Kidung Diatas Tanah Jawi episode 3

Gatra 3

RIUHNYA suara para remaja di tanah lapang sebuah banjar desa ramai bukan kepalang. Pada saat matahari mulai memanjat langit, maka seorang pemuda tanggung segera membuka permaianan itu. Dengan sebuah kapak diputusnya tali yang mengikat pemukul bende disudut lapangan. Kemudian seseorang yang telah ditentukan memungut pemukul bende itu, dan dengan bunyi yang berdengung-dengung bende itu bergema.

Sekali, dua kali dan kemudian tiga kali. Dengan diiringi oleh tepuk tangan yang seakan-akan memecahkan selaput telinga, maka permainan segera dimulai. Beberapa orang remaja berjalan ke tengah lapangan sembari menjinjing busur dan sebuah endong anak panah yang menempel di punggung.

Dihadapan mereka beberapa tombak tergantung sasaran yang harus mereka kenai. Sasaran itu dibuat dari jerami yang dibalut dengan kain. Menyerupai wujud manusia. Terdiri dari tiga bagian. Kepala, leher, dan badan. Para peserta akan mendapatkan nilai terbesar jika dapat mengenai sasaran kepala. Ketika bende berbunyi, maka perlombaan itupun dimula. Setiap peserta memiliki lima buah anak panah. Dan oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai tertinggi diantara mereka. Apabila anak panah mereka mengenai kepala, maka berarti mereka akan mendapat nilai lima. Leher tiga nilai dan badan dua nilai.

Sesaat kemudian meluncurlah anak panah yang pertama diikuti oleh sorak para penonton. Namun sayang, panah itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak panah yang kedua, ketiga. Namun ketiga anak panah itu menyentuh sasaranpun tidak. Penonton bersorak-sorak kembali ketiga anak panah yang keempat kemudian tepat mengeni leher sasaran.

Maka penontonpun berteriak-teriak lebih keras. Penonton menjadi tegang ketika meluncur anak panah yang kelima. Dan meledaklah sorak para penonton. Bukan karena mereka menjadi kagum anak panah itu, melainkan mereka mentertawakan karena anak panah itu lagi –lagi meleset dari sasaran. Namun tak seorangpun yang dapat menggemparkan penonton karena bidikan-bidikannya yang tepat. Sekali dua kali ada juga diantara mereka yang mengenai sasaran.

Namun diantara lima anak panah itu, maka paling banyak dua diantaranya yang dapat mengenai sasarannya. Ketika kemudian sampai pada giliran seorang pemuda tanggung maju dengan anak panahnya, maka penonton menjadi gempar. Pemuda ini memiliki tubuh yang tegap dan lebih besar dari kawan sebayanya. Baju yang dikenakan pun terlihat lebih mewah. Pemuda ini benama Suradal. Anak seorang bekel di kademangan Kedungtuban.

Pandangannya tajam menyapu ke seluruh lapangan, ke penonton arah luar arena yang dibatasi menggunakan gawar dari tali rawe. Sejurus kemudian gandewa mulai diangkat, tali busur mulai direntangkan. Maka, anak panah yang pertama yang dilepaskan oleh Suradal benar-benar telah menggemparkan penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali bidik Suradal telah mengguncangkan sasaran dengan mengenai bagian badannya.

Kegemparan penonton menjadi semakin riuh, ketika panah Suradal yang kedua dapat mengenai leher. Ketika Suradal menarik tali busurnya yang ketiga kalinya, maka terdengarlah suara riuh disekitar arena.

“Naik sedikit Suradal, naik sedikit”

Dan meledaklah sorak para penonton seakan-akan memecahkan selaput telinga ketika anak panah Suradal itu benar-benar mengenai kepala. Suradal itupun kemudian berhenti sesaat. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka sekali lagi lapangan itu diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi anak panah Suradal mengenai kepala.

Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika anak panah Suradal yang kelima yang terbang dari busurnya dengan kecepatan penuh, hanya menyerempet kepala sasaran, namun tidak hinggap padanya, sehingga dengan demikian, anak panah itu dianggap tidak mengenai sasaran. Suradal memandangi anak panah yang kelima dengan penuh kejengkelan.

Katanya sambil bertolak pinggang. “He, kenapa kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau berpaling sedikit saja, maka anak panah itu akan hinggap di kepalamu”

Namun kemudian telah terdengar bende untuk peserta berikutnya. Kini mulailah beberapa pemuda tanggung barganti –gantian tampil. Dan peserta terakhir adalah seorang pemuda tanggung dengan badan tegap namun tidak terlalu kekar. Pemuda itu tersenyum ke arah penonton. Sempat melirik ke arah seorang gadis yang tampaknya sangat menunggu penampilan pemuda itu untuk tampil.

Tetapi ternyata pemuda peserta terakhir adalah pemanah yang baik. Sejak ia melepaskan anak panahnya yang pertama, maka ia telah menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya yang pertama ternyata langsung mengenai kepala. Demikianlah anak panahnya yang kedua. Ketika ia menarik tali busurnya untuk yang ketiga kalinya dengan berdebar-debar penonton menanti. Dan sekali lagi meledaklah sorak yang gemuruh. Panah ketiga itupun mengenai kepala sasaran pula. Demikianlah para penonton menjadi semakin tegang.

Sekali lagi para penonton berteriak-teriak sekuat-kuatnya ketika anak panah yang keempatnya hinggap dikepala. Dengan demikian ketegangan diarena itu menjadi semakin memuncak. Keempat anak panah yang telah memenuhi kepala orang-orangan itupun dicabutlah untuk memberi tempat seandainya anak panah yang kelima inipun akan mengenainya pula. Dan lapangan itu seakan-akan menjadi benar-benar runtuh ketika penonton menyaksikan anak panah kelima yang lepas dari busur si pemuda.

Anak panah itupun tepat pula mengenai kepala orang-orangan itu. Sehingga dengan demikian pemanah itupun telah menunjukkan kesempurnaan bidikannya. Bukanlah karena kebetulan ia dapat mengenai kepala sasaran. Namun sebenarnyalah memang pemuda tanggung itu adalah pembidik yang baik. Ketika kemudian terdengar bende berbunyi, masuklah seorang pemuda berperawakan tinggi kurus masuk ketengah-tengah arena.

Dengan tersenyum-senyum ia memberi ucapan selamat kepada peserta terakhir, katanya “Gading, ternyata kau menyembunyikan kemampuan bidik mu dari kita semua orang –orang Kedungtuban. Apa yang dapat kau kerjakan? Tak ada yang dapat berbuat lebih baik seperti yang kau lakukan”

Pemuda peserta terakhir yang bernama Gading itupun tersenyum. Namun ia tidak menjawab. Ketika ia bergeser dari tempatnya, ia terkejut manakala terdengar suara bentakan di belakangnya.

“ Dia belum dapat dikatakan menang mutlak dan mengalahkan aku “

Gading membalikkan badan, ia melihat mata Suradal menyala-nyala. Dan Suradal itu langsung berjalan kearah Gading. Dengan langkah yang tetap namun tergesa-gesa, seakan – akan ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap. Suradal kemudian berhenti hanya beberapa langkah saja dimuka Gading. Dengan wajah tegang dipandanginya wajah Gading. Gading masih saja berdiri ditempatnya. Betapapun dadanya berguncang, namun dicobanya juga menguasai dirinya. Bahkan kemudian dilihat juga gadis yang dilirik tadi yang memandangnya dengan penuh ketegangan. Suasana yang tadinya hingar bingar sontak menjadi sunyi penuh ketegangan.

Seperti guruh menggelegar dilangit, Gading itu mendengar Suradal berkata parau.
“Mari kita berperang tanding, biarlah orang –orang di Kedungtuban tahu. Aku Suradal anak bekel Suto Lumpang yang menang atau kau Arya Gading !”

Gading menggigit bibirnya. Namun kemudian Arya Gading menjawab “Aku tidak akan berperang tanding melawan mu kakang Suradal”

Suradal mengerutkan keningnya. Kemudian anak muda itu tersenyum masam, “Jangan menjadi pengecut kau Gading. Apa kata orang –orang jika mendengar hal ini. Adik seorang senopati terkenal di Pajang tinggal gelanggang colong playu ”

Arya Gading menarik nafas panjang.

“Aku tidak berhasrat kakang. Baiklah, aku akan mengundurkan diri saja dari pertandingan ini ” sahut Gading.

Mata Suradal menjadi semakin menyala. Dan hati Arya Gading menjadi semakin kecut karenanya. Bukan karena ia takut melawan pemuda itu. Namun, ia sadar tidak ada gunanya berurusan dengan anak bekel Kedungtuban. Masalah tentu akan melebar kemana –mana dan berlarut –larut. Tanpa menoleh lagi Gading meninggalkan arena.

” Anak pengkhianat! Kalau kau tidak menerima tantangan Suradal. Silahkan angkat kaki dari kademangan ini!” kata seorang remaja yang berbadan gemuk namun pendek. Pemuda gemuk ini berdiri di samping Suradal.

“Kami tidak ingin terkena bebendu karena di kademangan ini tinggal anak turun seorang pengkhianat !” timpal seorang anak lagi.

Terdengar suara anak-anak tertawa dan mencemooh. Seorang anak lain berteriak, ” Atau kami akan mengusirku juga dari kedemangan ini sekarang juga!”

Gading menghentikan langkah kakinya. Hatinya menjadi sakit dengan cemoohan anak pengkhianat. Ingin sekali ia berbalik arah dan menghajar anak –anak itu satu persatu. Namun, ia masih mencoba untuk menguasai diri. Agar tidak membuat masalah yang berkepanjangan dengan Suradal dan teman –temannya itu.

” Lekas menyingkir dari sini! Kalau tidak akan kami hajar dan melemparkan tubuhmu ke dalam kedung di tepi kademangan agar kau mati dicabik-cabik dimakan buaya!”

“Kawan-kawan! Anak pengkhianat ini benar-benar ingin kita hajar dan cemplungkan ke dalam kedung!”

Seorang anak berteriak ketika dilihatnya Gading masih berada di lapangan. Beberapa remaja tanggung segera bergerak mendekati.

Melihat hal ini Gading terkejut. Cepat – cepat ia melangkah ke tepi arena sambil berkata, “Kalau kalian tidak suka aku ada disini tak jadi apa. Biar aku akan pulang saja…”

“Ayo pergi dari sini!”

Anak lelaki itu memandang sayu dengan sepasang matanya, lalu perlahan-lahan dia melangkahkan kaki tubuh hendak meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba ada suara anak perempuan berkata, “Gading, jangan pergi dulu…!”

Gading hentikan langkahnya dan berpaling. Dia tersenyum ketika melihat wajah mungil yang manis itu. Menyeruakan di antara kerumunan dan mendekatinya.

“Ada apa Sulastri?”

Anak perempuan bernama Sulastri menjawab, “Kau tetap disini saja Gading. Aku mau bertanya pada anak sombong dan tidak tau paugeran itu!” Lalu anak perempuan ini melangkah ke tengah lapangan, langsung menghadapi Suradal yang rupanya memang dianggap sebagai pimpinan oleh anak-anak yang ada di kademangan itu.

“Suradal, kami semua jadi saksinya. Kau telah kalah dalam pertandingan tadi. Harusnya kau legowo mengakui kekalahannmu. Akan tetapi, mengapa kau dan kawan-kawanmu tidak mau menerima kekalahan itu. Kenapa kalian seculas itu?!”

Bola mata Suradal yang besar tampak membeliak. Lalu dia berpaling pada kawan-kawannya. Dan meledaklah tawa anak-anak itu.

“Cah ayu ini hendak bertindak sebagai pembela rupanya! Sudah lah Nduk, pulang saja ke rumah. Ki demang tentu sedang mengunggu mu”, berteriak seorang anak.
Suradal letakkan kedua tangannya di pinggang lalu berkata, “Kami tidak suka dia menolak tantangan ku untuk berperang tanding. Seolah –olah anak itu telah menang. Tentu ia akan menepuk dada dengan bangga telah mengalahkan Suradal dalam pertandingan memanah “

“ Perlu kau ketahui Sulastri. Kademangan kita ini nantinya akan jadi kademangan yang besar dan menjadi landasan pasukan Jipang untuk merebut hak nya yang dirampas oleh Karebet. Apa kata orang jika di kademangan ini menyimpan anak seorang pengkhiat “

“ Kami tidak sama dengan dia. Kami anak-anak dari orang tua baik-baik yang menjunjung kesetiaan kepada negeri, negeri Jipang Panolan. Sedang dia! Ayahnya dan kakak lelakinya sama -sama mengabdi ke Pajang. Jadi gedibalnya Karebet si tukang piara kuda mendiang Sultan Trenggono! Lihat saja sekarang ayahnya sudah mati akan tetapi, kakak bocah itu masih mengabdi di Pajang. Mengapa dia tidak berpihak pada Jipang, pada tanah tumpah darahnya, berpihak pada cita –cita Gusti Haryo Penangsang?!”

Gelak tawa menyusul ucapan Suradal itu.

Paras Sulastri tampak merah sementara Gading hanya bisa tegak tertegun. “Mulutmu keji Suradal! Bagaimana kau bisa bicara sejahat itu! Itu perkara orang – orang dewasa, kita masih terlalu muda untuk apa mengurusi masalah jelimet seperti itu ? Apakah ayah atau Ibumu yang mengajarkan?!” bertanya Sulastri.

“Tidak ada yang mengajariku cah ayu! Tapi semua orang di kademangan Kedungtuban tahu kalau keluarga Gading adalah pengkhianat! Bukan begitu kawan-kawan…?!”

“Betul…” jawab semua anak kawan –kawan Suradal.

“Kalian semua sama jahatnya!” teriak Sulastri.

Saat itu Gading mengulurkan tangan menarik lengan anak perempuan itu seraya berkata, “Sudahlah Sulastri. Biarkan saja mereka. Mari kita tinggalkan tempat ini!”

“ Kawan-kawan! Lihat anak pengkhianat ini hendak mengajak Sulastri pergi. Hati-hati kau Sulastri. Pasti kau akan menjadi pengkhianat juga!” berkata Suradal.

“Sulastri, mari…” Gading tarik tangan Sulastri.

“Kau pergilah duluan. Aku akan memberi pelajaran kepada anak lelaki yang sombong ini. Mentang-mentang anak seorang bekel dan menjadi tangan kanan ki demang Kedungtuban !”
Karena Sulastri tak mau diajak pergi maka terpaksa Gading tetap pula tegak di tempat itu.

“Sulastri, mari kita pergi. Jangan layani mereka. Tak ada gunanya. Mereka menganggap aku hanya seorang anak pengkhianat. Jangan sampai mereka juga mempermalukanmu!” Kata Gading.

Lalu kembali ditariknya lengan anak perempuan itu. Sebenarnya saat itu Sulastri sudah mau mengikuti kata-kata Gading dan meninggalkan tempat itu. Justru saat itu Suradal menarik tangan Sulastri dengan keras dan kasar hingga anak perempuan ini menjerit kesakitan.


Kidung Diatas Tanah Jawi

Kidung Diatas Tanah Jawi

Score 8
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Setelah kerajaan Demak semakin suram dan tinggal menunggu tenggelam dalam timbunan sejarah. Munculah kerajaan baru di atas tanah Jawa, kerajaan itu bernama Pajang rajanya adalah menantu Sultan Trenggono sendiri. Raja Demak yang terakhir. Pada masa mudanya dia terkenal dengan nama Joko Tingkir dan setelah menjadi raja beliau bergelar Sultan Hadiwijoyo. Seluruh pusaka kerajaan Demak akhirnya diboyong ke Pajang. Wahyu keraton sudah berpindah tangan. Sebagai pembuktian dirinya sebagai raja yang besar dan kuat Sultan Hadiwijoyo mengerahkan bala pasukannya dengan kekuatan empat puluh ribu prajurit yang terlatih.Pajang mulai menyerbu kerajaan –kerajaan di Jawa Timur. Sultan Hadiwijoyo sendirilah yang memimpin pasukan. Beliau duduk di atas punggung gajah perang yang diberi nama Kyai Liman sambil tangan kanannya mencengkeram tombak pusaka Kyai Pleret. Beliau didampingi oleh para panglima perang yang tangguh seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Juru Mertani, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilomerto, Tumenggung Cokroyudo, Tumenggung Gagak Seta dan para wiratamtama prajurit Pajang yang bilih tanding.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset