“Aku? Dengan Hime? Ahhhh…..,” berguling ke kiri dan ke kanan kegirangan. “bibirnya begitu lembut, uuu…,” posisi bibirnya maju beberapa centi. “arggghhh! Memikirkannya saja sudah membuatku gila! Aku harap fans lain tidak cemburu kepadaku jika kontennya sudah selesai dibuat,” sangking senangnya Shinji kembali terlelap dalam tidurnya.
Pagi yang ramai, Ibunya sudah menggedor kamar Shinji berulang kali tetapi tidak ada respon dari dalam. “Shinji! Cepat bangun!” belum ada respon, “anak ini!” siap-siap untuk memukul kamar pintu anaknya dengan keras, namun pintu tiba-tiba terbuka. Shinji keluar dengan raut wajah yang sangat senang, kedua ujung bibirnya hampir menyentuh bagian bawah telinganya. “eh…ada apa dengannya?” Ibunya melihat keheranan.
Pagi ini Shinji terlihat sangat berbeda, dia berpakaian sangat rapih. Begitu juga rambutnya yang dia sisir kebelakang, belum lagi parfum murah yang dia sebar keseluruh tubuhnya. Ibunya baru melihat Shinji yang begitu semangat pergi ke sekolah. Bahkan dia memberikan salam ketika ingin pergi, aktivitas yang jarang dia lakukan sebelumnya. Dia menghirup udara dalam-dalam saat sudah di luar rumah.
Sesuai dengan perjanjian, hari ini mereka akan pergi bersama-sama menggunakan bis. Untuk lebih bisa mempersingkat waktu dan membuat momen-momen untuk dijadikan konten. Shinji berjalan dengan santai, dibelakangnya ada seseorang yang menguntit. Bando khas yang menempel dirambutnya terlihat dari kejauhan. Haru mengikuti Shinji pagi ini, entah apa yang merasukinya hingga berbuat seperti itu. Padahal Haru merupakan perempuan yang cukup pemalu.
“Hmm…,” mengikuti Shinji. “hari ini juga, mereka pasti akan berangkat bersama-sama,” dengan perasaan yang sangat yakin.
Shinji berjalan sambil bersenandung, wajahnya masih menunjukan aura yang sangat menyenangkan. Apalagi tidak ada gangguan dari Taro maupun Naoki, sementara itu Haru masih menjaga jarak.
Haru tiba-tiba berhenti, “Padahal aku bisa memperhatikan dari dekat kan?” pemikiran yang datang tiba-tiba. “kenapa aku harus membuntutinya seperti ini?” tambahnya. Haru kemudian memanggil Shinji dari kejauhan.
“Eh?” Shinji menoleh kebelakang. “Wakatabe?…,” Haru berlari mendekatinya.
“Pagi..Shinji,” terengah-engah. “ayo ke sekolah bersama-sama,” ajaknya.
Shinji hanya menjawab dengan anggukan kecil, lalu dia merubah wajahnya menjadi lebih tenang. Sepanjang perjalan menuju halte tidak ada obrolan yang terjadi. Di sana Hikari sudah menunggu, lalu melambaikan tangan ke mereka berdua.
“Ah…ada Haru bersamanya, momen yang sangat bagus!” Hikari sangat senang melihat Haru di samping Shinji.
“Hikari….,” Haru melambaikan tangannya juga. Shinji yang berada disampingnya tiba-tiba berlari, “eh..ada apa?”
“HIME!!” Shinji berlari mendekatinya, Hikari hanya bisa diam dan melongo. “maaf yah, aku sedikit telat tadi,” mengusap kepala belakang.
Hikari tidak mampu berkata-kata, dia baru melihat Shinji yang seperti ini. Memang semua terasa biasa jika hanya ada mereka berdua, tetapi kali ini Haru di dekat mereka. Padahal ketika di sekolah Shinji selalu dingin, bahkan ketika bersama Taro dan Naoki. Dia selalu terlihat menekan perasaannya agar tidak keluar dengan alami.
“Ya…tidak apa-apa,” Hikari masih tidak percaya. “eh ada apa? tumben sekali,” pikirnya.
Mereka bertiga bersamaan menaiki bis, sekali jalan mereka akan sampai ke halte yang jaraknya paling dekat dengan sekolah. Shinji dan Hikari duduk bersama sedangkan Haru tepat di samping mereka berdua. Di dalam bis pun Shinji masih menjadi seseorang yang senang berbicara, dia membicarakan banyak hal. Seakan-akan lupa jika Haru ada disampingnya, dia melupakan citra yang selama ini melekat dalam dirinya.
“Hmm…sepertinya aku tidak dianggap, tidak masalah,” Haru mencuri-curi pandang sambil memperhatikan sikap Hikari. “dia tampak biasa saja, seperti biasanya,” lalu melihat rambut Hikari. “tapi apa alasannya memakai rambut palsu,” menggelengkan kepalanya sambil berpikir alasan Hikari memakainya.
Perjalanan mereka harus terhenti ketika bis sudah sampai ke halte tujuan, Shinji turun duluan. Lalu menjulurkan tangannya.
“Silahkan…,” tersenyum melihat Hikari didepannya. Wajah Hikari pun menjadi merah secara tiba-tiba.
“Kenapa aku jadi malu begini…sudah seharusnya kan aku bersikap manis padanya?” lalu Hikari menyambut tangan Shinji lalu mereka turun diikuti oleh Haru.
Situasi kelas sudah ramai, dari luar terdengar suara-suara yang berisik. Mereka pun masuk bersama-sama. Teman-teman yang lain melihatnya, tetapi Shinji masih cuek sedangkan Hikari menebarkan senyumannya yang paling manis. Haru menuju tempat duduknya sedangkan Shinji dan Hikari berjalan sedikit karena tempat mereka tepat di sudut kelas. Taro dan Naoki belum terlihat di meja mereka masing-masing.
“Temanmu belum datang?” tanya Hikari.
“Entahlah, kamu tahu kan mereka berdua itu. Mereka baik tapi selalu menyebalkan,” lagi-lagi sikap Shinji yang baru dilihat oleh Hikari, menjadi pribadi yang lebih terbuka. Padahal situasi sekarang berada di dalam kelas. Shinji juga tidak terlihat dingin, dia terlihat tenang.
Suara gaduh muncul dari pintu kelas, orang yang sedang dibicarakan akhirnya datang. Taro dan Naoki, mereka berdua sudah dipenuhi oleh keringat. Tampaknya mereka berdua melakukannya lagi, balapan sepeda untuk menentukan siapa yang paling cepat sampai ke sekolah. Mereka melambaikan tangan ketika melihat Shinji yang sudah duduk dikursinya. Saat mulai dekat obrolan mengenai balapan tadi terdengar oleh Shinji.
“Jadi siapa yang menang?” pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulut Shinji.
Taro dan Naoki saling menatap satu sama lain.
“Jadi?…” Shinji menunggu sebuah jawaban.
“Um…Naoki yang menang,” Jawab Taro.
“Eh…bukannya kamu sudah pakai ban tipe sport?” tersenyum lebar, “nampaknya aku harus ikut sebagai navigator agar kamu menang Taro,” lagi-lagi Taro dan Naoki saling menatap satu sama lain, keduanya terdiam. Ekspresi keduanya sangat aneh, mereka duduk hingga kehabisan kata-kata.
“Ssst…Naoki,” mencoba membisikan sesuatu. Naoki menggerakan kepalanya. “dia bersikap aneh lagi,” Naoki mengangguk dan pelajaran pertama dimulai.
Sesekali Taro dan Naoki menoleh kebelakang, melihat Shinji yang duduk tepat dibelakang. Namun ketika diperhatikan Shinji malah tersenyum. Biasanya dia mempalingkan muka atau menjadi kesal karena diperhatikan kedua temannya. Melihat gerak-gerik temannya yang sangat aneh, Taro dan Naoki sepakat untuk membawanya ke atap untuk diinterogasi saat jam istirahat tiba. Mereka sangat ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya sehingga Shinji menjadi sangat aneh.
Bel jam istirahat berbunyi, Taro dan Naoki bersiap menarik Shinji tetapi yang ada malah Shinji sudah keluar duluan menarik Hime. Sontak teman-teman yang lain jadi ikut melihatnya termasuk Haru.
“Lalu?” Naoki bertanya kepada Taro.
“Entahlah,” membenamkan kepalanya ke meja.
Shinji yang menarik Hikari keluar kelas dengan cepat beralasan jika telat sedikit saja maka roti isi andalan di kantin akan habis. Mereka sampai di kantin, suasana masih belum ramai. Tampaknya mereka yang sampai duluan, tidak ingin membuang waktu Shinji bergegas membeli roti isi. Tidak sampai disitu, Shinji mengajaknya ke atap agar bisa menikmati roti dengan tenang sambil menikmati pemandangan dari atas.
Taro dan Naoki keluar kelas setelah keadaan kelas sepi, mereka kehilangan jejak Shinji.
“Mereka pasti ke atap,” ucap Naoki.
“Aku tidak yakin, atap tidak pernah ramai. Lagipula Shinji tidak pernah kehilangan spot nya di sana.”
Tiba-tiba Shinji lewat bersama dengan Hikari, bahkan Hikari sempat melambaikan tangan. Tangan satunya masih berpegangan dengan Shinji.
“Itu…,” Taro menunjuknya. Tidak ingin membuang kesempatan, Taro dan Naoki mengikutinya.
Sampailah di tangga menuju atap sekolah, “Benarkan kataku?” Naoki bangga dengan dirinya.
Suasana atap masih sangat sepi, tetapi tempat ini memang menjadi andalan Shinji. Karena dapat membuat dirinya lebih nyaman, dan tidak ada yang mengganggunya ketika membuka aplikasi Virtual Idol Hime.
“Ada apa sampai terburu-buru begitu? Bukannya tempat ini selalu sepi yah?” tanya Hikari.
“Yah…dengan begini kita bisa menikmatinya lebih lama bukan?” pembicaraan menjadi serius. “mereka lebih senang di kantin, kelas, padahal suasanya sangat bising. Hal yang dibutuhkan ketika selesai belajar adalah ketenangan. Begitu menurutku,” menatap mata Hikari dengan dalam.
Wajah Hikari memerah, lalu menyantap roti isi dengan canggung. “Um…e..na..k,” sambil menguyah.
Taro dan Naoki mengintip dari jauh, dari dalam pintu menghalangi seseorang jika ingin masuk ke atap.
“Lihat mereka, seperti sedang pacaran saja!” Taro sedikit iri.
“Aku kira semenjak Shinji mengenal perempuan itu, perlahan dia berubah. Apa mungkin terjadi sesuatu di luar sepengetahuan kita?” Taro mengangkat bahunya.
“Aku ingat waktu itu Shinji panik ketika memberitahu kita siapa perempuan itu,” Taro mulai berpikir. “waktu itu dia berkhayal jika Hikari adalah….,” berpikir keras. “vir…,” Taro tidak bisa mengingatnya.
“Virtual Idol Hime,” Naoki membantunya.
“Apa? benarkah itu?”
Taro dan Naoki mengangguk, kemudian saling menatap. Mereka sadar betul bahwa mereka hanya berdua sedari tadi, tapi muncul suara perempuan secara tiba-tiba. Perlahan keduanya menengok ke arah bawah mereka, tidak tahu kapan datangnya tetapi Haru sudah ada bersama mereka. Karena kaget bukan main, Taro dan Naoki tidak sengaja berteriak sangat kencang hingga terdengar oleh Shinji dan Hikari.
“Kamu mendengarnya?”
“Ini…,” Shinji bangun dari duduknya, menghampiri sumber suara.
Sementara itu Taro dan Naoki saling menyalahkan, dan ketika Taro mengintip kembali Shinji sudah berjalan ke arah mereka. Jika begini mereka akan ketahuan sedang mengintip Shinji dan Hikari.
“Shinji ke sini!”
“Kenapa sih kamu tiba-tiba muncul?!” Haru hanya diam, terlihat dia sedang berpikir.
“Hmm…Virtual Idol Hime?…,” tiba-tiba Haru turun melalui tangga dengan cepat.
Shinji sudah berada di ujung pintu, melihat kedua temannya. Mereka berdua sangat canggung, padahal Shinji merupakan teman dekat mereka.
“Kami tidak bermaksud….,” Shinji memotong Taro saat sedang berbicara.
“Kenapa kalian di sini? Ikutlah makan bersama kami, kalian sudah membeli makanan?” Taro dan Naoki menggelengkan kepalanya. “aku sudah menduganya, jangan khawatir aku sudah membelikannya untuk kalian berdua,” senyumannya begitu tulus, membuat Taro dan Naoki tidak sanggup berbicara.