Lembayung senja membayang di atas cakrawala Pucang Kembar. Sinarnya kuning keemasan mengguyur pucuk –pucuk padi yang mulai menguning. Di kediaman demang Pucang Kembar. Di dalam bilik Miranti. Gadis itu terbaring lemah. Mukanya memucat.
“ Mbok Rongkot,” desis Miranti kemudian, ”badanku benar-benar terasa sangat tidak enak.”
“Tenanglah,” jawab Mbok Rongkot, ”Den Ayu sudah terpengaruh oleh perasaan sendiri. Kemarin Den Ayu sudah kelihatan baik karena mau makan banyak. Hanya saja mengapa hari ini Den Ayu tidak mau sama sekali untuk makan ? “
“ Kemarin tubuhku lumayan bugar Mbok. Nafsu makan juga mulai berangsur kembali. Tetapi entah mengapa sedari pagi tadi aku merasa seakan-akan tubuhku menjadi panas seperti terbakar.”
Mbok Rongkot mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia memandang wajah gadis anak demang Pucang Kembar itu dengan saksama, maka ia pun terkejut. Wajah itu menjadi pucat sekali.
“Apakah Den Ayu merasa panas?”
Miranti mengangguk.
Disentuhnya kening Miranti dengan punggung telapak tangannya. Dan Mbok Rongkot menjadi semakin terkejut karenanya, “Dingin sekali.“
“Ya, tetapi di dalam dadaku, serasa darahku telah mendidih.”
“Aku akan melaporkan kepada Ki demang.”
“Jangan. Aku hanya akan mengganggu bapa saja”
Mbok Rongkot mengerutkan keningnya, ”Tetapi keadaanmu agaknya memerlukan perhatiannya.“ Miranti tidak menyahut.
Tetapi kini tubuhnya serasa menggigil kedinginan meskipun di dalam dadanya masih terasa panas sekali. Gadis itu mencoba untuk duduk dari pembaringannya. Tetapi untuk sekedar mengangkat badannya sendiri itu, nafasnya telah menjadi terengah-engah
“Jangan kau paksa,” desis Mbok Rongkot, ”beristirahatlah, berbaringlah. Keringatmu menjadi semakin banyak.”
Miranti menjadi semakin termangu-mangu. Tetapi tubuhnya memang menjadi lemah sekali, sehingga mau tidak mau ia pun kemudian rebah di atas pembaringan.
“Aku harus mengatakannya kepada Ki Demang,” berkata Mbok Rongkot kemudian. ”Kau menjadi semakin pucat.”
“Jangan dulu,“ suara Miranti menjadi dalam, ”biarlah aku mencoba mengatasi perasaanku.“
“Jangan menunggu sampai terlambat,” berkata Mbok Rongkot. ”Aku kira den ayu tidak sekedar sedang dipengaruhi oleh perasaan capek saja.“
“Mbok….,” berkata Miranti dengan nafas yang terengah-engah.
”Aku pernah melihat orang yang terserang penyakit seperti ini. Meskipun hanya minum air putih biasa, yang diambilnya dari kendi atau sumur, maka badannya segera sembuh dan segar.“
“Tetapi tentu tidak sekuat ini. Gejala-gejala yang tampak pada tubuh den ayu bukan sekedar karena capek saja.”
Miranti tidak menyahut lagi. Kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
“ Berbaringlah yang tenang den ayu, simbok akan menghadap ki demang. Agar memanggil ki Galih Asem untuk datang kemari “
Miranti tidak mencegahnya lagi. Dengan mata yang suram dipandanginya perempuan tua itu yang melangkah mendekati pintu, membukanya. Kemudian tubuhnya segera lenyap.
“Ki Demang,” berkata Mbok Rongkot dengan bersungguh -sungguh, “Den Ayu Miranti tiba-tiba saja menjadi sakit.”
Ki demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, ”Miranti mungkin terlalu lama di pembaringan sehingga tubuhnya menjadi lemah. Perasaan itulah yang agaknya membuat ia menjadi seolah-olah sakit.”
“Ki Demang,” berkata Mbok Rongkot, “tubuhnya dingin meskipun ia merasa panas.”
“Itulah gejalanya.”
“Keringatnya seakan-akan terperas dan wajahnya menjadi sangat pucat.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. ”Cobalah aku melihatnya.”
Ki Demang pun kemudian beranjak dari pringgitan dan dengan tergesa-gesa mendapatkan anak gadisnya berbaring lemah di ranjang.
“Kenapa kau Miranti?” bertanya Demang Pucang Kembar.
Miranti mengangkat wajannya sambil menjawab,
”Tubuhku rasa-rasanya menjadi sangat lemah Bapa. Panas di dalam, tetapi aku menggigil seperti orang kedinginan.”
Ki Demang terkejut melihat keadaan anak gadisnya itu. Apalagi ketika ia menyentuh tubuhnya.
“Bagaimana, Ki Demang?” bertanya Mbok Rongkot.
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Anak ini memang benar-benar sakit. Bukan sekedar dipengaruhi oleh perasaannya.”
Mbok Rongkot mengerutkan keningnya. Sakit yang tiba – tiba itu telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak segera dapat terjawab. Lamunan mbok Rongkot buyar. Manakala Ki Demang untuk memerintahkannya menemui Ki Galih Asem.
“ Mbok, perintahkan pada Kurdo untuk memanggil ki Galih Asem secepatnya”
Tanpa sepengetahuan Ki Demang ada sepasang telinga mendengarkan semua pembicaraan itu dengan seksama. Lalu dengan perlahan orang itu pergi berjingkat meninggalkan tempat itu.
Di serambi rumah dari kayu itu menggeletak dua sosok tubuh. Tidak lain tubuh Ki Galih Asem. Orang tua ini menggeletak telentang dengan leher hampir putus sementara darah masih mengucur dari luka menganga di lehernya itu. Luka kedua mengoyak perutnya hingga tampak ususnya menyembul bergerak-gerak. Kurdo masih sempat mendengar dukun tua itu mengerang, lalu nyawanya putus. Orang tua ini mati dengan mata melotot!
Melintang di atas dada Ki Galih Asem adalah seorang perempuan tua yang bukan lain ialah istrinya. Perempuan ini tampak melejang-lejangkan kaki kirinya beberapa kali. Tangan kirinya merangkul tubuh suaminya seolah-olah berusaha melindungi. Sesaat kemudian perempuan tua ini pun lepas pula nyawanya. Dua bacokan, satu di punggung, satu lagi di pangkal lehernya tampak menggidikkan..
” Gusti Allah…! Gusti Allah…!” terdengar Kurdo menyebut nama Tuhannya beberapa kali. Lalu tubuhnya ambruk. Pingsan.
Di dalam bilik Miranti, Kertopati duduk berhadap-hadapan dengan Demang Pucang Kembar. Sementara Pangestu duduk dengan gelisah di ambang pintu. Miranti masih berbaring, matanya terpejam rapat. Bibirnya pucat memutih. Nafasnya tersengal –sengal.
“Mengapa Kurdo lama sekali Kertopati. Anak itu sudah aku perintahkan menjemput Ki Galih Asem sedari tadi. Apakah ada halangan di jalan?”, Demang Pucang Kembar tampak gelisah mencekam perasaannya.
“ Apa sebaiknya saya susul ke pondok Ki Galih Asem Ki Demang ?”
Demang Pucang kembar hendak membuka mulut, manakala seorang pemuda muncul dengan tergesa –gesa. Peluh tampak membanjiri sekujur badan. Pakaian yang dikenakan basah kuyup.
Melihat keadaan Kurdo yang tampak ketakutan.
Pangestu membentaknya, “ Mana Ki Galih Asem? Dimana dukun tua itu ?”
“ Maaf kakang, ketiwasan..ketiwasan…”
“ Masuk Kurdo, tenanglah. Atur nafasmu. Ceritakan pada kami apa sebenarnya yang telah terjadi ? “
Setelah Kurdo dapat sedikit menenangkan hatinya. Ia menceritakan semua yang telah terjadi di pondok Ki Galih Asem. Semua yang mendengar penuturan itu terperanjat. Seolah –olah tidak percaya.
“ Benar begitu Kurdo? Kau tidak mengarang cerita? “
“ Benar, kakang Kertopati. Saya tidak berbohong. Ki Galih Asem terbunuh dengan mengenaskan. Bahkan, istrinya juga terbunuh“
Kertopati berkerut keningnya. Nalurinya yang tajam segera dapat menduga. Bahwa, kematian Ki Galih Asem erat kaitannya dengan penyakit Miranti yang aneh dan secara tiba –tiba. Ada musuh dalam selimut di kademangan ini. Tapi siapa? Kertopati menarik nafas panjang manakala mendengar suara Pangestu.
“ Ki Demang biarlah aku yang akan melihat dan memeriksa kejadian ini. Aku akan membawa beberapa pemuda pilihan bersama Gagak Kluyur dan Cangkil. Mungkin pembunuhnya belum jauh meninggalkan kademangan ini “
Pangestu segera beranjak dari tempat itu, tanpa menunggu persetujuan demang Pucang Kembar.
Di bilik Miranti, Kertopati duduk berhadap-hadapan dengan Demang Pucang Kembar.
“Menurut mu, apa yang harus kita lakukan Kertopati? Penyakit Miranti yang secara tiba –tiba ini masih belum diketahui. Satu –satunya harapan telah sirna. Ki Galih Asem terbunuh. Entah tidak sengaja atau sengaja ada orang yang melenyapkannya. Apakah tidak dapat diusahakan cara lain agar dia disembuhkan. Paling tidak agar penderitaannya dapat sedikit berkurang…”
“Saya akan mencoba mencari dukun hebat di luar kademangan ini Ki Demang. Akan tetapi, saya khawatir den ayu mengalami hal yang buruk. Dukun pengobatan itu kediamannya sangat jauh dari Pucang Kembar “
“ Dimana tempat dukun hebat itu Kertopati? “
“ Kaki Gunung Merbabu, di sebuah perguruan bernama Lintang Kemukus. Disana ada seorang tabib sakti. Meski sang tabib itu telah meninggal. Saya yakin murid utamanya pasti juga mempunyai ilmu pengobatan yang handal “
Ki Demang mendesah, “ Sangat jauh Kertopati. Aku takut hal yang buruk terjadi pada Miranti sebelum kau sampai di Pucang Kembar lagi“
“ Sebentar ki Demang”, Kertopati tiba –tiba teringat dengan Sukmo Aji.
“Ki Demang, apakah ingat dengan pemuda yang masih kita tawan di banjar desa…?” Kertopati bertanya.
“Tentu saja aku ingat pemuda itu. Ada apa dengan pemuda itu…?!”
“ Dia salah satu murid padepokan Lintang Kemukus. Bahkan, senjata perguruan yang bernama tombak Kyai Sangga Langit telah diserahkan kepadanya. Kalau ki demang tidak berkeberatan saya akan meminta tolong pada pemuda itu “
Demang Pucang Kembar terdiam beberapa lamanya. Di dalam hatinya ada sedikit rasa segan dan malu. Akan tetapi, tidak ada pilihan lagi baginya. Terpenting anaknya bisa diselamatkan. Apapun caranya itu.
“ Baiklah Kertopati, panggil pemuda itu. Bawa kemari…”
Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama Kertopati langsung membawa Sukmo Aji ke bilik Miranti. Sedikit segan Sukmo Aji mengangguk kea rah demang Pucang Kembar. Orang tua itu pun membalas dengan sedikit ragu.
“Lihat wajahnya menjadi pucat sekali Sukmo, dan bibirnya menjadi kebiru-biruan.”
Setitik keringat mengembun di dahi Sukmo Aji, meskipun ia tidak menjadi gugup. Tanpa disengaja Sukmo Aji melihat sebuah mangkuk yang terletak di samping Miranti. Dengan serta-merta mangkuk itu pun diambilnya. Di amat-amatinya isi mangkuk yang sudah hampir habis sama sekali itu. Namun beberapa titik air di dalamnya telah cukup bagi Sukmo Aji untuk mengetahui, cairan apakah yang ada di dalamnya.
“Kertopati, mendekatlah kemari,” bisik Sukmo Aji.
Kertopati pun segera beringsut mendekati Sukmo Aji. Dari kantong ikat pinggangnya Sukmo Aji mengambil sebuah bumbung kecil. Dari dalam bumbung kecil itu Sukmo Aji menaburkan seberkas serbuk yang berwarna kehitam-hitaman.
Dengan wajah yang tegang Kertopati melihat ke dalam mangkuk itu. Beberapa tetes cairan itu pun kemudian mengepulkan asap meskipun hampir tidak terlihat. Kemudian warna yang kehitam-hitaman dari serbuk itu pun segera berubah menjadi hitam pekat. Titik-titik warna merah terdapat di beberapa bagian dari dinding mangkuk yang masih basah itu.
“Racun,” desis Sukmo Aji, “meskipun lemah, tetapi cukup berbahaya bagi Miranti yang kekuatannya belum pulih kembali. Carilah air. Jangan dengan mangkuk atau bumbung. Carilah dengan daun pisang.”
Kertopati pun dengan tergesa-gesa bangkit dan melangkah keluar. Diikuti oleh pandangan beberapa orang yang ada di bilik itu. Sejenak kemudian ia pun telah hilang di balik tabir gelapnya malam yang mulai membayang. Dengan daun pisang ia membawa setakir kecil air sumur.
Kidung Diatas Tanah Jawi episode 17 dan episode selanjutnya apa ada ?