Melihat Cangkil terbunuh. Meledaklah sorak-sorai yang membahana, seolah-olah mengalir di sepanjang jalan di sisi desa itu. Sesaat kemudian mereka melihat obor – obar yang beterbangan menuju kekancah pertempuran itu.
Kemudian di antara sorak yang menggelegar itu terdengar suara lantang, “Cangkil telah gugur.. Cangkil telah gugur.. Cangkil telah gugur! “
Suara itu membahana berulang –ulang. Namun demikian, kawanan rampok yang dipimpin oleh Cangkil ini tidak serta merta menjadi gentar. Mereka sendiri itu telah siap mengorbankan apa saja yang ada pada mereka. Karena itu, maka betapapun besarnya bahaya yang mengancam, namun mereka sama sekali tidak gentar. Bahkan dengan demikian, mereka segera menyerbu musuh-musuh mereka, mengamuk sejadi-jadinya. Serudak –seruduk bagaikan celeng ketaton.
Hal itu sekejap membuat pemuda pemuda dari Pucang Kembar kerepotan dan sedikit terpukul mundur. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Dengan demikian, maka pertempuran di ujung kademangan Pucang Kembar itu segera berkobar dengan dahsyatnya. Sukmo Aji pun segera memimpin pertarungan itu. Tubuhnya dengan ringin meloncat kesana –kemari. Beberapa kawanan rampok berusaha mengurungnya. Hanya dalam hitungan dua jurus para pengepungnya kocar –kacir menyelamatkan diri. Sisanya terluka dan ada juga yang terbunuh.
Di tempat lain Kertopati beserta sebagian pasukannya dengan tergesa-gesa mereka
berloncatan di atas parit-parit dan pematang supaya mereka segera sampai ke kademangan induk Pucang Kembar. Ketika mereka melihat nyala obor yang menerangi daerah sekitar gardu selatan itu hati mereka menjadi berdebar-debar. Rupanya pasukan lawan benar-benar telah sampai ke Pucang Kembar. Tanda bahaya yang menggema di seluruh kademangan, telah mendorong mereka untuk berjalan lebih cepat. Karena itu kemudian mereka tidak saja berjalan cepat-cepat, namun mereka telah berlari-larian berebut dahulu.
Demikian mereka memasuki Pucang Kembar. Maka Kertopati segera memerintahkan kepada pasukannya untuk mempengaruhi pertempuran itu dengan caranya. Pasukan yang dibawanya itu segera bersorak dengan riuhnya.
Ternyata usaha Kertopati itu pun mempunyai pengaruh pula. Segelintir pemuda cadangan yang lebih dahulu telah terlibat dalam pertempuran yang di pimpin oleh Sukmo Aji itu menjadi berbesar hati, sehingga karena itu maka perlawanannya menjadi semakin seru. Meskipun saat-saat itu tidak terlalu panjang, namun saat-saat itu adalah saat-saat yang menentukan. Tekanan yang berat dari pasukan Cangkil, hampir-hampir menjebolkan pasukan cadangan itu.
Apabila demikian, maka arus mereka benar-benar akan melanda kademangan. Sehingga kademangan dan seluruh Pucang Kembar pasti akan menjadi geger. Sukmo Aji pun tampak kerepotan dicecar oleh pasukan yang seperti mengalir tidak berkesudahan.
Beberapa orang dari pasukan Cangkil itu telah siap untuk langsung menerobos masuk ke Pucang Kembar. Namun karena sorak sorai yang riuh itu, serta nyala api obor yang meluncur dengan cepatnya ke daerah pertempuran, terpaksa mereka mengurungkan niat itu.
Mereka menunggu sementara apa yang akan terjadi. Pimpinan pasukan pengganti Cangkil yang melihat perubahan di dalam tata pertempuran itu segera mengatur anak buahnya. Mereka yang telah bersiap untuk langsung masuk ke jantung Pucang Kembar segera ditariknya kembali.
Sesaat Kertopati melihat pertempuran itu. Ia melihat beberapa orang pasukanya menebar. Mengambil arah yang tepat, langsung menghadapi pasukan Kelabang Ijo. Beberapa orang di antaranya memegang obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Sedang beberapa orang yang lain berusaha melindunginya. Karena itu maka pertempuran itu pun bertambah ribut pula. Obor-obor berhamburan kian kemari pada kedua belah pihak. Sedang kawan-kawan mereka sibuk mempertaruhkan nyawa mereka.
Gemerincing pedang di antara pekik sorak gemuruh membelah sepi malam. Sekali-sekali terdengar sebuah jerit yang membumbung tinggi. Tajam pedang berkilat-kilat dalam sinar obor yang kemerah-merahan. Tetapi warna merah itu telah bertambah merah karena darah yang tertumpah.
“Perang brubuh” desah Kertopati, “keduanya tidak lagi pasang gelar.
Kertopati melihat diantara riuhnya pedang, tampaklah seseorang yang meloncat-loncat dengan lincahnya. Sekali-sekali sejatanya yang berupa tombak pendek terjulur dan kemudian terayun deras sekali.
Kertopati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sukmo Aji memang seorang ksatria yang pinunjung” desisnya. “Dikeroyok sekian banyaknya orang masih mampu bertahan”
Kekaguman Kertopati tidak bertahan lama. Tiba –tiba dari gerumbulan semak muncul seorang pemuda. Tanpa menunggu lama pemuda dengan ikat kepala merah itu mengamuk sejadi –jadinya. Pedang di tangan kanan dan sebuah bindi di tangan kanan. Berputar –putar mencari mangsa. Beberapa pemuda dari Pucang Kembar terlempar ke luar arena dengan luka parah. Kertopati tidak dapat membiarkannya pemuda itu menyambar-nyambar di antara pasukannya. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia meloncat langsung menghadapi pemuda misterius yang baru datang itu.
“He” pemuda itu terkejut ketika ia melihat Kertopati hadir dalam pertempuran itu.
Kertopati kini telah tegak di hadapannya dengan sebuah keris yang merupakan pusaka andalannya. Keris dengan luk tujuh belas yang tidak terlalu tajam, namun ujungnya runcing seruncing ujung jarum.
“Siapa kau?” Berkata pemuda itu.
“Sekarang kau telah berhadapan dengan Kertopati. Menyesal bahwa pertempuran kita kali ini tidak terlalu leluasa.” Sahut Kertopati.
Pemuda itu menggeram. Matanya mencorong tajam menatap ke arah Kertopati.
“ Ternyata kau yang bernama Kertopati. Orang yang harus diwaspadai. Begitu kata seorang kawan lama mu itu Kertopati?”
“ Siapa yang kau maksud teman lama?”
Pemuda itu berkacak pinggang lantas tertawa terbahak –bahak.
“ Pangestu. Tentu kau belum melupakan orang itu? “
Kertopati mengangguk –angguk.
“ Jadi kau begundalnya Pangestu. Si pengkhianat itu? “
“ Marilah Kertopati kita mulai permainan ini. Terus terang aku penasaran ingin menjajal sehebat apa kanuragan mu. Dan setajam apa keris di tangan kanan mu itu. Hadapi aku Alap –alap Abang”
Kertopati bergeser setapak. Di sekitarnya pertempuran masih berkecamuk. Namun mereka seolah-olah sama sekali tak menghiraukan kedua pemimpin yang asyik bercakap-cakap itu.
Tetapi kini mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi.
Mereka masing-masing telah mengangkat senjatanya masing -masing, dan terdengar Alap -Alap Abang itu berkata, “kau harus mati dulu Kertopati. Pasukanmu akan buyar dengan sendirinya.”
“ Mari kita buktikan. Aku atau kau” sahut Kertopati.
Alap -Alap Abang tidak menjawab. Digerakkannya pedangnya sambil berkata, “apakah dadamu sudah berperisai baja.”
Kertopati menyilangkan kerisnya di muka dadanya sambil, menjawab, “Inilah perisaiku.”
Alap -Alap Abang sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada menyelesaikan dahulu orang ini, pemimpin pasukan Pucang Kembar itu. Dengan demikian maka pasukan Pucang Kembar itu akan menjadi tercerai berai dengan sendirinya. Apalagi kalau pasukan Kelabang Ijo kemudian datang melanda kademangan yang sedang ketakutan itu maka semuanya akan segera selesai.
Meskipun ia menjadi cemas juga melihat perkembangan pertempuran itu.
Karena itu maka segera ditundukkannya pedangnya. Dengan gerakan pendek dijulurkannya pedang itu ke dada Kertopati. Gerak Alap -Alap Abang itu menjadi isyarat dari suatu perkelahian yang akan menjadi dasyat sekali. Sebab Kertopati kemudian mundur selangkah sambil menangkis dengan kerisnya. Sentuhan dari kedua senjata itu untuk yang pertama kalinya, disusul dengan sentuhan-sentuhan yang berikutnya. Semakin lama menjadi semakin dasyat. Bunga api tampak memercik manakala dua senjata tajam itu berbenturan dengan keras.
Dan berkobarlahh pertempuran antara Kertopati dan Alap -Alap Abang itu. Kedua-duanya adalah pendekar yang bilih tanding. Karena itu maka perkelahian itu segera menjadi perkelahian yang sengit. Alap -Alap Abang pernah mendengar keteguhan perlawanan Kertopati dari Pangestu sehingga ia dapat membandingkannya dengan apa yang pernah dilihatnya atas orang itu dahulu.
Kini mereka berhadapan dalam satu pertempuran. Dan ternyata apa yang telah didengar oleh Alap-Alap Abang itu sebenarnyalah demikian. Alap -Alap Abang terpaksa mengagumi ketangguhan lawannya, sedang Kertopati terpaksa berhati-hati karena ketrampilan Alap -Alap Abang itu benar-benar mengherankan. Dan dari Pangestu ia mendengar bahwa dalam barisan Kertopati itu pula terdapat seorang anak muda dari Pucang Kembar yang bernama Sukmo Aji. Alap -Alap Abang menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan salah satu di antara keduanya.
Ditengah pertempuran keduanya itu. Kertopati memanggil seorang pemuda yang berjaga –jaga tidak jauh dari arena pertempuran dengan satu isyarat Kertopati memanggil pemuda itu untuk mendekat. Kertopati melompat mundur beberapa depa ke belakang.
“ Katakan pada Sukmo Aji untuk memeriksa induk kademangan “
“ Baik Kakang” , pemuda itu dengan cepat berlari ke arah Sukmo Aji yang tengah bertempur menghadapi beberapa kawanan rampok.
Alap –Alap Abang tidak membiarkan hal itu, pemuda dengan tatapan mata tajam itu hendak menghambur mencegat pemuda yang tengah berlari itu. Namun, niatnya diurungkan karena serangan dari Kertopati memburunya.
“ Biarkan dia Alap –Alap, lawan mu aku. Permainan ini belum selesai dan semakin seru saja”
Dalam pada itu, penghubung yang mendapat perintah Kertopati memberitahukan kepada Sukmo Aji untuk segera meninggalkan arena untuk menuju ke kademangan induk. Sukmo Aji menerima berita itu dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, “baik. Aku terima beritamu.”
Sesaat kemudian Sukmo Aji segera mengurai kepungan pasukan yang dihadapinya. Tiga orang yang berusaha menghalanginya rebah ke tanah sembari mendekap lambung yang mengucurkan darah.
Dengan berlari-lari kecil ia menghampiri kudanya yang ditambatkannya di dalam gelap tidak jauh dari pertempuran itu, ditunggui oleh beberapa orang. Dengan tangkasnya ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan seperti angin kuda itu dipacunya ke arah kademangan induk Pucang Kembar.
Di seberang kegelapan malam, Kelabang Ijo sedang sibuk menilai keadaan pula. ketika didengarnya tanda bahaya meraung-raung di seluruh Pucang Kembar, maka Kelabang Ijo itu tertawa. katanya kepada Pangestu, “Mudah-mudahan pasukan Pucang Kembar ditarik sebagian besar ke arah suara itu”
Pangestu dan Gagak Kluyur itu tertawa pula. sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka berkata, “Tanda bahaya itu pasti akan menarik sebagian besar dari mereka. Karena itu marilah kita menerobos langsung kepusat Kademangan Pucang Kembar. Sebagian dari kita, masih akan sempat menyelamatkan pasukan kakang Cangkil apabila ia kerepotan dicegat oleh orang –orang dungu itu. Tapi aku yakin kakang Cangkil dan Alap –Alap Abang mampu menggulung orang –orang di perbatasan kademangan”
Cangkil sama sekali belum mengetahui bahwa kakaknya telah tewas di tangan Sukmo Aji.
Kelabang Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bagus. Marilah kita bergerak”
Pangestu dan Gagak Kluyur segera pergi ke kelompoknya masing-masing. Dan sesaat kemudian Kelabang Ijo itu pun segera memerintahkan pasukannya itu untuk maju. Ternyata pasukan itu tidak saja berjalan dalam gerombolan yang liar. Mereka berada dalam sebuah garis yang luas, hampir dalam gelar Garuda Ngalayang meskipun tidak sempurna.
Sengaja Kelabang Ijo memisahkan sayap-sayapnya dengan jarak yang cukup untuk memberi kesempatan kepada sayap-sayapnya itu melakukan tindakan menurut keadaan. Apabila ternyata pasukan lawan tidak begitu berat, maka sayap-sayap pasukannya dapat berjalan terus menuju ke jantung Pucang Kembar. Menduduki tempat-tempat yang penting, terutama lumbung-lumbung padi serta tempat-tempat perbekalan yang lain. Kemudian kademangan dan banjar desa.
Pengawas yang dipasang oleh Sukmo Aji segera melihat kedatangan pasukan lawan itu dalam tebaran yang luas. Karena itu segera ia merangkak-rangkak dan berusaha secepatnya menyampaikan berita itu kepada induk pasukannya. Sukmo Aji yang menerima berita itu segera mengatur pasukannya. Dipecahnya sebagian dari induk pasukan itu, untuk dengan tergesa-gesa menempati sayap kiri.
“Tundun memimpin sayap ini?” berkata Sukmo Aji.
“Cepat, berangkatlah.”
Tundun itu pun segera membawa sebagian pasukan yang berisi anak-anak muda Pucang Kembar. Kini Sukmo Aji tinggal menantikan kedatangan pasukan Kelabang Ijo. Namun Sukmo Aji tidak ingin bertempur di dalam desa yang gelap pekat. Karena itu, maka dibawanya pasukannya menyongsong induk pasukan Kelabang Ijo yang semakin lama semakin dekat.
Setelah Sukmo Aji itu menempuh jarak beberapa puluh langkah dari induk kademangan maka pasukannya segera dihentikan.
Diperintahkannya untuk menempatkan diri masing-masing sedemikian, sehingga tidak segera dapat dilihat oleh lawan-lawan mereka yang sedang mendekati. Apalagi dalam malam yang gelap segelap malam itu. Hanya cahaya bintang yang berkedipan di langit sajalah yang dapat memberi kemungkinan untuk dapat memandang pada jarak yang dekat. Tetapi ternyata pasukan Kelabang Ijo itu tidak maju langsung dalam gelarnya. Ternyata beberapa orang diperintahkan oleh Kelabang Ijo itu merambas jalan. Mereka berkewajiban untuk mengetahui, apakah jalan yang mereka tempuh itu tidak berbahaya. Sebab Kelabang Ijo memang sudah menyangka, bahwa pasukan musuh tidak akan menunggunya saja di padesan.
Meskipun demikian, Sukmo Aji itu pun memiliki pengalaman yang cukup dalam peperangan. Karena itu, ia perintahkan pasukannya untuk mengendap di balik pematang, maka dibiarkannya tiga orang pasukan Kelabang Ijo yang mendahului barisannya untuk berjalan dengan tenang. Dibiarkannya orang itu melampaui barisan Sukmo Aji yang diam-diam menunggu kehadiran lawannya.
Karena itulah maka, pasukan Kelabang Ijo pun berjalan dengan tenangnya setenang ketiga orang yang mendahuluinya itu. Mereka tidak menduga bahwa pasukan Pucang Kembar yang dipimpin Sukmo Aji itu telah menunggu mereka di balik lindungan bayangan pematang yang hitam kelam. Maka ketika pasukan Kelabang Ijo itu sudah semakin dekat, tiba-tiba terdengar suara Sukmo Aji memecah sepi malam, mengatasi suara angin yang berdesah di antara daun-daun padi yang masih sangat muda.
Di antara heningnya malam terdengar suara itu, “Serang…….!”
Seperti kuda yang lepas dari ikatan, maka pasukan Sukmo Aji itu pun berloncatan dari balik-balik pematang, langsung menyergap lawan-lawan mereka yang terhenti karena terkejut. Ternyata mereka masih memerlukan waktu sekejap untuk melenyapkan desir yang menggoncangkan dada mereka. Dengan serta-merta mereka menjulurkan senjata-senjata mereka untuk menyongsong pemuda –pemuda Pucang Kembar yang melibat mereka seperti badai.
“Setan” geram Kelabang Ijo. Dengan lantang ia berkata, “Sayap kanan dan kiri, lihat perkembangan keadaan”
Sayap-sayap kanan dan kiri itu pun tidak segera meneruskan perjalanan mereka menyusup langsung ke jantung Pucang Kembar. Mereka menunggu sesaat untuk melihat perkembangan keadaan induk pasukannya.
Tiga orang yang mendahului gelar pasukan Kelabang Ijo itu ternyata terkejut bukan kepalang. Cepat mereka berloncatan kembali dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran melawan orang-orang Pucang Kembar. Keadaan itu benar-benar tak disangkanya. Ternyata orang-orang Pucang Kembar telah berhasil dengan baik, menjebaknya dan menyergap pasukannya.