Sementara itu di sudut kedaton Madiun, Tumenggung Wiropanggah masih bertempur dengan Sukmo Aji dan tetap berada di antara pasukannya. Ketika pasukan induknya telah terdesak semakin jauh, maka iapun telah memerintahkan sekelompok prajuritnya untuk menyiapkan tempat bagi pasukannya yang akan memasuki pintu gerbang dinding halaman istana. Sementara itu pasukan pengawal harus mempersiapkan diri. Pasukan Pajang mungkin akan berhasil mendesak pasukan Madiun memasuki halaman istana. Dalam keadaan yang demikian, maka pasukan pengawal khusus yang terdiri dari orang-orang pilihan harus turun ke medan. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain bertempur dan dengan kemampuan mereka yang rata-rata melampaui kemampuan prajurit kebanyakan, maka mereka akan dapat membantu kekuatan Madiun untuk bertahan, bahkan mengusir pasukan Pajang.
Sebenarnya-lah bahwa pasukan Madiun telah berusaha untuk menarik diri melalui empat pintu gerbang halaman istana. Sementara itu sekelompok pasukan telah mempersiapkan pintu gerbang yang akan dilalui oleh pasukan Madiun. Sedangkan pasukan itupun telah mempersiapkan pula sekelompok prajurit yang akan berada di atas dan di sebelah-menyebelah pintu gerbang. Mereka akan menghambat pasukan Pajang yang akan mendesak pasukan Madiun, setelah mereka masuk ke dalam pintu gerbang.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka Sukmo Aji benar – benar menjadi seorang senopati Pajang yang pilih tanding. Sukmo Aji telah memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Senjatanya berupa tombak pendek bergerak berputaran sehingga kemudian seakan-akan telah berubah menjadi asap yang kebiru-biruan. Senjata yang hanya sebatang, namun berujung runcing seakan-akan berubah menjadi senjata serupa yang berpuluh –puluh jumlahnya. Menyerang tubuh Tumenggung Wiropanggah dari segenap arah.
Meskipun Tumenggung Wiropanggah bukan seorang prajurit yang baru saja belajar memegang senjata, namun tiba-tiba ia menjadi bingung menghadapi permainan Sukmo Aji. Permainan salah satu wiratamtama Pajang itu benar-benar memeningkan kepalanya. Meskipun demikian, Tumenggung Wiropanggah pun tidak segera menjadi cemas.
Tumenggung Wiropanggah adalah seorang prajurit yang tabah. Berpuluh bahkan beratus kali ia mengalami kesulitan di dalam peperangan dan perkelahian perseorangan. Namun berpuluh bahkan beratus kali ia dapat menghindarkan kesulitan itu. Karena itu, maka dengan sekuat-kuat tenaga yang ada padanya, maka ia berusaha untuk mematahkan gumpalan sinar kebiru -biruan yang melandanya. Tetapi gumpalan sinar kebiru-biruan yang berasal dari pamor tombak pendek senopati Pajang itu benar-benar seperti asap yang tak dapat disentuh oleh senjatanya.
Sukmo Aji yang menjadi semakin mapan, telah menyerangnya dengan gencar. Sekali-sekali Tumenggung Wiropanggahitu pun meloncat mundur. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa desing senjata Sukmo Aji itu seakan-akan sebuah siulan maut yang selalu mengejarnya.
Tetapi Tumenggung Wiropanggah itu tak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa ujung tombak pendek itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya. Karena itu Tumenggung Wiropanggah menjadi bingung. Menghadapi senopati Pajang yang masih muda itu terasa, betapa dirinya tidak lebih dari seorang prajurit yang baru pertama kali memegang senjata. Alangkah kecil dirinya.
“Persetan dengan perang ini”, gumam Tumenggung Wiropanggah, “Biarlah pada suatu saat nanti setelah aku mematangkan ilmu ku. Akan kucoba lagi menghadapi anak muda ini”
Tumenggung Wiropanggah pun akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya.
Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada senopati muda yang menghadapinya itu belum juga hilang. Tumenggung Wiropanggah yang garang itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Sukmo Aji dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia berlari. Sukmo Aji bermaksud untuk mengejarnya. Namun, para prajurit Madiun dengan cekatan menghalangi jalannya.
Perang masih berkobar dengan sengitnya. Suara dentingan senjata beradu, suara jeritan melolong para prajurit yang terluka membaur menjadi satu. Bau anyir darah santer tercium di medan perang. Hari itu langit Madiun suram. Madiun jatuh, kemenangan mutlak berada di pihak Pajang.
Maka demikianlah, seperti yang diceritakan Babad Tanah Jawi Pajang pulang membawa kemenangan. Sekalipun perang banyak menelan korban dan biaya yang besar. Namun, nampaknya Sultan Hadiwijoyo tidak menyesal karena tumbuhnya kerajaan –kerajaan kecil di Jawa Timur di bawah kuasa Pajang maka lalu lintas perdagangan Pajang menuju ke kota pesisir utara dan timur dapat dipastikan dapat aman dan berjalan dengan lancar.
Siang itu sebelum senja setelah beristirahat sebentar mengurus para prajurit yang terbunuh dengan sebagimana mestinya, merawat prajurit yang terluka. Sultan Hadiwijoyo memutuskan untuk segera pulang ke Pajang. Pasukan dibagi menjadi dua bagian sebagian tinggal di Madiun dan sebagian lagi pulang ke Pajang. Maka, siang itu jug a iring –iringan prajurit kembali ke Pajang. Rontek dan kelebet kebesaran Pajang berkibar di sepanjang jalan.
Setelah beberapa hari pulang dari medan perang dan beristirahat. Pagi itu Sultan Hadiwijoyo mengumpulkan para punggawanya di balairung istana Pajang. Mereka sudah nampak segar kembali. Duduk bersila dengan tertib sesuai dengan pangkat dan jabatannya masing –masing. Sementara Sultan Hadiwijoyo duduk di atas dampar kencana.
“ Sekali lagi kita bersyukur dihadapan yang maha kuasa karena kita sudah diberi keberhasilan meraih kemenangan demi kemenangan dalam perang yang panjang dan begitu melelahkan. Memang korban cukup banyak tapi seperti kata pepatah jer basuki mawa bea. Tidak ada keberhasilan tanpa pengorbanan. Bagi mereka yang berjasa aku berkenan memberikan anugerah yang sepadan. Dan bagi mereka yang berlaku dusta di dalam perang, bagi mereka yag tidak setia dan berkhianat. aku juga sudah siap memberikan hukuman yang setimpal”
Sultan berhenti sejenak, pandangan matanya menyapu seluruh ruangan. Memandangi wajah –wajah para punggawa kerajaan kepercayaannya. Suasana hening sejenak. Kemudian Sultan Hadiwijoyo berpaling ke arah Ki Ageng Pemanahan.
“ Kakang Pemanahan….”
“ Hamba Kanjeng Sultan”
“ Apakah sudah dibuat catatan –catatan siapa saja yang berjasa dengan sepenuh hati dan tenaga membantu perjuangan Pajang menguasai daerah Bang Wetan “
“ Ampun Kanjeng Sultan. Hamba sudah membuat catatan – catatan kecil. Namun, barangkali ada yang tercecer hamba akan menelitinya sekali lagi “
“ Jangan sampai ada yang kelewatan. Aku tidak ingin mengecewakan punggawa –punggawa setia dan berbakat. Orang yang berjasa sudah sepantasnya diberikan imbalan yang layak “
Lantas Sultan Hadiwijoyo mengalihkan pandangannya kepada Ki Penjawi.
“ Kakang Penjawi dan kau Ki Juru Mertani bantulah Kakang Pemanahan untuk membuat catatan –catatan itu “
“ Inggih Kanjeng Sultan”, keduanya serentak menjawab bersamaan.
Pertemuan bubaran menjelang tengah hari balai paseban agung menjadi sepi dan sunyi seperti sebelumnya.
SAMPAI menjelang tengah malam acara syukuran kecil –kecilan yang dilakukan oleh Sukmo Aji masih kelihatan meriah. Syukuran itu dalam rangka naiknya jabatan dari wiratamtama menjadi seorang tumenggung anom. Tamu-tamu duduk di kursi masing-masing sambil menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati permainan gamelan yang ngerangin dan suara pesinden terkenal dari kotaraja Pajang yang lembut mengalun membawakan tembang asmaradana.
Terlihat Ki Juru Mertani, Pranata, Simo, para prajurit –prajurit lain, ada beberapa tumenggung, tetangga dekat dan punggawa –punggawa Pajang yang lain. Ki Juru Mertani berdiri mewakili pemerintah Pajang. Sementara Sukmo Aji duduk di pendapa diapit oleh Pranata dan Simo. Sedangkan para tamu dan undangan duduk di halaman. Di bawah tenda yang penuh hiasan berwarna – warni.
“ Malam ini merupakan malam gembira dan bahagia bagi Sukmo Aji. Siapa yang tidak kenal wiratamtama yang gagah berani yang setia dan tanpa ragu –ragu membela kehormatan Pajang “
“ Sekarang Sukmo AJi bukan wiratamtama lagi melainkan pangkatnya sudah dinaikkan menjadi tumenggung anom. Meskipun dapat dikatakan masih magang. Akan tetapi, sudah layak dan pantas dipanggil ki tumenggung “
“ Baiklah sambutan saya tidak panjang lebar yang penting adalah setelah pangkatnya naik rasa pengabdiannya tidak menjadi turun. Mudah –mudahan Sukmo Aji dan sanak kadang selalu mendapat limpahan berkah dari Yang Maha Kuasa dan hidup dalam ketentraman dan kebahagiaan “
Sorak sorai berpadu dengan tepuk tangan terdengar riuh rendah Cumiakkan gendang telinga. Sukmo Aji hanya tersenyum manakala Pranata menggodanya.
“ Mulai sekarang aku harus memanggil kakang dengan sebutan Ki Tumenggung. Apakah aku bisa? Kalau tidak bisa tentu Ki Tumenggung akan menghukumku dengan berat. Misalnya, disuruh menghabiskan nasi ranggi satu bakul di kedai sudut alun -alun “
“ Diam lah Pranata. Panggil aku seperti sebelumnya. Panggilan itu lebih enak dan akrab di telinga ku “
“ Baik, ki tumenggung eh…maksud ku kakang. Namun, sebaiknya kakang Sukmo segera mencari sisihan agar ada Nyi tumenggung nantinya “
Pranata menjawab sembari tangannya mengambil jenang alot yang ada di hadapannya. Namun, tiba –tiba tubuh Pranta agak terhuyung manakala Sukmo Aji dengan sengaja menyikutnya dengan pelan. Kedua prajurit itu kemudian berpandangan. Lalu keduanya sana –sama tersenyum.
Simo yang mendengar dan melihat hal itu membekap mulutnya sendiri. Menahan tawa yang hampir –hampir ingin meloncat dari rongga mulutnya. Menjelang dini hari acara telah usai. Para tamu undangan satu persatu minta diri untuk pulang ke rumahnya masing –masing. Sukmo Aji menyalaminya satu persatu dan mengucapkan sekedar rasa terimakasih atas tamunya yang telah sudi meluangkan waktu.
“ Sukmo Aji, aku pamit dulu. Waktu sudah menjelang dini hari. Besok ada banyak hal yang harus aku kerjakan bersama Pemanahan dan Penjawi”
“ Silahkan Ki Juru. Tetapi mohon, ampun Ki Juru. Ada sedikit hal yang ingin saya sampaikan “
“ Ah, kau Sukmo Aji. Silahkan, katakan apa yang ingin kau katakan. Jangan sungkan “
Sukmo Aji membetulkan posisi duduknya. Saat kemudian pemuda yang sekarang sudah menjadi Tumenggung Anom itu berkata.
“ Saya mohon ijin barang sepekan untuk meninggalkan Pajang. Saya ingin menjemput adik saya di Kedungtuban karena selama ini saya titipkan di rumah paman dan bibi “
Ki Juru Mertani mengangguk –anggukan kepalanya.
“ Apakah waktu sepekan cukup? Kedungtuban sangat jauh dari Pajang. Mungkin butuh waktu barang dua sampai tiga hari dengan berkuda. Itu kalau tidak ada hambatan di jalan”
“ Cukup Ki Juru, sepekan cukup bagi hamba untuk kembali lagi ke Pajang. Hamba sadar tugas yang hamba pikul sekarang dua kali bertambah lebih berat “
“ Baiklah Sukmo Aji, aku beri waktu kepadamu dua pekan dari hari keberangkatan mu. Kapan kau akan berangkat ke Kedungtuban? “
“ Besok. Saya akan langsung pergi Ki Juru “
“ Baiklah, aku merestui mu untuk pergi. Berhati –hatilah di jalan. Mungkin aka nada beberapa orang yang mengenali bahwa kau salah satu senopati Pajang. Tapi, aku berharap tidak akan terjadi apa –apa dengan mu di jalan “
“ Apakah kau tidak membawa pengawal, barang empat atau lima orang ?”
Ki Juru Martani bertanya, sembari pandangan matanya melirik kea rah Pranata dan Simo yang masih duduk di halaman beralaskan tikar pandan.
“ Lebih baik saya sendirian Ki Juru. Agar tidak terlalu mencolok “
“ Baiklah kalau begitu. Ada lagi yang ingin kau katakan? “
“ Tidak Ki Juru “
“ Aku mohon pamit Sukmo Aji. Temuilah aku begitu kau pulang dari Kedungtuban “
“ Sendiko dawuh Ki Juru “
Ki Juru Mertani lantas beranjak pergi. Ia berjalan ke arah dimana kudanya tertambat. Lalu dengan sigap lelaki paruh baya itu sudah berada di atas punggung kudanya. Tidak lama berselang Ki Juru Mertani sudah terguncang –guncang menaiki kuda menuju kediamannya.