Janur Kuning episode 5

Awal Bencana

Putaran bumi membawa kami lebih jauh, tak terasa waktu berjalan satu tahun lebih. Kami sekeluarga mulai bisa menikmati hasil jerih payah berkebun selama ini. Di saat mamak yang memegang uang banyak, ia tidak membelikan mobil ataupun perhiasan. Mamak hanya menabungnya di bank dan berencana membelikan kebun karet baru.
Tepat dibulan ketiga belas ayah menanam padi seluas 4 hektar, selang empat bulan kemudian waktu panen tiba. Hasil dari menanam padi saat itu dibagikan ke lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal kami. Semua itu kami lakukan sebagai rasa sukur atas semua yang diberikan yang esa selama ini.

Berawal dari kegiatan sosial rutin tiap panen semakin banyak, bencana dikeluarga kami dimulai. Pagi di hari minggu saat aku dirumah, aku dan Niko sedang membersihkan halaman rumah. Meski pagi itu halaman masih tertutup kabut putih tipis kami tetap membersihkan daun daun kering yang terkena embun dihalaman rumah. Tiba tiba ada dua orang pria yang tak dikenal datang menghampiri kami…

“Eh bang mana orang tuamu”? Tanya lelaki memakai kaos biru

“Didalam bang, memangnya ada perlu apa?” Jawab dan tanyaku

“Sudah cepat panggil orang tua kau.” Perintahnya dengan wajah emosi

“Sebentar bang, saya panggilkan.” Jawabku serta langkahku pergi kedalam rumah untuk memanggil ayah serta mamak. Sedang Niko terus
membersihkan halaman rumah sendirian.

Sekian menit aku keluar bersama mamak dan ayah dari dalam rumah. Kami bertiga langsung menghampiri mereka diteras yang sudah duduk diteras. Mamak dan ayah berjalan dan ikut duduk diteras…

“Permisi bang ada perlu apa ya bang”? Tanya mamak yang menghampiri mereka berdua sedang aku dan ayah dibelakang mamak

“Ini mak, saya mau ambil tanah milik saya.” Jawab pria memakai kaos itu.

“Abang ini siapa dan dari mana, kok tiba-tiba datang mengaku-ngaku mau ambil tanah kami!!” Tegas mamak

“Saya Agus, dan bapak ini “Heru”. Saya dari desa sebelah, saudaranya Herman [penjual tanah yang kami tempati saat ini]” Jelas orang yang
mengaku namanya Agus, serta tangannya menunjukkan sosok yang bernama Heru

“Ooohhh begitu, Maksudnya tanah yang mana bang?” Tanya mamak bingung mendengar jawaban pria yang bernama Agus

“Ya kebun karet yang pak wijaya garap sekarang” Jawab Agus sambil menunjuk ayahku

“Kebun ini kan sudah jadi milik kami bang, sudah saya beli dari Herman setahun yang lalu.” Jawab ayah

“Ini kebun kami bukan kebun herman.” Bentak Agus

“Eh ini kebun kami beli secara sah pak, saya beli dari Herman!!! Suara keras mamak

“Eh jangan marah mak, ini kebun saya juga. Saya ingin segera kebun saya dikembalikan.” Tegas pria bernama Heru.

“Ya gak bisa pak, tanah serta kebunnya sudah jelas – jelas kami beli.” Jawab Ayah.

“Gak bisa gimana!!! Ini sertipikatnya” Kata Agus sambil menunjukkan copy dua bendel sertipikatnya kepada mamak dan ayah.

Ayah dan mamak mengambil dua sertipikat tanah itu dari Agus, mereka membaca pelan-pelan dan teliti. Sertipikat A dengan luas 7 hektar letak bidang dikebun karet kami, sertipikat B dengan luas 8 hektar letak bidang sama dikebun karet kami, sesuai nama mereka dilampiran fotocopy ktp agus dan heru dihalaman depan copyan sertipikat itu.

Setelah selesai mamak mengecek sertipikat itu, wajah ayah dan mamak berubah seketika menjadi merah padam seakan terkena bencana yang tak diinginkan. Dengan cepat mamak bergegas masuk kedalam rumah, untuk mengambil sertipikat kami yang sudah jadi. Sekian detik mamak dengan berjalan cepat sudah kembali keteras dan kembali berkumpul bersama kami.

“Ini sertipikat asli kami” Kata mamak serta tangannya mengangkat sertipikat tanah kami.

Pagi itu kami sekeluarga menjadi bingung mendadak, adikku berjalan perlahan menuju kepadaku karena melihat keadaan mulai memanas diteras rumah kami. Suasana yang dingin dilembah sudah tak bisa mendinginkan akal sehat mereka. Perdebatan panjang seakan tiada henti, antara mereka berdua yang baru dikenal dengan kedua orang tuaku. Saat Agus yang mulai tersulut emosi, tangannya mulai mengayunkan kearah ayah dia menonjok ayah…dengan cepat mamak berjalan mendekat disamping ayah dan menepis tangan Agus. Wajah mamak yang sudah terlihat marah dengan cepat mengangkat tubuh Agus keatas dengan kedua tangannya, tangan mamak langsung membantingnya bagai melempar gelas…

“Brugghhhh” [tubuh agus yang dibanting kelantai teras kami].

Waktu itu aku melihat mamak sudah kerasukan arwah dari leluhur simalungun. Tenaganya menjadi belipat lipat sangat kuat dan susah diakalahkan sama orang biasa. Kami bertiga hanya diam mematung tak ada yang berani menghentikan kemarahan mamak pagi itu.

“Kesini kau kalau berani.” Bentak mamak kepada Heru.

“Ayo, siapa takut.” Jawab Heru berjalan menuju mamak dengan kedua tangannya yang sudah terkepal

Tiba tiba tangan kanan Heru secara cepat mulai memukul ke arah wajah mamak, hantaman tangan kanan Heru sedikit mengenai pipinya mamak, mamak hanya diam tak bergeming seakan kena belaian sapu tangan. Tapi kepalan mamak dengan cepat membalas, tangan mamak langsung menghantam kepalanya tepat dipelipisnya. Disaat tangan mamak sudah megenai kepalanya Heru, dia langsung tersungkur kelantai sedang tangan mamak terus melaju sampai menghantam tembok.

“Bruuuuakkkkkkk”

Pukulan mamak pagi itu sampai menjebolkan tembok depan rumah kami. Setelah itu mereka berdua yang masih terbaring dilantai dengan sadar, mereka terlihat kalau diteruskan berantem tak akan menang dan tahu kekuatan mamak yang besar. Hanya kode dari kedua kepala mereka yang saling menggangguk dan tanpa permisi mereka langsung lari dari rumahku.

Setelah selesai kejadian dipagi itu, kami kembali beraktifitas seperti biasanya. Kedua orang tuaku mengganggap masalah ini sudah selesai, kami anggap pagi itu hanya dua orang yang mencari-cari masalah saja. Setelah itu Aku dan Niko kembali ke halaman rumah untuk bersih-bersih. Waktu semakin siang kami malah main disuguhi bau amis darah yang lama dihalaman, padahal sudah berulang kali sebelumnya kami mencari sumbernya tapi tak pernah menemukan bau – bau tak sedap itu. Menjelang malam hari pun kami disuguhi bau busuk bangkai dengan durasi yang lama, itupun kami juga tak mengetahui keberadaan sumbernya. Waktu terus berjalan sampai pagi, aku dan Niko menjalankan kewajibanku sekolah sedangkan mamak dan ayah tetap kembali bekerja dikebun.

Setelah pulang sekolah kami melihat ayah dan mamak ketakutan panik serta bingung. Mereka mondar mandir keluar masuk kamar, mereka juga sama-sama menggerutu mengeluarkan bahasa asal masing – masing yang tak kumengerti. Sore hari yang rencananya kami mau main bola dan mencari ikan disungai terpaksa batal. Aku dan Niko hanya duduk diruang tamu, melihat dan menunggu kondisi mereka tenang. Sekian menit mereka akhirnya duduk diruang tamu bersama kami…

“Mak sebenarnya apa yang terjadi. Kok sedih dan bingung begitu” Tanyaku

“Ini bang orang yang kemarin ribut sama mamak datang lagi kekebun tadi pagi”. Jawab ayahku yang menekuk mukanya kebawah

“Memang kenapa lagi yah.” Tanya Niko penasaran

“Tadi mereka kekebun membawa kawan tiga orang.” Jawab mamak lirih

“Terus mau mereka apalagi mak, kan sudah jelas kita yang punya sertipikat tanahnya?” Kataku

“Gini bang, mereka tadi pagi ada lima orang datang kekebun. Mereka itu Agus, Heru dan kawan-kawannya, mereka membawa sertipikat aslinya masing-masing. sertipikat mereka sesuai dengan letak bidangnya di kebun karet kita.” Jawab ayah

“Kok bisa yah” Jawabku.

“Gak tau bang.” Jawab Mamak

“Terus gimana yah akhirnya” Tanyaku

“mereka memaksa kalau tidak diberikan tanah yang diklaim mereka, ayah dan mamak akan dibunuh tadi pagi. Mereka memaksa dengan
menodongkan senapan kekepala mamak dan ayah. Akhirnya tadi pagi ayah dan mamak putuskan ke balai desa untuk memecahkan masalah ini, tapi didesa kami kalah bang. Setelah semua dirapatkan dan disaksikan semua pihak terkait, Dengan berat hati bang mamak dan ayah menyerahkan 15 hektar kebun karet kepada mereka berdua.” Terang ayah

“Kok bisa gitu yah?” Jawabku yang tak terima

“Sudahlah bang, abang diam saja dari pada kita sekeluarga kenapa-kenapa.” Sahut Ayah yang terlihat sedih.

“Pak hermannya kemana mak. Apa ayah dan mamak tidak mencarinya”. Tanyaku lagi

“Hermannya menghilang bang, sebelum ayah tadi negosiasi kami semua mencari Herman untuk tanggung jawab. Sekian lama kita mencari
Herman, termasuk keluarga dan perangkat desa ikut mencari. Tapi keberadaan dia tidak ada lagi mulai dari ditempat yang pertama kali dimenunjukkan tempat tinggalnya sampai alamat terakhir.” Jawab ayah yang masih shock

“Sudahlah bang, mak, kita ambil pelajaran dari semua ini, semoga tidak terulang lagi.” Jawab ayah

Sore itu menjalankan waktunya hingga malam, kami semua terpukul akan hal ini. Jadi mulai hari itu lahan kami otomatis berkurang jadi tinggal 10 hektar, padahal kebun karet kami sebagai andalan untuk bertahan hidup. Sementara si penjual tidak betanggung jawab dan kabur hilang entah kemana rimbanya sampai sekarang.

Malam itu, aku pergi tidur sendirian dikamar dengan membawa beban kesedihan dari ayah dan mamak. Perasaanku ikut hancur dan tak terima, aku dan Niko berencana untuk mencari keberadaan herman besoknya.

“Kuuuukkkuuuruyuuukkkkk….. Kuuuukkkuuuruyuuukkkkk” [kokok ayam]

“Auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhhhggg” [lolongan serigala]

Aku terbangun kala kokok ayam dalan lolongan serigala memanggil bersahutan, saat aku keluar kamar dan melihat jam diruang tengah ternyata masih jam satu malam. Beberapa saat sebelum aku kembali kekamar, Niko berjalan kluar kamarnya ia ikut terbangun dan keluar menghampiriku sambil mengucek kedua matanya.

“Bang sudah pagi.” Katanya polos

“Belum Nik” Jawabku yang masih berdiri diruang tengah memandangi adikku ini

“Kok banyak ayam yang berkokok” Tanya Niko

“Gak tau, ayok tidur lagi.” Perintahku pada niko

“Bang Niko ikut tidur sama abang ya.” Pintanya

“lha kenapa nik” Tanyaku

“Tadi disebelah kamar Niko dari luar banyak orang-orang lagi ngobrol, tapi Niko intip dari lubang kecil jendela sepi bang gak ada orang sama
sekali.” Jelas Niko dengan menguap

“Ya udah ayok tidur sama abang malam ini” kataku

Kriiiiiaaaakkkk…kriaaaakkkk….[suara burung yang terus berbunyi diatas rumah kami, aku sendiri tak tahu burung apa juga malam-malam
bernyanyi diatas kamar Ayah tiada henti]

Mulai malam ini kejadian yang aneh yang tidak lazim mulai bermunculan. Saat itu aku tidak pernah menaruh curiga sama sekali akan tanda keadaan alam sekitar. Aku dan Niko tidur bersama dikamarku berharap besok menjadi hari yang cerah bagi kami. Saat aku sudah berbaring melirik Niko yang gelisah takut..

“Sudah Nik, cepat tidur. Besok kita masih sekolah!” Kataku

“Iya bang.” Jawabnya sambil membetulkan selimutnya.


Janur Kuning

Janur Kuning

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Kisah ini berawal saat keluarga kami ditawari tanah dari Jambi oleh kenalan ayahku, masih kuingat jelas namanya dia adalah Pak Herman. Orangnya ini berumur 40 tahunan.Orangnya ini berumur 40 tahunan. Saat dia menawari keluarga kami dimedan tentang informasi tanah beserta rumah yang murah di jambi, di informasikan tanah itu seluas 50 Ha, beserta rumahnya. Waktu itu kami ditawari dengan harga 200 juta. Berbekal informasi dari pak herman waktu itu kami sekeluarga berminat untuk pindah ke Jambi karena rumah dan tanahnya tergolong murah saat itu, pada akhirnya ayahku tertarik membeli tanah di Jambi.Penasaran kisahnya? yuk dibaca kelanjutannya!

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset