Janur Kuning episode 17

POV HARUN [The End]

Enam bulan telah berlalu, aku merasa sangat kangen dengan kampung halaman. Rasa itu tiba-tiba saja mencuat dari dalam hatiku, apakah ini karena aku baru pertama kali merantau. Mungkin saja. Enam bulan di Jawa, serasa tidak ada waktu luang untukku. Tiap hari aku harus berkutat dengan kegiatan kampus dan tiap sebulan sekali aku mengaji di rumah Ki Bagus bersama Harun. Hari demi hari ku lalui dengan ikhlas dan kerja keras agar apa yang aku niatkan bisa dikabulkan-Nya.

Senin depan setelah enam bulan aku di Jawa tiba waktunya liburan semester. Aku berencana pulang ke kampung halaman. Selasa pagi Paijo mengantarku ke Juanda Airport, karena aku putuskan untuk naik pesawat biar cepat sampai.

Sore menjelang Magrib, aku sampai dirumah. Keluargaku sudah menunggu di rumah, hati ini sangat gembira. Ternyata keluarga Deno sudah pindah. Mereka mengontrak sebuah rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku, berjarak sekitar lima rumah dari rumahku. Malam hari aku main kerumah Deno, saat sampai dirumah Deno kulihat mereka mulai kembali dikehidupan normal seperti biasa. Akupun langsung duduk diruang tamunya beralaskan tikar, tapi mereka bahagia dengan kondisi yang ada.

Rencanya besok mereka mengajakku kerumahnya dilembah, keinginan pak wijaya mau mengambil perabot rumah tangga yang tersisa. Dikarenakan rumah mereka sudah laku terjual, untungnya penjual tahu kondisi rumah Deno, mulai dari semua keganjilan dan keangkerannya. Menurut pak wijaya Rumah dilembah tersebut rencananya akan dibuat untuk tempat ibadah oleh pembelinya.

Pagi hari aku menjemput keluarga Deno untuk mengambil sisa perabot dan pakaian tapi tanpa istri Pak wijaya. Yang berangkat hanya aku, pak Wijaya, Deno serta Niko. Beberapa jam perjalanan kami lalui, hari menjelang siang akhirnya tibalah kami dirumah Deno.

Pak wijaya langsung langsung masuk terlebih dahulu, ia dengan cepat mengambil sisa barangnya dan pakaian mereka dibantu Deno dan Niko. sedang aku sendiri membantu mengangkat barang-barang masuk kemobil. Setelah selesai semuanya aku langsung duduk dikursi sopir, sedang Niko dan Deno mengikuti aku masuk mobil. Pak wijaya yang masih didalam rumah mulai berjalan keluar setibanya ia dihalaman rumah dan mau membuka pintu mobil. Tiba-tiba tetangganya yang berada didepan rumah dengan langkah cepat tergopoh-gopoh datang menghampiri pak Wijaya.

“Pak wijaya saya mohon maaf” Ucap pak Maman sambil meminta berjabat tangan dengan raut wajah ketakutan dan merasa sangat bersalah.

“Iya pak saya maafkan.” Jawab Pak Wijaya pelan dan mencerna perkataan “maaf” yang telah keluar dari mulut pak Maman.

“Benar pak, saya minta maaf…maafkan saya pak… maafkan saya pak” pinta pak maman yang berulang kali serta penuh harap, sampai ia bersimpuh didepan Pak wijaya dengan jabat tangan yang masih melekat pada kedua orang ini.

“Iya…pak maman, tenang saja. Sudah saya maafkan!!!” Jawab pak Wijaya yang spontan dengan tangannya mengangkat pundak pak maman untuk berdiri kembali dari duduk simpuhnya.

“Terima kasih pak” ucap pak maman sambil melepas genggaman erat tangannya.

Setelah itu pak maman kembali kerumahnya dengan langkah sedikit terseret, terlihat ia sedang sakit. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan mereka, pak Wijaya sendiri hanya diam saat memandangi pak maman berjalan pulang kerumahnya. Setelah itu pak Wijaya langsung masuk kemobilku.

Di dalam mobil kami masih diam, belum ada pertanyaan yang terlontar dari kami bertiga kepada pak wijaya akan peristiwa yang langka barusan. Saat mobil baru berjalan, roda mobil ini mulai melambat. Aku melihat didepanku ada tangan seorang pria melambai dan berteriak kearah kami.

“Pak wijaya mampir dulu.” Teriak dan lambaian tangannya pak Slamet dari depan halaman rumahnya.

Pak wijaya yang melihat dan mendengar langsung menyuruhku untuk membelokkan mobil untuk masuk ke halaman rumah pak Slamet. Setelah mobil berhenti didepan rumahnya kami satu persatu keluar semua, Semua anggota keluarga Deno langsung berjabat tangan dengan pak Slamet dan mak Rinda. Mereka sangat senang melihat keluarga pak Wijaya yang sudah pulih kembali seperti sedia kala. Kami semua dijamu diteras pak slamet, karena mereka juga kangen sama Deno dan Niko.

“Pak Wijaya tadi kelihatannya ketemu sama pak maman?” Tanya pak Slamet yang sudah duduk didepan pak Wijaya

“Iya met, kok tahu.” Jawab pak Wijaya

“Ya tahu donk Pak, tadi saya kan dikebun sebelah rumah pak wijaya. Tapi saya diam saja dan kembali kerumah.” Kata pak Slamet

“Lah kok gak samperin aku, memang ada apa met?” Tanya pak wijaya yang polos

“Ya tadi ada pak maman sujud didepan pak wijaya, jadi saya gak enak pak. Akhirnya saya kembali lagi kerumah, sekalian pak wijaya saya ajak mampir kerumah. Keluarga pak wijaya juga jarang kerumah saya kan…hehehhe?” Kata pak Slamet yang sangat bersahaja.

“Ngomong – ngomong ada apa sebenarnya met, kok tiba-tiba maksa mampir gini?” Tanya pak Wijaya yang penasaran

“Begini pak, keluarga pak Maman sekarang sudah hancur” Jelas singkat pak Slamet

“Loh, kok bisa? hancur kenapa met?” Tanya pak Wijaya dengan serius dan penasaran.

“Jadi begini pak, habis keluarga pak wijaya pindah ke kota. Kami disini kan mendengar kabar, bahwa keluarga pak wijaya sudah sembuh semua. saya seneng pak waktu itu. Tapi selang beberapa hari pak maman tiba-tiba cerai sama istrinya. Malah sekarang kedua anaknya juga jadi buronan aparat kepolisian pak” Jelas pak Slamet serius

“Bener itu pak” Sahut mak Rinda dan ia pergi masuk kedalam rumah

“Loh kok bisa?” Tanya pak Wijaya yang kaget.

“Iya pak, denger-denger mereka terlibat kasus perampokan. Malah sering kali aparat mondar mandir lewat depan rumah saya, kapan hari saya sempat didatangi dua orang polisi untuk menanyakan keberadaan Anak-anak Pak Maman. Yaaa….Pak wijaya tau sendiri, saya hampir tiap hari berada dikebun jadi mana tau dimana anak-anak pak maman berada.” Terang pak Slamet

“Terus gimana mereka sekarang pak” Sahut Deno

“Wah kalau selanjutnya pak met kurang tau bang Deno, kami juga sampai saat ini tidak ada yang tahu keberadaan mereka. Bahkan batang hidungnya sampai detik ini juga belum pernah kelihatan. Jawab pak Slamet

Deno kembali terdiam, kaget karena teman sebayanya sudah terkena masalah di usia muda. Deno sendiri sempat terlintas memikirkan tentang nasib Intan dalam lamunannya. Kondisi siang itu hening sebentar tanpa ada pembicaraan, karena kabar yang kami terima begitu memprihatinkan. Tiba-tiba mak Rinda keluar dari dalam rumah dengan membawakan minuman hangat dan makanan ringan…

“Ayok pak, semuanya diminum dulu” Pinta mak Rinda

“Iya mak, terimakasih.” Jawab kami semua yang berada diteras pak Slamet.

Sambil menikmati hidangan diteras, pak slamet mulai membuka pembicaraan lagi.

“Rumah pak maman sekarang juga sudah laku dijual pak, mungkin dia beberapa hari lagi pindah tapi kurang tau juga sih pak. Sekarang saja sudah sakit-sakitan orangnya.” Ucap pak Slamet sambil mengunyah makanan

“Jadi dia sekarang tinggal sendiri dirumah, pantesan tadi jalannya agak terseok-seok” Tanya dan Jawab pak Wijaya

“Iya pak, kapan hari pak Maman kerumah saya sendirian pinjam uang untuk berobat dan makan” Sahut pak Slamet

“Sudah separah itu ya keluarga pak Maman” Gumam pelan pak Wijaya

“Benar pak, mungkin yang menyakiti pak wijaya sekeluarga adalah pak Maman? Tuduh pak Slamet yang serius didepan kami.

“Gak tau lah met, jangan asal tuduh! biarkan saja. Yang penting sekarang keluargaku sudah sehat dan aman semua.” Terang pak Wijaya.

Aku duduk bersama mereka merasa sependapat dengan ucapan pak Slamet, tapi aku hanya diam tak berani menuduh tanpa alasan. Biar yang kuasa saja, yang membalas perbuatan jahat kepada keluarga pak wijaya. Ditengah obroloan kami tiba-tiba ada yang datang, terlihat seperti pemuka agama didesa ini. Ia memakai bajo koko putih, sarung hijau dan kopyah putih bundar. Ia datang dengan membawa motor dan turun dari motornya dengan tergopoh-gopoh menuju ke arah kami.

“Assalamu’alaikum” Salam dari bapak tua ini yang berdiri didepan kami

“Walaikum salam” Jawab kami semua

“Eh ada pak Wijaya, sudah sehat pak?” Tanya orang tua ini yang masih berdiri

“Alhamdulilah mang udin” Jawab pak Wijaya tenang

“Pak saya minta bantuannya semua yang ada disini ya” Pintanya dengan tatapan mata tua yang serius

“Iya mang ada apaan ya?” Tanya pak Slamet

“Gini pak met tadi malam kan hujan lebat, dipemakaman ada beberapa kuburan yang terkena longsor. Beberapa Jenazahnya ada yang muncul naik kepermukaan” Jelas mamang Udin

“Bantuin saya ya, sekalian sama warga yang belum tahu sekalian dikasih tahu. Terus suruh ikut bantu kepemakaman.” Pinta mang Udin

“Ooohh, iya pak kalau begitu” Jawab Pak Slamet dan pak Wijaya

Setelah Penjelasan dan permintaan mamang udin selaku pemuka agama dikampung selesai, mang udin bergegas untuk pergi dahulu kepemakaman. Sedangkan kami yang berada diteras pak slamet langsung masuk mobil mengikutinya dari belakang, Kecuali pak Slamet yang memberitahu warga sekitar dahulu untuk ikut pergi bersamanya kepemakaman. Perasaaan penasaran padaku ingin tahu siapakah makamnya yang keluar kepermukaan itu.

Sesampainya didepan pemakaman terlihat beberapa orang yang mulai datang, sedangkan kami satu rombongan langsung memarkirkan mobil disamping pintu masuk pemakaman. Selanjutnya kami bersama-sama langsung masuk menuju kearah pemakaman yang sudah terkelupas oleh tanah lonngsor.

Waktu siang hari areal pemakaman sudah kelihatan gelap, karena rimbunnya pohon yang mengelilingi makam. Area yang longsor memang berada disebelah sungai besar, beberapa pohon ikut roboh dan hanyut oleh ganasnya banjir dan tanah longsor. Saat kami sudah di dekat makam, kulihat ada tiga mayat yang sudah ditaruh diatas tanah. Dua mayat yang masih utuh jenazahnya, hanya kain kafannya lusuh. Sedang satu mayat lainnya sudah tinggal tulang belulang, ia terbungkus kain kafan yang mulai berubah warna menjadi cokelat. Dari arah belakang kami, pak Slamet datang dengan warga yang lain, ia langsung menghampiri kami…

“Itu jenazah pak Kusdi met,” Kata pak wijaya yang berdiri disampingku serta tagannya menunjuk kearah mayat.

“Iya…benar pak, itu mayat pak Kusdi. Tapi Jenazah satunya lagi kalau tidak salah adalah anaknya itu pak” Sahut pak Slamet.

“Iya pak met, benar!!!” Celetuk Deno dengan wajah serius menatap jenazah anak muda itu.

Dalam kondisi masih berdiri kami semua tertegun, melihat pemandangan ini. Secara singkat Deno memberitahukan perihal tentang kematian semua keluarga pak kusdi yang beberapa bulan lalu mati dalam semalam. Setelah tatapan semua mata yang tertegun hilang, kami semua disuruh mensucikan semua jenzah itu dan membungkusnya kembali. Kami dengan para warga yang ada mensucikannya kembali, serta membalut para jenazah dengan kain kafan yang baru.

Sedang Mamang udin pergi keluar pemakaman untuk memberitahukan pada ahli warisnya. Sedang dua orang penggali kuburan sudah menyiapkan liang lahat yang baru untuk tiga jenazah tersebut. Beberapa saat kemudian mamang udin yang sebagai pemuka agama datang bersama para ahli waris keluarga pak kusdi dan jenazah satunya.

Kedatangan para ahli waris atau keluarga yang ditinggalkan membuka luka lama lagi akan keluarganya yang sudah tiada, mereka dengan sedih meminta Mamang udin segera memakamkan mereka kembali. Saat itu kami bersama – sama membantu untuk memakamkan para jenazah ditempat yang baru. Selesai acara kami langsung berdo’a bersama di depan pemakaman mereka. Ritual sudah selesai, warga mulai kembali pulang kecuali ahli waris dan kerabat yang masih duduk didepan makam keluarganya. Mamang udin yang yang sudah berdiri disamping kami mulai ikut berjalan keluar pemakaman bersama. Ditengah perjalanan itu ia berbicara kepada pak Slamet dan pak Wijaya.

“Pak terima kasih bantuannya” Kata mang Udin

“Sama – sama mang, ini juga kewajiban saya sebagai warga dikampung ini.” Jawab pak Slamet.

“Semoga keluarga pak Kusdi sekeluarga syahid dan amal solehnya diterima oleh yang kuasa” ucap lirih mamang udin sambil mulai berjalan
keluar area pemakaman.

“Amin mang” Jawab kami semua yang masih dalam satu rombongan dengan mamang udin.
Akhir kata, kami semua melanjutkan pulang kerumah Deno. Ditengah perjalanan pulang, saat masih berada didalam mobil pak wijaya berkata pada deno.

“Itulah bang alasan ayah dan mamak kemarin, untuk tetap bersabar dan ihkhtiar. Karena kita sudah memutuskan untuk merantau jadi sebisanya kita usaha sendiri, jangan membuat susah yang dirumah.” Kata Pak Wijaya

“Maksudnya gimana yah” Jawab Deno yang belum mengerti

“Seumpama kita mati sekeluarga karena musibah kemarin insyaallah kita juga syahid bang, jadi gak usah takut.” Kata pak wijaya

“Kita kemarin diuji bang, alhamdulilah abang kuat menghadapinya. Do’a kita juga dikabulkan dan diberikan pertolongan. Pada akhirnya kita bisa
kembali seperti semula, meskipun harus memulai lagi dari nol.” Terang pak Wijaya lagi.

Sampai dirumah Deno waktu sudah menunjukkan sore hari, mobil langsung kuparkir dihalaman kecil rumah kontrakan Deno. Satu persatu barang mulai dipindah, sekian menit selesai membantu pak wijaya memasukkan barangnya dari mobil kerumah barunya aku langsung kembali pulang.

Satu minggu berjalan, waktu liburanku sudah habis. Selama itu pula Deno sering kali kerumahku untuk sekedar tukar fikiran, curhat, bercerita tentang musibah antara hidup dan mati yang ia alami beberapa bulan kemarin. Direntang waktu itu juga, teman Deno yang bernama Angga memberikan pesan “Maafkan aku” berulang kali, melalui facebook. Denopun membalas pesan tersebut dan menuliskan kata “Aku Maafkan” kepada Angga. Sedangkan untuk Intan, Deno sendiri sudah melupaknnya. Meski rasanya masih sakit akan perbuatan Angga dan Intan yang telah ia lakukan kepadanya.

Hari sabtu pagi, saat aku sudah bersiap kembali ke Jawa untuk melanjutkan menuntut ilmu. Tiba – tiba Deno datang kerumah dengan semua keluarganya. Berbekal dari pengalaman pahit dan gertirnya hidup yang sudah ia rasakan, dia berkeinginan keras dan membulakan tekad untuk belajar ilmu agama dan ilmu-ilmu yang lain. Dia betujuan untuk membantu sesama, dan berharap jangan ada lagi musibah yang menimpa seperti keluarga Deno. Dengan restu serta dukungan dari keluargaku dan keluarga Deno akhirnya ia ikut belajar ke Jawa bersamaku. Sewaktu cerita ini ditulis, mulai keluarga, kerabat, teman di Medan dan di Jawa tidak ada yang diberi tahu sama sekali tentang musibah yang pernah dialami dikeluarga Pak wijaya, hanya keluargaku (keluarga Harun) saja yang tahu.


Janur Kuning

Janur Kuning

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Kisah ini berawal saat keluarga kami ditawari tanah dari Jambi oleh kenalan ayahku, masih kuingat jelas namanya dia adalah Pak Herman. Orangnya ini berumur 40 tahunan.Orangnya ini berumur 40 tahunan. Saat dia menawari keluarga kami dimedan tentang informasi tanah beserta rumah yang murah di jambi, di informasikan tanah itu seluas 50 Ha, beserta rumahnya. Waktu itu kami ditawari dengan harga 200 juta. Berbekal informasi dari pak herman waktu itu kami sekeluarga berminat untuk pindah ke Jambi karena rumah dan tanahnya tergolong murah saat itu, pada akhirnya ayahku tertarik membeli tanah di Jambi.Penasaran kisahnya? yuk dibaca kelanjutannya!

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset