Kanan, Reni dan Kiri (Berdiri di Atas Sepatu Sendiri) episode 1


Apa maksud kedatangan Abang kemari?” tanya seorang wanita muda yang tengah duduk di sofa dengan tangan terlipat di depan dada. Seorang pria yang umurnya terlihat tak jauh dari wanita itu terlihat menelan ludah. Jemarinya saling bertautan, dia menunduk ketika wanita di depannya menatapnya penuh tanda tanya.

Aku hanya terdiam menyaksikan kakak-beradik itu dari sudut ruangan yang agak jauh dari mereka. Tiba-tiba Kiri berceloteh, hingga aku mengalihkan pandanganku dari kedua orang itu—memutar bola mata ke arahnya.

“Kira-kira si Reno mau ngapain, ya?” Aku hanya diam—kembali menatap kedua orang itu. Terlihat sekali jika pria bernama Reno itu tengah gugup setengah mati di hadapan adiknya. Dia terlihat ragu untuk berucap tentang maksud dan tujuannya. Wajar juga sih, sudah lama kakak-beradik itu tidak bertemu, mungkin keduanya canggung. Atau lebih tepatnya, Reno malu dengan adiknya.

“Bang!” panggil Reni, sanga adik. Reno mendongakkan kepala, wajahnya terlihat pucat pasi seperti habis melihat hantu saja.

“Bang, bicaralah! Aku tidak bisa baca pikiran.” Aku tersenyum mendengar perkataan satire yang keluar dari mulut Reni. Wanita itu memang tak pernah berubah dari dulu, dia terlalu jujur dalam berbicara, hingga membuat lawan bicaranya kesal dan kehabisan kata-kata.

“A-abang ingin pinjam uang,” ucap Reno dengan pelan. Kegarangan pria itu tak terlihat lagi sekarang, dia seperti anak ayam yang bersembunyi di balik induknya. Berbeda denganku dan Kiri yang merespon perkataan Reno dengan kesal, Reni malah hanya terdiam—memandang datar sang kakak yang kembali menunduk.

“Kalau Reni bilang iya, berarti dia wanita yang bodoh,” ucap Kiri yang membuatku menatap dirinya. “Kalau aku bisa, akan kutendang bokong Reno keluar dari rumah ini. Setelah apa yang dilakukan pria itu pada Reni selama ini, membuatku ingin menguburnya hidup-hidup.” Lanjut Kiri. Aku kembali diam mendengarkan dia berceloteh dengan rasa kesalnya, tak bisa dipungkiri kalau aku juga kesal dengan pria itu. Melihat wajahnya membuatku ingat tentang peristiwa bertahun-tahun lalu.

Saat itu sang surya sedang berada di puncaknya, peluh menetes dari tubuh orang-orang yang berlalu lalang di depanku dan Kiri. Bau ketek bercampur dengan debu yang berterbangan membuat napas sesak. Hingga beberapa dari mereka memilih menutup hidung dengan tangan ataupun kain yang menempel di tubuhnya.

Seorang gadis dengan kaus hijau yang terlihat lusuh dan kebesaran di tubuhnya menghampiri kami dengan senyuman. Jari telunjuknya berulang kali mengetuk dagu, sedangkan matanya menatap ke segala arah, mengabsen satu persatu sepatu-sepatu lusuh yang tertumpuk di depannya. Hingga mata coklat gelap miliknya berhenti di depan kami.

“Sepasang sepatu ini harganya berapa, Pak?” tanya gadis itu pada Pak tua yang sedang sibuk menghitung uang receh di tangannya. Pak tua itu menyimpan uangnya di saku, pandangannya beralih pada sang gadis.

“Enam puluh ribu, Neng.”

“Yah, gak bisa kurang ya, Pak? Saya hanya punya empat puluh ribu, Pak,” tawar sang gadis. Aku menghela napas mendengarnya, beberap orang sudah menawar kami dengan harga yang lebih tinggi daripada yang gadis itu tawarkan. Namun, Pak tua itu menolak, mungkin dia terlalu sayang padaku dan Kiri.

“Bukankah gadis itu terlalu percaya diri dengan uang segitu untuk membeli kita?” tanya Kiri padaku.

“Ck, diamlah dan nikmati saja drama ini,” balasku acuh. Sedangkan Kiri hanya mendengus sebal, seperti gadis yang sedang PMS saja.

“Pak, saya mohon! Besok saya harus berangkat kuliah, kalau gak pakai sepatu nanti saya gak boleh masuk.” Mata coklat gelap miliknya mulai berkaca-kaca. Aku dan Kiri saling pandang, rasanya kami tidak tega melihat gadis itu, tapi tak ada yang bisa kami lakukan untuknya.

Pak tua menghela napas, ditatapnya gadis itu dari atas hingga bawah. “Baiklah. Tapi tambah lima ribu, gimana?” Sudah kuduga sebelumnya, bahwa Pak tua itu tidak akan mudah menyerahkan kami. Gadis itu merogoh sesuatu dari dalam sakunya, ia menatap dalam diam uang lima ribuan dalam genggaman.

“Aku yakin dia tidak akan jadi membeli kita.” Aku hanya terdiam mendengarnya. Seperti halnya Kiri, aku pun tak yakin jika gadis itu mau membeli kami. Aku yakin bahwa dia akan melepaskan kami dan mencari yang lebih baik juga murah dibandingkan aku dan Kiri, seperti orang-orang sebelumnya.

“Ini, Pak. Empat puluh lima ribu,” ucapnya sambil menyodorkan uang dalam genggaman. Aku cukup terkejut mendengarnya.

“Ck, tebakanku ternyata salah. Tapi syukurlah, akhirnya kita pergi juga dari pasar loakan ini.” ucap Kiri yang hanya kutanggapi dengan senyuman.

“Kuharap kita akan lebih baik jika bersamanya.” Lanjut Kiri.

“Semoga saja.”

*****

Kecil dan sederhana, begitulah yang aku pikirkan setelah melihat rumah pemilikku yang baru. Ternyata tak jauh berbeda dengan rumah Pak tua yang berbulan-bulan lalu menampung kami. Dengan senyuman, gadis itu membersihkan kami dengan kain lap yang sudah dibasahi dengan air, sambil bernyanyi penuh bahagia. Jika aku bisa bertepuk tangan, maka akan kuberikan tepukan meriah atas suaranya yang merdu itu. Aku tersenyum geli melihat reaksi Kiri yang seperti orang ayan, mungkin itu efek karena kami sudah lama tidak mandi.

Tak terasa pagi kembali tiba, dengan senyuman yang seperti biasanya gadis itu menghampiri kami. Memakai kami dengan gerakan lembut yang penuh kasih sayang, aku terharu mendapat perlakuan seperti itu.
Seorang wanita paruh baya menghampiri kami, dia menyodorkan satu buah kresek hitam ke arah sang gadis, entah apa isinya. Dengan senang hati gadis itu menerimanya sambil tersenyum–menarik tangan wanita paruh baya itu dan mencium punggung tangannya.

“Reni berangkat dulu ya, Buk. Semoga kue-kue ini juga laku.” Wanita yang dipanggil ibu itu hanya tersenyum, mengelus puncak kepala Reni. Dia mengangkat tangannya, melakukan gerakan-gerakan aneh sambil bergumam yang tidak aku mengerti. Tapi satu hal yang pasti, wanita itu bisu. Sungguh malang nasib Reni.

Seorang pemuda tiba-tiba datang, wajahnya hampir mirip dengan Reni. Dan jika kusimpulkan, pemuda itu adalah kakanya.

“Mau kemana kamu?” tanya pemuda itu dengan nada yang tidak bersahabat sambil memicingkan mata ke arah Reni.

“Mau kuliah, Bang. Reni dapat beasiwa di Universitas yang Reni inginkan,” ucap Reni dengan senyuman yang tak luput dari wajahnya.

“Buat apa kuliah? Kamu itu perempuan, cocoknya di dapur, masak, cuci piring, ngurus rumah, ngurus suami. Daripada kuliah lebih baik kamu nikah!” ucap kakaknya kesal, yang menurutku agak keterlaluan. Aku tak habis pikir dengannya, bukankah dia seharusnya mendukung? Tapi, ini malah sebaliknya. Kakak macam apa dia?

“Abang aja yang laki, gak kuliah. Kamu malah sok-sokan mau kuliah, mau jadi apa kamu!?” tanyanya dengan ketus.

“Reni yakin bisa sukses nantinya, Bang.”

“Halah, itu hanya mimpi kamu. Jangan tinggi-tinggi kalau mimpi, Ren! Ntar kalau jatuh susah bangkitnya.” Reni hanya terdiam, tangannya menggengam erat plastik kresek. Kedua matanya terpejam, mencoba menguatkan hati. Ingin rasanya kusumpal mulut pria itu dengan tubuhku.

“Allah tidak tidur, Bang,” balas Reni dengan senyuman. Kalimat itu membuat Reno, sang kakak menghela napas pasrah.

“Terserah kamu saja. Salah abang juga, nomong sama diesel yang pastinya bakal bikin kesel.” Setelah mengatakan itu Reno berjalan meninggalkan kedua wanita berbda usia itu.

“Reni berangkat dulu, Buk. Assalamualaikum.” Sang ibu hanya tersenyum menanggapinya.

“Hei, Kanan. Kurasa apa yang dikatakan pria tadi benar,” oceh Kiri.

“Mungkin saja, tapi wanita juga bisa sukses kalau memiliki kemauan. Aku yakin pada Reni.”

“Terserah kau sajalah.”

****

Di sinilah semua kisah penuh suka dan duka dimulai. Aku dan Kiri setiap hari menemani Reni berkeliling di setiap sudut kampus untuk menjajakan kue-kue buatan ibunya.

Banyak cemoohan yang terlontar dari sebagian mahasiswa, yang menganggap Reni orang yang kotor dan tidak pantas. Meski hanya sebagai tukang bersih toilet di kampus elit itu. Namun, tekad Reni tak bisa dipupuskan begitu saja, gadis itu hanya tersenyum ketika diejek dan mulai angkat bicara jika itu sudah sangat keterlaluan. Dan itu ia lakukan selama menempuh pendidikan S 1-nya, tak ada kata malu untuk menuntut ilmu dan mencari uang, selama semua itu dilakukan dengan cara halal. Tak ada waktu untuk bermalas-malasan, bagi Reni waktu adalah belajar dan mencari uang.

Sorak bahagia terpancar dari wajah Reni. Ah, mungkin bukan hanya dia, tapi aku dan Kiri merasakan hal yang sama ketika Reni dinyatakan lulus dengan nilai terbaik di kampusnya.

Tak ada yang menyangka, bahwa Reni akan lulus dengan nilai terbaik, termasuk gadis itu sendiri. Dengan perasaan bangga dia pulang ke rumah, memberitahukan kabar gembira itu pada sang ibu juga kakaknya. Sang ibu menangis haru dan memeluk putrinya itu. Sedangkan Reno, ah, pria itu membuatku jengkel. Dengan entengnya dia berucap, “Memang nilai terbaik bisa membuat kaya. Lihatlah kau sudah semakin tua sekarang, tapi belum juga menikah.” Setelah mengatakan itu dia pergi dengan sang istri. Ya, Reno kini sudah beristri. Reni hanya menghela napas, dipeluknya sang ibu dengan erat.

****

Sepertinya yang dikatakan Reno memang benar, nilai terbaik belum tentu membawa nasib baik. Sudah berbagai perusahaan yang Reni lamar, tapi gadis itu terus saja ditolak dengan berbagai alasan. Aku dan Kiri yang masih setia menemani gadis itu sampai sekarang, hanya bisa ikut bersedih tak mampu berbuat apa-apa. Gadis itu sempat menyerah, sorot mata yamg membara mulai redup dan hampir hilang. Apalagi tak lama setelah itu sang ibu meninggal dunia. Membawa pukulan berat untuk Reni yang selama ini menjadikan sang ibu sebagai kekuatannya. Tak hanya satu atau dua kali aku melihat gadis itu menangis sendiri di kala malam, sambil memeluk foto sang ibu.

Seperti saat ini, ia tengah duduk di kursi ruang tamu, menatap kosong pada foto yang terpajang di dinding. Bekas air mata di pipinya masih terlihat, bahkan sebelum mengering cairan bening itu kembali turun di kembali. Reni benar-benar hancur, dia tak tau lagi harus menceritakan keluh kesahnya kepada siapa? Selama ini hanya sang ibu yang selalu mendengarkannya. Dan tentunya kami (aku dan Kiri) meski Reni tak mengetahui itu.

“Ren, abang punya teman, dia mau memperistri kamu.” Ucapan Reno yang tiba-tiba itu membuat Reni terkejut bukan main. Ditatapnya sang kakak dengan raut wajah yang sulit diartikan. Dengan air mata yang masih setia menetes tanpa henti. Aku tak habis pikir dengan pria itu. Apa dia buta? Saat Reni butuh semangat dia malah membuannya semakin terpuruk dengan perjodohan sepihak itu.

“Kamu nangis lagi? Ck, ngapain nangis mulu, ibu juga gak bakal kembali dengan kamu nangis kayak gini.” Reni hanya diam, dia tau menangis tak ‘kan merubah keadaan.

“Hapus air matamu itu dan berdandanlah yang cantik. Teman abang akan datang nanti untuk melamar kamu. Abang yakin dia bisa buat kamu bahagia dan lupain ibu,” ucap Reno enteng tanpa beban.

“Reni gak mau. Reni ingin wujutin mimpi Reni dulu,” ucap Reni lirih sambil menunduk. Wajah Reno memerah, tangannya terkepal kuat mendengar ucapan sang adik.

“Dasar, tak tau diuntung, Kau. Kalau kau tidak menurut pada abang, lebih baik angkat kaki dari rumah ini!” bentaknya.

Secara tak langsung Reno telah mengusir Reni dengan mengatakan itu. Aku hanya menghela napas melihat kakak-beradik itu. Cukup lama aku mengenal Reni dan aku sangat yakin gadis itu akan tetap teguh dengan pendiriannya. Gadis itu hanya tersenyum dan berucap, “Terimakasih atas semuanya, Bang. Reni akan mengingat semuanya.” Dia berlari menuju kamarnya, memasukkan beberapa pakaian yang ia punya ke dalam tas sambil menangis. Dan aku bisa melihat itu semua dari rak yang terletak di pojok ruangan, sebab pintu kamar Reni terbuka lebar.

Reni berdiri di depan kami, dengan tas punggung yang terlihat besar. Dia menyeka air matanya, lalu menyambar dan memakai kami pada kakinya.

“Menurutmu bagaimana? Apakah Reni akan membantu Reno?” ucap Kiri mengejutkanku hingga aku tersadar dari lamunanku tentang peristiwa bertahun-tahun lalu.

“Aku juga tidak tahu,” jawabku acuh, pandanganku kembali menatap kedua orang yang duduk di sofa itu. “Aku percaya, apapun keputusan Reni itulah yang terbaik.” Lanjutku dengan senyuman.

Aku tak menyangka gadis lusuh yang membeli kami kini telah sukses menjadi seorang pengusaha kue, hanya dengan berbekal resep dari sang ibu, ilmu bisnis yang ia pelajari di bangku kuliah dan sosmed untuk memasarkan kue, mampu membawanya sampai seperti ini. Bahkan ia bisa membeli rumah yang seperti istana ini, meski butuh bertahun-tahun lamanya.
Semua memang butuh proses, jika ada kemauan pasti Allah akan memberikan jalan. Dan Reni telah membuktikan bahwa wanita bisa berdiri di atas sepatunya sendiri.

“Berapa yang Abang butuhkan?” tanya gadis itu yang membuat Reno mendongak, tersenyum lebar pada sang adik.

“Huh, gadis itu terlalu baik,” ucap Kiri, sedangkan aku hanya tersenyum mendengarnya.

Memang sudah kuduga sebelumnya kalau gadis itu akan berucap sedemikian rupa, jika melihat perlakuannya pada kami. Meski dia sudah sukses dan bisa membeli sepatu yang jauh lebih dari kami, bahkan bisa nyaris sempurna, tapi ia tidak membuang kami yang lusuh ini. Reni masih menyimpan dan merawat kami dengan baik, katanya sih untuk mengenang perjuangannya yang dulu. Dan karena itu aku bangga karena dia pemilikku yang terakhir, jika Reni bisa mendengarku maka akan kuucapkan beribu kata terimakasih kepadanya. Atau akan kutulis surat untuknya.

Ya, aku si Kanan, sepatu lusuh yang Reni beli di pasar loakan.

FIN


Kanan, Reni dan Kiri (Berdiri di Atas Sepatu Sendiri)

Kanan, Reni dan Kiri (Berdiri di Atas Sepatu Sendiri)

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2020 Native Language: Indonesia
Apa maksud kedatangan Abang kemari?” tanya seorang wanita muda yang tengah duduk di sofa dengan tangan terlipat di depan dada. Seorang pria yang umurnya terlihat tak jauh dari wanita itu terlihat menelan ludah. Jemarinya saling bertautan, dia menunduk ketika wanita di depannya menatapnya penuh tanda tanya.Aku hanya terdiam menyaksikan kakak-beradik itu dari sudut ruangan yang agak jauh dari mereka. Tiba-tiba Kiri berceloteh, hingga aku mengalihkan pandanganku dari kedua orang itu—memutar bola mata ke arahnya.“Kira-kira si Reno mau ngapain, ya?” Aku hanya diam—kembali menatap kedua orang itu. Terlihat sekali jika pria bernama Reno itu tengah gugup setengah mati di hadapan adiknya. Dia terlihat ragu untuk berucap tentang maksud dan tujuannya. Wajar juga sih, sudah lama kakak-beradik itu tidak bertemu, mungkin keduanya canggung. Atau lebih tepatnya, Reno malu dengan adiknya.“Bang!” panggil Reni, sanga adik. Reno mendongakkan kepala, wajahnya terlihat pucat pasi seperti habis melihat hantu saja.“Bang, bicaralah! Aku tidak bisa baca pikiran.” Aku tersenyum mendengar perkataan satire yang keluar dari mulut Reni. Wanita itu memang tak pernah berubah dari dulu, dia terlalu jujur dalam berbicara, hingga membuat lawan bicaranya kesal dan kehabisan kata-kata.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset