Terdengarlah sebuah suitan nyaring. Suitan itu ternyata telah disahut oleh suara yang lain. Meskipun lamat-lamat namun masih juga terdengar sambutan yang lain lagi. Munggur menjadi tegang. Apalagi ketika Kertopati itu pun, dengan segera menyingsingkan kain panjangnya dan lengan bajunya. Kemudian ditariknya sebuah pedang pendek yang semula tersembunyi dibalik bajunya.
“Aku tidak dapat membawa keris pusaka ku dalam pakaian ini Dandun. Tetapi dengan pedang aku akan mampu membantu mu.”
Kertopati tidak menunggu jawaban. Ia pun segera berlari menghampiri Munggur. Sementara Dandun masih tergeletak di atas tanah. Tidak lama kemudian masih berdatangan beberapa orang yang lain berlari-lari naik tebing Kali Asat yang landai.
Ketika Sukmo Aji melihat tiga orang terkapar bersimbah darah. Pemuda itu berlari dan minta beberapa penduduk desa untuk membantu mengangkat yang terluka ke sebuah tempat yang lega. Di bawah pohon gayam yang sangat rindang.
Dengan cekatan Sukmo Aji memeriksa denyut nadi. Dia menggelengkan kepala. Lantas berkata, “ Dua orang telah tewas “
Sementara satu orang yang hidup segera mendapatkan perawatan oleh Sukmo Aji. Luka –luka yang terdapat di sekujur badan telah diboreh dengan ramuan yang selalu dibawa oleh Sukmo Aji di balik pakaiannya. Tidak lama darah yang merembes keluar sudah mulai berangsur –angsur mampat.
“Terima kasih Ki Sukmo. Kalau tidak ada Ki Sukmo tentu aku akan mati kehabisan darah.”
“ Sudahlah. Jangan kau pikirkan itu. Sekarang beristirahatlah. Aku harus membantu Kertopati meringkus rampok –rampok itu “
“ Tundun bawa dua orang teman mu kesini. Jaga pemuda ini baik –baik “
Orang yang bernama Tundun mengangguk. Lantas, memanggil kedua temannya untuk menjaga salah satu pemuda dari Canggah yang nyawanya bisa diselamatkan.
Sejenak kemudian arena itu menjadi semakin kisruh. Dan jumlah yang bertambah-tambah itu ternyata menjadi perhatian Munggur dan kedua kawannya, yang mengumpat-umpat tidak habis-habisnya didalam hati. Tetapi ternyata Munggur cukup cepat berpikir. Ia sadar bahwa sebentar lagi keadaan medan itu akan menjadi berbeda sama sekali, bahkan akan berbalik pihaknyalah yang harus mengalami tekanan-tekanan yang sangat berat.
Karena itu, selagi masih belum terlampau banyak orang-orang yang datang, maka Munggur pun segera mengambil keputusan. Keputusan yang betapapun liciknya, tetapi menguntungkan baginya. Sejenak ia memandang kedua kawannya yang masih berada di atas kuda. Agaknya masih sempat berlari meninggalkan arena. Karena itu, maka ia pun segera memberi isyarat kepada kedua kawannya dengan isyarat sandi. Isyarat yang hanya diketahui oleh mereka bertiga saja.
Sejenak kemudian kedua kawannya itu pun telah bersiap-siap. Mereka sudah memperhitungkan sejak semula, bahwa usaha melenyapkan diri yang paling baik adalah menyusup semak-semak yang lebat di tepian Kali Asat arah ke selatan menyusur tebing. Meskipun tebing itu tidak begitu curam, tetapi sulit bagi penunggang kuda untuk menembus semak-semak disela-sela batu karang pada tanah yang miring.
Demikianlah ketika Munggur memberikan isyarat sekali lagi maka mulailah mereka bergeser mendekati semak-semak. Pada saat yang tepat, Munggur pun segera meloncat masuk kedalam semak-semak bersama kedua kawannya. Kuda –kuda mereka terpaksa ditinggalkan. Munggur sendiri berusaha menahan Kertopati yang terus saja mencecar dengan pedang pendek yang mendesaknya terus.
Ketika kemudian Munggur lenyap pula di dalam semak-semak, sedang Kertopati dengan beberapa orangnya akan mengejarnya terus, dan bahkan kemudian Sukmo Aji pun telah meloncat mendekat pula.
“ Ayo kejar, jangan biarkan mereka lolos! “
Probo dan Baning tidak sempat meloncat lebih dari sepuluh langkah, karena lawan yang mengejarnya melemparkan keris, pedang yang mereka bawa. Bahkan, ada yang memungut bebatuan sebesar kepalan orang dewasa lalu melemparkan ke arahnya. Sebuah keris melesat dan berhasil menghunjam punggung Probo. Baning yang melihat hal itu, lantas mencoba bersusah payah memapah Probo. Melarikan diri dari kejaran orang –orang Pucang Kembar.
Belum lagi berhasil melintasi gerumbul-gerumbul perdu untuk melepaskan diri dari kejaran lawannya. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat beberapa ekor kuda yang menghambur datang kearah mereka. Mereka yang berkuda itu adalah sebagian pemuda Pucang Kembar yang telah dihimpun dengan tergesa-gesa di kademangan induk.
“ Kita terpojok Baning? Cepatlah kau terobos mereka, lalu larilah. Biarlah aku menahan orang –orang ini “
“ Tidak Probo, aku tidak akan meninggalkan mu sendirian dicincang oleh orang –orang ini. Biarlah kita hadapi berdua. jika memang kita ditadirkan mati disini. Setidaknya kita bawa beberapa orang ini untuk menemani kita ke neraka “
“ Kau siap? “
Probo mengangguk sembari menahan nyeri yang menggigit akibat keris yang masih menancap di punggungnya. Kedua lelaki dari kelompok rampok Kelabang Ijo ini lantas mengenggang pedangnya dengan erat. Sementara para pemuda dari Pucang Kembar yang berhasil menyusul mereka telah mengepung dengan rapat. Senjata terhunus dimasing –masing tangannya.
“Kumpulkan semua orang – orang Pucang Kembar disini. Ayo hadapi aku, inilah Baning dari Kelompok Kelabang Ijo.”
Baning dan Probo yang berdiri di tengah –tengah mereka, sekali lagi memandang setiap wajah di sekitarnya. Tiba-tiba Baning berkata nyaring. “Ayo, siapkan senjata-senjata kalian. Apakah kalian dapat menggerakkannya dengan baik?”
Tanpa dikehendaki, maka tiba-tiba tangan mereka yang berdiri di sekeliling Baning dan Probo mengacungkan senjata-senjata itupun segera tertuju ke arah dua orang yang berada di tengah –tengah kepungan.
“Nah, kalian ternyata sigap pula menarik senjata. Sekarang aku ingin tahu, apakah kalian mampu bermain-main dengan senjata-senjata itu ”, kali ini Probo yang berteriak.
Tetapi teriakan itu dijawab dengan serangan yang datang bertubi-tubi dengan sengitnya. Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dua orang melawan sepuluh orang dari kademangan Pucang Kembar. Probo dan Baning kemudian berkelahi dengan lincahnya melawan delapan orang. Ia menyangka bahwa ia akan dapat bermain-main dengan lawannya itu. Tetapi ternyata keadaannya berbeda dengan dugaannya. Orang –orang kademangan ini ternyata kemampuan kanuragannya menyerupai prajurit. Hanya satu dua dari mereka adalah orang-orang yang kurang baik. Namun yang lain adalah pemuda –pemuda yang cukup tangguh. Meskipun bukan orang-orang yang biasa berkelahi ataupun berperang.
“Hem,” desis Baning sambil meloncat-loncat, “ternyata kalian cukup terlatih. Karena itu, maka jangan lebih dari lima supaya aku dapat bermain-main dengan baik tanpa menyakiti kamu sekalian. Tetapi kalau di antara kalian tidak ada yang meninggalkan arena ini, aku terpaksa memaksamu.”
Tak seorangpun yang menjawab. Bahkan mereka bekerja semakin keras. Senjata-senjata mereka berganti-ganti sambar-menyambar tak henti-hentinya, sehingga semakin lama Baning semakin merasa bahwa sangat berat baginya untuk melawan sepuluh orang itu sekaligus. Apalagi keadaan Probo semakin kepayahan. Darah terus mengucur dari luka di punggungnya. Ia terpaksa sekali-sekali meloncat jauh ke belakang, kemudian dengan cepatnya melingkar dan menyerang seperti petir menyambar di udara.Lantas menghalau serangan ke arah Probo manakala kawannya itu tengah terdesak. Sepuluh orang itupun merasa, betapa besar tenaga dua orang rampok itu.
Namun betapapun kuatnya Baning dan Probo untuk melawan sepuluh orang sekaligus adalah berat baginya. Karena itu, ia kemudian terpaksa bekerja mati-matian. Sebab kesepuluh orang itupun bekerja dengan keras dan bertempur mati-matian pula.
“Sebenarnya aku tak ingin menyakiti kalian,” teriak Baning, “tetapi ternyata melawan kalian berspuluh adalah berat sekali. Kalian benar-benar pemuda yang tangguh. Karena itu, seandainya pedangku melukai salah seorang dari kalian, janganlah kalian menjadi sakit hati.”
Kata-kata itu sama sekali tidak mendapat perhatian. Bahkan dengan demikian orang –orang Pucang Kembar merasa, bahwa Baning merasa terdesak. Karena itu justru mereka memperketat tekanan mereka.
Baning yang merasa semakin terdesak akhirnya menjadi marah pula. Darahnya semakin lama benar-benar semakin panas. Apalagi ketika kemudian sebuah goresan melukai punggungnya. Luka itu, meskipun tidak seberapa, namun karena darah yang menetes, maka hati Baning telah benar-benar terbakar karenanya. Hilanglah kemudian segala pengamatan diri. Amarahnya tersulut, bagai api yang diguyur oleh minyak jarak.
Dan dengan demikian maka salah satu anggota rampok Kelabang Ijo itu menggeram dengan dahsyatnya. Sekali ia meloncat dengan lincahnya beberapa langkah surut, namun kemudian dengan cepatnya ia melingkar, menyerang menyambar-nyambar dengan sengitnya. Perkelahian itu segera meningkat dengan cepatnya. Semakin lama semakin dahsyat. Masing-masing pihak telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Orang –orang Pucang Kembarpun kemudian merasa, bahwa kekuatan gabungan itu dapat mengimbangi kelincahan Baning dan kawannya yang tengah terluka itu.
Tetapi untuk mengalahkan, menangkap atu membinasakan adalah sulit sekali. Baning itu benar-benar seperti anak setan. Sekali ia menerobos di antara lawan-lawannya, namun kemudian melontar dan menyerang dari sisi dan belakang mereka. Kalau gempuran orang –orang itu berusaha untuk mengepungnya, maka usaha itu selalu gagal. Baning mampu meloncat dengan jarak yang tidak dapat mereka jangkau dengan loncatan dan senjata. Maka Baning itupun kemudian sampai pada puncak permainannya. Rasa nyeri di punggungnya telah memaksanya untuk mendendam dan mengobarkan amarah.
Karena itu, maka sesaat kemudian, terdengar sebuah keluhan tertahan. Karena itu ia tidak segera dapat bertempur. Dipapahnya orang itu menepi dan disandarkan pada sebuah batu padas yang banyak terdapat disekitar tempat itu. Namun ketiga kawan-kawannya yang lain telah meloncat pula mendahuluinya memasuki arena. Baning yang melihat kehadiran keempat orang baru itu menjadi semakin marah. Dengan sekuat tenaga ia berhasil mengurangi satu lawan. Namun yang empat itu pasti lebih baik dari yang seorang yang terlempar dari perkelahian itu.
“Kalian benar-benar jemu hidup,” teriak Baning. “Ternyata kalian tidak mau mendengar permintaanku. Karena itu, aku tidak akan dapat menahan ujung senjataku.” “Persetan dengan kesombonganmu. Ternyata kau tidak akan dapat keluar dari tepi Kali Asat ini, sehingga kau akan berkubur di sini,” sahut salah seorang jagabaya. Namun suaranya itu disaut oleh sebuah teriakan. Satu lagi kawannya terluka.
Telinganya tergores pedang Baning, sehingga hampir putus. Tetapi dengan demikian yang akan dapat terjadi. Dengan demikian perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah menumpahkan segenap kamampuan yang ada pada diri mereka. Baning yang hanya seorang itupun, tenpaksa memeras kesaktiannya. Untunglah ia adalah kawanan rampok Kelabang Ijo yang namanya kawentar dan menakutkan setiap orang yang mendengarnya. Namun melawan sekian banyak orang, maka akhirnya ia mendapat kesulitan juga. Bahkan nyawanya kini terancam.
Disisi lain Probo semakin lemah, berkali –kali sabetan pedang, hujaman keris atau pun tombak dari orang –orang yang mengeroyoknya melukai sekujur tubuhnya. Semakin lama tenaganya semakin terperas bersamaan dengan darah yang terus mengucur dari luka –lukanya yang arang kranjang. Tubuhnya terjungkal manakala sebuah landean tombak menggedor dadanya. Tubuh salah satu anak buah Kelabang Ijo itu tersungkur. Dan kemudian menghembuskan nafasnya untuk penghabisan.
Tetapi perkelahian itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring. Teriakan itu demikian kerasnya, sehingga hampir -hampir memecahkan telinga mereka. Meskipun mereka sedang bertempur dengan dahsyatnya, namun suara itu dapat menembus ke dada mereka.
“Berhenti, berhenti !” berkata suara itu melengking-lengking.
Semua orang di dalam arena berloncatan mundur. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Keretopati dengan wajah yang tegang, dan mata yang tajam memandangi mereka satu per satu.