Kidung Diatas Tanah Jawi episode 34

gatra 34

SESAAT KEMUDIAN setelah serombongan orang berkuda itu menjadi semakin dekat, tampaklah seorang lelaki paruh baya dengan badan yang masih terlihat kukuh dan tegar yang duduk diatas kuda berwarna sawo, yang agaknya memegang pimpinan, melambaikan tangannya. Maka segera berhentilah rombongan itu di depan gerbang kademangan Pucang Kembar.

“ Aneh sekali, lama aku tidak mengunjungi Pucang Kembar. Mengapa gerbang dijaga seketat itu. Bahkan, aku melihat ujung –ujung senjata siap terhunus di tangan penjaga –penjaga itu. Apa yang sebenarnya terjadi di kademangan ini “

“ Maaf, Kiai lebih baik kita mendekat lagi. Semua keanehan ini tentu akan secara gamblang mereka ceritakan kepada kita “

“ Baiklah Kidang Lampitan. Ayo maju lagi “

Pemuda yang dipanggil Kidang Lampitan itu segera melambaikan tangan sebagai isyarat maju. Dan perlahan –lahan rombongan oprang berkuda itu kembali berjalan medekati gerbang. Karena itu, orang-orang yang sedang berjaga-jaga itupun segera bersiap. Jantung mereka berdebaran. Tangan –tangan gemetar mencengkeram gagang pedang, keris dan landean tombak.

Demikianlah maka mereka segera menghentikan kuda orang –orang itu. Seorang yang bertubuh sedang berhidung mancung maju kedepan dan bertanya, “Siapa kau?”

“Kami dan rombongan ini dari Bang Wetan. Tepatnya di sekitaran Situbondo. Maksud kedatangan kami hendak menemui Demang Pucang Kembar ” jawab Kidang Lampitan lantang “Kiai ini merupakan adik jauh dari Demang Pucang Kembar”

“Apakah keperluanmu?” bertanya orang itu pula yang ternyata Wisang.

“ Bukankah sudah aku sampaikan bahwa kedatangan kami hendak menemui Demang Pucang Kembar.
Kidang Lampitan tampak gusar. Tampak air mukanya sedikit berubah. Lantas Kidang Lampitan menoleh ke arah pimpinannya. Dan lelaki paruh baya itu mengangguk.

“ Kisanak lebih baik segera katakan pada demang mu bahwa Kiai Sosro Bahu ingin menemuinya “

Penjaga itu tampak kebingungan. Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata “ Tunggu disini sebentar ki sanak. Aku harus melaporkan terlebih dahulu kepada Ki Demang “

Pada saat itu lah Kertopati datang dengan beberapa pemuda. Lantas ia pun berkata, “ Mari aku antarkan ki sanak menemui Ki Demang di kediamannya “

Kertopati sempat mengedipkan matanya ke arah Wisang. Pemuda itu tanggap. Lantas dengan perlahan –lahan ia berjalan mendahului rombongan itu menuju ke induk kademangan.

Orang –orang itu masih berada dipunggung kuda, ketika dua orang mendekatinya “Marilah” berkata salah seorang daripadanya.

“Berjalanlah dimuka” sahut Kidang Lampitan.

Sesaat orang itu saling berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh kearah orang Kertopati .

Orang itupun kemudian berkata “Ki sanak, kami para penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan, bahwa tamu seharusnya turun dari kuda sejak kisanak sampai di gardu ini”

Kidang Lampitan tampak mulai tersinggung. Namun. Pimpinan mereka yang benama Kiai Sosro Bahu menggamit lengannya.

“ Sudahlah Lampitan. Kita ikuti kemauan mereka. Mungkin kademangan ini baru saja di hempas musibah”

“ Tapi mereka sombong sekali Kiai “

“ Sudahlah Lampitan. Marilah kita turun dari kuda “

“Maafkan aku kisanak. Aku tergesa-gesa dan sangat letih sehingga aku melupakan kebiasaan itu” dan berbarengan dengan itu pula Kiai Sosoro Bahu meloncat dari kudanya diikuti oleh para pengawalnya yang berjumlah sepuluh orang.

“Nah” berkata Kertopati “ Silahkan aku dan orang-orangku yang akan mengantarkan kisanak –kisanak semua dan biarlah kuda itu disini”.

“Baik” jawab Kiai Sosro Bahu “Terima kasih”.

“Marilah” ajak salah seorang diantaranya.

Dan orang itupun segera berjalan. Bersama para pengiringnya, diantar oleh Kertopati dan jagabaya, mereka pergi ke rumah Demang Pucang Kembar.

Hampir berbarengan dengan masuknya Kiai Sosro Bahu beserta pengawalnya. Sesosok tubuh tampak mengendap –endap di gerbang kademangan. Kedatangannya sama sekali tidak dilihat oleh orang –orang yang berada di depan gerbang. Setelah berhenti sebentar dan memastikan tidak ada orang yang melihat. Sekali hentakan tubuh itu dengan ringan melompati sebuah pagar yang disusun dari tumpukan batu. Sosok itu masih berlari –lari kecil sembari menyelinap di semak belukar yang rimbun.


KEDATANGAN MEREKA di rumah Demang Pucang Kembar, telah disambut dengan ramah sekali oleh Ki demang dan beberapa orang bebahu yang sebelumnya memang dipersiapkan untuk berjaga –jaga menghadapi segala sesuatu yang mungkin bakal terjadi. Berbarengan dengan kemunculan orang –orang berkuda di gerbang kademangan. Suasana yang tadinya tegang mencekam berubah menjadi cair. Segala ketegangan yang tadi sempat mencengkam jantung. Nyaris hilang. Setelah Wisang menceritakan kepada ki demang sipa sebenarnya orang –orang berkuda itu.

“Marilah, adi. Silahkan,” berkata Ki demang yang menyongsongnya sampai ke tangga pendapa. Demikian pula para bebahu yang sedang berada di pendapa itu pula.

Kiai Sosro Bahu mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Maafkan aku kakang, setelah sekian lama aku telah berani datang mengunjungi kakang, seorang demang si Pucang Kembar.”

“Apapun pekerjaanku, tetapi adi adalah saudaraku . Marilah, adi. Silahkan naik.”

Sejenak kemudian, Kiai Sosro Bahu serta para pengiringnya telah duduk di pringgitan, bersama demang Pucang Kembar serta para bebahu.

“Selamat datang di kademangan ini adi,” berkata Ki Demang dengan ramah.

“Terimakasih kakang. Mereka baik –baik saja tak kurang satu apa. Demikian pula keluarga yang kami tinggalkan. Bagaimana dengan kakang sekeluarga disini ? Aku masih ingat kakang memiliki sorang putri. Dulu sewaktu aku masih disini. Anak itu masih kecil. Dimana sekarang kakang?”

“Baik-baik saja, adi. Itu anak gadisku satu –satunya namanya Miranti. Sekarang itu sudah menjadi seorang perawan. Dan sebentar lagi sudah layak untuk menimang anak”

“Aku dan para pengawalku minta maaf, bahwa kami memberanikan diri untuk menemui kakang demang di Pucang Kembar.”

“Aku merasa senang sekali bahwa adi tidak melupakan kami keluarga di Pucang Kembar ini. Kedatangan adi dan para pengawal ini akan dapat menyambung hubungan kita yang hampir terputus.”

“Aku merasa sangat berterima kasih. Bahwa aku telah diterima dengan sangat baik di Pucang Kembar ini. Kakang demang memberikan tempat kepada kami untuk singgah. Tempat yang membuat kami kerasan tinggal di Pucang Kembar ini. Kakang demang, seorang Kepala Pucang Kembar yang besar, telah bersedia pula menerima kedatangan kami.”

“Sudahlah. Untuk selanjutnya kita tidak akan membiarkan hubungan kita terputus lagi. Bahkan aku ingin menghubungi bukan saja adi Sosro Bahu, tetapi juga saudara-saudaraku yang lain.”

“Jika seorang diantara kami telah dapat berhubungan, maka yang lain akan dapat dilakukan pula. Besok, setelah aku pulang dari Pucang Kembar ini, aku akan memberitahukan kepada saudara-saudaraku tentang kakang demang di Pucang Kembar ini.”

“Terima kasih, adi. Mudah-mudahan hubungan kita selanjutnya akan menjadi semakin dekat.” Demikianlah, maka seperti ki demang pun telah bertanya tentang keluarga Kiai Sosro Bahu. Tentang saudara-saudara perempuan dan tentang sanak kadangnya yang lain.

“ Akan tetapi, aku mohon maaf Adi Sososro Bahu. Baru saja kademangan kami sedang mendapat ujian. Satu hari yang lalu pecah pertempuran. Kami terpaksa membela diri karena orang –orang itu mengacak –acak tatanan di kademangan ini “

Kiai Sosro Bahu menarik nafas panjang.

“ Maaf Kakang Demang. Aku turut berprihatin. Kalau saja aku datang lebih cepat barang dua atau tiga hari tentu sedikit banyak aku dan orang –orangku dapat membantu Pucang Kembar menghadapi orang –orang itu “

“ Sudahlah adi, semua sudah terjadi dan kami dapat melewati itu bersama –sama. Nanti aku juga kan mengenalkan adi kepada seorang pemuda yang turut berjasa besar menjaga kademangan ini “

Kiai Sosro Bahu menganggukkan kepalanya , “ Tentu orang itu berilmu sangat tinggi adi “

Demang Pucang Kembar tersenyum, “ Dia masih sangat muda. Namun, ilmu kanuragannya sulit dicari tandingannya “

“ Aku akan mengenalkan pemuda itu kepadamu adi. Pemuda itu salah satu abdi dalem di Pajang”

Sebentar kemudian terdengar suara ribut di pendapa. Rupanya mereka sedang sibuk menyambut kedatangan nampan –nampan berisi aneka makanan yang disediakan oleh tuan rumah. Terdengarlah kemudian suara Ki Demang Pucang Kembar dengan ramahnya mempersilahkan adik dan para pengawalnya untuk menikmati segala makanan yang tersaji di hadapan mereka.


KADEMANGAN PUCANG KEMBAR yang tengah malam itu sebelumnya tenggelam dalam udara sejuk dan kesunyi-senyapan mendadak saja berubah menjadi hingar bingar. Di sebelah utara tampak kobaran api membakar dua buah rumah. Di sebelah timur terdengar pekik jerit orang-orang yang ketakutan. Lalu ada suara derap kaki kuda banyak sekali. Terdengar suara kentongan titir bersahutan beberapa kali lalu senyap. Di jurusan lain terengar teriakan – teriakan orang sambil berlarian bercampur dengan jerit tangis anak-anak, perempuan dan orang-orang tua.

“ Lari! Lari! Gerombolan Kelabang Ijo menyerbu! Selamatkan diri keluar kademangan secepatnya! Lari…!”

Derap kaki kuda datang menyerbu. Dua bilah golok panjang berkelebat. Dua orang penduduk yang barusan berteriak roboh ke tanah. Darah muncrat dari tubuh keduanya. Yang pertama langsung meregang nyawa dangan leher hampir putus.

Kawannya yang terkapar di sebelahnya, sesaat masih tampak menggeliat sambil pegangi dadanya yang robek besar, lalu diam tak berkutik lagi tanda nyawanyapun sudah putus.
Sukmo Aji yang tengah terbaring sakit diserang demam panas, dengan susah payah turun dari ranjang ketika dua orang jagabaya desa masuk memberi tahu apa yang terjadi.

“Gerombolan ganas itu…..,” berucap Sukmo Aji sambil bersandar ke dinding.

“ Ternyata akhirnya mereka datang lagi juga untuk membalas kekalahan tempo hari dan menjarah di kademangan ini…!”

Terhuyung-huyung Sukmo Aji melangkah mengambil tombak Kyai Sangga langit yang tersimpan di lemari kamar. Diangkatnya sebilah tombak pendek yang masih ada di dalam sarungnya itu. Dicium tombak yang masih tersimpan dalam warangkanya itu, ia lalu melangkah keluar.

“Kalian berdua bantu penduduk mengungsi. Selamatkan anak-anak, perempuan dan orang tua. Aku akan menghadang gerombolan rampok biadab itu!”

“Jangan lakukan itu Sukmo Aji! Mereka berjumlah sangat banyak sekali! Tiga orang jagabaya sudah mereka bunuh! Kertopati tengah menghadapi Pangestu !Dan kau sedang sakit pula!”

Sukmo Aji terus melangkah ke pintu tanpa menghiraukan jagabaya seraya berkata “Aku merasa lebih baik mati di tangan gerombolan rampok itu daripada mati karena sakit di atas tempat tidur!”

Walaupun saat itu tubuhnya terasa panas dan lemah, tapi kepala desa ini mendadak merasakan ada satu kekuatan di dalam dirinya yang memberinya semangat untuk melakukan niatnya.

Dua orang jagabaya tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka lari ke arah barisan penduduk yang tengah mengungsi menuju ke luar desa sementara beberapa buah rumah lagi tampak dibakar oleh gerombolan rampok Kelabang Ijo.

Di satu kelokan jalan, Sukmo Aji berpapasan dengan dua orang penunggang kuda berpakaian dan bertutup kepala serba hitam. Mereka tampak membawa buntalan besar berisi harta benda hasil rampokan.

“Ini dua diantara rampok -rampok durjana itu….,” kata Sukmo Aji menggeram. Cepat dia menyelinap di balik serumpunan pohon bambu di tepi jalan.

Ketika penunggang kuda pertama lewat, Sukmo Aji serta merta membabatkan tombak pendek miliknya. Terdengar jeritan keras si penunggang kuda ketika keris merobek perutnya. Tubuhnya terpelanting ke kiri lalu jatuh ke tanah. Kuda tunggangannya meringkik keras dan menghambur lari dalam kegelapan malam.

Penunggang kuda kedua tersentak kaget dan hentikan kudanya. Tangan kanannya segera menghunus pedang lalu sambil membentak dia melompat turun dari punggung kuda.

“Bangsaaat dari mana yang berani menyerang anak buah Kelabang Ijo…”

Belum selesai ucapannya itu, sebuah tombak berkelebat di depan kepalanya. Anggota gerombolan Kelabang Ijo ini angkat tangan kanan, menangkis dengan pedangnya.

“Trang!

Dua senjata beradu dalam kegelapan malam. Sukmo Aji merasakan tangannya pedas kesemutan. Gagang tombak hampir terlepas dari gengggamannya. Cepat-cepat pemuda ini mengatur kedua kakinya agar tidak terhuyung limbung.

Justru saat itu orang berpakaian serba hitam di depannya keluarkan suara memaki dan menusukkan senjatanya ke arah perut Sukmo Aji. Pemuda ini yang dalam keadaan sakit panas ini melompat ke kiri. Dia berhasil mengelakkan tusukan lawan lalu secepat kilat membacok ke arah leher anggota gerombolan rampok itu.

Akan tetapi lawannya bertindak lebih cepat lagi. Begitu tusukannya luput, pedangnya dibabatkan membalik, langsung membacok ke arah perut Sukmo Aji. Pemuda itu menjerit tertahan.


Kidung Diatas Tanah Jawi

Kidung Diatas Tanah Jawi

Score 8
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Setelah kerajaan Demak semakin suram dan tinggal menunggu tenggelam dalam timbunan sejarah. Munculah kerajaan baru di atas tanah Jawa, kerajaan itu bernama Pajang rajanya adalah menantu Sultan Trenggono sendiri. Raja Demak yang terakhir. Pada masa mudanya dia terkenal dengan nama Joko Tingkir dan setelah menjadi raja beliau bergelar Sultan Hadiwijoyo. Seluruh pusaka kerajaan Demak akhirnya diboyong ke Pajang. Wahyu keraton sudah berpindah tangan. Sebagai pembuktian dirinya sebagai raja yang besar dan kuat Sultan Hadiwijoyo mengerahkan bala pasukannya dengan kekuatan empat puluh ribu prajurit yang terlatih. Pajang mulai menyerbu kerajaan –kerajaan di Jawa Timur. Sultan Hadiwijoyo sendirilah yang memimpin pasukan. Beliau duduk di atas punggung gajah perang yang diberi nama Kyai Liman sambil tangan kanannya mencengkeram tombak pusaka Kyai Pleret. Beliau didampingi oleh para panglima perang yang tangguh seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Juru Mertani, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilomerto, Tumenggung Cokroyudo, Tumenggung Gagak Seta dan para wiratamtama prajurit Pajang yang bilih tanding. Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset