Sore itu kami berangkat dari medan sekeluarga, kami dari medan bersama Pak Herman selaku penunjuk arah dan penjual kebun serta rumahnya. Kami ke Jambi membawa truk besar, seingatku truk 135 Ps. Truk itu membawa penuh muatan perabotan kami dari Medan, aku bersama adikku dan pak Herman duduk di bak kayu belakang. Sedangkan mamak dan ayah didepan bersama sopir. Saat aku dan adikku dibelakang truk, kami memandang Pak herman ini dengan seksama. Menurutku dan adik tampangnya pak herman seram, karena berambut hitam gondrong sebahu yang tak rapi sama sekali, berkulit hitam legam dan berotot. Dia selalu memakai jeans dan baju berkerah, dengan berbagai aksesoris ditubuhnya. Istilahnya kayak preman waktu itu, tapi aku diam dan bersikap dingin biar tak terlihat takut. Karena sebagai keturunan batak kami selalu diajarkan berani dan tegas.
Saat kepindahan kami waktunya musim penghujan, jalan yang kami lalui jelaslah berat. Saat malam harinya kami berada di jalan yang lembek, truk yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti…hanya suara deru knalpot truk yang keluar “Brunggg…brunggg” sementara rodanya tetap memutar diatas tanah merah yang lengket.
“Ayo turun semua bantu dorong.“ Teriak pak sopir yang sudah berdiri disamping truk
“Iya Pak” Jawab kami yang dibelakang
Semua penumpang turun kecuali mamak, sedangkan pak sopir kembali kekabin truk untuk menahkodai kendaraannya sembari melihat kondisi ban truknya keluar dari jebakan tanah liat merah. Kami semua membantu mendorong truk dan memberi kayu dan batu pada ban sebagai pijakan, agar ban truk terbebas dari tanah liat yang lengket. Tapi usaha kami sia-sia, malam itu kita hanya bisa duduk-duduk menunggu kendaraan lain lewat. Sekian lama kendaraan ini terjebak dalam tanah merah yang mencengkeram akhirnya solusi terakhir truk yang kami naiki harus ditarik oleh truk lain. Sekian lama kami menunggu akhirnya ada pengendara lain yang lewat dan perduli untuk membantu kami, pada akhirnya kami bisa meneruskan perjalanan kembali. Memang jalanan tanah merah malam itu sangat lengket dan sangat menggangu.
Perjalanan kami tempuh selama dua hari, perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan. Kejadian seperti tadi sekitar enam kali, sampai yang terakhir ban truk yang kami naiki termakan semua oleh ganasnya medan jalanan. Setiap kali truk terjebak oleh ganasnya jalan waktu itu aku berangan – angan, apakah ini sebagai tanda awal yang buruk bagi keluarga kami. Tapi setelah truk bisa jalan lagi angan-anganku itu hilang dengan sendirinya. Akhirnya setelah dua hari kami tiba di Jambi, waktu itu sudah malam kira-kira jam 10. Aku membayangkan dari medan rumah baru yang akan kami tinggali adalah dikota, ternyata dugaanku salah. Kenyataan yang kudapati adalah sebuah pelosok desa yang yang berada dilembah lereng pegunungan. Jelas desa ini sangat jauh dari pusat kota. Kami di Jambi tepatnya di Kab. ****. Kec *** desa ***.
Malam hari kami memasuki rumah dengan halaman yang sangat luas sekitar 20 meter jarak antara rumah dan jalan depan rumah, dan ditengahnya ada rumah berukuran 9 x 12 meter. Rumah itu tampak dari jauh hanya ada satu lampu kecil putih kira-kira 5 watt diterasnya, terlihat rumahku ini samar-samar bercat hijau dari kejauhan karena penerangan yang minim. Karena hanya lampu itulah satu-satunya penerangan dirumah kala malam itu. Beruntungnya rumah kami yang baru ini sudah berdinding tembok beratap genteng.
Rumah baruku ini posisinya berada dilembah yang dikanan dan belakangnya terdapat bekas tambak ikan yang sangat luas. Untuk di samping kiri rumahku hanya ada satu rumah tapi jaraknya jauh, kira-kira sekitar 500 meteran lah baru setelah itu lereng gunung. Tetanggaku yang terakhir dan terdekat barada tepat depan rumah disebrang jalan, Kira-kira delapan meteran panjang jalan depan rumahku ini baru rumah tetangga. Malam pertama disini cukup dingin semoga tidak seperti nasibku yang menjadi dingin dilingkungan baru ini.
“Den kamu bantuin masukin barang ya.?” Perintah ayah saat masih berdiri disamping truk
“Iya yah.” Jawabku
“Aku juga ikut bantuin ya yah?” Sahut adikku Niko
“Ya gak papa asal jangan yang berat-berat”? Jawab ayah dengan senyum serta rasa sayang kepada adikku.
Malam itu kami semua berenam dibantu pak sopir menurunkan semua perabot yang kami bawa dari Medan. Kami menurunkan dihalaman rumah dulu sebelum membawanya masuk ke rumah, biar enak menatanya pendapat ayah malam itu. Pak sopir dan Pak Herman yang menurunkan dari atas truk sedangkan kami bertiga dengan ayah bergantian membawa barang-barang kami masuk kerumah. Untuk perabot yang berat seperti almari, dipan dan sejenisnya menunggu pak sopir dan pak herman selesai menurunkan dari atas truk. Baru setelah mereka selesai kami bersama-sama memindahkan barang-barang yang berat itu ke dalam rumah.
Kegiatan bongkar muatan itu sampai jam 1 malam baru selesai. Saat selesai kegiatan memasukkan barang selesai itu, aku baru tahu bahwa rumahku ini mempunyai tiga kamar tidur, 1 kamar mandi dan 1 ruang dapur. Sedang dari depan mulai teras, ruang tamu dan ruang tengah untuk bersantai. Untuk lantai hanya plesteran semen biasa, aku rasa rumah yang cukup bagus menurutku malam itu.
Waktu bongkar muatan dari truk dua rumah terdekat/tetangga tak ada yang datang membantu atau menegur kami, kami sekeluarga waktu itu maklum karena waktu sudah malam, dua rumah tetangga terdekat itupun sudah terlihat tertutup rapat dan terlihat gelap rumah mereka.
Setelah itu kami semua istirahat dirumah baruku, Termasuk pak sopir dan pak herman. Kami berlima tidur diruang tamu beralaskan karpet yang tipis warna biru, berjejer seperti pindang dalam wadahnya. Tak lupa selimut loreng hitam putih berada ditubuhku dan adikku. Sedangkan ayah, pak herman dan pak sopir berselimutkan sarung. Untuk mamakku tidur dikamar sendirian beralaskan kasur busa tipis berwarna cokelat tua berselimut kambal hijau tebal. Suasana semakin larut semakin dingin pula dirumahku, serta kabut mulai menutupi lereng pegunungan sampai kerumahku.
Cuiiittttt….Cuiiiiittttt….Kriiiiiekkkk….[suara burung liar yang saling bersahutan]
Dipagi hari banyak kicauan burung liar yang sangat nyaring dan merdu disekitar rumah baruku. Suasana disana waktu pagi sangat dingin, karena berada dilereng gunung. Kabut dan embun menemani dipagi itu, tak lupa embun-embun itu menancapkan dirinya pada ujung rumput dihalaman rumahku. Dirumah baru ini hawanya benar-benar menandakan area pegunungan yang masih asri dan alami.
Hari itu kami semua mulai aktifitas pada jam 6, sedang mamakku sudah bangun entah mulai jam berapa? Aku sendiri tak tahu. Mamak kelihatannya bangun duluan untuk menyiapkan sarapan seadanya untuk pagi itu. Padahal mamak juga sudah dua hari dengan kami kurang istirahat, karena sudah jadi kebiasannya juga mamakku selalu rajin dan tepat waktu untuk semua kegiatan rutinnya.
Dipagi itu aku sendiri masih merasa capek dan lelah, sedang adikku masih tidur. Memang sengaja pagi itu aku tak membangunkannya karena kasian, begitu pula mamak dan ayah yang tak tega melihat adik yang masih tidur sangat lelap dipagi yang dingin. Aku yang sudah bangun bergegas membantu mamak menyiapkan makanan didapur baru. Meskipun aku cowok aku tak segan ikut membantu masak dan belajar masak dari mamakku. Setelah beberapa saat semua hidangan sudah tersedia diruang tamu.
“Dek bangun ayok sarapan dulu.” Ucapku dengan tangannya kugoyang-goyangkan.
“Iya bang.” Jawabnya pelan yang menandakan kelelahannya dipagi itu. Serta dengan pelan ia berjalan menuju kamar mandi.
Sekitar jam delapan pagi, kami semua sarapan bersama. Setelah itu ayah membayar ongkos truk dari Medan ke Jambi kepada pak sopir, tak begitu lama setelah menghitung uangnya pak sopir langsung pamit pulang kemedan tanpa membawa muatan lagi. Sementara itu mamak masuk kerumah ambil HP dan kembali diteras rumah untuk telpon kakek dimedan untuk memberi kabar.
Tuutttt..tuuttt…tuuuttt
“Assalamu’alaikum..Hallo Yah.” Kata mamak
“Walaikum salam…Iya ‘nang boru’ (nama panggilan kesayangan kepada anak perempuannya) gimana kabarnya, sudah sampai belum?” Tanya kakek
“Sudah yah, tadi malam jam sepuluh.” Jawab mamak
“Gimana cucuku, sehat semua kan?” Tanya kakek
“Iya yah, syukur kami semua sampai disini selamat dan sehat semua.” Jawab mamak
“Oh ya sudah kalau begitu, hati-hati disitu?” Pesan kakek
“Iya yah.” Jawab mamak
“Kalau ada apa-apa hubungi ayah ya?” Pinta kakek lagi
“Iya yah tenang saja.” Jawab Mamak
“Sudah dulu yah, nang boru mau beres-beres rumah dulu ini karena baru nyampe rumah baru tadi malam.” Kata Mamak
“Ooohh Ya sudah.” Jawab kakek
Tuuuuuttttttt
Setelah melepas kepergian truk pagi itu dan selesai mamak telpon kakek, kami berkumpul diteras rumah bersama pak herman, dengan kami sekeluarga di pagi itu. Kami masih duduk-duduk bersantai, sedang pak herman dan ayah duduk berhadapan dengan menikmati teh panas dan rokok filternya. Tapi hanya pak herman ngerokok karena ayah dari dulu tidak pernah merokok.
“Pak wijaya habis ini mari ikut saya untuk melihat kebun yang sudah bapak beli, sekalian melihat batas patoknya?” Pinta pak Herman disertai tangannya yang memainkan punting rokok yang sudah dibakar.
“Iya pak, ayok. Sekalian sama istri saya biar ikut.” Jawab ayahku
Waktu itu aku masih diteras duduk berdua sama adikku mendengarkan mereka berbicara. Aku disitu hanya mengamati pemandangan sekitar yang baru pertama kali aku lihat. Karena disini sangat berbeda dengan tempat asalku, Setelah itu ayah mengambil motor yang sudah kami bawa dari Medan. Ayah memanasi motor besutan jepang yang sudah kami bawa,
“Brrruunnnngghhhh” [suara motor ayahku]
“Deno, mamak tinggal lihat kebun dulu ya sama pak herman?” Pamit mamakku sambal berjalan menuju motor ayah.
“Iya mak, tapi jangan lama-lama mak. Deno takut kalau ditinggal lama-lama disini”. Jawabku yang sedang duduk dengan adikku.
“Cepetan balik mak.”Sahut adikku
“Iya bang, adek. mamak cuma sebentar. Lagian mamak juga belum beres-beres perabotan.” Jelas mamak sambil naik dijok motor belakang ayah.
“Brungggg… Brungggg …. Brungggg” [suara motor pak herman yang berisik sedang memainkan suaranya naik turun]
Setelah itu pak herman bersama motor tanpa mereknya pergi dengan mamak dan ayahku, dia mengajak keliling melihat dan memastikan batas tanah yang baru dibeli oleh keluarga kami. Aku hanya berdua dirumah dengan niko sampai sore setengah menggerutu dan jengkel. Sekian lama aku dirumah besama adikku menunggu kedua orang tua yang harap-harap cemas, karena bilangnya sebentar ternyata sore baru datang. Sampai saat jam menunjukkan jam empat sore suara raungan keras motor pak herman dan motor ayah mulai terdengar.
[Bruungggg…. Bruungggg… Bruungggg, suara motor ayah dan pak herman yang dating mendekat kerumah]
Sore itu kami langsung keluar dari rumah, sebelumnya aku dan adikku hanya tiduran didalam rumah. Saat aku berdiri diteras, aku lihat mamak sudah berjalan menuju rumah.
“Mak kok lama sekali? Katanya sebentar.” Tanyaku jengkel
“Ya sabar bang, namanya lihat tapal batas kan harus jalan dari ujung ke ujung kebun.” Jawab mamakku dengan tegas
“Paling mamak sama ayah jalan-jalan mampir kerumah Pak herman?” Tanyaku lagi yang tak percaya kepada mamak
“Aduuuh bang, tadi mamak sebenarnya ingin kerumah pak herman. Tapi pak herman hanya menunjukkan letak lokasi rumahnya tanpa memberitahukan rumahnya yang ditinggali sekarang. Jelas mamak
“Masak mak? Jawabku yang masih diteras.
“Iya bang. Tapi biar saja, lagian sertipikat sudah dibawa ayah tuh.” Jawab mamak dengan menunjuk ayah dan Pak herman yang masih ngobrol dihalaman rumah.
Keterangan yang janggal menurut mamakku sore itu dan aku sendiri beranggapan yang sama dengan mamak, Karena hanya menunjukkan lokasi rumah tanpa pernah diajak kerumahnya dan diperkenalkan kepada keluarga atau ahli waris tanah tersebut. Tapi ayah disini juga tak mau memperdulikannya akan hal ini, ayah masih sangat percaya dengan pak Herman waktu itu. Aku berharap semoga kedepan tidak terjadi apa-apa dengan keluarga kami
Setelah sampai teras, ayah dan pak herman serta mamak ngobrol panjang lebar membahas rencana keesokan harinya untuk pergi kenotaris terdekat. Ayah bermaksud untuk secepatnya balik nama atas sertipikat kebun dan rumah yang baru dibeli. Aku sendiri dengan adikku tak menghiraukan mereka, karena kami sore itu mulai beres-beres untuk menata kamar masing-masing.