Kidung Diatas Tanah Jawi episode 36

gatra 36

MENGALAMI perlakuan Sukmo Aji, orang itu menjadi semakin marah. Bentaknya, “Apa hubungan mu dengan gadis ini…? Kekasih mu…? Kalau begitu kau tak pandai mengajar kekasih mu sehingga kekasih mu kurang ajar.”

“Tunggu dulu..”, jawab Sukmo Aji, “Jangan berlaku kasar terhadap seorang gadis. Memang barangkali gadis ini terlalu nakal, tetapi biarlah orang tuanya yang mengajarnya. Seharusnya kau melaporkan saja kepada orang tuanya. Sedang kau sendiri, memang dapat menimbulkan sangkaan yang bukan-bukan. Sikapmu agak mencurigakan.”

Wajah orang itu menjadi merah padam. Kata-kata Sukmo Aji sangat menusuk perasaannya. Karena itu, hampir berteriak ia kembali membentak, “Apa hakmu berkata demikian. Adakah kau pengawal kademangan ini?”

“Aku bukan apa-apanya,” jawab Sukmo Aji, masih setenang tadi. “tetapi tiap-tiap warga kademangan ini berhak turut serta menjaga keamanan kademangan. Dan bukankah kau bukan penduduk Pucang Kembar?”

Mata orang itu menjadi semakin berapi-api. Tetapi rupanya ada sesuatu pertimbangan yang menahannya untuk tidak berbuat sesuatu.

Akhirnya ia berkata lantang, “Tak ada gunanya aku melayani orang-orang gila macam kau dan gadis itu.”

Lalu ia memutar tubuhnya, dan melangkah pergi. Tetapi kali ini Sukmo Aji yang kemudian tidak membiarkan orang itu pergi.

Maka, segera ia menahannya, katanya, “Nanti dulu, bukankah kau bermaksud melaporkan gadis ini kepada ayahnya. Nah, marilah aku antar kau kepadanya. Ayah anak ini adalah Ki Demang Pucang Kembar”

Mendengar kata-kata Sukmo Aji, segera wajah orang itu berubah. Sebentar kemudian nampak ia menjadi pucat dan gemetar. Tetapi sebentar kemudian kembali wajahnya menyala-nyala. Kemudian kembali ia melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Melihat sikapnya, Sukmo Aji bertambah curiga. Segera Miranti dilepaskan dan didorongnya ke pinggir, sedangkan ia sendiri segera meloncat untuk menghadang orang yang dicurigainya itu.
“Tunggu dulu… “katanya, “urusan kita belum selesai.”

Terdengar gigi orang itu gemeretak menahan marah. Sikap Sukmo Aji dirasa sudah keterlaluan. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk menghindari bentrokan.

Jawabnya, “Tidak ada persoalan diantara kita, sebaiknya kau jangan memulainya.”

Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu segera tertarik dan mengerumuninya. Mereka mengenal Sukmo Aji sebagai seorang malaikat penyelamat kademangannya sahabat Demang Pucang Kembar. Beberapa orang diantara mereka bertanya-tanya, apakah yang terjadi…? Belum lagi Sukmo Aji sempat menjawab, Miranti telah mendahului berceritera dengan suara yang mengalir seperti air terjun.

Orang itu menjadi semakin gelisah, wajahnya kembali menjadi pucat. Katanya, “Jangan dengarkan omongan anak itu. Sekarang beri aku jalan. “

“Ki Sanak..”, potong Sukmo Aji, “kenapa kau begitu tergesa-gesa. Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu kepada penduduk Pucang Kembar ini supaya mata mereka tidak menyorotkan pandangan kecurigaan.”


ORANG itu sekarang sudah tidak dapat lagi mengendalikan dirinya karena putus asa. Ia tidak mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat itu begitu saja. Matanya berubah menjadi liar dan mencari tempat-tempat yang lemah, di mana ia mungkin menerobos untuk melarikan diri. Tetapi orang yang mengerumuninya itu seolah-olah sengaja mengepungnya rapat-rapat. Setelah orang itu tidak dapat melihat kemungkinan itu tiba-tiba ia menarik keris yang terselip di bawah bajunya.

Maka dengan suara yang parau ia berteriak, “Minggir, atau aku terpaksa membunuh kalian.”

Melihat orang itu menarik kerisnya, beberapa orang yang mengerumuninya surut ke belakang. Tetapi mereka sama sekali tidak takut. Orang Pucang Kembar bukanlah sebangsa penakut. Kalau mereka mundur hanyalah supaya ada jarak cukup dapat bertindak tepat. Apalagi di tempat itu ada Sukmo Aji. Seorang pendekar muda yang bilih tanding. Ia sama sekali tak berkisar dari tempatnya.

Bahkan, dengan tersenyum ia berkata, “Janganlah bermain-main dengan benda yang demikian, sebab senjata hanyalah mendatangkan bencana, terutama bagi yang membawanya”

“Diam…!” teriak orang itu semakin putus asa.

“Pergi kau, atau biarkan aku pergi.”

Orang itu selangkah mendekati Sukmo Aji dengan keris terhunus. Melihat orang itu mendekati Sukmo Aji, beberapa orang bergerak pula. Mereka masih belum tahu sampai di mana kemampuan bertindak Sukmo Aji, sehingga penduduk Pucang Kembar merasa perlu untuk melindungi tamu mereka. Tetapi Sukmo Aji masih saja berdiri di tempatnya. Tiba –tiba orang itu dengan cepat mulai dengan sebuah tusukan ke arah dada Sukmo Aji.

Sebenarnya gerakan orang itu cukup lincah dan mantap. Hanya sayang bahwa ia tidak dapat menyelaraskan gerakan-gerakan kaki dengan tangannya. Sedangkan Sukmo Aji ternyata memang seorang yang berilmu cukup tinggi. Tampaknya pemuda itu tidak ingin terlalu lama bermain –main dengan lawannya. Sukmo Aji lantas meningkatkan serangannya.

Beberapa kali ia dapat menangkis serangan-serangan orang itu, sehingga tusukannya meleset ke samping. Bahkan sekaligus ia telah menghantam lengan orang itu dengan kepalan tangannya. Cepat orang menarik serangannya, dan selangkah meloncat ke kiri. Kembali ujung keris orang misterius itu akan mematuk lambung lawannya. Namun Sukmo Aji cukup cekatan. Dengan gesitnya, ia memutar tubuhnya untuk menghindari serangan itu.

Demikianlah, pertarungan itu semakin lama semakin bertambah sengit. Lelaki misterius itu telah mengeluarkan hampir segenap ilmunya untuk menundukkan lawannya. Hingga pada satu kesempatan Sukmo Aji berhasil membetot lepas keris dari tangan lawannya. Dan kemudian membanting orang itu di tanah. Dengan ibu jarinya yang kuat Sukmo Aji siap menekan leher orang itu.

Sementara itu ia bertanya, ”Siapakah kau sebenarnya?”

Orang itu menjadi ketakutan setengah mati. Karena itu, meskipun ia berusaha menjawab, tetapi mulutnya menjadi tergagap-gagap tak keruan. Sukmo Aji menyumpah-nyumpah di dalam hati. Karena bagaimanapun ia memaksa, mulut orang itu pasti tak akan dapat mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengerti.

Akhirnya dengan sangat marah Sukmo Aji menarik bajunya sehingga orang itu berdiri. Bersamaan dengan itu darah Sukmo Aji tersirap sampai ke kepala, ketika dilihatnya, melingkar perut orang itu sebuah ikat pinggang yang lebar, dengan gambar dua ekor kelabang yang saling melilit.

Karena itu Sukmo Aji berteriak nyaring, ”Kau dari gerombolan Kelabang Ijo…?”
Mulut orang itu tampak bergerak-gerak, tapi suara yang keluar dari mulutnya tak ubahnya seperti suara orang bisu. Meskipun demikian karena kepalanya mengangguk-angguk, tahulah Sukmo Aji bahwa orang itu benar-benar dari gerombolan Kelabang Ijo. Karena itu marahnya semakin membara di dalam dadanya. Pucang Kembar dalam bahaya!


PADA SAAT ITU LAH Sukmo Aji terkejut manakala dua pisau kecil berhamburan menyerang orang yang berada dalam penguasaannya. Sukmo Aji tidak sempat menghindarkan orang itu dari bahaya maut. Tak ayal lagi dua pisau itu menancap tepat di dada. Hingga terbenam dan menggapai jantungnya. Orang itu terdorong mundur beberapa langkah. Cepat-cepat tangannya memegang dadanya yang terluka.

Tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan, sedang wajahnya memancarkan rasa heran dan kemarahan yang tak terhingga. Ia memandangi Sukmo Aji dengan matanya yang semakin pucat. Dari sela-sela jarinya mengalir gumpalan-gumpalan darah cair. Bibirnya yang menjadi putih itu bergerak-gerak, tetapi tak sepatah katapun terucapkan, sampai akhirnya ia tersungkur dan tak bernafas lagi. Sekilas Sukmo Aji melihat bahwa pisau itu sama persis dengan pisau yang digunakan oleh Munggur.

Sukmo Aji melihat sekeliling. Dia sama sekali tidak mngetahui dariman apisau itu dilemparkan. Karena kerumunan penduduk Pucang Kembar yang teramat padat. Kemudian terdengarlah suara-suara yang tidak jelas dari beberapa orang yang menyaksikan dengan penuh keheranan atas kejadian itu. Sementara itu terdengarlah beberapa orang keluar dari halaman.

Mereka ternyata Ki Demang Pucang Kembar, Kyai Sosro Bahu dengan beberapa pengiringnya. Ketika mereka mendengar ribut-ribut di luar, mereka ingin pula mengetahuinya. Dan ternyata Miranti telah berlari memberitahukan persoalan itu kepada ayahnya.
Orang-orang yang berdiri berkerumun segera menyibak, ketika mereka melihat demang mereka datang.

“Orang itukah yang telah berani menganiaya putri adi demang ?” katanya.

“ Bener Kiai, aku telah berhasil menangkapnya. Hanya saja ternyata ada kawannya diantara para penduduk Pucang Kembar. Lantas karena tidak ingin penyamarannya terbongkar orang itu dibunuh secara pengecut dengan menggunakan pisau yang dilemparkan dari jarak jauh”

Kiai Sosro Bahu menyeringai, “ Kau jangan berpikir macam –macam anak muda. Kecurigaan mu itu hanya akan menggali liang kubur mu sendiri “

Mendengar hal itu Sukmo Aji hanya tersenyum tipis. Sementara demang Pucang Kembar pun menjadi kurang senang atas tindakan Kiai Sosro Bahu. Demang Pucang Kembar menarik alisnya. Kemudian diperintahkannya beberapa orang untuk mengurusi jenazah itu, sedang beberapa orang yang lain supaya mencari keluarganya, apabila mungkin.


SETELAH semuanya mulai dikerjakan, Demang Pucang Kembar dan Kiai Sosro Bahu serta para pengiringnya masuk kembali. Sukmo Aji masih saja berdiri diantara mereka yang sedang menyelesaikan penguburan jenazah itu. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai masalah. Tadi ia sempat meneliti wajah Kiai Sosro Bahu lebih saksama. Matanya yang tiba -tiba berapi-api, bibirnya yang agak tebal dan selalu tertarik ke bawah bagian-bagian tepinya, menunjukkan bahwa ia benar-benar orang yang dapat melakukan apa saja. Tiba-tiba Sukmo Aji mendapat pikiran lain. Apakah hal itu saling berkaitan dengan kedatangan Kiai Sosro Bahu? Mungkinkah kalau pembunuhan itu dilakukan karena ada sebab-sebab lain…?

Sementara itu datanglah Miranti mendekatinya. Wajahnya tampak tidak seriang biasanya. Bisiknya, “Aku merasa ada firasat yang kurang mapan mengenai kademangan ini Kakang “

“Sudahlah, Miranti jangan terlalu dipikirkan..” Jawabnya Sukmo Aji, “lain kali berhati –hatilah jangan terlalu gegabah mengambil keputusan. Untunglah aku melihat kau bertempur dengan orang itu. Kalau tidak, barangkali sekarang kau sudah terluka.”

“Mula-mula aku hanya ingin mengetahui, apakah yang akan dilakukan orang itu, kakang,”
katanya, “kelakuannya nampak aneh. Dan aku tidak sempat memberitahukan kepada siapapun juga”.

“Sudah pernahkah kau melihat orang itu sebelumnya?” tanya Sukmo Aji.

“Belum. Yang pasti ia bukan orang Pucang Kembar. Aku hampir mengenal semua orang di kademangan ini,” jawabnya.

Sukmo Aji merenung sejenak.

Lalu katanya, “Sudahlah, lupakan itu Miranti. Aku mengakui kanuraganmu sudah lumayan tinggi. Nah, sekarang marilah kita sekarang berjalan-jalan. Barangkali kau dapat menunjukkan tempat-tempat yang belum pernah aku lihat.”

Maka kembali Sukmo Aji berjalan-jalan tanpa tujuan. Kali ini ia pergi bersama Miranti. Diajaknya Sukmo Aji mendaki lereng bukit di selatan Pucang Kembar.

“Dari sana kakang dapat melihat seluruh dataran di Pucang Kembar,” kata Miranti.

“Dari Pucang Kembar, dataran itu juga dapat dilihat ,” jawab Sukmo Aji.

“Tetapi pandangan kita tidak seluas apabila kita berdiri di sana” bantah Miranti.

Sukmo Aji tidak menjawab lagi. Memang ia sama sekali tidak mempunyai tujuan. Jadi ke mana saja pergi, bagi Sukmo Aji adalah sama saja. Pikirannya masih kalut dengan apa yang baru saja terjadi.

Sampai di lereng bukit yang agak tinggi, mereka berdua dapat melihat hampir seluruh dataran. Tanah-tanah yang subur dengan padinya tampak seperti permadani kuning yang dibentangkan di bawah kaki mereka. Sedang di bagian timur tampak hamparan rawa berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.

Tiba-tiba mata Sukmo Aji yang tajam tertarik pada beberapa titik yang bergerak-gerak. Titik-titik itu terlalu kecil, tetapi mata Sukmo Aji segera dapat mengenalnya bahwa titik-titik itu adalah orang-orang berkuda.

“Kau lihat titik-titik yang bergerak-gerak itu?” tanya Sukmo Aji kepada Miranti.

“Yang mana Kakang?” tanya Miranti sambil berusaha mempertajam pandangan matanya.

“Di sebelah selatan rawa itu,” jawab Sukmo Aji.

Akhirnya Miranti dapat melihatnya pula. “Ya…, aku melihatnya, Kakang” katanya.

“Kau tahu, apakah itu kira-kira?” tanya Sukmo Aji.

Miranti mengerinyitkan alisnya.

“Entahlah,” jawabnya.

“ Itu adalah orang-orang berkuda “, kata Sukmo Aji.

“Orang-orang berkuda?” tanya Miranti.

Rupanya ia sangat tertarik. “Di sini memang sering ada orang-orang berkuda. Tetapi yang bergerombol demikian adalah jarang sekali. Berapa orang kira-kira mereka, Kakang?”
Sukmo Aji mengamat-amati sejenak, lalu katanya, “Ya, antara sepuluh orang atau lima belasan.”

Tiba-tiba wajah Miranti berubah. Pasti terpikir sesuatu olehnya. Maka berkatalah ia, “Kakang, marilah kita lihat, siapakah mereka itu.”

Sukmo Aji tersenyum. “Jarak itu tidak terlalu dekat Miranti, belum tentu lewat tengah hari kita sampai ke sana. Bukankah jalan menuju ke tempat itu berkelok-kelok?”

“Kita pulang dahulu.” Miranti menjelaskan maksudnya, “Lalu kita ambil kuda, dan pergi ke sana.”

Miranti tidak menunggu jawaban Sukmo Aji, tetapi terus saja menghambur lari menuruni tebing. Sukmo Aji tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya. Memang sebenarnya ia pun tertarik pada rombongan orang-orang berkuda yang datang dari arah timur itu.

Ketika Sukmo Aji sampai di luar dinding halaman rumah ki demang, ia melihat Miranti sudah menunggunya dengan dua ekor kuda. Yang seekor berwarna hitam mengkilat dan yang seekor lagi berwarna abu-abu. Ketika Sukmo Aji menghampirinya, segera Miranti menyerahkan kuda yang berwarna abu-abu itu kepadanya.


Kidung Diatas Tanah Jawi

Kidung Diatas Tanah Jawi

Score 8
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Setelah kerajaan Demak semakin suram dan tinggal menunggu tenggelam dalam timbunan sejarah. Munculah kerajaan baru di atas tanah Jawa, kerajaan itu bernama Pajang rajanya adalah menantu Sultan Trenggono sendiri. Raja Demak yang terakhir. Pada masa mudanya dia terkenal dengan nama Joko Tingkir dan setelah menjadi raja beliau bergelar Sultan Hadiwijoyo. Seluruh pusaka kerajaan Demak akhirnya diboyong ke Pajang. Wahyu keraton sudah berpindah tangan. Sebagai pembuktian dirinya sebagai raja yang besar dan kuat Sultan Hadiwijoyo mengerahkan bala pasukannya dengan kekuatan empat puluh ribu prajurit yang terlatih. Pajang mulai menyerbu kerajaan –kerajaan di Jawa Timur. Sultan Hadiwijoyo sendirilah yang memimpin pasukan. Beliau duduk di atas punggung gajah perang yang diberi nama Kyai Liman sambil tangan kanannya mencengkeram tombak pusaka Kyai Pleret. Beliau didampingi oleh para panglima perang yang tangguh seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Juru Mertani, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilomerto, Tumenggung Cokroyudo, Tumenggung Gagak Seta dan para wiratamtama prajurit Pajang yang bilih tanding. Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset