dan langsung membuang muka. Menarik tangannya kuat-kuat, melepaskan diri dari genggamanku. Lalu beranjak dari kursi, dan berlari cepat menuju toilet.

Tanpa berpikir, aku langsung mengejarnya. Menggenggam sebelah tangannya, dan menariknya kearahku. Lalu, saat wajah kami berhadapan tanpa jarak, kudekap tubuhnya erat.

“Tak apa, menangislah jika ingin menangis. Aku ada di sini, dan akan selalu ada di sini, untukmu.”

Dia terdiam sejenak. Sebelum akhirnya coba melepaskan diri dariku, dan berteriak histeris. “LEPASIN!!!!”

“Aku juga ga tau kenapa bisa gini, tapi aku gak pa pa! Jadi lepasin!!”—teriaknya dengan terus memberontak.

Tapi saat aku hanya diam mematung, dan mengabaikan permintaannya. Dia menangis, hanya menangis, dan terus menangis. Menumpahkan seluruh emosinya. Seluruh rasa sakit yang selama ini bersembunyi, dalam senyum palsu itu.

Sakit, sakit sekali rasanya, saat harus mendengar pilu suara tangisnya. Tangan yang gemetar, bibir yang membeku. Tak ada yang bisa kulakukan, sekali memeluknya dalam diam. Dan berharap rasa sakit dihatinya, segera berakhir.

“Padahal sedikit lagi,”—ujarnya dengan suara terisak—“tinggal sedikit lagi, kita bisa mengakhir semua ini. Padahal, aku ingin mengakhirnya dengan tawa.”

“Tapi membayangkan hari ini tak akan terulang kembali. Menyakitkan, sangat menyakitkan…”—lanjutnya. Seraya bisa kurasakan, kedua tangannya meremas tubuhku erat.

Sejak awal, kuyakin dia telah merencanakan semua ini. Pergi ketempat yang tak bisa kujangkau, tanpa mengatakan apapun. Memprovokasiku, dengan mengenalkan pacar palsunya. Dan mengatakan, dua kalimat itu, saat aku benar-benar mencoba untuk melupakannya.

Tak bisa ku bayangkan, kepedihan macam apa yang dirasakannya, saat harus menyakitiku. Sungguh sesuatu, yang tak pernah bisa kulakukan kepadanya.

Aku memang tak berguna.

Padahal hanya perlu melakukan satu hal, dari begitu banyak hal yang telah dilakukannya. Dan kenyataan bahwa kami tak bisa saling melupakan, selama lima tahun ini. Membuat salah satu dari kami, harus mulai untuk membenci.

Dan aku, aku hanya perlu melakukan hal itu. Membencinya. Lalu semua ini akan benar-benar…

“Maaf, maaf,”—bisikku, sembari memeluknya erat—“aku benar-benar minta maaf…”

Aku tak bisa melakukannya. Membencinya, adalah hal yang mustahil untuk kulakukan. Karena sejak awal, sejak kunyatakan perasaanku padanya. Aku hanya ingin melindunginya, membuatnya selalu tertawa.

Tak masalah aku yang bersedih, asal itu bisa membuatnya terus tersenyum. Tak masalah aku yang menangis, asal itu bisa membuatnya tertawa. Sejak awal, aku mencintai, bukan untuk membencinya.

Sesakit apapun perasaan ini, aku takkan pernah sanggup, untuk membencinya. Tak akan… pernah.

“Tapi,”—balasnya lirih—“semuanya akan jadi lebih mudah, jika…”

“Tidak!”—sautku cepat—“mulai saat ini, dan sampai kapanpun, aku takkan pernah melepaskanmu lagi.”

Aku tak peduli lagi, dengan apa yang akan terjadi nanti. Aku tak peduli, dengan apa yang orang lain katakan tentang kami. Karena aku hanya ingin membuatnya bahagia, membuatnya selalu tersenyum.

Dan hari ini, aku tahu. Satu-satunya cara untuk mewujudkan hal itu, hanyalah…

“Aku akan selalu ada disini, disisimu, selamanya.”

********************

Entah berapa waktu yang kami habiskan dengan membisu, dan hanya saling memeluk. Yang pasti, saat ini kami sedang duduk berdampingan.

Dia duduk tepat di samping jendela, memangku tasnya yang berwarna putih. Dan masih terus disibukkan oleh berbagai macam peralatan make up. Setelah sebelumnya meneguk habis, segelas orange float tanpa menyisakannya sedikitpun.

Aku tak mengerti, kenapa wanita sangat suka sekali menutupi wajah asli mereka, dengan berbagai jenis riasan. Tadinya, dia bersikeras ingin pergi ketoilet, dengan alasan memperbaiki make up diwajahnya. Kami berdebat cukup sengit, sampai akhirnya menemukan titik dimana dia boleh merias wajahnya, tapi disini, disisiku.

Bukannya keras kepala, atau keegoisan. Aku tak ingin dia pergi, lalu kembali menangis dalam kesendirian.

Paling tidak, untuk beberapa saat, aku ingin memastikan. Bahwa dia, benar-benar baik-baik saja.

Dan tak lama kemudian, kudengar dia menutup kotak make up-nya. Suasana hening berlangsung beberapa detik, sebelum akhirnya dia berkata, “kau gak serius’kan?”

“Hm?”—kuputar kepalaku menatap wajahnya—“soal apa?”

Ya, memang sih. Tak bisa di pungkiri kalau wajahnya jauh lebih cantik, setelah mengenakan make up. Tapi tetap saja, aku lebih menyukai wajahnya yang tak di dandani oleh riasan apapun. Wajah yang tak pernah membuatku bosan. Walau aku terus melihatnya, selama sebelas tahun ini.

Ya, memang sih. Tak bisa di pungkiri kalau wajahnya jauh lebih cantik, setelah mengenakan make up. Tapi tetap saja, aku lebih menyukai wajahnya yang tak di dandani oleh riasan apapun. Wajah yang tak pernah membuatku bosan. Walau aku terus melihatnya, selama sebelas tahun ini.

Jujur saja, walau aku sangat tak ingin melihatnya menangis. Tapi aku sangat menyukai wajahnya saat tersipu malu. Sangat manis, sifat yang hanya muncul setelah dia meluapkan semua emosinya. Ekspresi yang amat sangat, langka…

“Aku serius.” jawabku santai, dengan terus memandangi wajahnya.

“Aku serius!”—serunya dengan wajah kusut.

“Ya sudah,”—balasku senang, karena bisa membuatnya mengeluarkan ekspresi wajah masam itu—“lalu apa masalahnya?”

Wajahnya semakin terlihat sangat kesal, dengan beberapa lipatan di dahi yang membuatku semakin ingin menggodanya.

“Jangan menatapku seperti itu!!”—bentaknya seraya memutar paksa wajahku.

“Gak bisa,”—lanjutnya setelah terdiam cukup lama—“jika kau lakukan itu. Pasti akan seseorang yang menangis.”

“Apa boleh buat ‘kan,”—jawabku dengan sama sekali tak melihat kearahnya—“asal yang menangis itu bukan kau, aku masih bisa mengabaikannya.”

“Hei!!”—hardiknya keras—“kalian pacaran ‘kan?! Bagaimana bisa kau berbicara seperti itu.”

“Entahlah,”—jawabku santai, sembari kembali melirik kearahnya—“antara keharusan memiliki pasangan, dan tak bisa mengabaikannya.”

“Tapi jujur saja,”—sambungku cepat. Seraya kulihat mulutnya sudah menganga lebar ingin mengatakan sesuatu, tapi untung saja, lidahku bergerak lebih cepat—“secara personal. Sebenarnya sifatnya jauh, jauh, jauh lebih baik darimu.”

Dia menyipit-nyipitkan matanya, dan memandangku enggan. Lalu berucap, sambil memalingkan wajahnya cepat. “Cih! klo gitu, ga perlu putus dengannya ‘kan!”

Ya, aku mengerti perasaan beberapa cowok yang serba salah saat harus menghadapi dua pilihan yang diajukan kekasih mereka. Karena percayalah, apapun jawaban yang keluar dari mulutmu. Itu akan jadi jawaban yang salah dimatanya.

Tapi entah mengapa aku sangat menikmatinya. Menikmati apapun, ekspresi yang ia keluarkan. Bahasa tubuh, mimik wajah, dan kata-kata pedas yang keluar dari mulutnya. Karena bagaimana pun, mengingat bagaimana aku sangat merindukannya, itu jauh lebih menyakitkan.

“Ya… tapi mau bagaimana lagi ‘kan”—balasku coba menirukan setiap nada suara yang dikatakannya saat itu—“karena hati ini, sudah jadi milikmu, selamanya.”

Sejenak dia terdiam, dengan membelakangiku. Ya, walau begitu, tapi aku yakin dia tersipu-sipu malu saat ini. Yakin, sangat yakin!

Sebelum akhirnya kulihat sekelap bayangan tangan, yang bergerak sangat cepat. Cepat, terlalu cepat bagiku untuk menebak, apa yang diinginkan tangan itu. Sampai sepersekian detik kemudian aku tahu, apa yang diinginkan tangan itu, saat ia mendarat tepat diwajahku.

Sakit, sangat sakit, dalam arti yang sebenarnya.

Padahal aku sangat ingin sekali melihat wajahnya, sekilas juga tak apa. Tapi, tamparannya yang membabi buta sama sekali tak memberiku kesempatan untuk melakukan hal itu.

“Idiot, idiot!!”—teriaknya keras—“Jadi orang kreatif dikit napa. Jangan niruin apa yang pernah kukatakan!”

Iya, benar juga. Kenapa aku bisa melupakannya. Ini lah yang selalu terjadi pada saat kucoba merayunya. Selalu saja ada alasan baginya, untuk memukulku secara membabi buta. Benar, karena terlalu senang aku jadi sampai melupakan hal terpenting ini…

“Baiklah,”—ucapnya sambil mengemasi semua barangnya ke dalam tas—“saatnya kita pergi.”

“Eh,”—celetukku enggan—“mau kemana…?”

Dengan pandangan sinis, dia melirik kearahku. “Bukannya kau ada janji,”—serunya lantang—“jam lima sore!!”

Mataku terbelalak, aku benar-benar melupakan soal janji itu. Segera kulihat jam di tangan kiriku. Lima menit, yang benar saja, lima menit lagi tepat pukul lima sore. “Perjalanan kesana aja butuh lima belas menit!!”—gerutuku keras.

“Ya udah kan,”—jawabnya santai. Seraya berjalan melewatiku, dengan memaksa—“klo gitu kau harus cepet.”

Kugenggam erat lengannya, sebelum dia benar-benar pergi menjauh. Dan kukatakan, “beri aku waktu. Aku berjanji, akan menyelesaikan masalah ini secepatnya.”

Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya memaki ku lantang. “Idiot, kau amnesia ya?!”

“Apa yang kau katakan tadi,”—lanjutnya, seraya melirikku dengan wajah memerah—“sudah lebih dari cukup, tau!”

Tanpa sadar, aku melepaskan tangannya. Dan membiarkannya melangkah pergi menuju tangga. Tapi aku ingat eksrepsi wajah itu. Ekspresi wajah yang sama, saat kunyatakan perasaanku kepadanya.

Dan tak lama, kuraih telepon genggamku yang tergeletak di meja. Lalu berlari kecil mengejarnya. Menggenggam tangan kanannya, dan menuruni anak tangga bersama-sama.

Satu menit, mungkin hanya satu menit, waktu yang tersisa untuk kami bersama hari ini. Tapi aku tak akan membiarkannya berlalu begitu saja. Aku ingin menghabiskan satu menit berharga ini, hanya dengan berjalan, dan menggenggam hangat tangannya.

********************

Aku sadar, mungkin aku masih bisa hidup dengan baik tanpa dirinya. Belajar mencintai wanita lain, berpacaran layaknya kebanyakan pasangan lain. Lalu menikah, dengan mendapat restu dari kedua orang tua. Membangun keluarga, memiliki anak, dan hidup bahagia. Tapi saat itu, mungkin aku hanya akan melihat warna hitam, dan putih.

Bersamanya, aku bisa melihat ratusan, bahkan jutaan warna. Aku tahu, jalan ini tak mudah. Tapi bersamanya, aku serasa memiliki kekuatan untuk melakukan apapun. Dan tak peduli sepekat apapun warna, yang akan menghadang kami nantinya. Kami akan memberinya warna lain, warna indah yang kami lihat bersama.

Warna indah, yang akan disukai semua orang.

**********FIN**********


Hearts Color

Hearts Color

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2013 Native Language: Indonesia
Dua puluh januari, kami berdua duduk berhadapan di restoran Itali. Melihatnya yang saat ini, tengah menikmati Spaghetti Aglio-Olio. Pasta udang, menu favoritnya. Sudah sangat lama, dan aku hampir melupakannya. Saat itu kami duduk bersama di sini, di sofa warna merah ini. Saling berhadapan, menikmati hidangan yang kami pesan. Ya, di tempat inilah terakhir kali kami makan bersama, sebelum akhirnya dia memutuskanku, lima tahun lalu.Kini kami hanya dipisahkan oleh meja makan, selebar tujuh puluh sentimeter. Semenjak berpisah, kami tak pernah lagi berada pada jarak sedekat ini. Ini mengingatkanku pada kejadian hari itu. Hari di mana, untuk pertama kalinya kami makan bersama, di satu meja. Dan sebuah kekonyolan, yang tak kan pernah bisa kulupakan…

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset