Sukmo Aji terhuyung-huyung berjalan mendekati sebuah pohon besar yang rebah di tepi jalan Nafas Sukmo Aji semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar seperti orang kedinginan. Dan sekali-sekali tangannya meraba luka pundaknya. Luka itu tidak terlalu dalam, namun sebenarnya tidak begitu berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir. Lantas pemuda itu duduk dan mengambil bungkusan kecil yang ia simpan di balik lipatan baju.
Mengandalkan cahaya bulan yang mulai menyembul di cakrawala Sukmo Aji mulai membalurkan serbuk obat itu di bagian pundaknya yang terluka. Setelah darah mulai mampat. Sukmo Aji segera duduk bersila. Matanya terpejam. Nafasnya yang tadi memburu perlahan mulai mengendur. Aliran darahnya yang tadi mengalir sangat cepat berangsur normal kembali. Sesaat lamanya Sukmo Aji mengembalikan tenaganya. Tenaga dalam mengalir ke sekujur pembuluh darahnya. Mata nya terbuka manakala di kejauhan terdengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Dan terlihat juga titik –titik api dari obor yang dibawa oleh orang –orang berkuda itu.
Suara derap kaki kuda semakin mendekat. Di bawah cahaya rembulan yang pucat terlihat beberapa penunggang kuda sembari membawa beberapa obor di tangan mereka. Orang –orang berkuda itu adalah para pemuda Pucang Kembar yang di pimpin oleh Kertopati. Penunggang kuda yang paling depan lantas turun dari kuda. Diikuti oleh yang lainnya. Sejenak kemudian para pemuda itu pun telah berkumpul mengerumuni Sukmo AJi yang masih duduk bersila.
Kertopati mendekati Sukmo Aji. Sambil berjongkok disebelahnya ia berkata, “Bagaimana dengan keadaan mu Sukmo Aji? Sepertinya bahu mu terluka. Dan apakah penyusup itu dapat ditangkap?”
Sukmo Aji yang masih duduk diatas sebuah batu merenung sejenak, lalu sambil menggeleng ia menjawab, “ Terima kasih Kertopati. Aku tidak apa –apa. Luka ini akan segera kering. Tetapi aku minta maaf. Orang –orang itu terbunuh. Termasuk salah seorang yang sudah menyusup ke kademangan. Dan harapan satu- satu orang diantaranya dapat meloloskan diri “
“ Kelabang Ijo ternyata seorang gegedug rampok yang cerdik. Perhitungannya jauh ke depan. Siasatnya jitu mampu membaca keadaan. Sangat berbahaya sekali untuk Pucang Kembar. Apalagi ada Pangestu yang sangat mengenal seluk –beluk kademangan”
Kertopati menarik nafas panjang. Kepalanya tengadah memperhatikan bulat pucat yang belum sempurna bulat itu yang kadangkala tersaput awan tipis.
“ Lantas apa yang akan kita lakukan sekarang Sukmo Aji? Ada baiknya kita kembali dulu ke Pucang Kembar. Kau butuh waktu untuk beristirahat dan merawat luka di pundak mu itu “
“ Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepadamu Kertopati. Tetapi kita tidak boleh berhenti seperti ini. Kita akan meneruskan perjalanan, kita ikuti jejak penyusup yang melarikan diri itu. Aku yakin sarang kelompok Kelabang Ijo tidak begitu jauh lagi dari tempat ini. Sembari menunggu laporan Wisang yang telah melakukan tugas sandi mendahului kita “
“ Baiklah kalau itu pilihan yang terbaik. Kita bersepuluh disini. Agar tidak mencolok dan kita bisa menyusup diam –diam kuda –kuda ini tinggalkan saja di tempat ini “
Sukmo Aji mengangguk. Lantas pemuda itu berdiri dan menyelipkan tombak kecilnya di belakang pinggang. Pemuda –pemuda dari Pucang Kembar dengan cekatan mengikat kuda –kuda tunggangan di belakang pohon rindang tidak jauh dari tempat itu. Kuda –kuda itu nampaknya juga sangat letih. Beberapa ekor kuda itu langsung duduk sembari mengunyah rumput yang tumbuh subur.
Sebuah iring –iringan besar tampak berjalan pelan. Di barisan paling depan sekitar belasan penunggang kuda duduk dengan gagahnya. Di tengah iring –iringan itu nambah beberapa gerobak yang di tarik oleh para lelaki dengan tampang –tampang kasar. Sementara dibagian belakang sendiri puluhan orang berjalan. Demikian mereka meninggalkan perbukitan itu, dan menempuh separo perjalanan, maka mereka telah melihat bayangan api yang mewarnai langit.
“Kebakaran” desis salah seorang pemimpin dari kelompok itu.
“Tentu perkemahan kita” geram seorang kawannya, “tentu orang-orang gila dari Pucang Kembar yang telah membakar perkemahan kita ”
“ Kelabang Ijo apakah kita akan mengejar mereka? “
Seorang lelaki tinggi kekar menarik tali kekang kuda tunggangannya. Lantas iring –iringan itu berhenti.
“ Jangan bodoh. Biarkan saja orang –orang Pucang Kembar itu untuk sementara waktu menikmati kemenangan kecilnya. Sebentar lagi saat mereka lengah kita serbu Pucang Kembar. Alap –alap sudah memberikan pengamatannya. Sangat disayangkan Munggur yang aku susupkan akhirnya kemanungsan dan terbunuh oleh orang –orang Pucang Kembar”
“ Mengenai seluk beluk kademangan itu tentu kau lebih paham. Kau sudah siap Pangestu? “
Orang yang disebut Pangestu itu menyeringai.
“ Aku sudah tidak sabar berhadapan dengan demang tua itu. Marilah kita lanjutkan perjalanan. Kita kan mencari tempat yang aman dan tidak mencurigakan orang –orang Pucang Kembar”
Rombongan itu kemudian berjalan lagi meneruskan perjalanan menembus pekatnya malam yang semakin larut.