Dipagi itu saat kondisi mamakku mengagetkan kami sekeluarga, aku langsung mencari balsem dan minyak kayu putih serta bau bauan yang menyengat. Aku mulai memijit mamak, setelah itu minyak kayu putih kuoleskan tipis dihidung mamak. Dengan caraku ini waktu itu berharap mamak bisa cepat siuman. Tapi setelah beberapa jam usahaku sia-sia. Pagi itu aku hanya sedih memikirkan mamak dan duduk disebelah kakinya, sedang Niko tetap menangis disamping kepala mamak.
“Diamlah Nik, ayo bantuin abang pijitin mamak.” Kataku Pelan
“Iiiiiiyyaaa bang” Jawabnya sambil tangisnya mulai mereda dan ikut mengambil isi balsem yang kubawa.
Ayah yang panik berjalan keluar masuk kamar tanpa bisa berucap kata-kata lagi, memang ciri ayahku jika mendapati kondisi seperti ini langsung panik dan bingung. Pagi itu ayah sudah kehilangan rasa laparnya, begitupun juga kami. Karena hanya tatapan sedih kami saat melihat mamak. Kami semua masih bingung di pagi itu untuk apa yang dilakukan menangani kondisi mamak, hingga waktu berjalan sekitar jam dua belas siang. Ayah yang berjongkok terdiam didepan ranjang, kondisinya ayah juga sudah terlihat mulai tenang. Ia tiba tiba berucap..
“Bang jagain mamak sama adek kau sebentar, ayah mau cari obat keluar.” Kata ayah yang menatap kami dengan mata memerah bekas tangisnya.
“Iya yah.” Jawabku singkat
Setelah itu ayah pergi keluar dengan motornya, yang aku sendiri tak tahu ia pergi kemana. Sedang aku dan Niko terus berusaha mengelus, memanggil dan memijit mamak, air mata kami pagi itu seperti tak pernah kering dari pipi kami. Meski tangis kami terhenti, air mata kami tetap meleleh dengan sendirinya. Jam empat lebih lima belas menit ayah baru datang dengan membawa mobil. Ayah tanpa kompromi langsung memerintahkan kami untuk membawa mamak kedalam mobil.
“Bang ayo bantu ayah angkat mamak kau ke dalam mobil” Perintah ayah
“Iya yah.” Jawab kami bergantian
Dengan sigap aku dan Niko serta ayah langsung mengangkat mamak kedalam mobil. Sore itu hanya kami berlima dengan sopir mulai keluar dari rumah untuk pergi yang membawa mamak. Akupun tidak tahu tujuan ayah sore itu. Saat mobil sudah berjalan, aku mencoba bertanya kepada ayah…
“Yah ini mamak mau dibawa kemana.” Tanyaku penasaran
“Kita bawa ke tempat ustad bang?” Jawab Ayah
“Kok ustad yah?” Jawabku heran, karena aku pikir waktu itu mamak akan dibawa kedokter.
“Tadi ayah diberi saran sama bang Slamet, katanya suruh alternatif dulu. Karena istrinya bang Slamet kemarin juga begitu.” Kata ayah
“Memang mak Rinda kenapa yah” Tanyaku lagi
“Mak Rinda seminggu kemarin setiap pulang dari kebun pasti badannya membiru terus, dan kesakitan. Sampai mak Rinda dua hari tak sadarkan diri.” Jawab ayah
“Terus sekarang mak Rinda gimana yah.” Tanyaku penasaran lagi
“Ya syukurlah bang, sekarang sudah banyak perubahan, tapi belum sepenuhnya.” Jawab ayah.
“Terus ini rumah ustadnya jauh apa tidak yah? Kasian mamak yah.” Kataku
“Iya yah, kasian mamak yah.” Jawab Niko
“Ya kurang lebih satu sampai dua jam bang.” Jawab ayah.
Sekitar dua jam perjalanan kami akhirnya sampai dirumah ustad yang dituju oleh ayah. Dari jauh rumah itu terlihat sederhana dan mempunyai halaman yang luas. Setelah sopir memarkirkan mobilnya dihalaman pak ustad, Aku dan ayah keluar duluan dari mobil, sedang Niko dimobil menjaga mamak dengan sopir. Kami berjalan memasuki teras rumah kayu bercat putih, terlihat pintu rumah itu masih tertutup. Ayah yang sudah didepan pintu sedang aku dibelakangnya, setelah itu ayah yang langsung mengetuk pintu..
‘Toook…tokkk…tokk…’
“Assalamu’alaikum” Salam Ayah
Sekian menit kami menunggu, dibukalah pintu itu. Nampak pria memakai gamis putih, dan songkok putih bundar.
“Walaikum salam”. Jawab pria itu dengan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan kami bedua.
“Benar pak ini rumahnya ustad Rohim” Tanya ayah
“Iya benar pak, saya ustad Rohim Pak.” Jawab Ustad itu
“Saya wijaya dari kecamatan **** pak, saya kesini diberi tahu pak Slamet tetangga kami.” Kata ayah yang penuh harap.
“Ooooh ya…yaa…ada yang bisa saya bantu pak.” Tanya ustad Rohim
“Ini pak istri saya sakit, seperti stroke atau lumpuh pak.” Kata ayah yang masih berdiri didepan pintu ustad Rohim
“Memang istrinya sekarang dimana pak.” Jawab Ustad rohim
“Itu pak dimobil.” Jawab ayah dengan tangannya menunjukkan kearah mobil yang kami tumpangi.
“Oh ya kalau begitu langsung bawa masuk sini pak.” Perintah ustad yang mulai tergopoh – gopoh
Setelah itu aku dan ayah kembali kemobil untuk membawa mamak masuk ke ruang tamu pak ustad Rohim. Aku mengangkat mamak bertiga dengan ayah dan Niko. Kami langsung membawa keruang tamu pak ustad, setelah sampai didalam ruang tamu kami melihat ada satu ranjang memang sudah dipersiapkan untuk pasien ruqyah. Kami langsung meletakkan mamak diranjang tersebut. Setelah itu kami langsung disuruh duduk dikursi busa pak ustad dahulu, sedang pak sopir tetap diluar dengan mobilnya.
Setelah kami semua duduk diruang tamu pak ustad memanggil istrinya untuk membuatkan minuman untuk kami bertiga. Selang beberapa menit sajian sudah dihidangkan dimeja.
“Mari pak diminum dulu.” Perintah istri Ustad Rohim
Kami yang kebetulan merasa haus langsung meminum sedikit teh itu sebagai syarat bertamu. Waktu itu istri pak ustad memakai cadar biru muda dan gamis putih panjang ikut duduk diruang tamu, menemani suaminya. Saat suasana tegang sudah agak mereda, pak ustad mencoba mencairkan suasana diruang tamu…
“Oh iya, sebenarnya ada apa ini pak wijaya?” Tanyanya kepada ayah
“Begini pak ustad, tadi pagi tiba-tiba istri saya hanya terbaring tergolek lemas diranjang tanpa bisa apa-apa lagi?” Jawab ayah
“Ooohh…begitu, mungkin bisa diceritakan pak sebelum ini apa saja kejadian yang menimpa keluarga bapak?” Tanyanya kembali
Setelah pertanyaan itu ayah menceritakan kronologis kejadian yang kami alami selama tinggal dirumah dari awal sampai sakitnya mamak tadi pagi. Waktu itu sambil bercerita kami tak lupa menunaikan kewajiban kami untuk beribadah. Setelah selesai bercerita dengan nuansa mulai sedikit tegang akhirnya pak ustad meminta kami berdiri, mereka berdua akan memulai kegiatan ruqyah tersebut.
“Pak wijaya sama anak-anaknya coba bantu saya untuk berdo’a dibelakang saya” perintahnya, seketika itu juga kami bertiga berdiri dibelakang agak menyamping dari posisi beliau sekitar 4 meteran.
“Saya akan mencoba membantu dengan meruqyah bersama istri saya.” Kata pak ustad Rohim yang sudah mulai mengambil posisinya.
Sekilas aku melirik jam dinding waktu itu sudah jam setengah sembilan malam waktu dimulainya. Istrinya Ustad Rohim berada di bawah kaki mamak sedang ustad Rohim disamping tubuh mamak. Kalimat kalimat suci mulai dilantunkan dari ustad Rohim dan istrinya yang awalnya perlahan. Lama kelamaan kalimah-kalimah thoyibah yang dilantunkan mereka mulai kencang dan keras, bersamaan dengan itu kedua telapak tangan ustad Rohim diarahkan ke tubuh mamak dari jarak sekitar satu meter. Setelah itu tiba-tiba mata mamak yang terbaring diranjang langsung melotot tajam keatas, tapi hanya warna putih sedang iris hitamnya tak terlihat. Sedangkan mulutnya langsung terbuka lebar.
“HAHAHAHAHAHAHHAHAHAH”
[suara tawa dari mamak tapi suaranya menyerupai suara laki-laki]
“ADUHHHHH……BRRRUAAAAAKKKKKKK”
Seketika itu, kedua suami istri ini langsung terpental. Ustad Rohim yang tadinya berada disamping mamak terlempar ke pintu. Kuatnya benturan energi itu sampai membuat pintu kayunya ikut roboh seketika. Sedangkan untuk istrinya langsung terpental mengenai tembok dibelakangnya, ia langsung jatuh tersungkur.
“Astaghfirullah hal adzimmmm…..” Spontan ucap kami
Kami yang terkejut melihat kejadian ini langsung berlari untuk menolong ustad Rohim dan istrinya.
“Ustad tidak apa-apa” Tanya ayah dengan cepat sambil memegang kepala ustad rohim.
Ustad rohim hanya diam waktu itu, terlihat badannya mulai panas dan lemas sedang dari mulutnya memuntahkan banyak darah segar. Hingga darah itu sampai hampir memerahkan sebagian gamis putihnya.
“Mari ustad ayok bangun” kata ayah mulai merangkul pundaknya dan membangunkan tubuhnya diatas pintu kayu.
Sedangkan aku dan Niko berlari menuju istri ustad Rohim, kulihat juga darah muntahan darah segar merembes dari cadar sampai seluruh baju gamisnya.
“Ustadzah tidak apa-apa” Kataku dengan mencoba membantunya bangun untuk berdiri.
“Gak tau bang rasanya sakit tubuh saya” Jawabnya pelan.
Belum selesai kami menolong mereka berdua, terdengar dari luar rumah ustad suara.
“HAHAHAHAHAAHAHHAHAHAHA” [suara dari luar rumah]
Aku yang kaget serta penasaran, meletakkan kembali tubuh istri ustad Rohim dilantai. Setelah itu dengan cepat aku berlari keluar rumah, saat itu ayah dan Niko ikut menyusulku berlari dari belakangku untuk mencari sumber suara itu. Sesampainya kami diluar yang kami tuju adalah mobil kami, ditengah langkahku ada suara terdengar samping..
“Ada apa bang, siapa yang tertawa keras tadi.” Tanya sopir yang berjalan kearah kami, dia terlihat juga barusan mencari arah suara itu.
“Tak tahu bang makanya kami keluar mencari tahu siapa yang tertawa itu”. Jawabku yang sudah berdiri dengan pak sopir dihalaman rumah
“Lha terus siapa yang tertawa tadi? baru saja abang terbangun karena pintu yang rubuh tadi, eh malah ada yang ketawa?” Tanyanya yang bingung.
“Apa yang terjadi didalam bang”? Tanya sopir
“Sudah bang nanti kucertitakan, sekarang bang siapin mobilnya kita siap2 balik kerumah.” Perintah ayah
“Okelah bang.” Jawabnya kembali kemobil penuh rasa penasaran
Setelah itu Kami tetap berjalan kesana kemari mencari sumber suara tapi ternyata memang tak ada orang sama sekali sekitar rumah ustad Rohim. Akhirnya kami kembali kerumah Ustad Rohim, kami kembali membantu beliau yang masih tergeletak diatas daun pintu kayunya. Aku dan ayah membopongnya kekursi diruang tamu. Setelah itu gantian istrinya yang kami bantu untuk berdiri dan berjalan untuk duduk dikursi ruang tamu.
Ayah langsung membantu ustad Rohim membersihkan tetesan darah dari mulutnya, dengan tisu yang berada di meja tamu. Sedang Niko membantu istri pak ustad membersihkan darah dimukanya. Semua malam itu tampak tegang, belum ada yang bicara satunpun dari kami waktu itu.
Ustad Rohim waktu duduk kepalanya hanya disandarkan kebelakang yang sudah dilapisi bantal, ia nampak lelah dan tak berdaya malam itu. Begitupun istrinya juga terlihat sangat lemas dan tak berdaya. Suasana yang hening dan takut malam itu yang kami hadapi, aku dan Niko hanya duduk tertunduk lesu diruang tamu. Ayah pun mengikuti sikap kami, kebingungan saat itu menambah beban ayah yang semakin berat. kamipun ingin pergi saja waktu itu melihat kejadian ini karena merasa takut dan tak enak kepada keluarga ustad Rohim.
Setelah beberapa saat ustad Rohim akhirnya membuka pembicaraan dalam kondisi yang masih lemah.
“Pak wijaya saya mohon maaf, besok kita lanjut lagi.” Kata Ustad Rohim dengan suaranya yang lirih.
“Iya ustad, saya juga mohon maaf. Saya tidak menyangka akan terjadi seperti ini.” Kata ayah yang merasa sedih akan kondisi ustad Rohim.
“Tidak apa apa pak.” Jelas ustad Rohim
“Baik ustad.” Jawab ayah yang pasrah.
Setelah itu kami berpamitan untuk pulang kerumah, aku serta ayah menggotong mamak kedalam mobil dan langsung pulang. Malam itu usaha kami belum ada hasil, aku yang masih SMA waktu itu tidak bisa berpikir apa-apa untuk menyelamatkan mamak dari sakitnya.
Waktu perjalanan menuju kerumah, ayah mengajak kami semua untuk makan dulu dipinggir jalan kota. Waktu itu mamak sengaja dibiarkan sendirian terbaring didalam mobil karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan. Saat kami makan ayah membuka pembicaraan…
“Bang besok kita bawa ke ustad Rohim lagi apa tidak ya?” Tanya ayah
“Terserah yah, Deno sama Niko ngikut saja.” Jawabku sambil makan
“Tapi besok abang buat surat ijin sekolah dulu, karena hari ini abang sama adek sudah bolos. Tetap pikir pendidikan kalian.” Pinta ayah
“Iya yah.” Jawab Niko yang sedih dengan suara berat
Setelah makan-makan kami kembali melanjutkan perjalanan, saat perjalanan pulang kami semua menjelaskan kejadian tadi kepada pak sopir yang sudah penasaran akan kejadian tadi. Sesampainya kami dirumah Ayah juga berpesan kepada pemilik mobil untuk menjemputnya kembali besok pagi dirumah. Waktu kami semua sudah dirumah bau busuk malam itu seakan tak mau pergi dari rumah kami, dan suhu rumah kami menjadi panas. Aku sendiri tak tahu waktu itu apa yang sedang menimpa kami