Janur Kuning episode 16

Terbukanya Tabir

Dalam ruang tamu, suasana masih terasa hening dan sunyi, raut wajah dipenuhi dengan ekspresi khusyu’ dalam ritual. Prosesi ritual yang mengharuskan kami untuk saling bergandengan tangan dalam merekontruksi kejadian yang telah hilang. Sedangkan Pak Wijaya dan Niko masih berada di dalaman rumah. Tiba-tiba dalam kekhusu’an kami terkejut dengan teriakan Deno. “Herman…!!!” Teriak Deno seraya melepas genggaman tangannya. Diapun tidak kuasa melanjutkan ritualnya, karena melihat secara langsung sosok Herman yang pernah dikenalnya. Melihat gambaran si Herman dalam dimensi lain, dia langsung bergegas lari menghampiri ayah dan adiknya. Mereka bertiga saling berpelukan erat. Deno berbisik kepada ayahnya bahwa Herman sang penjual rumah setan telah meninggal. Pak wijaya yang mendengar kabar dari Deno hanya diam seribu bahasa, selanjutnya mereka bertiga kembali dengan perlahan masuk ruang tamu. Pak Wijaya terus berjalan masuk kerumah sambil memeluk Niko dengan erat, karena dalam kondisi yang sangat ketakutan. Sesampainya diruang tamu mereka duduk di sofa sambil menenangkan diri sedangkan Niko masih dipelukan Pak Wijaya.

Kami masih tetap melanjutkan ritual dan berusaha tidak terpengaruh dengan kejadian itu. Gambaran peristiwa pada masa lalu yang diputar kembali oleh ki bagus terus kami ikuti. Aku dan Harun melihat dan mendengar mereka menangis dengan penuh amarah, terus menangis dan menangis. Tangisan mereka yang tiada akhir terus terngiang di telingaku. Beban berat apakah yang harus mereka terima, mereka yang tak tau apa-apa menjadi korban dan menderita seperti ini. Air mata terus mengalir dan bibir pucat merekapun terus bergetar, hingga aku harus menguatkan hati dan mental untuk melihat tragedi itu. Di akhir kejadian, para korban pembantaian para pemilik perjanjian setan, mereka mengiba memohon untuk uluran pertolongan dari kami. Permintaan dari korban yang tak bersalah membuat hatiku terenyuh dan tak tega untuk menolak permintaan mereka.

Pertama keluarga diruang tamu dahulu meminta tolong untuk menguburkan salah satu anaknya secara layak. Wanita dengan wajah pucat itu menunjukkan tempat anak kecilnya terkubur, tepat dibawah pohon mangga dibelakang rumah. Perlahan kepalanya menoleh kearah kami, matanya menatap kami dan berucap “Bang tolong anak kecilku, kasihan dia” permohonan wanita itu. Kami hanya bisa terdiam terpaku tanpa satu patah kata keluar dari mulut kami bertiga karena kami merasa suasana sangat tegang, hanya anggukan kecil kepala Ki bagus yang terayun. Kemudian wanita itu bergeser kembali ketempatnya semula ketempat pria yang sudah berada dibawahnya, perlahan tapi pasti dengan beringas ia mulai kembali mengahajar lelaki yang masih terikat rantai.

Perlahan pandangan kami diarahkan keruang dapur, kami melihat disebelah sumur wanita yang menggendong bayi menoleh kearah kami. Ia tetap berwajah pucat menatap kami, seolah tahu akan kedatangan kami. Bibir pucatnya yang bergetar mulai berbicara kepada kami “bang tolong kuburkan bayiku dengan layak, huuuuu…huuuu” Pinta wanita yang menangis disebelah sumur itu sambil salah satu tangannya menyeka air mata. Sedang tangan satunya menunjuk kearah sebelah sumur tepatnya persis bersebelahan dengan kamar mandi. Kami bertiga hanya menjawab dengan menganggukkan kepala secara perlahan, bersamaan dengan mata kami yang masih terpejam. Jawaban yang kami berikan karena rasa iba menyayat hati pada korban-korban yang dijadikan tumbal kekayaan.

Selesai putaran video di alam lain, Tiba-tiba Ki bagus melepaskan kedua genggaman tangannya dengan cepat tanpa memberi tanda apapun kepada kami berdua. Dalam sekejab kami sudah kembali lagi duduk bertiga di ruang tamu pak Wijaya seperti sedia kala. Aku dan harun perlahan-lahan membuka mata dan mulai menatap seluruh sudut ruang ini. Kami berdua masih memastikan dan memperhatikan dengan seksama, antara keadaan dimasa lalu yang baru kami alami dengan keadaan saat ini.

Saat kami rasa yakin kami sudah dimasa sekarang, kami langsung berdiri dan duduk sofa. Rumah yang menyimpan memory kelam dua keluarga yang pernah menjadi menghuninya. Keluarga Deno adalah keluarga ketiga yang mempunyai nyali besar untuk tinggal disitu. Meskipun rasa ketakutan menyelimuti keluarga pak wijaya, padahal rumah itu adalah pilihan satu-satunya keluarga Deno untuk bertahan hidup. Karena hanya rumah dilembah yang ia miliki saat itu.

Suasana menakutkan masih sangat terasa bagi kami karena rumah itu penuh dengan kejutan yang tak terduga dalam benakku dan harun, rasa mencekam dirumah pak wijaya seakan terus mengikuti kemanapun kami pergi. Kami melihat pak wijaya bersama kedua anaknya masih berpelukan, serta terus menatap kami. Ki Bagus dengan tenang kembali mengambil bungkusan rokok kreteknya dan mulai membakarnya. Dia hisap rokok kretek itu dalam-dalam dan menghembuskan asap secara perlahan. Wwuuusshh…. kepulan asap keluar dari mulutnya dan mulai bersatu dengan kabut tipis yang ikut masuk keruang tamu rumah di lembah. Ki Bagus mulai membuka pembicaraan…

“Gimana pak wijaya, masih ingin tetap tinggal disini?” Tanya Ki Bagus serius dengan tatapan matanya yang tertuju kepada Pak Wijaya.

“Tidak Ki, maafkan saya atas ketidak tahuan saya” Jawab sesal Pak wijaya.

“Tidak apa-apa pak, saya hanya ingin memperlihatkan fakta yang terjadi sebelum bapak dirumah ini.” Jelas ki Bagus sambil memainkan puntung rokok yang mulai terbakar. “Semua itu untuk kebaikan dan keselamatan keluarga Pak Wijaya.

Karena semua kejadian yang di alami keluarga Pak Wijaya sedikit banyak dipengaruhi oleh keadaan rumah ini. Ketika aura rumah yang dihuni baik, kemungkinan besar perjalanan hidup keluarga di dalamnya akan baik. Begitu juga sebaliknya.” Jelas Ki Bagus yang mengeluarkan rokok kretek dari sakunya yang berwarna hijau dan menaruhnya di meja.

Situasi dalam ruang tamu itu masih sangat menakutkan bagi Deno dan Niko, mereka masih tetap dalam pelukan pak wijaya. Pelukan Deno terlihat semakin erat memegang ayahnya setelah mendengar dan melihat fakta yang diperlihatkan oleh ki Bagus. Ki bagus hanya terdiam melihat mereka bertiga. Kemudian Ki Bagus menoleh ke arahku.

“Mas jo, kain kafannya masih ada?” Tanya ki bagus

“Kurang tau Ki” Jawabku.

“Masih ada ki, itu didalam mobil” Sahut Deno yang masih berada dalam pelukan ayahnya sambil menunjuk kearah mobil Harun

“Ayo mas kita selesaikan malam ini” Perintah Ki bagus yang mulai beranjak dari tempat duduknya.

“Baik Ki” Jawabku serta perlahan aku berdiri dan mengajak Harun berjalan kemobilnya. Kami mengambil kain kafan yang hanya tinggal dua potong. Tak lama kami sudah berada diruang tamu kembali. Ki Bagus lalu mengajak kami semua mencari bagian jasad korban pesugihan yang masih tertanam di rumah itu. Ki Bagus berjalan menuju ke dapur dan kami semua mengikutinya.

Ki Bagus menunjuk ke satu sudut di dapur sebelah sumur, dengan cepat kamipun bergegas menggali tanah yang diduga ada potongan korban pesugihan. Setelah beberapa lama kami gali, terlihat tulang-belulang dari jasad bayi. Tanpa pikir panjang kami mengambil tulang-tulang itu satu-persatu dengan sangat hati-hati. Tulang belulang yang sudah terangkat kami sucikan terlebih dahulu di halaman kamar mandi. Selanjutnya aku dan harun meletakkan di atas kain kafan yang sudah disiapkan dan membungkusnya.

Selesai di dapur, Selanjutanya kami menuju kebelakang rumah dan Ki Bagus langsung menunjuk ke arah pohon mangga. Tepatnya disebelah kanan bawah pohon mangga yang besar itu. Kami berdua berjalan kearah tempat yang ditunjuk Ki Bagus dan mulai menggali dengan hati-hati. Tak perlu waktu lama, Tulang-belulang yang sudah terlihat kami ambil terus sisanya kami lanjutkan menggali dengan tangan. Malam itu kami harus menggali dengan perlahan agar tulang yang mulai rapuh tidak patah dan rusak. Kami ambil satu persatu tulang yang tersisa dalam tanah, selanjutnya kami sucikan terlebih dahulu.

Kelar dengan ritual mensucikan tulang-tulang korban pesugihan, kami lanjutkan dengan pemakaman. Bertempat di belakang rumah Deno, ayah Deno menggali lobang tidak terlalu besar untuk liang lahat. Ia hanya membuat dua lubang secukupnya. Prosesi penguburan tulang-tulang tersebut di mulai dengan masukkan bungkusan kain kafan ke liang lahat dan kami kuburkan kembali dengan layak. Setelah semua proses pemakaman selesai, Ki Bagus mengambil posisi duduk di depan makan untuk memimpin do’a buat jenazah yang sudah berupa tulang. Tak terasa malam sudah mulai beranjak pagi, kami memutuskan untuk kembali ke rumah Harun, istirahat melepas penat.

Hari sudah menjelang pagi, penghuni seisi rumah mulai bergulat dengan kesibukan masing-masing. Suasana di rumah sangat nyaman secerah pagi hari yang menyejukkan. Pak wijaya dan seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di ruang tengah dan sajian makan pagi sudah siap. Ki bagus keluar dari kamar dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke Medan.

“Mari Ki sarapan dulu…. semuanya sudah siap” Pinta pak Wijaja. Ki Bagus mengangguk dan bergabung di ruang tamu. Makan pagi bersama terlihat sangat akrab, satu sama lain saling bercanda ringan. Suasana seperti ini yang sangat di rindu oleh keluarga Pak Wijaya. Suasana yang pernah hilang beberapa saat dari kehidupan Deno…selesai makan kami diajak berkumpul di teras rumah. “Mari kita berkumpul sebentar di teras…” ajak Pak wijaya.

Kami semua beranjak ke teras dan duduk-duduk santai sambil menikmati pagi yang sangat cerah. Ki Bagus tidak lupa mengeluarkan rokok kretek dan menyalakannya… wuuuusssh. Hembusan asap rokok keluar dari mulut Ki Bagus. “Maaf Ki, bagaimana sebaiknya tindakan kami kedepannya” Tanya Ibu Deno.

Dengan santai Ki Bagus menjelaskan bahwa pertanyaan itu sudah dibahas tadi malam dengan Pak Wijaya. Intinya adalah lebih baik pak wijaya sekeluarga pindah dari rumah ini. Karena rumah ini sudah menjadi tempat singgah mahluk pesugihan itu, contohnya jin yang menyerupai nenek-nenek. Ia akan terus menawarkan jerat pesugihan kepada siapa saja yang menghuninya. Rumah ini juga merupakan salah satu jalan yang biasanya dilalui bangsa jin didaerah sini. Selain itu, kenangan dengan penghuni lama juga akan sering menghantui penghuni berikutnya. Begitu penjelasan Ki Bagus tentang ihwal rumah di lembah yang penuh dengan kenangan tragis. Ki Bagus masih santai dengan rokok yang selalu terjepit diantara jari-jemarinya.

“Benar yank, rumah kita yang dilembah menyimpan kenangan yang tak baik untuk kita sekeluarga. Aku dulu juga sempat didatangi nenek-nenek itu Ki, saat kita sakit dan kehabisan uang, tapi kutolak ki” Timpal Pak wijaya

“Iya Mak den, kau tinggal saja sementara disini” Sahut ibu Harun
Sambil tersenyum Ibu Harun menoleh kearah Ibu Deno seraya menghibur dan memberikan solusi sementara.

“Terima kasih wak, atas bantuannya kepada kami” Jawab ibu Deno serta tangannya memegang paha ibu Harun.

“Nenek itu mendatangi ayah dimana?” Tanya Deno serius. Deno masih teringat dengan kejadian tadi malam pada saat ritual dirumahnya. Dia sangat penasaran dibuatnya…. penasaran dan jengkel dengan sosok nenek-nenek yang selalu menjerumuskan penghuni rumah kejalan kesesatan.

“Didapur bang, waktu tengah malam” Jelas Pak Wijaya.

“Oooohh…” Sahut Deno sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Setelah di rasa cukup pertemuan di teras itu dan mencapai kesepakatan bersama, Ki Bagus meminta pamit untuk melanjutkan perjalanan. Ki Bagus minta langsung diantar menuju ke Bandara dengan cepat, karena mengejar jadwal penerbangan pagi. Harun dan aku mengantarkan Ki bagus ke bandara. Selama perjalanan ke bandara Ki Bagus hanya terdiam menikmati perjalan sesekali mengumbar canda dan tawa seperti biasanya. Setelah menunggu Ki Bagus sudah berangkat ke Medan dengan pesawat pagi, kami langsung pulang ke rumah Harun.
Selanjutnya aku dan Harun langsung pergi lagi ke tempat wisata untuk menikmati liburan yang tertunda.

Aku dan Harun tiba di rumah sore hari. Sungguh menyenangkan liburan kali ini, singkat namun berkualitas. Malam pun tiba, aku dan harun duduk-duduk di teras berdua sambil ngobrol tentang kejadian yang kemarin. Namun kami tidak bisa berlama-lama santai di teras. Kami harus menyiapkan segala sesuatu yang akan kami bawa ke Jawa. “Harun, ayo kita kemas-kemas dulu biar besok ndak repot” Ajak ku. Harun pun mengiyakan, lalu dia berjalan masuk kedalam rumah. Akupun beranjak dari dudukku dan ikut masuk ke rumah untuk berkemas-kemas.
Keesokan harinya, aku dan harun sudah bersiap-siap dengan tas dan barang bawaan tertata rapi. Harun meletakkan semua barawaan di ruang tamu. Ternyata banyak juga barang-barang yang harus kami bawa kembali ke Jawa. Ibu Deno mengajak sarapan pagi bersama sebelum berangkat. Semua yang ada di rumah itu telah duduk rapi di ruang tengah dengan hidangan sarapan pagi yang lumayan lengkap. Sungguh nikmat makan pagi waktu itu, semua sangat menikmati suasana keakrabannya. Tak lupa aku menyempatkan pamit kepada semua dan mohon do’a agar selamat selama perjalanan ke Jawa. Keluarga Harun dan keluarga Deno sangat berterima kasih kepada kami. Aku pulang dengan perasaan lega dan puas waktu itu, selain bisa membantu keluarga Deno juga bisa berwisata ketempat yang bagus didaerah Harun.


Janur Kuning

Janur Kuning

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Kisah ini berawal saat keluarga kami ditawari tanah dari Jambi oleh kenalan ayahku, masih kuingat jelas namanya dia adalah Pak Herman. Orangnya ini berumur 40 tahunan.Orangnya ini berumur 40 tahunan. Saat dia menawari keluarga kami dimedan tentang informasi tanah beserta rumah yang murah di jambi, di informasikan tanah itu seluas 50 Ha, beserta rumahnya. Waktu itu kami ditawari dengan harga 200 juta. Berbekal informasi dari pak herman waktu itu kami sekeluarga berminat untuk pindah ke Jambi karena rumah dan tanahnya tergolong murah saat itu, pada akhirnya ayahku tertarik membeli tanah di Jambi.Penasaran kisahnya? yuk dibaca kelanjutannya!

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset