Sambil menikmati bau busuk yang sudah menjalar diluar rumah kami, aku tak perduli. Kami tetap menggotong dan merebahkan badannya mamak kekamar tidurnya. Aku dan Niko yang sudah dikamarnya dengan setia duduk menunggui mamak disampingnya, sambil memijit-mijit tubuhnya kembali. Saat sudah malam beranjak larut kami bersiap-siap untuk istirahat, tepatnya disamping ranjang tempat tidur mamak dengan alas tikar plastik. Tapi kami berdua menyiapkan surat ijin kesekolah dulu untuk besok pagi sesuai pesan ayah tadi sore. Malam itu Ayah masih tertinggal duduk sendirian diteras rumah dengan segala kebingungan dan beban hidupnya. Tiba – tiba dari ruang ruang tamu terdengar…
Bruuaaakk…Klek..klek…[pintu depan yang dibanting terus dikunci ayah]
Ayah berlari menuju kami bertiga yang sedang dikamar, tiba-tiba ayah langsung duduk disamping kami dengan wajah yang gelisah dan takut. Niko pun bangkit serta menutup pintu kamar mamak.
“Ada apa yah?” Tanyaku dengan tenang sambil melipat surat dan memasukkan keamplop putih.
“Ada orang yang mirip seperti dalam mimpi ayah kemarin didepan.” Jawab ayah dengan bibir gemetar
“Maksudnya gimana yah.?” Tanya Niko kembali duduk ditikar plastik disampingku.
“Itu orang yang pakai jubah hitam bermata merah, ditangannya membawa senjata.” Jawab ayah.
Dengan cepat pandangan kami tertuju ke arah ayah dengan tegang, kami melihat beliau mulai panik dan bingung. Ia segera berdiri lagi dan membawa sedikit keberaniannya membuka pintu kamar dan melangkah pergi kearah belakang.”Jaga adikmu sebentar bang, ayah mau kunci pintu belakang” perintah ayah. Jawabku hanya menganggukkan kepala saja, sedang ayah langsung berjalan menuju belakang, setelah beberapa saat kemudian ayah pun kembali dan berkumpul bersama kami dikamar. Tanpa ada kata yang keluar dari mulut kami, kami bertiga langsung memulai tidur bertiga beralas tikar plastik. Sekian jam kami tertidur, tiba-tiba mataku terbuka sedikit karena mulai gerah dan berkeringat. Kulihat Jam dinding kamar mamak yang tepat di tergantung ditembok depanku menunjukkan jam dua belas lebih tiga puluh tiga menit. Dari samping kamar tidur mamak terdengar…
Sreeeekkk…sreeekkkkk…srekkkk…(langkah kaki yang terseret)
Tak berapa lama kemudian diikuti suara….
“Auuuuuu….Auuuuuuuuuuuuuuu…Auuuuuu” (Lolongan anjing dan serigala hutan mulai ramai bersahutan, suara itu seakan dari belakang dan samping kanan kiri rumah kami)
Aku yang terbangun karena suara itu, dengan pelan dan perasaan penasaran mulai bangun dari tidur untuk mengintip dari jendela, meski kulihat ayah dan Niko sudah tidur dengan lelap. Tangan dan kakiku mencari celah jalan untuk mencari celah atau lubang dari jendela. Saat aku menemukan lubang kecil, mataku mulai melihat keluar, terlihat seorang memakai jubah hitam lengan panjang, kepalanya tertutup kain hitam sedang memanggul senjata dibahu kirinya. Ia berjalan dengan menyeret dengan rantai seseorang yang terluka dilehernya, orang itu terlihat diam pasrah tak ada perlawanan saat tubuhnya terseret. Tapi orang itu kepalanya bukanlah manusia lagi melainkan berkepala kuda. Saat mataku mengamati dengan seksama orang berjubah hitam ini tiba tiba dikejutkan saat ia menoleh dan menatapku dengan mata merahnya. Saat aku merasa ketahuan, kepalaku langsung berbalik arah, serta tubuhku yang merespon cepat untuk meminta kembali tidur…
“Bruugghh….aduh..!!!” (aku yang jatuh mengenai tubuh Niko)
Saat itu juga aku bangkit dan langsung menunduk dan membungkam mulut Niko. “diam kau Nik”. Perintahku dengan berbisik, dan akupun terus memandang Niko dalam remang cahaya dikamar mamak. Alisku naik turun serta mataku yang melotot ke Niko agar tenang sebentar malam itu. Beberapa saat kemudian aku mulai merenggangkan dekapan telapak tanganku yang menempel pada Niko. Serta mataku melihat kearah ayah yang tidur disamping Niko. Mata ayah hanya melirik kosong keatas tapi tubuhnya hanya diam membisu…”Ada apa bang” kata ayah dalam posisi tidurnya.
“Tidak ada apa – apa yah, hawanya panas yah”. Jawabku pelan
“Jangan bohong bang, ayah juga dengar.” Kata ayah yang masih dalam kondisi yang mencurigakan, karena cuma mulutnya yang bicara, tak ada reflek apapun saat aku jatuh mengenai Niko.
“Nik, kau tenang saja jangan ribut.” Kataku pelan ditelinga Niko.
Aku melangkah pelan kearah ayah, kuamati keadaan ayah yang bibirnya mulai pucat bergetar dan tatapan matanya kosong keatas. Dengan pelan kutempelkan tanganku kepada kulit dahinya. Ternyata badan ayah mulai memanas, serta tangan dan kakinya mulai ikut bergetar pelan.
“Ayah kenapa.?” Tanyaku
“Gak tau bang, habis melihat orang berjubah tadi badan ayah mulai sakit semua dan tidak bisa digerakkan lagi.” Jawab ayah pelan dengan suara yang berat.
“Ayah gak papa kan?” Tanya Niko yang mendekati kami
“Gak papa dek.” Jawab bohong ayah untuk menenangkan Niko
Aku dengan cepat mengambil cairan minyak gosok, aku mulai memijit dan memberikan minyak yang hangat ini keseluruh tubuh ayah. Setelah itu aku mulai menyelimuti seluruh tubuh ayah, selesai memijitnya. “Nik kau tidur saja duluan, biar abang yang jaga ayah sama mamak malam ini” Perintahku. Aku melanjutkan kegiatanku ini sampai menjelang subuh, tak lupa aku juga sesekali melihat kondisi mamak yang matanya masih terpejam. Dan tetap bau busuk diamalam hari itu semakin menyengat dan menggangu hidungku.
Saat pagi sudah menjelang, kondisi ayah sudah pulih sedikit. Ia sudah bisa bangun meski dengan tubuh yang berat dan masih hangat. Aku dan Niko memasak dan menyiapkan makanan sebisa kami, untuk kami semua. Setelah memberikan mereka sarapan aku memandikan mamak dengan menyekanya, dan menggantikannya baju yang bersih. Tak lupa setelah itu aku membersihkan semua kotoran-kotoroan mereka yang menempel dibajunya. Habis itu aku memapah Ayah untuk duduk bersandar dikursi ruang tamu, dengan harapan ia bisa lebih segar pagi itu terkena udara pegunungan, tapi yang sesaat kulihat ia hanya tetap diam dengan keadaan yang tak berdaya.
Beberapa menit kemudian kegiatan pagi dirumahku selesai, waktu itu aku teringat akan perintah ayah untuk ijin sekolah. Aku yang sudah mandi dan berganti baju segera berjalan menuju kerumah Angga. Waktu itu kabut depan rumah masih tebal, tapi aku tetap saja berjalan menuju rumahnya. Langkah kakiku terhenti didepan pintu rumah Angga, saat mau mengetuk pintu kudengar pelan dari balik pintu, “bang bantuin Angga kenapa?”. “bantuin gimana bang”, “Ya…bantuin Angga ngedapetin Intan bang”?, masak Deno anak baru disini sudah bisa ngedapetin Intan bang, sedang Angga dari kelas satu sampe sekarang ngincar Intan dan ngedektin saja malah dimaki-maki sama intan!!!”, “Ya sudah nanti abang bilangin ke ayah Ngga?” Jawab sosok yang dimintain tolong sama Angga.”
Deg….!!!Setelah mendengar percakapan ini, aku langsung balik arah kembali kerumah. Aku merasa tidak enak apa yang akan kuperbuat, padahal aku mau minta tolong ke angga untuk nitip surat kesekolah. Pikiran negatif pagi itu mulai muncul dan menyelimuti seluruh jiwa yang mulai rapuh ini. Langkah kakiku dengan cepat kembali pulang terus berjalan melewati ruang tamu, aku melihat sekilas ayah masih dengan tatapan kosongnya tapi aku tetap melangkah dan akhirnya sampai ruang tengah bertemu Niko yang berjalan cepat. “Nik kau antar surat ini ya, ke bang Angga. Abang sakit perut.” Perintahku dan memberikan dua amplop surat izin kesekolah, demi meredam perasaan yang kacau ini aku menuju kekamar mandi supaya ia tak curiga. Tapi ia malah membisiki ketelingaku..
“Bang kamar mandinya keluar darah dari kran, baunya amis” Katanya sambil membawa handuk dan ketakutan.
“Beneran kau Nik.” Jawabku
“Beneran bang masak Niko bohong sama abang, ya sudah periksa sendiri aku mau ngantar surat saja…Hiiiiiii” Jawab Niko yang berlalu pergi tanpa mandi kerumah Angga.
Aku langsung masuk kamar mandi, dan kulihat tidak ada apa-apa sama airnya. “Paling ini anak mau ngerjain abangnya” gumam dalam hatiku. Saat itu aku dikamar mandi sengaja cukup lama, akhirnya aku ganti baju dan kembali keruang tamu untuk bersiap pergi ke ustad Rohim lagi. Beberapa saat kemudian Kami bertiga sudah bersiap menunggu jemputan, akhirnya selang menit kemudian dari jalan depan terlihat rumah mobil kemarin mulai masuk kehalaman rumah dan berhenti tepat didepan pintu ruang tamu. Dengan terbukanya pintu mobil yang depan, pak sopir keluar menuju tempat kami…
“Gimana pak wijaya? jadi berangkat sekarang.?” Tanya sopir
“Iya pak jadi,” sahutku yang mulai tak nyaman dirumah ini
“Ayo pak, buka pintu mobilnya.” Pinta Niko
Aku dan Niko segera ke kamar mamak dan menggotongnya keluar, kami secara perlahan memasukkan mamak ke mobil. Kami pelan-pelan menata posisi mamak yang masih terbujur lemas, dengan posisi yang nyaman pagi itu. Agar ia tak merasa sakit, saat kami sudah selesai didalam mobil terdengar diruang tamu..
“Pak wijaya gak papa kan pagi ini?” Tanya sopir ke ayah penuh curiga
“Iya pak, Cuma badan saya sakit semua dan lemas saja.” Jawab lirih ayah
Mereka berdua akhirnya menuju mobil, setelah kami sudah dialam semua kami berangkat. Seperti hari kemarin kita berangkat menempuh jarak sekitar dua jam perjalanan. Setelah sampai dirumah ustad Rohim, ayah yang duduk didepan langsung keluar. Begitu juga denganku langsung keluar mobil, sedang Niko tetap berada didalam mobil.
Waktu aku berjalan dibelakang ayah, ustad Rohim sudah duduk dengan istrinya didepan rumahnya. Wajah mereka tampak kelelahan, dan sebagian wajah ustad Rohim membiru. Ayah langsung menyalami mereka sedang aku juga mengikuti tangan ayah untuk menyalami.
“Pak wijaya, sebelumnya saya mohon maaf.” Kata ustad rohim yang masih berdiri
“Lha memang kenapa pak” Jawab ayah
“Coba bapak wijaya dan abangnya duduk dulu saya jelaskan.” Pinta ustad Rohim yang masih diteras rumahnya dengan memberikan kursi
plastik kepada kami berdua.
“Terima kasih pak ustad” Jawabku dengan mulai duduk dikursi bersama ayah.
“Jadi begini pak, tadi malam saya didatangi mahluk-mahluk aneh. Dengan wajah tak berbentuk lagi, ada yang mukanya hancur. Ada yang
bertubuh hewan berkepala manusia dan banyak juga berwajah hewan bertubuh manusia. Jumlahnya banyak pak, saya semalam dihajar keroyokan tidak karuan. Saat malam tadi saya tidak bisa melawan mereka sama sekali, karena saya merasa ada yang mengikat tubuh saya. Jadi saya seakan-akan hanya diam berdiri sedang mereka memukul menendang bebas karah saya pak” Jelas singkat ustad Rohim.
“Begitu juga dengan saya pak.” Jawab istri ustad Rohim yang sebelah matanya terlihat menghitam.
“Saya juga mengalami hal yang sama dengan abah.” Jelas istri ustad Rohim
Kami berdua dengan ayah menatap heran dan tak percaya yang mereka ucapkan barusan kepada kami. Kepala kami hanya menggeleng pelan begitupun juga ayah, setelah menggelengkankan kepalanya ayah mulai menundukkan kepalanya dengan wajah lesu. Saat itu aku yang tak terima panik serta bingung langsung bertanya kepada mereka.
“Terus kami harus bagaimana pak.” Tanyaku
“Apa yang sebenarnya menimpa keluarga kami pak.?” Tanyaku lagi
“Saya juga tak tahu bang” Jawab pasrah ustad Rohim.
“Coba sementara bawa kerumah sakit saja pak?” Pinta ustad Rohim.
Ayah masih menunduk mencoba berpikir untuk mencari jalan yang terbaik untuk mamak. Sekian menit ia berpikir akhirnya ayah memutuskan
disiang itu untuk membawa kerumah sakit. Saat kami berpamitan mau kerumah sakit ustad Rohim berpesan kepada kami.
“Pak wijaya, hati-hati dirumah bapak. Karena semalam saya lihat pagar ghaib dirumah bapak sudah hancur. Jadi kemungkinan semua mahluk yang tidak suka bapak atau mahluk yang sudah beremanyam disekitar rumah bapak akan bebas menampakkan diri serta mengganggu bapak.” Pesan Ustad Rohim.
“Kok tau pak ustad kalau ada dinding ghaibnya.” Sahut Ayah heran dan berpikir keras siapa yang memasang hal semacam itu dirumah kami.
Semenjak ayah dirumah itu memang tidak pernah memasang apapun, baik bersifat ghaib ataupun sejenis yang lain.
“Memang yang membuat pagar itu bukan bapak, kelihatannya penghuni sebelum bapak wijaya” Jelas ustad Rohim.
“Tapi coba bapak wijaya hati-hati saja dan perbanyak berdo’a kepadanya semoga ada jalan.” Jelas ustad Rohim.
“Terima kasih pak atas informasinya.” Jawab ayah. “Sama-sama pak, hati-hati dijalan.” Ucap ustad Rohim.
Setelah mendengar saran dari ustad Rohim kamipun berangkat kerumah sakit, entah siang itu kami berapa jam perjalanan? Yang pasti kami sampai rumah sakit ialah sore hari. Selesai mengurus administrasi, mamak langsung mendapatkan kamar. Diruang kamar rumah sakit itu berisi dua orang salah satunya mamakku, ruangannya masih kental dengan rumah sakit lama bekas jaman kolonial. Dengan keramik yang sudah mulai pecah-pecah serta cat yang sudah lusuh tidak terawat, Dindingnya juga banyak terkelupas oleh zaman. Tapi celakanya kamar yang kami tempati saat itu lokasinya bersebelahan persis dengan kamar jenazah.