Janur Kuning episode 11

Kiai Alwi dan Kusdi

Setelah perbincangan ayah dan dokter selesai, kami keluar langsung menuju rumah kiai Alwi. Berjalannya mobil ini menyusuri jalan agak berat, beberapa kali kami berhenti untuk menanyakan keberadaan kiai yang terkenal dan tersohor didaerah itu. Perjalanan sudah lebih dari satu jam, mobil kami berbelok dari pertigaan jalan besar menuju gang bertuliskan Jl. ***. Dari jarak 50 meter ayah sudah bisa melihat rumah yang ciri-cirinya persis seperti yang telah disebut oleh dokter spesialis tadi. Perlahan mobil masuk ke halaman rumah mewah, besar serta berlantai dua, kami langsung parkir diarea yang sudah disediakan. Ayah dengan yang penuh semangat turun sendirian berjalan menuju rumah Kiai Alwi. Sesampainya ia diteras kiai Alwi yang sudah duduk-duduk dikursinya yang berada teras rumahnya, seakan kedatangan ayah sudah diketahui beliau. Dari jauh kulihat mereka bersalaman dan bercakap-cakap agak lama, sekian lama kami menunggu, dari jauh kulihat lambaian tangan ayah mengarah kepada kami yang berada dimobil. Ia menandakan untuk menyuruh menurunkan Mamak dan Niko yang masih berada dalam mobil, dan menyuruh kami membawa kedalam ruangan disamping ayah berada.

Aku bersama sopir dengan cekatan menuruti perintah ayah, mulai kuturunkan dan menggotong Niko masuk keruangan khusus dirumah kiai Alwi terlebih dahulu. Setelah itu bergantilah mamak yang kami pindah ke ruangan khusus itu. Dengan nafas masih ngos-ngosan kami semua duduk dilantai untuk istirahat, dan langsung meminum air kemasan yang sudah disuguhkan. Sedang Ayah yang baru datang langsung melihat keadaan Mamak dan Niko, wajah sedih serta kondisi ayah mulai tak sehat yang terlihat. Ayah hanya mengelus rambut mamak serta Niko sebagai bukti ia menyimpan kesedihan yang mendalam saat berada diantara dipan mereka. Ia mulai mencium kening Niko yang masih bisa bicara dan merasakan rintihan kesakitannya.

“Sabar dek” Kata ayah dengan suara sedih, hanya anggukan kecil dari Niko yang ia beri kepada ayah.

Tak lama kemudian kiai Alwi dari balik pintu mulai muncul, kiai yang rambutnya sudah beruban penuh, berjenggot panjang memutih serta memakai pakaian gamis putih seperti syaikh dari negeri padang pasir. Ia mulai mendekat kearah ayah dibantu tongkat untuk menyangga tubuhnya yang sudah renta, sedang dibelakangnya ada lima pemuda pengabdi kiai Alwi yang mengikuti. Dari tempat dudukku yang dilantai kudengar mereka bercakap…

“Bagaimana ini semua bisa terjadi pak wijaya?” Tanya kiai Alwi dengan memandangi Niko dan mamak serta ia mengelus dadanya melihat keprihatinan pada keluarga kami. “Astaghfirullah” gumamnya kiai alwi lirih

“Saya sendiri tak tahu kiai.” Jawab ayah dengan wajah pucat tertunduk lesu.

“Ya sudah kalau begitu, mari langsung kita coba bantu dengan do’a-doa’ dulu.” Pinta kiai Alwi

Kiai Alwi mulai duduk dikursi, letaknya di sela tengah ranjang tepat diatas kedua kepala mamak dan Niko. Sedang kelima pengikut kiai Alwi berdiri berjajar melingkar dibelakangnya sambil bersiap-siap menunggu perintah dari sang kiai. Acara ruqyah dimulai dengan basmalah, setelah itu kiai Alwi matanya mulai terpejam serta kedua tangannya mengarah tepat di antara kepala mamak dan Niko. Tangan sang kiai tak sampai menempel kepala Niko dan mamak hanya berjarak sekitar satu meteran. Setelah selesai mendiagnosa ia kembalikan tangannya keposisi semula, dan ia melambaikan tangan kepada pengikut yang berada disampingnya. Selang beberapa saat kiai memberi arahan kepada kepala pengikutnya, Pemuda itu berjalan mendekat dengan pelan serta memiringkan kepalanya dan mendekatkan teliganya kebibir kiai Alwi, lantas Ia berbisik pelan sampai akupun yang duduk bersama sopir tak mendengarnya.

Setelah mendapatkan arahan dari pimpinan pengikut kiai Alwi, mereka langsung ambil posisi dan mulai membaca mantra masing-masing secara bersamaan. Sedang sang kiai dengan pelan menyandarkan tongkatnya dipaha kirinya, karena tangannya dipakai menengadah keatas untuk berdo’a.

Suara diawal yang lirih dengan komat kamitnya, semakin lama semakin terdengar mengeras tapi alunannya lembut, sekian detik kursi alwi mulai bergerak pelan mundur kebelakang.

“Sreekk”

Bersamaan dengan itu kiai Alwi menghempaskan kedua tangannya dari atas sampai kearah kepalnya mamak dan Niko, bersamaan gerakan tangannya ia mengucap kalimat suci yang lebih keras.

“SREEEKKKK…….BRAAAKKKK”””’(kursi yang terseret kebelakang dan menabrak tembok)
“AKHHHHHH….HAHAHAHAHAH” (perlahan tubuh mereka terangkat sedikit sekitar lima centimeter dari dipan, lalu teriak serta tawa bersamaan
dari mamak dan Niko, Niko yang tadinya masih bisa bicara dan melihat sekarang kondisinya seperti mamak. Ia Hanya terpejam dan bibirnya mulai membisu selesai berteriak dan tertawa)

Kursi itu melesat cepat ditengah pengikutnya dan menabrak ketembok. Sedang semua pengikutnya terhuyung badannya mundur dan jatuh kelantai, seakan ada tenaga yang kuat menghempaskan mereka semua.

“Astaghfirullah”…ucapku atas kejadian itu, Aku yang melihat kejadian ini langsung berdiri untuk membantu mereka bangun, sedang ayah langsung berlari kearah kiai Alwi untuk membantunya duduk tegak kembali. “anda tidak apa – apa kiai” Tanya ayah sedang membetulkan duduk kiai tua ini.

“Gak papa pak wijaya. Untungnya tadi kami persiapan dengan benteng kami, jika tidak pasti kami sudah celaka” Jelas kiai dengan nafas yang tersengal sengal dan wajah yang sudah terlihat lemas.

Aku yang sedang membantu berdiri satu persatu pengikut kiai Alwi, sesekali mencuri pandang pada kiai tersebut untuk memastikan kondisi kiai tua ini. Untungnya kejadian dirumah kiai Alwi tidak sampai seperti dengan yang dialami ustad Rohim. Setelah selesai kami membantu mereka duduk, akupun kembali duduk dilantai…

“Pyak…pyak…pyak…(suara tiga gelas kaca di meja yang pecah secara berurutan)
Saat itu juga semua mata tertuju pada pecahnya benda ini, hanya hening dan rasa penasaran serta takut yang menyelimuti kami semua.

“Rom bersihkan pecahan gelas itu” Perintah kiai Alwi kepada salah satu pengikutnya dan menghentikan keadaan hening kami.

“Pak wijaya coba kesini sebentar” Perintah kiai Alwi yang masih duduk didikursi kayunya dengan nafasnya yang mulai teratur.

Padahal ayah baru duduk dilantai tapi Ayah langsung berdiri dan mendekati kiai Alwi lagi, bersamaan itu kiai Alwi memerintahkan semua pengikutnya untuk kembali kedalam rumah besarnya. Saat ayah sudah didekatnya, Kiai Alwi berkata.

“Pak wijaya kalau keadaannya seperti ini, saya mohon maaf. Saya tidak bisa membantu lebih jauh lagi.” Jelas kiai Alwi dengan tatapan kosongnya serta kedua tangannya yang memegang gagang tongkat kayu. Ayah yang membungkuk penuh harap didepan kiai Alwi tubuhnya mulai lemas, serta wajahnya menghadap kiai Alwi mulai sedikit tertunduk lesu.

“Iya kiai, tidak apa-apa?” Jawab ayah pasrah akan usaha kiai alwi.

“Tapi bawa beberapa botol air ini pak, sebagai peredam sakit untuk anak istri bapak.” Jelas kiai alwi. Ya kiai” Jawab singkat ayah.
Sore itu kami setelah dengan ritual kiai Alwi langsung pulang, serta diselimuti perasaan putus asa yang sudah menghampiri kami. Hanya suasana hening dalam perjalanan pulang, tak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. Kuamati dari bangku tengah, ayah hanya menatap kosong di bangku depan sebelah sopir.

Malam sekitar jam sembilan kami baru sampai rumah, aku dan ayah dengan cepat menggotong dan membaringkan Niko dan mamak diruang tengah. Saat semua anggota keluarga sudah diposisi masing masing diruang tengah. Ayah langsung menghidupkan televisi untuk menutupi rasa sedihnya dengan tatapan tipuan ke layar TV. Kulihat sekilas Niko sudah tidur, akupun mulai mendekati ayah. Mencoba untuk mengajaknya bicara…

“Yah terus kita mau gimana ini?” Tanyaku yang sudah membuncah dan duduk disampingnya.

“Gak tau bang ayah masih bingung, lebih baik abang tidur saja biar ayah yang memikirkan masalah ini.” Jawab ayah yang lelah, serta ia langsung bangun dari duduknya dan pergi keteras.

Melihat keadaan ayah yang bingung aku tak mau mengganggunya lagi, aku langsung mebersiap untuk tidur disebelah mamak. Dalam rebahanku sempat terbesit jika tak ada jalan lagi untuk Niko dan Mamak akankah hidupku akan berakhir disini secara tragis??? Sambil berangan-angan tak jelas akhirnya akupun sudah tertidur dengan sendirinya. Sekian jam aku terlelap ada kerikil yang terlempar kemukaku.” Taaakk”…Aduh….Kataku cepat, bersamaan tanganku memeriksa keningku yang kena lemparan batu itu.

Aku langsung bangun dan duduk, dengan kepala menoleh kekanan dan kekiri melihat tak ada siapapaun. Hanya ketiga anggota keluargaku yang sudah tertidur. Tapi kulihat ayah tidurnya agak menggigil kedinginan. Aku sangka ayahku yang melempar batu itu, aku perlahan mendekati ayah. “Ayah kenapa?” Tanyaku. “Ayah tadi habis didatangi orang berjubah lagi bang.” Jawabnya dengan bibirnya bergetar. Saat itu kuputuskan untuk melaburkan minyak kayu putih untuk menghangatkan badannya sambil memijitnya pelan. Sekian menit keadaan ayah sudah reda akupun kembali untuk melanjutkan tidur lagi disamping ayah.

Saat aku tidur lagi dalam keadaan setengah sadar aku mendengar lirih suara tangisan bayi dari belakang…”whoaaaa…whoaaa..whoaaa”, kini mataku yang kembali terbuka sedikit serta badanku kumiringkan ke arah ayah. Tapi ayah masih tidur pulas dengan badan badan sedikit gemetar tapi tak ada respon sama sekali. Aku yang penasaran mencoba mencari tahu keberadaan asal suara, langkahku pelan-pelan menuju dapur. Disaat pintu kubuka sedikit aku melihat dari celahnya ada sesosok perempuan berbaju putih panjang dan lusuh, ia berambut hitam panjang sepinggang sedang menggendong bayi. Wanita itu mengayunkan bayi dalam gendongannya kekanan dan kekiri dengan tenang.

Wanita itu tepat berada disamping kamar mandi, lama kuamati wanita ini karena pandangannya hanya tertunduk kebayinya. Sekian menit wanita ini mulai mengangkat wajahnya kearahku disertai senyumnya yang menakutkan, ternyata wajahnya yang penuh darah serta hancur. Setelah sadar itu bukan manusia aku langsung cepat kembali tidur disamping ayah, tapi sebelumnya kukunci dulu pintu kayunya. Tubuhku langsung kuhempaskan dan meringkuk menempel dibadan ayah serta berselimut sampai kesekujur tubuh ini, karena amat sangat takutnya badanku juga ikut gemetar. Pada akhirnya lama kelamaan aku tertidur karena rasa takut yang mulai reda.

Subuh menjelang, aku yang terbangun duluan dan membangunkan ayah untuk menemaniku kekamar mandi untuk bersuci dan menunaikan ibadah wajib bersama. Aku masih ingat betul kejadian semalam, dengan rasa yang masih takut aku minta ayah untuk menemaniku menggantikan tugas mamak. Ayah yang terlihat masih lemas hanya kupinta duduk dikursi saja.

Pagi itu aku mulai memainkan peralatan dapur dengan sedikit bersuara, ditengah kebisingan dini hari itu ayah yang hanya duduk termangu dikursi. Ia hanya diam memandangku dengan mata kosongnya. Disaat Mataku melirik sebentar kearahnya sejenak kupelankan gerakan masakku lantas kuhampiri ia…

“Kenapa yah” Tanyaku yang masih memegang peralatan dapur

“Gak papa bang, ayah cuma merasa tak enak badan” Jawabnya datar

“Tadi malam ada bayi yang menangis dari sini yah, apa ayah dengar.” bisikku ditelinganya, karena takut ada mahluk tadi malam mendengar.

“Jadi abang sudah tahu” Jawab ayah dengan wajahnya mendongak kecil kewajahku.

“Iya yah, kemarin malam Deno sempat melihat bayi itu digendong sama perempuan yang wajahnya hancur dan banyak darahnya. Itu yah disebelah sumur dekat kamar mandi.” Jawabku sambil menunjuk sumur didekat kamar mandi kami.

“Tak usah terlalu kau pikirkan bang.” Jawab ayah mulai berdiri serta berjalan menuju gudang disebelah kamar mandi.

Apa sebenarnya ayah sembunyikan dari semua ini, karena aku yakin ia tahu sesuatu dirumah ini. Tapi ia hanya diam tanpa memberikan penjelasan sama sekali kepadaku. Hanya senyum kecil dan tetap setia pada tatapan kosongnya saat pergi kegudang.
Aku terdiam sementara karena mencerna jawaban yang hambar dipagi ini, selanjutnya aku memulai lagi kegiatanku didapur. Hingga merawat adik dan mamakku diruang tengah sampai selesai. Hari itu akupun tak bersekolah lagi, hanya fokus untuk merawat mereka berdua, Sementara ayah pergi kekebun untuk bekerja meski sakit.

Satu minggu berjalan, kondisi kesehatan ayah semaki menurun. Apalagi sehabis bermimpi atau bertemu kelebatan siluet orang-orang berjubah hitam, pasti ia akan langsung tidak bisa bangun keesokan harinya. Pagi itu aku didapur dan masih tetap ditunggui oleh ayah, ia hanya duduk mengenakan jaket tebal dengan bibir yang memucat. Hanya lamunan dan getaran kecil ditubuhnya yang hinggap di tubuhnya pagi itu. Selesai memasak aku mengambilkan makan terlebih dahulu, dan memberikan satu piring hasil masakanku kepadanya. Masih didapur, mataku masih melihat ia yang memegang piring sedikit bergetar tapi tangan ayah tetap memasukkan makanan dimulutnya…
Tokk…tok..tok.. “assalamu’alaikum” Salam dari pintu dapur

“Walaikum salam” Jawabku yang duduk didepan ayah sambil menoleh kearah pintu, ternyata wajah pak slamet sudah mulai terlihat dari pintu yang terbuka sedikit. “Masuk pak”. Pintaku

“Eh pada ngumpul semua didapur bang, makanya tadi pangil-panggil didepan tak ada jawaban” Tanya dan jelas pak slamet yang berjalan kearah kami

“Iya ini pak, ada apa pak kok tumben pagi-pagi kemari?” Tanyaku yang masih tetap duduk didepan ayah.

“Iya bang, pak kusdi sekeluarga meninggal tadi malam.” Terang Info pak Slamet yang mulai duduk disamping ayah.

“Ah yang bener kau met.” Sahut ayah sambil menghentikan kegiatan makannya

“Beneran pak wijaya, barusan saya didatangi dan diberitahu sama pak RT” Jawabnya

“Pak Kusdi juragan karet itu bang.” Tanyaku yang mulai tegang dan menatap penasaran penjelasan pak Slamet.

“Iya bang Deno, benar.” Jawab Pak Slamet. “Ayok pak wijaya ngelayat barengan sama saya” Pinta pak slamet.

“Padahal kemarin kan aku ketemu sama dia dikebunku met, ia juga kamaren terlihat sehat.” Gerutu ayah

“Pagi ini aku lagi tak enak badan met, kau berangkat sama Deno saja yah” Perintah ayah yang masih berangan-angan kejadian kemarin sama Pak kusdi serta belum menyelesaikan makannya.

“Ya sudah, ayok bang Deno kalau begitu kita berangkat bareng sama saya” Ajak Pak slamet.

Pagi itu aku dan pak Slamet langsung pergi bersama menuju rumah pak Kusdi, rumah juragan karet ini berada diatas gunung daerah pemukiman yang agak ramai tapi tetap satu kampung dengan kami. Setauku pak Kusdi ini punya lima anggota keluarga dirumahnya. Tapi waktu dijalan aku coba menutupi rasa ingin tahuku karena kuatir kalau salah, tapi besarnya rasa penasaran pada diriku akhirnya kuberanikan bertanya…

“Pak met, ini bener pak kusdi juragan itu? Kok bisa sekeluarga meninggal dimalam yang sama?” tanyaku heran

“Kurang tau bang, bapak sendiri juga heran karena berita dari pak RT tadi cuma keluarga pak Kusdi mati dirumah semua.” Jawab pak Slamet dengan mengatur nafasnya yang mulai terengah – engah karena berjalan jauh sambil merokok.

Langkah kami semakin mendekat, dari jarak duapuluh lima meter kami mulai melihat dirumah juragan karet sudah banyak orang. Mulai kerabat, tetangga dan para perangkat desa. Suasana berkabung berat sangat kental pagi itu, tangis pilu dari para kerabata dan saudara pak Kusdi saling bersahutan. Kami semua tak tidak pernah menduga akan kejadian yang tiba-tiba ini.

Aku dan pak slamet langsung ikut duduk bergerombol disamping rumah mewah Pak kusdi dengan warga yang sudah ada disana. Dari ramainya orang yang bergerombol telingaku mendengar percakapan dikanan dan kiri, memang benar kelima anggota keluarga itu mati secara bersamaan semalam. Mereka meninggal setelah ada cahaya kuning orangnye tiga kali berturut-turut turun keterasnya. Dalam hati aku jadi takut sendiri karena cahaya itu pernah sekali turun kehalaman rumah dan keesokan harinya Niko langsung sakit. Saat aku masih berdiri dan disamping pak Slamet…

“Pak kemarin sebelum Niko sakit, ada cahaya yang persis seperti yang mereka bicarakan?” Kataku lirih kepada pak Slamet

“Beneran bang” Jawabnya singkat serta kepalanya menoleh kearahku

“Iya pak, malam itu Deno lihat sendiri cahayanya turun ke halaman rumah.” Terangku yang meyakinkan

“Hati – hati bang, itu biasanya santet daerah sini” Jelasnya pelan

“Terus gimana ini pak Met.” Tanyaku lagi

“Nanti malam saja saya kerumahmu, kita bicarakan sama Ayah kau bang”. Jawab pak slamet yang mulai tegang akan keteranganku.

Pembicaraanku dihentikan oleh suara pengumuman dari pemuka agama, untuk warga yang bersedia mensholati jenazah massal ini. Selang beberapa detik Acara mensholati jenasah dimulai, kami secara bergantian shalat di jenazah dirumahnya. Sekitar jam sepuluh pagi kami semua mulai mengikuti jenazah untuk dikebumikan. Kelima mayat keluarga pak kusdi dibawa mobil kepemakaman, sampai di lokasi jenazah itu di oper satu persatu ke area pemakaman dengan dua keranda yang disiapkan. Sekian jam akhirnya kelima mayat itu berhasil dikebumikan tanpa ada keganjilan sama sekali menurutku.

Selesai acara aku sendiri tetap bersama pak Slamet tetanggaku untuk pulang kerumah. Sewaktu dirumah aku mulai menceritakan semua kronologi yang dialami keluarga pak Kusdi kepada ayah, meski hanya dari beberapa keterangan saksi. Tapi jawaban ayah hanya diam mematung dengan respon batuk kecil, selang beberapa saat pak Slamet datang dan ikut bergabung duduk bersama kami diruang tengah.

“Pak Wijaya, apa benar sebelum Niko sebelum jatuh sakit ada cahaya jatuh dihalaman rumah bapak.” Tanya pak Slamet yang mulai perbincangan

“Aku sendiri tak tau Met, yang melihat itu Deno. Tapi aku yakin met, Deno gak bakal bohong karena aku adalah ayahnya dan paling tau watak ini anak.” Jawabnya ayah sambil menahan batuk kecilnya.

“Jujur pak, saya gak tega lihat keluarga bapak seperti ini.” Terang pak Slamet dengan sedih

“Gimana kita besok coba ke kiai atau dukun di kampung sebelah pak? Tawar pak Slamet yang membangkitkan semangat kami.

“Boleh juga met, dari pada tak ada usaha. besok pagi anterin saya ke kiai atau dukun mana saja met, yang penting istri dan anakku selamat.”
Jawab ayah yang mulai sumringah.

Disini pak Slamet sebelumnya sudah tau waktu mamak dibawa ke ustad Rohim hasilnya malah menakutkan kami semua, dengan tawaran baru dan alternatif lain akhirnya malam itu ayah mengiyakan untuk berburu keselamatan besok pagi.


Janur Kuning

Janur Kuning

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Kisah ini berawal saat keluarga kami ditawari tanah dari Jambi oleh kenalan ayahku, masih kuingat jelas namanya dia adalah Pak Herman. Orangnya ini berumur 40 tahunan.Orangnya ini berumur 40 tahunan. Saat dia menawari keluarga kami dimedan tentang informasi tanah beserta rumah yang murah di jambi, di informasikan tanah itu seluas 50 Ha, beserta rumahnya. Waktu itu kami ditawari dengan harga 200 juta. Berbekal informasi dari pak herman waktu itu kami sekeluarga berminat untuk pindah ke Jambi karena rumah dan tanahnya tergolong murah saat itu, pada akhirnya ayahku tertarik membeli tanah di Jambi.Penasaran kisahnya? yuk dibaca kelanjutannya!

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset