Kidung Diatas Tanah Jawi episode 18

Gatra 18

Ketika Kertopati melihat siapa yang berada di atas punggung kuda itu, maka dadanya yang bergelora seakan-akan disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin. Maka kedua orang yang itupun menarik nafas sedalam-dalamnya. Firasat buruk yang menghampirinya kini telah terusir pergi. Sukmo Aji menghela nafas dan tersenyum. Manakala, dari bawah parit merangkak dua sosok tubuh. Lewati siraman cahaya bulan, ia dapat melihat siapa gerangan dua sosok tubuh itu. Bergegas Sukmo Aji lantas turun dari atas punggung kuda membantu satu orang yang nampak kepayahan untuk naik ke atas tanggul parit.

“ Aku lega kalian berdua selamat. Beberapa puluh tombak dari sini aku menemukan sebuah lubang menganga dengan tubuh delapan mayat bercampur dengan kuda yang mati di dasar lubang itu “

“ Mengapa kau bisa sampai kesini Sukmo Aji? “

Kertopati tidak sabar untuk mengetahui bagaimana tiba –tiba pemuda yang pernah di tawan penduduk Pucang Kembar sampai di tempat itu. Namun Sukmo Aji tidak segera menjawab pertanyaan itu. Matanya tidak lepas memandang anak muda yang setengah terbaring dengan nafas yang tersengal -sengal berada di samping Kertopati.

“ Nantilah aku ceritakan Kertopati. Tampaknya ada yang lebih penting harus segera dilakukan. Lihatlah, kawan mu nampaknya terluka parah dan terkena racun yang sangat kuat “

“Ya..dia keracunan” jawab Kertopati dengan setengah tergagap “Dari mana kau mengetahuinya?”

“Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab aku lihat bibirnya sangat pucat dan agak membiru. Ia harus segera mendapat bantuan. Kalau tidak, bahaya yang besar akan mengancam jiwanya “

“ Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan dapat dielakkan” berkata Kertopati.

Manakala ia menoleh ke arah Sembada, pemuda itu tampak diam saja. Matanya terpejam.

“ Sembada..Sembada….,” Kertopati memanggil sembari menguncang-guncang tubuhnya.

Tidak ada jawaban. Kertopati menjadi khawatir melihat hal itu. Sukmo Aji dengan cekatan memeriksa nadi di pangkal leher Sembada.

“ Masih berdenyut meski lemah dan ia juga masih bernafas. Kita harus cepat menolongnya “

Tanpa banyak bicara lagi Sukmo Aji merobek celana di bagian paha Sembada hingga di bawah guyuran sinar rembulan yang memucat dia melihat lebih jelas luka yang dalam. Darah tidak mengucur lagi dari luka itu. Bagian tepi daging paha yang terluka tampak berwarna hijau gelap.

“Racun warangan yang sangat kuat…” Desis Sukmo Aji.

Sukmo Aji lantas memijit beberapa urat di sekitar paha dan kaki Sembada yang sudah jatuh pingsan. Lalu dikeluarkannya sebuah pisau pendek dari balik lipatan baju. Menggunakan api dari perapian yang telah di buat dengan bersusah payah karena sebagian rumput dan ranting kayu basah karena di guyur hujan.

Sukmo Aji segera membakar ujung pisau itu. Beberapa saat kemudian perlahan pemuda itu mengguratkan pisau di tepi paha yang terluka. Sembada menggeliat sebentar meski dalam pingsannya rupanya perih dan panas yang menyengat masih bisa menyentuh syarat perasanya. Darah berwarna hitam merembes keluar dari bekas sayatan pisau.

Cekatan sekali Sukmo Aji memijit –mijit lagi bagian tepi paha yang terluka. Manakal darah sudah berwarna merah, ia mengeluarkan kantong kecil dari ikat pinggang. Serbuk berwarna kelabu itu perlahan di taburkan ke arah paha yang terluka. Tidak perlu waktu yang lama darah yang tadi merembes keluar perlahan –lahan menjadi mampat.

“Dia mudah –mudahan selamat Kertopati, racun telah keluar semua dari pembuluh darah. Dan lukanya pun sudah mampat. Masa yang gawat sudah terlewati…”

“Aku tahu kau sanggup menolongnya,” jawab Kertopati. Dia masih menelentang di atas rerumputan dengan dada sesak turun naik.

“ Kita harus segera kembali ke Pucang Kembar Kertopati. Aku khawatir gerombolan Kelabang Ijo menyerang kademangan saat seperti ini “

“ Kau sanggup berjalan ke Pucang Kembar? Biarlah Sembada yang akan terbaring di atas kuda “
Seperti mendapat kekuatan baru. Kertopati menjawab, “ Aku sanggup. Marilah kita berangkat ke Pucang Kembar saat ini juga “

 

Di dalam goa yang terletak di tengah hutan jauh dari kademangan Pucang Kembar terlihat kesibukan yang tidak biasa. Tengah hutan yang biasanya gelap gulita menjadi terang benderang. Beberapa api perapian menyala seperti hendak menjilat langit yang berada jauh di atas sana. Beberapa barak –barak kecil yang dibuat menggunakan kayu dan beratapkan daun kelapa tampak berdiri dengan kokoh tampak berwarna merah akibat pantulan api perapian. Pangestu duduk di atas batu pipih, diapit oleh Gagak Kluyur dan Cangkil.

Pangestu menerima kedatangan beberapa orang kepercayaannya yang baru saja kembali perbatasan Pucang Kembar . Mereka tidak lain Kelabang Ijo bersama ketiga anak buahnya.

“Kabar buruk untukmu Pangestu. Akan tetapi, bagi kami itu bukan kabar buruk!” berkata Kelabang Ijo sambil melemparkan potongan kayu kering ke arah perapian.

“Aku sudah menduga…” jawab Pangestu seraya memandang ke arah barak –barak yang berdiri membisu. Dimana sekitar seratus orang gerombolan rampok Kelabang Ijo dan sepuluh orang pilihan yang dibawanya dari Pucang Kembar duduk bertebaran di depan baraknya masing -masing.

“Katakan berita buruk apa yang kau bawa!”

“ Ternyata ada dua orang yang selamat dari lubang maut itu. Keinginanmu agak sedikit meleset. Sebenarnya aku bisa membunuh kedua orang itu, semudah membalik telapak tangan. Akan tetapi, hal itu akan hanya membuang tenaga. Toh, sebentar lagi Pucang Kembar akan kita gempur. Kita buat menjadi karang abang“

Pangestu mengusap wajahnya yang sekejap berubah menjadi tegang. Tangan kanannya meraba hulu Keris Kiyai Cleret yang sengaja diselipkannya di pinggang sebelah depan. Dengan memegang hulu senjata itu dia merasakan adanya sedikit ketenangan.

“ Sementara sampai hari ke tiga terhitung sejak malam ini. Jangan melakukan tindakan apapun juga. Aku yakin Pucang Kembar akan mulai bersiaga dan berjaga –jaga. Sudah pasti kematian orang –orang di dasar lubang itu telah mereka ketahui. Kita akan menggempur Pucang Kembar saat bulan mati. Kita akan mengambil keuntungan dari suasana gelap gulita “

“ Namun, sebelum itu besok aku akan megirim dua petugas sandi ke Pucang Kembar. Kita harus benar –benar memastikan sekuat apa pasukan di kademangan itu. Aku yakin sekali Kertopati akan mempersiapkan segala sesuatunya dengan penuh perhitungan “

Kelabang Ijo menganggukkan kepala, pimpinan rampok yang sangat terkenal di sepanjang Pantai Utara Jawa itu sepakat dengan siasat yang akan dilakukan oleh Pangestu. Maka, keesok paginya sebelum matahari muncul sempurna di ufuk timur. Dua ekor kuda berlari kencang meninggalkan tengah hutan itu.

 

Jalan dihadapan Sukmo Aji masih menurun. Kini dihadapannya dilihatnya padukuhan yang kecil. Kali Adem. Pedukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan ketika sekali lagi Sukmo Aji membelok kekanan sampailah ia ke jalan lurus menuju Pucang Kembar. Sukmo Aji menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi semakin dekat juga. Ia tidak perlu khawatir lagi gerombolan Kelabang Ijo akan mengejarnya. Bukan hal yang mudah bertarung seorang diri sembari melindungi dua orang yang tengah terluka.

Tiba-tiba Sukmo Aji tersentak, ketika didengarnya sebuah teriakan melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika diketahuinya suara itu ternyata hanyalah suara burung engkak
yang pulang kesarangnya, setelah semalam-malaman mencari mangsanya.

Kertopati pun sempat memperhatikan raut wajah pemuda yang berjalan di depannya itu.

“ Kau terkejut Sukmo Aji? Burung Engkak memang suka melengking seperti itu. Kau tinggal di kotaraja sudah barang tentu belum pernah mendengar suara burung itu “

Sukmo Aji menghentikan langkahnya, “ Suasana mencekam dan tegang sepanjang malam membuat aku jadi lebih waspada. Ayo, kita lanjutkan perjalanan lagi. Pucang Kembar sudah ada di depan mata “

“Hampir pagi” desis Kertopati kemudian.

Karena itu Ia mempercepat langkah kakinya sembari menuntun kuda yang di atasnya terbaring tubuh Sembada. Dimukanya tampak sebuah pedukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung di dalam lautan yang hijau. Itulah Pucang Kembar. Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu telah dilihatnya, dan d isudut jalan tampak sebuah gardu perondan.

Bergegas Kertopati dan Sukmo Aji langsung berjalam kegardu itu. Ia tahu benar bahwa digardu itu berjaga-jaga beberapa pemuda pilihan. Ketika mereka mendengar suara kuda, maka orang-orang digardu itupun segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat dua orang berjalan dan seekor kuda yang dituntun. Karena itu, orang-orang yang sedang berjaga-jaga itupun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting.

Demikianlah maka mereka segera menghentikan kuda. Akan tetapi, manakala melihat siapa yang datang beberapa pemuda itu segera kedepan dan bertanya “Kakang Kertopati apa yang terjadi?”

“ Sudahlah, pertanyaan mu itu akan terjawab semua. Sekarang antarkan Sembada ke rumahnya. Anak itu tengah terluka cukup parah. Dan kamu ikut aku ke rumah Ki Demang”

Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka menyusur jalan desa, diantara pagar-pagar batu setinggi dada, maka sampailah mereka disebuah halaman yang luas. Pagar halaman itupun agak lebih tinggi dari pagar-pagar disekelilingnya. Didepan halaman itu tampak sebuah regol yang tertutup rapat. Orang pertama, yang berjalan dimuka Sukmo Aji dan Kertopati itupun segera mengetuk pintu regol itu. Sesaat tidak terdengar jawaban. Dan tak lama kemudian pintu itupun terbuka.

“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.

“Peronda digardu utara” jawab orang itu. “Aku membawa kakang Kertopati dan seorang tamu kita. Mereka berdua ingin bertemu dengan Ki Demang”

Penjaga regol ki demang itu tanpa disengajanya menengadahkan wajahnya. Ditimur laut dilihatnya bintang panjer esuk memancar dengan terangnya.

“Baru saja Ki Demang beristirahat setelah nganglang hampir diseluruh kademangan Pucang Kembar, Biarlah ia beristirahat. Besok kakang akan dapat menemuinya” berkata orang itu.
Sukmo Aji dan Kertopati sudah akan beranjak. Pada saat itu dilihatnya seseorang berjalan ke regol halaman itu.

Dan terdengarlah orang itu berkata “Apa yang terjadi?”

“Oh” orang yang berada dihalaman itu menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya.

“Selamat malam Ki Demang. Kakang Kertopati dan tamu kita kemarin ingin bertemu Ki Demang sekarang juga. Aku ingin menundanya sampai besok karena Ki Demang baru saja masuk ke dalam bilik ”

Ki Demang Pucang Kembar itu mengangguk –anggukkan kepalanya.

Dan kemudian terdengar orang itu bertanya “Kabar apakah yang kau bawa Kertopati? Ayo masuk ke pendopo tampaknya keadaan mu sangat lelah sekali”

“Marilah ngger” ajak Demang Pucang Kembar.

Sukmo Aji dan Kertopati kemudian berjalan mengikuti Ki Demang Pucang Kembar itu. Mereka berjalan melintas halaman yang luas menuju ke pendopo.

Maka setelah Sukmo Aji dan Kertopati duduk berhadapan dengan Demang Pucang Kembar di atas tikar pandan. Kertopati menyampaikan peristiwa yang telah dialaminya. Peristiwa mengerikan sehingga delapan orang tewas mengenaskan di dasar lubang. Demang Pucang Kembar terkejut mendengar berita itu.wajahnya yang sudah terlihat sangat tua itu memerah. Menahan amarah yang menggelegak.

Suara Demang Pucang Kembar bergetar, “ Sangat memilukan cerita mu itu Kertopati, delapan pemuda pilihan gugur dengan mengenaskan tanpa sempat mencabut pedang”

“ Kejadiannya sangat cepat Ki Demang. Kemungkinan besar lubang berisi tonggak –tonggak bambu runcing itu tengah dipersiapkan untuk menyambut kedatangan kami “

“ Dan seperti kecurigaan saya sebelumnya. Pangestu berdiri di belakang semua itu. Di bantu oleh seorang benggol rampok yang bernama Kelabang Ijo “

Demang Pucang Kembar menarik nafas panjang. Wajah orang tua itu nampak menahan amarah yang sangat kuat. Seperti hendak menjebol jantungnya. Akan tetapi, kedalaman nalar dan budi demang tua itu dengan cepat dapat meredakan gejolak hatinya.

“ Kalau begitu kita harus bersiap –siap Kertopati. Ketatkan penjagaan di kademangan induk. Aku merasa Pangestu dan gerombolannya akan menyerang kademangan ini. Kelabang Ijo tidak akan pernah mau turut campur jika hanya mengurusi masalah remeh temeh”

“ Maaf Ki Demang, kalau saya diijinkan untuk memberikan sedikit bantuan. Sekiranya bantuan saya akan membantu kademangan ini untuk menghadapi gempuran yang mungkin akan terjadi sebentar lagi“

Demang Pucang Kembar menoleh ke arah Sukmo Aji, “ Bantuan apa yang akan kau berikan kepada kademangan ini Ngger? “

“ Kalau Ki Demang tidak berkeberatan saya akan mencoba menyelidiki dimana gerombolan rampok itu bersembunyi. Mengukur seberapa banyak kekuatan mereka. Hal itu sangat penting untuk mengatur siasat membendung gempuran mereka. Maaf Ki Demang bukan maksud saya untuk turut campur “

Demang Pucang Kembar memandang tidak berkedip ke arah Sukmo Aji. Di dalam hatinya sebenarnya ia merasa sungkan. Masih teringat bagaimana pemuda dari Pajang yang bernama Sukmo Aji itu di tawan dan di awasi dengan ketat. Namun, ternyata pemuda itu telah menolong mengobati anak perempuan satu –satunya. Dan kini menawarkan diri untuk menjadi petugas sandi.

Ki Demang menarik nafas panjang, “ Sebenarnya aku merasa sungkan kepadamu Ngger. Namun, baiklah aku akan menerima tawaran mu itu dengan tangan terbuka. Kau dapat memilih beberapa pemuda pilihan untuk menemani mu. Tugas ini bukan tugas yang ringan. Atau perjalanan untuk ngengar- enggar penggalih “

“ Kalau Ki demang tidak berkeberatan saya ingin mengajak Kakang Kertopati saja. Tidak terlalu banyakl orang akan mudah bagi kami untuk bergerak dan menyusun siasat “

“ Bagaimana Kertopati? Kau bersedia bersama Ngger Sukmo Aji mennyelidiki kekuatan gerombolan itu ? “

“ Saya bersedia Ki Demang. Itu yang saya harapkan sebagai tebus dosa kematian delapan pemuda pilihan Pucang Kembar “

” Kau jangan terburu nafsu Kertopati, kau harus bisa menahan diri. Tugasmu hanya untuk mengukur kekuatan mereka. Jangan membuat bentrokan di sarang gerombolan itu. Akibatnya akan sangat buruk bagi kita semua “

Kertopati menganggukan kepalanya mendengar kata –kata Demang Pucang Kembar.

“ Baiklah, sekarang kalian berdua dapat beristirahat. Senja nanti kalian boleh pergi meninggalkan Pucang Kembar. Menyelidiki sarang gerombolan itu. Dan kau Wisang, tolong kumpulkan beberapa pemuda pilihan dan dua gerobak sapi untuk pergi ke lubang itu. Bawa mayat kawan –kawan mu itu untuk diurus dengan layak. Berhati –hati lah mungkin kalian akan berpapasan dengan gerombolan itu “

Pemuda bernama Wisang yang bertugas jaga di gerbang kediaman Demang Pucang Kembar itu mengangguk dan bergegas meninggalkan tempat itu.

“ Kami juga mohon diri Ki Demang “, Kertopati membuka mulutnya.

“ Silahkan Ngger, istirahatlah dengan tenang”

Kedua orang itu lantas dengan perlahan beringsut dari pendopo. Ki demang memandang punggung kedua lelaki itu hingga lenyap di ujung regol.


Kidung Diatas Tanah Jawi

Kidung Diatas Tanah Jawi

Score 8
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Setelah kerajaan Demak semakin suram dan tinggal menunggu tenggelam dalam timbunan sejarah. Munculah kerajaan baru di atas tanah Jawa, kerajaan itu bernama Pajang rajanya adalah menantu Sultan Trenggono sendiri. Raja Demak yang terakhir. Pada masa mudanya dia terkenal dengan nama Joko Tingkir dan setelah menjadi raja beliau bergelar Sultan Hadiwijoyo. Seluruh pusaka kerajaan Demak akhirnya diboyong ke Pajang. Wahyu keraton sudah berpindah tangan. Sebagai pembuktian dirinya sebagai raja yang besar dan kuat Sultan Hadiwijoyo mengerahkan bala pasukannya dengan kekuatan empat puluh ribu prajurit yang terlatih.Pajang mulai menyerbu kerajaan –kerajaan di Jawa Timur. Sultan Hadiwijoyo sendirilah yang memimpin pasukan. Beliau duduk di atas punggung gajah perang yang diberi nama Kyai Liman sambil tangan kanannya mencengkeram tombak pusaka Kyai Pleret. Beliau didampingi oleh para panglima perang yang tangguh seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Juru Mertani, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilomerto, Tumenggung Cokroyudo, Tumenggung Gagak Seta dan para wiratamtama prajurit Pajang yang bilih tanding.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset