Dalam benakku masih ragu antara percaya dan tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi, hanya dari seutas janur kuning saja beberapa jam kemudian mereka berempat siuman secara bersamaan. Tapi inilah kenyataannya, waktu itu saat dirumah Harun. Malam itu, Ruang tamu Harun mulai dipenuhi senyum bahagia dan rasa haru mulai terpancar dari mata para penduduknya. Di ruang tamu berukuran 4 x 4 meter itu dengan pancaran cahaya lampu putih yang menerangi sampai ke sudut ruang, Ibunya
Deno dan ibunya Harun berpegangan tangan erat dengan saling peluk haru dan berbicara dalam dekapan untuk melepas rindu. Sedangkan Deno, Niko serta ayahnya mulai berbicara ceria serta penuh syukur dengan kami. Dalam keramian obrolan masing-masing, diruang tamu yang penuh kebahagiaan tiba-tiba terhenti sejenak ketika ibu Deno membicarakan pengakuan keberadaannya selama ini kepada ibu Ita. Seketika itu juga semua mata kami secara perlahan mulai tertuju kepada mereka berdua…
“Selama ini kau tak ingat lagi dimana mak Den?” Tanya ibu Ita serius dalam tatapan sayangnya serta tangan bu Ita masih menggenggam erat jari jemari Ibu Deno.
“Selama ini aku merasa berada diatas hamparan awan putih luas tiada matahari dan sangat sepi, kakiku berlari kesana kemari tapi tetap sepi, tak ada siapapun, bahkan suarapun tak ada wak!!! Padahal aku juga sudah berteriak-teriak kencang sekali, tapi tetap tak ada jawaban hanya hening dan sepi yang menemaniku selama itu.” Jelas panjang Ibunya Deno yang antusias
“Aku sendiri seperti didasar danau wak, tapi seperti tak ada sinar matahari atau sinar apapun yang bisa menembus gelapnya danau itu! Hanya gelap dan hamparan tanah lembek yang aku injak, tapi anehnya aku merasa bisa bernafas.” Sahut Niko yang sudah menatap tajam kedua wanita itu.
Serentak pandangan kamipun semua beralih kepada Niko, dan menghayati apa yang ia telah lakukan selama ini dalam kondisi tidak sadarnya Niko.“Sama, mak! Niko merasa berjalan kesana kemari di dasar tapi gak ada orang sama sekali. Mataku hanya menatap kelebatan-kelebatan hitam seperti ikan raksasa, Teriak-teriakpun tak ada jawaban” Jelas Niko, serta tatapannya tetap menuju kedua ibu ini.
“Kalian tau sudah berapa lama tubuhmu tertidur tak sadarkan diri?” Tanya bu Ita, tapi ibu Deno dan Niko hanya bisa menggelengan kepala saja.
“Tiga bulan lebih mak Den!!!” Ucap singkat bu Ita
“Kau sudah satu bulan lebih Nik.” sahut Deno
Kepala Ibu Deno hanya menunduk, menggeleng pelan dan mulai memeluk tubuh wak Ita lagi. Tangis sesenggukan dan peluk erat yang terlihat pada keduanya. Sedang Niko langsung dipeluk Deno dengan sayangnya, suasana haru keluarga ini terus berlanjut sampai malam hari. Sampai jam berapa aku sendiri tak tahu, sekitar jam satu malam aku pindah ke kamar Harun untuk tidur.
Pagi-pagi buta, setelah melakukan shalat wajib dan membereskan kamar serta rumah, kami semua kaum pria berkumpul di teras rumah Harun. Untuk para kaum wanitanya semua memasak didapur bersama-sama. Sekitar jam tujuh pagi hidangan tersaji dimeja ruang tengah, setelah mendapat perintah dari ibu Ita kami langsung sarapan bersama. Sarapan pagi itu terasa sangat nikmat dan menyenangkan. Semua terlihat akrab dan sesekali dibumbui dengan guyonan kecil. Selesai sarapan aku mendapat telpon dari Ki Bagus.
“Mas Jo, kondisi keluarga temannya Harun bagaimana?” Tanya ki Bagus santai
“Sudah sehat dan sadar sampai sekarang ki.” Jawabku dengan berjalan keteras
“Mas, habis ini coba kamu datangi markas yang membuat keluarga Deno sakit. mereka ada di belakang rumah si Deno?” Perintah tegas Ki Bagus
“Dimana itu ki, tepatnya?” Jawabku dengan duduk dikursi teras
“Di balik bukit setelah melewati kebun karet. Tepatnya di areal hutan balik bukit itu” Jelas Ki bagus.
“Jauh itu ki tempatnya kalau dari sini” Jawabku dengan membayangkan jarak antara rumah harun dan lokasi markas dukun teluh itu.
“Le..tole…sukmamu saja yang berangkat, itukan cuma hitungan detik” Jelas Ki bagus.” Terang Ki bagus dengan tawa kecilnya
“Ajaklah komunikasi dengan baik – baik yang mengirim teluh itu, untuk menyudahi perbuatan jahatnya.” Perintah Ki Bagus kepadaku
“Ooohh iya ki, bener juga. Siap ki! habis ini saya kerjakan.” Jawabku penuh semangat yang sudah duduk diteras Harun.
Sehabis mendapat perintah dari ki Bagus, dengan segera kaki ini melangkah cepat menuju ke kamar mandi untuk bersuci. Kemudian aku bergegas memanggil Harun yang berada diruang tamu untuk menemaniku dikamarnya. Sebelumnya kuceritakan pada harun bahwa aku mendapat tugas dari ki Bagus untuk mendatangi tempat tukang teluhnya Deno. Harun sendiri dengan penuh semangat mengikutiku melakukan ritual dikamarnya. Waktu dikamarnya kuhamparkan sajadah diatas lantai keramik putih, dengan segera kaki ini mengambil posisi duduk bersila mirip semedi. Tanganku yang bersendekap didada menghadap kebarat, sedang Harun kuminta untuk menjaga jasad kasarku tetap didalam kamar.
Memang benar apa yang menjadi perintah Ki Bagus, secepat kilat tubuh halus ini sudah mencapai tempat yang ditunjukkan oleh ki bagus. Sebelum menuju kerumah utama ditengah hutan ada lima pos kecil untuk mirip seperti gerbang ghaib. Sekian lama kuamati dari atas, Hanya dengan melewati per pos itulah jalan satu-satunya untuk menuju kerumah utama.
Setelah melihat gerbang pertama dari atas awan, aku langsung turun. Gerbang pertama, gerbang ini berwarna hitam seperti gapura menjulang tinggi dan tertutup pintu seperti batu. saat aku sampai didepan gerbang mata ini melihat dua sosok penjaga bertubuh tinggi besar bediri disamping kanan dan kiri, mereka bertubuh manusia memakai baju layaknya seperti didunia nyata tapi kepalanya berwarna hitam sedangkan bentuknya persis seperti kepala kuda. Sesuai arahan Ki bagus aku mulai berjalan pelan mendekati mereka untuk bertemu tukang teluhnya, meski perasaan sedikit takut, tapi kaki ini tetap berjalan dan mendekat…
“Mau apa kau kesini manusia?” Tanya siluman dengan bibir kuda yang moncong kedepan.
“Eh bang aku hanya ingin bertemu pimpinan kalian?” Jawabku pada mereka.
“Hadapi dulu kami kalau bisa” Jawabnya mulai marah
Mereka berdua tanpa senjata mulai berjalan kepadaku, salah satu dari mereka tanpa aba-aba langsung memukul kearahku dan membanting tubuhku. Padahal Niatku cuma ingin ketemu dan berbicara baik-baik sama pimpinannya malah dihajar, dengan cepat dan sedikit emosi aku langsung berdiri membalas pukulan mereka. Tubuh halus ini melawan satu persatu siluman ini, keadaan langsung berbalik, ganti aku yang menghajar mereka tanpa ampun sampai tersungkur ditanah. Saat mereka sudah tak berdaya lagi, dua siluman ini langsung kubakar mati, dari pada repot sendiri dikemudian hari.
Selesai digerbang pertama, aku sudah menang. Pintu gerbang seperti batu itu terbuka menyamping dengan sendirinya. Selanjutnya Kakiku berjalan merangsek masuk digerbang kedua. Sampai digerbang kedua ternyata disitu ada penjaganya lagi, kali ini sosoknya ada dua sosok bertubuh manusia berkepala babi. Mereka duduk didepan gerbang sedang tangannya masing-masing membawa sebilah pedang, dengan sikapnya dan gerak geriknya sepertinya mereka sudah tau akan kedatanganku. Mereka berdua langsung berdiri maju kearahku, tanpa ada pembicaraan. Aku yang sudah berdiri dihadapan mereka langsung dikeroyok tanpa ampun, setelah bertarung sekian lama dengan susah payah menghindari sabetan pedang dari mereka ternyata aku kalah. Untungnya tubuh halus ini cuma dihajar saja tanpa ampun, tanpa ada tebasan yang mengenaiku. Saat aku merasa kalah dan sudah tak berdaya, dengan cepat aku kabur kembali kerumah Harun. Dengan cepat pula tubuh halus yang sudah sakit ini melesat cepat kembali ke jasad kasar.
“Fuussshhhhh…”
Saat sampai dikamar tubuh halus ini memasuki tubuh kasar dengan cepat, dan tubuh kasar ini langsung tersungkur ikut merasakan sakit dan tak berdaya.
“Jo…jo… kamu gak papa” Tanya Harun, serta kedua tangannya dengan cepat mengangkat dan membaringkan tubuhku dikasur kamarnya.
“Aku kalah Run, sakit semua rasanya tubuh ini.” Jawabku pelan menahan sakit disemua badan ini.
Saat itu juga kulihat seluruh tubuh kasar ini mulai lebam dan memar membiru, serta kepalaku rasanya sangat berat, pusing dan sakit. Aku yang sudah terbaring dikamar harun tergeletak tak berdaya dengan posisi setengah melingkar menahan sakit dikepala, sedang Harun dengan cepat mengambilkan air minum. Selesai itu aku perintahkan harun untuk menghubungi Ki Bagus dengan Hpku yang sudah berada dimeja kamar.
“Halo…Ki?” Sapa Harun yang sedang menelpon disamping tempat tidurku dengan panik.
“Iya, Jo. Gimana?” Jawab Ki Bagus
“Ini Harun ki, Jojo badannya memar semua dan tidak bisa bangun” Jawab Harun yang tambah panik
“Tenang dulu Run, coba kau kasihkan telponnya ke Mas Jojo dulu?” Pinta Ki Bagus dengan tenang
“Mas Jo…kenapa kamu?” Tanya singkat Ki Bagus tanpa rasa kaget sama sekali
“Saya habis dihajar ki, sama penjaganya digerbang kedua.” Jawabku sedikit merintih
“Hehehhe…sabar mas jo, tunggu aki besok sampai di situ ya. Kalau kamu masih sakit biar besok Harun saja yang jemput aki?” Perintahnya dengan santai seakan tahu kondisiku biasa saja.
“Ya sudah sekarang kamu istirahat saja disitu sambil baca do’a seperti biasanya ya?” Perintahnya lagi yang tenang.
“Baik ki” Jawabku singkat.
Setelah sambungan telpon terputus, langsung kubaringkan kembali tubuh ini untuk istirahat karena masih menahan sakit disekujur tubuh. Siang itu, Harun tetap setia menunggui aku dikamarnya, Sesekali keluarga Harun dan Deno bergantian menjengukku ke kamar untuk melihat dan memastikan kondisiku yang sakit. Harun juga meyakinkan kedua keluarga ini bahwa kondisiku akan segera membaik, karena Harun juga membacakan do’a untuk kesembuhanku.
Esok hari, janji Ki bagus datang. Sekitar jam dua siang ia sms ke nomor hpnya Harun, isinya meminta untuk menjemput Ki bagus di bandara dua jam lagi. Harun bersama ayahnya serta Deno berangkat duluan untuk menjemput Ki Bagus, selang beberapa jam akhirnya beliau sudah sampai juga dirumah Harun.
Dasar ki Bagus orangnya yang santai dan tenang serta suka bercanda, ia datang tak langsung menghampiriku tapi malah bercanda dulu diruang tamu. Sekian puluh menit kemudian ia baru menghampiriku dikamar…
“Mas Joooo…bangunnnn” Ucap ki bagus yang sudah duduk disampingku
“Eh Aki ???” Jawabku singkat pura-pura tidak tahu kedatangannya.
“Masih sakit, mas?” Tanyanya dengan senyum
“Ya masih ki, ini saja dari kemarin belum bisa bangun” Jawabku sedih
“Hehehehe… sabar mas, kalau gak gini mas jo belum tau rasanya dihajar setan” Candanya yang menjengkelkan, sedang aku sendiri hanya melempar senyum kecut.
Setelah itu, ia minta kepada harun untuk menyediakan satu gelas air putih. Kemudian Ki bagus langsung memberikan mantra pada air itu serta melaburi tubuhku dengan airnya. Terakhir sisa air itu diminumkan kepadaku. Setelah itu akupun kembali istirahat dikamar Harun, sedang Ki Bagus kembali keluar menuju teras.
Suasana teras yang asri dan sejuk membuat aki ingin bersantai dulu untuk melepas lelah setelah perjalanan jauh. Saat diteras ia langsung dikerumuni oleh keluarga Harun dan Deno, mereka sangat senang dan sangat berterima kasih akan kepedualian serta kedatangannya. Dua keluarga ini saling gantian bercerita tentang apa yang dialami Keluarga Deno, tapi dengan bahasa canda tawa. Memang gaya pembawaan ki bagus tidak pernah serius dalam hal seperti ini, agar yang mengalami musibah tidak takut dan sedih. Pembawaannya ki Bagus seperti berdongeng lucu untuk menghibur mereka.
Sekitar jam tujuh malam aku terbangun, aku merasa sudah sehat dan pulih lagi. Sakit dan memar disekujur badanku telah hilang. Malam itu aku langsung bergegas mandi, sholat dan makan malam, waktu menuju keruang tamu ternyata di ruangan itu sudah ada ki Bagus, keluarga Deno dan Harun. Kelihatannya mereka habis merencanakan sesuatu. Saat itu Harun mulai siap dan mereka mau berangkat, tapi ki Bagus mendekat kepadaku dan bertanya.
“Sudah sehat, Mas Jo” Tanya Ki Bagus
“Sudah ki” Jawabku pelan
“Mau ikut Kerumah Deno” Tawarnya
“Ya mau ki” Jawabku semangat
“Kalau begitu bawakan janur kemarin yang aki suruh sisakan buat aki?” Perintahnya
“Ya Ki” Jawabku serta langkahku kembali ke kamar Harun untuk mengambil janur kuning yang kemarin kusimpan
Setelah itu aku, Harun, Deno, pak Wijaya, Niko dan ki Bagus berangkat dengan membawa mobil menuju kerumah Deno di lembah. Waktu diperjalanan diceritakan kondisi rumah Deno saat aku pertama datang kepada ki Bagus. Terakhir aku kesana hampir roboh rumah Deno ini dan banyak penunggunya yang jahat di dapur, kamar orang tua Deno serta diruang tamu.
Mendengar penjelasanku Ki Bagus hanya diam saja tanpa ada sesuatu yang keluar dari mulut, seakan – akan ia tahu apa yan terjadi.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya kami sampai dirumah Deno, kabut tebal sudah menyelimuti rumahnya. Malam itu rumah Deno gelap tanpa ada satu pun cahaya lampu menerangi dirumahnya. Hanya beberapa hari saja rumah yang sudah mau roboh itu tak ditempati rasanya sangat menakutkan. Pak Wijaya yang sangat mengenal betul rumahnya melangkah masuk terlebih dahulu kerumah tanpa rasa takut, ia masuk kedalam untuk menghidupkan mulai lampu teras dahulu dan selanjutnya seluruh lampu didalam rumah. Tapi malam itu rumah Deno tetap berbau busuk seperti saat aku pertama datang kemari, bau ini membuat rumah semakin ngeri ketika malam datang. Sekian menit setelah lampu menyala semua langsung berkumpul diruang tamu. Sementara Deno dan ayahnya merapikan dan membersikan rumahnya sebentar, setelah itu mereka mengambil sedikit pakaian yang nanti akan dibawa kerumah Harun.
Ayo kita lihat semua yang ada disudut kebun rumah ini” Pinta Ki bagus
Sesampainya dipojok kanan rumah Deno, kami terhenti. Sorot lampu senter dan lampu petromax terhenti diatas gundukan kecil seperti markas rayap.“Pak wijaya tolong ambil cangkul dan kain kafannya” Perintah Ki bagus lagi
Dengan cepat pak wijaya ke gudang yang berada dibelakang, sedangkan Deno pergi kemobil untuk mengambil kain kafan. Selang beberapa detik, mereka telah kembali lagi bersama kami.
“Tolong gali disini” perintah Ki bagus sambil menunujukkan dengan senter yang sudah ditangannya.
Pak Wijaya mulai menggali tanah, sedang aku sama Harun melihat dan menyinari tanah itu dengan lampu petromax, saat cangkul sudah mengali dikedalaman sekitar 30 cm terlihat ada beberapa tulang. Aku sendiri tak tahu jenis tulang apa yang jelas tulang itu lumayan besar, “Den masukkan dan bungkus tulang-tulangnya ke kain kafan semua“ pinta Ki bagus. Deno dengan cepat memasukan tulang-tulang itu kedalam kain kafan yang sudah disiapkan. Kemudian kami berempat bergegas menuju ke halaman depan sebelah kiri melanjutkan menggali lagi. Tanahnya sedikit keras sehingga Pak Wijaya agak kesulitan menggalinya. Butir-butir keringat mulai membasahi keningnya, tapi beliau terus menggali sampai menemukan beberapa tulang lagi. Dengan sigap Deno mengambil dan memasukkannya kedalam kain kaffan. Setelah itu, kami lanjutkan di dua lokasi yang berada disudut kanan dan kiri dibelakang rumah. Setelah semua tulang belulang itu terkumpul, kami lalu menguburkannya lagi disamping rumah secara layak serta mendo’akannya.
Dibelakang rumah yang masih gelap tiba-tiba mulai terdengar samar-samar tangisan seorang wanita dari arah dapur. Kami hanya saling pandang, sambil terus mendengar tangisan itu. Tangisan dari seorang wanita yang sangat tersakiti dan memendam kepedihan yang mendalam. Suara tangisan yang melengking itu sangat menyayat hati para pendengarnya. Tanpa menghiraukan suara tersebut, Ki Bagus hanya memerintahkan kami untuk kembali keruang tamu. Tanpa berfikir panjang kami langsung menuju ke ruang tamu.
Dengan cepat ruang tamu Deno sudah terisi dengan kehadiran kami. Ki Bagus langsung duduk dikursi sendirian, sedangkan aku disuruh duduk disampingnya. Ia berpesan kepada harun dan pak wijaya…
“Pak Wijaya, mas Harun tolong jaga kami, saat saya dan jojo duduk diam disini. kalaupun ada suara-suara dari luar jangan didengarkan, pokoknya jaga saja kami.” Perintah Ki bagus
Pak Wijaya dan Mas Harun menggangukkan kepalanya bersamaan. Kemudian mereka berdua mulai berjaga-jaga. Setelah itu, aku dan ki bagus sama-sama memejamkan mata, tapi ki Bagus memegang tangan kananku terlebih dahulu. Saat mata terpejam dan konsentrasi, tubuh halus mulai keluar perlahan. Saat aku sudah berada didepan jasad kasarku, ternyata ki Bagus sudah berdiri siap dengan tubuh halusnya, tak lupa ditangan kanannya membawa seutas janur kuning. Kami berdua yang sudah berdiri di ruang tamu sejenak melirik tubuh kasar kami masing-masing dan selanjutnya dengan cepat kami melesat kehutan dibalik bukit kemarin.
Setelah sekian detik aku sudah sampai digerbang pertama. Kami berdua terdiam sejenak, lalu ki Bagus berkata..
“Mas Jo ikuti saja Aki dari belakang” Perintahnya
“Iya ki” Jawabku yang langsung mengambil posisi dibelakangnya
Yang kulihat gerbang pertama sudah tidak ada penjaganya. Kami langsung melanjutkan menuju kegerbang kedua, ternyata penjaga yang kemarin sudah berdiri tegap dan siap membantai kami. Dengan pedang besar ditangannya membuat kedua penjaga itu menjadi semakin menyeramkan. Matanya melotot menatap kami, kemudian…
“Masih berani kau kesini lagi manusia? apa kau pingin mati malam ini?” Bentaknya keras
Aku hanya diam seribu bahasa, dan tetap berada dibelakang ki bagus. Sejenak terlintas bagaimana kedua penjaga itu menghajarku sampai babak belur tanpa ampun. Sebenarnya rasa takut masih menyelimutiku karena habis dikalahkan oleh siluman kepala babi itu kemarin. Tapi aku tetap berusaha untuk tetap kuat dan tidak boleh kalah lagi.