“Ki Demang,” kata orang itu dengan nada yang berat berwibawa, “perkenankanlah aku memperkenalkan diri terhadap orang asing ini.”
Alangkah terkejutnya Demang Pucang Kembar melihat orang itu memasuki gelanggang. Ia menjadi kebingungan, sebab sama sekali ia tidak menduga bahwa persoalannya akan berlarut-larut. Orang itu adalah pemimpin tertinggi Jagabaya yang menangkap Sukmo Aji tadi, dan ia adalah Pangestu. Orang kepercayaan dan beberapa pengawal kademangan yang sebelumnya di tugaskan untuk melacak keberadaan Miranti. Anak gadis semata wayangnya yang pagi tadi di culik orang di tepi hutan.
Melihat kebingungan dan keragu-raguan Demang Pucang Kembar, Pangestu menyambung,
“Aku tidak mau orang lain menyangka betapa lemahnya kademangan ini. Kami tidak tahu siapakah orang asing itu. Syukurlah kalau ia bermaksud baik, tetapi kalau orang itu ingin menjajagi kekuatan kita, alangkah berbahayanya”
“Karena semua orang tau dia salah seorang abdi dalem di Pajang. Apalagi baru saja kademangan ini terkena bencana. Anak gadis ki demang hilang di culik orang. Sedangkan keterangan yang diberikan bukanlah berarti suatu kebenaran yang harus kita percaya demikian saja.”
“Tetapi maksudku bukan itu Pangestu,” kata demang itu tergagap.
Sebab ia tahu bahwa Pangestu adalah orang yang berilmu. Ia adalah orang yang lebih hebat daripada dirinya sendiri. Ia adalah murid utama sebuah padepokan yang ternama di kadipaten Jipang Panolan. Tetapi saat itu Pangestu seperti tidak mendengar kata-kata demang Pucang Kembar. Ia segera menyerahkan keris berluk tiga belas kepada orang terdekat yang dengan gugup menerima senjata itu tanpa disadari.
“Ki Sanak,” kata Pangestu kepada Sukmo Aji dengan sopan, “aku belum pernah bertemu dengan kau sebelumnya dan juga belum pernah mempunyai suatu persoalan apapun. Tetapi tadi kau telah mempertunjukkan ketangkasan dan ketangguhanmu. Maka perkenankanlah aku sekarang mencoba untuk melayanimu dengan sedikit pengetahuan yang aku miliki.”
Sukmo Aji sibuk menduga-duga dalam hati. Orang ini sikapnya agak berbeda dengan orang lain yang berada di situ. Menilik sikapnya, sudah seharusnya kalau Sukmo Aji lebih berhati-hati melawannya.
“Dan sekarang,” sambung Pangestu, “awaslah… aku mulai.”
Dan sesudah itu, benar-benar ia mulai menyerang. Langkahnya tetap ringan. Ia membuka serangannya dengan kaki, sedangkan kedua tangannya bersilang melindungi dada. Melihat serangan ini, Sukmo Aji terkejut. Tetapi Sukmo Aji tidak sempat berpikir banyak. Sebab ia segera sibuk melayani lawannya, yang bergerak menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang cukup tangguh. Akhirnya Sukmo Aji tidak dapat hanya bersikap mengelak dan menghindar saja.
Ia tidak bisa hanya bersikap mempertahankan diri saja. Untuk mengurangi kebebasan gerak lawannya, ia harus menyerang. Serangan Pangestu semakin lama menjadi semakin hebat. Tangannya bergerak-gerak dengan cepat dibarengi gerak kakinya yang ringan cekatan. Sekali tangan Pangestu itu sudah berubah menyambar kening. Tetapi Sukmo Aji adalah tumenggung anom di Pajang.
Itulah sebabnya Pangestu harus berhati-hati benar dan memeras segala kepandaiannya untuk memenangkan pertandingan ini. Ketika Pangestu berhasrat untuk cepat-cepat mengakhiri pertandingan ini, ia memusatkan segala tenaga dan pikiran untuk kemudian sebagai angin ribut melanda lawannya.
“Hebat …!” pikir Sukmo Aji ketika ia menerima serangan bertubi-tubi dari Pangestu.
“Memang orang ini memiliki keistimewaan yang tak dapat diabaikan.”
Kemudian terpaksa ia membuat beberapa langkah surut. Tetapi Pangestu tidak menyia-nyiakan tiap kesempatan. Cepat ia maju dengan melancarkan gempuran-gempuran hebat. Rupa-rupanya Pangestu menjadi agak gusar ketika serangan serangannya tidak segera dapat mengenai lawannya, bahkan lawannya itu dapat pula mendesaknya. Karena itu gerakan-gerakan serta serangan-serangannya menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak mau mengorbankan namanya seperti Gagak Kluyur dan Cangkil.
Sementara itu pertarungan menjadi semakin sengit. Serangan-serangan Pangestu menjadi semakin dahsyat dan ia sudah hampir kehilangan pengamatan diri sehingga geraknya tak terkekang lagi. Ketika serangannya yang dilancarkan dengan kedua tangannya sekaligus mengarah ke sasaran yang berbeda dapat dihindari oleh Sukmo Aji, cepat ia mengubah serangan itu dengan serangan berikutnya, dengan kaki yang mengarah ke perut Sukmo Aji. Melihat perubahan itu Sukmo Aji terpaksa meloncat mundur.
Tetapi Pangestu rupa-rupanya sudah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dengan segera. Maka, demikian Sukmo Aji meloncat mundur, disusulnya pula dengan kaki yang lain setelah ia memutarkan tubuhnya setengah lingkaran atas kaki yang pertama. Rupa-rupanya Sukmo Aji tidak menduga bahwa serangan-serangan Pangestu akan sedemikian bertubi-tubi datangnya, sehingga terasalah tumit Pangestu mengenai pinggangnya.
Gempuran ini demikian hebat sehingga tubuh Sukmo Aji bergetar dan hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Meskipun tubuh Sukmo Aji sudah cukup terlatih serta mempunyai daya tahan yang kuat, namun terasa juga bahwa tumit yang mengenai pinggangnya itu menimbulkan rasa sakit yang menyengat. Kena tendangan ini, hati Sukmo Aji menjadi agak panas juga. Karena itu ia berketetapan hati untuk melayani Pangestu dengan lebih bersungguh-sungguh lagi. Maka segera geraknya berubah menjadi semakin cepat dan keras. Ia membalas setiap serangan dengan serangan pula. Dan ia sama sekali tidak mau tubuhnya disakiti oleh lawannya lagi.
Pangestu terkejut melihat perubahan tendangan lawannya. Maka segera ia sadar bahwa orang yang dilawannya itu berilmu tinggi. Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur. Satu-satunya kemungkinan baginya adalah, lawannya menghendaki pertempuran itu akan berlangsung mati-matian. Dan memang sebenarnyalah demikian. Serangan-serangan Sukmo Aji berikutnya datang bertubi-tubi seperti ombak yang bergulung-gulung menghantam pantai. Bagaimanapun kukuhnya batu-batu karang tebing, namun akhirnya segumpal demi segumpal berguguran jatuh juga ke laut. Pangestu mengeluh di dalam hati. Sebagai seorang yang telah banyak mempunyai pengalaman, ia merasa bahwa lawannya memiliki kepandaian yang lebih tinggi.
Dan yang kemudian terjadi adalah, Pangestu mulai tampak terdesak. Bagaimanapun ia berusaha, kini ia terpaksa untuk bertahan saja. Ia sama sekali tidak berkesempatan untuk menyerang. Bahkan beberapa kali ia telah dapat dikenai oleh lawannya, meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya. Tubuh Pangestu terasa nyeri sekali. Meskipun demikian ia bukanlah Pangestu kalau sampai ia menyerah. Demang Pucang Kembar semakin kebingungan. Ia segera melihat kesulitan orang kepercayaannya. Penduduk yang mengitari pertarungan itu dengan asyiknya menyaksikan gerak masing-masing dengan keheran-heranan, sebagai suatu hal yang belum pernah dilihat sebelumnya. Pangestu seorang jagabaya yang disegani dan seorang satria yang pinunjung di Pucang Kembar mendadak tidak berkutik di tangan seorang pemuda asing.
Mereka serentak merasa bangun dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dalam hal yang demikian, bagaimanapun hebatnya lawan, mereka merasa wajib membela pemimpin mereka meskipun harus menyerahkan nyawanya. Serentak mereka menggenggam senjata masing-masing makin erat. Sedangkan beberapa orang yang berdiri di baris paling depan sudah mulai bergerak. Sukmo Aji segera melihat kesulitan yang bakal datang. Karena itu ia semakin waspada. Ia mulai menghimpun kekuatan-kekuatannya untuk membuat gempuran- gempuran terakhir, meskipun hal itu dilakukan dengan berat hati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ia harus terlibat dalam masalah yang sama sekali tak diketahui sebab-sebabnya. Tetapi bagaimanapun, ia tidak mau dijadikan bulan-bulanan dari peristiwa-peristiwa yang tak diketahui ujung- pangkalnya itu.
Tiba-tiba ketika keadaan sudah sedemikian memuncaknya, halaman itu digetarkan oleh derap orang –orang berkuda . Para penduduk desa , Demang Pucang Kembar dan Pangestu serentak menoleh ke arah suara itu.
“ Kertopati….” desis Pangestu dan Demang Pucang Kembar berbarengan.
Orang yang berkuda paling depan yang bernama Kertopati lantas turun dari punggung kuda. Di belakang Kertopati seorang lelaki muncul menuntun seekor kuda. Di punggung binatang ini melintang sesosok tubuh. Jika diperhatikan kelihatanlah sesosok tubuh seorang gadis, tergeletak menelungkup di atas punggung kuda. Demang Pucang Kembar bergegas menghampiri Kertopati.
“ Kertopati kau berhasil menemukan Miranti ?”
Kertopati mengangguk, lantas dengan pandangan matanya memandang ke arah kuda yang berhenti sekitar dua tombak di belakangnya. Demang Pucang Kembar lantas menghambur ke a rah gadis yang tergeletak di atas punggung kuda. Setelah melihat keadaan anak gadisnya itu. Demang Pucang Kembar memerintahkan beberapa orang untuk membawa Miranti masuk ke dalam bilik.
“ Panggil Ki Galih Asem kesini cepat. Dukun itu harus segera memeriksa dan memberikan obat untuk Miranti”
Tanpa disuruh dua kali beberapa orang segera bergegas meninggalkan halaman banjar desa. Mereka sudah melupakan kejadian yang baru saja akan mereka alami. Mengeroyok pemuda asing yang dicurigai merupakan salah satu komplotan yang menculik Miranti.
Kertopati berjalan perlahan mendekati Sukmo Aji. Lalu dengan hormatnya. “Kisanak, apa yang terjadi?” tanyanya, dan kemudian ia menoleh kepada dan Pangestu.
“Apa yang terjadi?” ulangnya kembali.
Demang Pucang Kembar merasa sulit untuk memberi jawaban. Memang ia sendiri bertanya kepada dirinya, kenapa ini sampai terjadi? Ketika Demang Pucang Kembar tidak segera menjawab, Kertopati kembali memandang kepada Sukmo Aji.
“Kisanak…” katanya kemudian, “bolehkah aku menanyakan sesuatu kepada mu?”
Melihat wajah lelaki yang baru datang itu itu, hati Sukmo Aji berangsur menjadi lunak seketika, bahkan ia agak malu kepada diri sendiri yang masih sedemikian mudahnya terbakar oleh nafsu.
“Silahkan, kisanak…” jawabnya. “Apakah kiranya yang ingin kisanak ketahui?”
“ Apa tujuan mu datang ke kademangan ini?”
Sukmo Aji menarik nafas panjang. “ Sekedar lewat, karena saya hendak pergi ke kampung halaman di Kedungtuban. Akan tetapi, entah mangapa dicurigai dengan tuduhan –tuduhan yamg sama sekali tidak saya mengerti. Terutama tuduhan bersekongkol dengan gerombolan penculik anak Ki Demang “
Kertopati mengangguk.
“ Baiklah kalau begitu. Namun, maafkan kami karena belum bisa melepaskan mu sepanjang gerombolan perampok itu belum tertangkap. Kau bisa tinggal di kademangan ini barang beberapa hari “
Sukmo Aji mendesah dan mengumpat dalam hati. Namun, pikirannya yang jernih dan nalarnya yang tajam. Tumenggung Anom dari Pajang ini bersedia untuk tinggal di Pucang Kembar. Sukmo Aji sadar bahwa secara tidak langsung ia jadi tawanan di Pucang Kembar. Sebernarnya lah kalau ia mau bisa saja bertarung mati –matian meloloskan diri dari kepungan. Akan tetapi, Sukmo Aji punya penalaran untuk apa jatuh korban untuk kesalah pahaman ini. Tumenggung Anom ini memilih untuk sementara mengalah sembari melihat keadaan. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang gawat mengancam kademangan ini.
“ Adi Kertopati. Mengapa orang itu kau bebaskan. Biarlah aku dan orang- orang kademangan ini mencincangnya “
“ Kita harus dapat bukti yang kuat dahulu kakang Pangestu. Sebelum kita menjatuhkan hukuman untuknya. Benar begitu Ki Demang? “
Demang Pucang Kembar hanya menganggukkan kepala. Karena sejak awal tadi demang tua ini tidak percaya Sukmo Aji terlibat dalam penculikan. Semua dilakukannya karena kekalutan hati dan tidak mau kehilangan wibawa di hadapan para penduduk kademangan.