“MUDAH-MUDAHAN jalan –jalan ini menyenangkan Kakang,” kata Miranti sambil meloncat ke atas punggung kudanya.
Gadis itu telah mengganti pakaiannya dengan baju yang lebih ringkas menyerupai baju lelaki. Kemudian tanpa menunggu Sukmo Aji, ia telah memacu kudanya. Tanpa sengaja Sukmo Aji melihat dua buah pedang pendek yang diselipkan di pinggang gadis itu.
Sukmo Aji segera menyusul sambil menggerutu sekaligus tersenyum tipis di dalam hati, “Memang gadis ini nakal sekali. “
Sebentar kemudian kuda-kuda itu telah menuruni jalan-jalan perbukitan, dan segera mencapai jalan yang menuju ke sebuah rawa. Debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda itu bergulung-gulung di terik matahari. Berkali-kali Sukmo Aji yang berjalan di belakang menghapus wajahnya, yang rasanya bertambah tebal oleh debu yang melekat. Setelah mereka berkuda beberapa saat, tampaklah jauh di depan mereka debu yang berhamburan. Segera Miranti memperlambat kudanya sampai Sukmo Aji berjalan di sampingnya.
“Itukah mereka kakang?” tanya Miranti.
“Ya, itulah mereka,” jawab Sukmo Aji.
“Lalu apa yang akan kami lakukan?” tanya Miranti lagi.
“Terserahlah kepadamu,” jawab Sukmo Aji tersenyum.
“Bukankah aku hanya mengikutimu?”
Miranti mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk mengingat-ingat, apakah yang mendorongnya untuk pergi. Tetapi yang ditemukannya hanyalah suatu keinginan untuk mengetahui semata-mata. Sesudah itu tidak ada apa-apa lagi. Karena itu ia menjadi bingung mendengar jawaban Sukmo Aji.
Sukmo Aji menangkap kesan itu. Lalu katanya, “Miranti, lain kali pikirkan dahulu sebelum kau bertindak, supaya kau tidak mudah terjerat dalam suatu bahaya. Sekarang aku kau bawa ke dalam suatu tindakan yang tak kau ketahui sendiri maksudnya.”
Miranti memandang wajah Sukmo Aji dengan penuh kesibukan di dalam hati. Tetapi ketika ia melihat kesan wajah Sukmo Aji, segera ia berkata hampir berteriak, “Kakang, jangan kakang mengganggu. Aku sudah kebingungan.”
Kembali Sukmo Aji tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab, sehingga kembali Miranti bertanya, “Aku akan tidak berbuat lagi kakang. Tetapi bagaimana sekarang?”
Akhirnya Sukmo Aji kasihan juga melihat Miranti bingung. Maka katanya, “Kenapa kau menjadi bingung? Bukankah biasa saja kalau kita berjalan berpapasan? Apa halangannya?”
Jawaban Sukmo Aji yang sederhana itu telah membuat Miranti menjadi geli sendiri. Katanya dalam hati, “Ya kenapa aku bingung. Bukankah benar kata kakang Sukmo itu…?” dan akhirnya Miranti tertawa sendiri.
Tetapi tanpa disadarinya sendiri otaknya yang tangkas dapat mengikuti jalan pikiran Sukmo Aji. Dengan berpapasan saja sudah dapatlah kiranya didapat kesan mengenai orang-orang berkuda itu. Orang-orang berkuda itu semakin lama jaraknya menjadi semakin dekat.
Sukmo Aji masih selalu cemas atas tindakan-tindakan Miranti yang kadang-kadang tak terkendalikan itu memperingatkan sekali lagi, katanya, “Miranti, terhadap orang-orang yang sama sekali belum kau kenal, jangan berbuat sebelum kau ketahui beberapa hal lebih dahulu. Juga terhadap orang-orang berkuda itu. Kita berjalan biasa saja dan jangan menimbulkan kesan yang menarik perhatian mereka, supaya mereka tidak curiga. “
Miranti memalingkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab, “Aku sudah berjanji Kakang, untuk tidak melanggar nasehat-nasehat Kakang.”
Sementara itu, orang-orang berkuda itu sudah demikian dekat, dan sebentar kemudian mereka telah bersilang jalan. Ternyata mereka terdiri sekitar lima belas orang dan bersenjata lengkap. Mereka pada umumnya bertubuh tegap dan gagah. Wajah-wajah mereka tampak keras dan mengandung sifat-sifat yang kurang menyenangkan.
Ketika mereka berpapasan, tanpa disadari oleh Sukmo Aji dan Miranti dua orang dari penunggang – penunggang kuda itu melemparkan pandangannya ke arah lain. Sementara tiga belas sisa pasang mata itu bersama-sama mengawasi Sukmo Aji dan Miranti. Untunglah Miranti tidak berbuat sesuatu yang menarik perhatian sehingga mereka biarkan saja gadis itu lewat bersama seseorang yang mungkin dianggap kakaknya.
Tetapi dalam waktu yang sekejap itu banyak artinya bagi Sukmo Aji. Orang-orang itu pastilah mempunyai maksud yang tidak baik. Kedatangan mereka di daerah Pucang Kembar dengan senjata lengkap, pasti mempunyai hubungan dengan pertempuran dua hari yang lalu.
“Kakang…,” tiba-tiba suara Miranti mengejutkan Sukmo Aji yang sedang sibuk berpikir, “kemana kita sekarang?”.
Sukmo Aji segera menoleh ke belakang. Orang-orang berkuda itu telah agak jauh di belakang mereka.
“Ke manakah jalan ini Miranti?” tanya Sukmo Aji.
“ Jalan ini menuju ke kotaraja Jipang Panolan ”
Sukmo Aji tampak berpikir sejenak. Kemudian ia bertanya lagi, “Adakah jalan pintas yang dapat menghubungkan kembali dengan Pucang Kembar tanpa mengambil jalan yang kita lewati tadi?”
” Aku belum tahu, Kakang,” jawab Miranti.
“ Kita berhenti sebentar Miranti,” kata Sukmo Ajisambil menarik kekang kudanya. Miranti juga segera menghentikan kudanya.
“Miranti…”, kata Sukmo Aji, “Kita harus segera kembali. Kalau mungkin lewat jalan lain. Sebab kalau kita mengambil jalan yang sama, pasti akan menimbulkan kecurigaan orang-orang berkuda itu sehingga mungkin mereka akan berbuat sesuatu atas kita.”
MIRANTI MENGANGGUK-ANGGUKAN kepalanya. Rupanya ia dapat mengerti keterangan Sukmo Aji. Tiba-tiba hampir berteriak ia berkata, “Kakang… aku pernah pergi berburu bersama pemuda –pemuda Pucang Kembar. Kami mendaki lereng bukit ini lewat lorong sempit yang biasa dilewati orang mencari kayu. Aku tidak tahu apakah aku dapat menemukan jalan itu kembali. Tetapi yang masih aku ingat, kami lewat di sebelah randu alas raksasa yang tampak itu, Kakang.”
Sukmo Aji memandang ke arah pohon raksasa yang ditunjukkan oleh Miranti. Pohon itu terletak di tengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat di lereng bukit itu.
“Marilah kita coba, Kakang. Bila kita dapat mencapai pohon itu jalannya akan lebih mudah untuk mencapai Pucang Kembar. Sebab lorong di bawah pohon itu akan tembus sampai ke Sendang Pengilon. Kalau sudah sampai di sendang itu sambil memejamkan mata aku dapat menuntun Kakang sampai ke rumah bapa.”
“Kau terlalu sombong Miranti,” potong Sukmo Ajisambil tersenyum.
“Sebaiknya kita coba saja. Tetapi kalau kau tidak berhasil membawa aku sampai ke rumahmu, awas. Aku tidak mau lagi mengsiwi air belanga di pekiwan.”
Miranti tidak menjawab lagi. Tetapi segera ia menarik kekang kudanya dan memutarnya untuk seterusnya meloncat menyusup hutan yang tidak begitu lebat di lereng timur perbukitan. Sedang Sukmo Ajipun segera mengikuti Miranti. Sebenarnya ia sama sekali tidak sangsi lagi setelah Miranti dapat menunjukkan ancar-ancar untuk mencapai Pucang Kembar. Sebab baginya sama sekali tidak akan menemui kesulitan untuk mencapai pohon randu alas raksasa itu. Meskipun demikian sengaja ia berjalan di belakang untuk memberi kesempatan kepada anak demang Pucang Kembar itu.
Ternyata Miranti sama sekali tidak mengecewakan. Dengan tangkasnya ia mengendalikan kudanya ke arah yang benar, meskipun sekali-sekali kuda itu harus berjalan sangat berhati-hati kalau sedang mendaki tebing yang terjal.
Akhirnya setelah beberapa lama mereka menyusup semak-semak dan belukar yang tidak begitu tebal, akhirnya dengan bangga Miranti berkata, “Inilah Kakang, aku telah dapat menemukan jalan.”
Sukmo Aji tersenyum melihat wajah Miranti. Maka katanya, “Kau memang seorang gadis yang hebat, Miranti ”
Tampak wajah Miranti berseri -seri.
“Nah, sekarang kita tinggal menuruti lorong sempit ini untuk mencapai Sendang Pengilon,” sambung Miranti.
“Marilah Miranti, kau berjalan di depan,” jawab Sukmo Aji.
Segera Miranti dan Sukmo Aji melanjutkan perjalanannya menuju ke Sendang Pengilon. Tiba-tiba belum beberapa lama mereka berjalan, Miranti menghentikan kudanya. Matanya tertambat pada sesuatu di atas tanah, di jalan yang sedang dilaluinya. Tetapi belum lagi ia mengucapkan sesuatu, Sukmo Aji telah melihat telapak-telapak kuda di lorong sempit itu. Telapak-telapak itu muncul dari dalam belukar di tepi lorong itu dan beberapa langkah setelah mengikuti lorong itu, kemudian lenyap pula ke seberang yang lain.
“Telapak-telapak kuda Kakang,” desis Miranti.
Sukmo Aji menganggukkan kepala. Ia mencoba untuk mengetahui adakah telapak-telapak kuda itu ada hubungannya dengan orang-orang berkuda yang baru saja berpapasan jalan. Menilik arahnya, maka tidaklah mungkin bahwa telapak telapak ini adalah telapak kaki-kaki kuda yang dijumpainya tadi. Jumlahnya juga tidak sesuai. Telapak-telapak ini tidak lebih dari lima ekor kuda.
Maka segera ia mendapat firasat bahwa bahaya yang besar telah mendatangi kademangan ini. Karena itu katanya kepada Miranti, “Miranti… mungkin ada bahaya di sekitar kita, karena itu marilah kita pulang. Mungkin ada gunanya kita membicarakan hal ini dengan Ki Demang.”
Rupanya Miranti mengerti pula. Karena itu sambil mengangguk ia mempercepat jalan kudanya.
Ketika matahari telah melampaui titik tengah, mereka sampai di Sendang Pengilon. Dari sana mereka dapat menaburkan pandangan ke dataran di muka lambung pegunungan itu. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat lagi orang-orang berkuda yang dijumpainya tadi. Pasti mereka telah membelok masuk hutan. Hal ini juga merupakan suatu pertanda yang berbahaya.
Mungkin tapak-tapak kuda yang dijumpainya itu juga berasal dari orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi. Karena itu maka mereka berdua segera melanjutkan perjalanan pulang, untuk menyampaikan apa yang telah mereka lihat itu kepada demang Pucang Kembar.
Sampai di rumah, segera mereka menambatkan kuda-kuda mereka di belakang dapur, dan sesudah itu mereka langsung pergi ke pendapa.
Demang Pucang Kembar ketika melihat kedatangan Sukmo Aji segera mempersilahkannya. Pada saat itu Demang Pucang Kembar dan Kiai Sosro Bahu beserta beberapa orang pengiringnya sedang duduk bercakap-cakap di pendapa. Sikap Kiai Sosro Bahu masih saja tidak menyenangkan bagi Sukmo Aji. Meskipun demikian Sukmo Aji sama sekali tak menunjukkan ketidaksenangannya.
“Sudahkah angger berkeliling sampai ke segala sudut?” tanya Ki Demang.
“Sudah Ki,” jawab Sukmo Aji. “Bahkan aku telah sampai agak jauh ke sebelah timur. Aku dibawa Miranti sampai ke pohon randu alas raksasa, yang katanya, ia pernah berburu ke sana.”
“Kau bawa Kakangmu sampai ke kediaman Kaki Tanpa Rowang itu Miranti?” tanya ki demang kepada anaknya.
“Ya…, bapa…,” jawab Miranti yang rupanya akan berceritera lebih banyak lagi, tetapi segera disahut oleh Sukmo Aji, “Jadi randu alas itu terkenal dengan tempat kediaman Kaki Tanpa Rowang?”
“Begitulah kata orang,” jawab ki demang.
“Di perjalanan,” sambung Sukmo Aji, “kami bertemu dengan beberapa orang pemburu. Yang pertama kami bertemu dengan 15 orang, lalu di sebelah randu alas itu kami temui telapak-telapak kaki kuda, kira-kira sebanyak lima ekor.”
Mendengar keterangan Sukmo Aji, Demang Pucang Kembar mengerutkan keningnya. Terbayang pada wajahnya, perasaan yang kurang wajar. Sedang Miranti memandang wajah Sukmo Aji dengan keheran-heranan. Sukmo Aji tahu betul bahwa yang mereka jumpai bukanlahpara pemburu. Tetapi meskipun demikian ia sama sekali tidak berkata apa-apa. Ia tidak tahu, apakah maksud Sukmo Aji dengan berkata demikian.
“Suatu kehormatan bagiku,” tiba-tiba Demang Pucang Kembar berkata, “Sekian banyak pemburu-pemburu telah memerlukan datang berburu ke wilayah Pucang Kembar. Memang sebelum ini, sering benar orang pergi berburu babi hutan. Tetapi sekian banyak orang sekaligus adalah suatu hal yang jarang-jarang sekali terjadi.”
Sementara itu, Sukmo Aji selalu berusaha untuk memperhatikan wajah Kiai Sosro Bahu. Tetapi ternyata wajah itu tidak menunjukkan perubahan. Ia mendengarkan saja percakapan Sukmo Aji dengan demang Pucang Kembar tanpa menaruh perhatian apa-apa.
KETIKA UDARA menjadi semakin panas, maka Kiai Sosro Bahu beserta para pengiringnya dipersilakan beristirahat di gandok kulon, sedang Sukmo Aji dipersilakan untuk makan siang bersama Miranti, sebab yang lain telah mendahuluinya. Sementara Sukmo Aji makan, ia sempat melihat kesibukan demang Pucang Kembar, Kertopati dan beberapa pengawal kademangan. Rupanya laporannya menarik perhatiannya.
Ia memerintahkan beberapa orang untuk melihat lihat keadaan batas kademangan di bagian timur, sedang beberapa orang lain diperintahkan untuk mengelilingi bagian kademangan yang lain. Sesudah makan, Sukmo Ajipun segera kembali ke ruangnya di gandok wetan. Tetapi baru saja ia membaringkan dirinya, didengarnya seseorang mendatanginya. Ternyata orang itu adalah Ki demang.
“Ngger..”. kata Ki Demang sambil duduk di atas bale-bale panjang di sisi tempat berbaring Sukmo Aji. “Aku sangat tertarik kepada ceriteramu.”
Sukmo Aji pun segera bangkit. Jawabnya, “memang, orang-orang yang aku jumpai itu menarik perhatian, ki demang.”
“Bagaimanakah pertimbanganmu tentang orang-orang itu ?” tanya demang Pucang Kembar.
“Kesannya kurang baik,” jawab Sukmo Aji.
“Dan rupa-rupanya Ki demang telah mengambil tindakan yang benar. Memerintahkan beberapa orang untuk berjaga-jaga. Mereka, orang-orang berkuda itu, aku kira sedang berada di hutan-hutan, menanti saat untuk bertindak. Tetapi aku tidak tahu apakah yang akan mereka lakukan.”
“Limabelas orang adalah jumlah yang kecil ,” kata Ki Demang. “Tetapi mungkin tidak hanya itu. Dan apabila mereka dikendalikan oleh tangan yang baik, maka akibatnyapun besar pula. Nah, baiklah kita tunggu laporan Kertopati sambil berjaga-jaga. Sekarang aku persilakan angger beristirahat.”
Kembali Sukmo Aji ditinggalkan seorang diri di dalam ruang itu. Ia mencoba membayangkan kembali wajah-wajah orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi. Pastilah sesuatu akan terjadi di kota ini. Terbayanglah dalam angan-angannya beberapa puluh orang berkuda sedang merayap-rayap mendekati kademangan, yang selanjutnya pasti akan membuat keributan. Kalau mereka merasa cukup kuat, mungkin mereka akan menyerbu rumah ini untuk membalas dendam kekalahan dua hari yang lampau.
Sejenak kemudian Sukmo Ajimendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang tidak tertutup rapat, ia dapat melihat Kertopati dengan beberapa orang pengiring memasuki halaman. Betapa tangkasnya ia meloncat turun dari kudanya. Dengan langkah yang tergesa-gesa, Kertopati naik ke pendapa untuk menemui Ki Demang. Tetapi sejenak kemudian ia telah turun kembali. Dipanggilnya beberapa orang pengiringnya untuk diberi perintah-perintah. Setelah itu segera orang-orangnya meloncat ke atas kuda masing-masing dan sekejap kemudian mereka telah lenyap di balik regol halaman.
Sukmo Aji menarik nafas dalam-dalam. Ia lega melihat kecepatan bertindak Ki Demang. Tetapi ia sama sekali tidak berani mencampurinya apabila tidak diminta. Ketika orang-orang itu telah pergi, Kertopati kembali ke pendapa, untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Ki Demang.
Sementara itu wajah langit di sebelah barat mulai membayang cahaya kemerah-merahan. Dan sejalan dengan semakin rendahnya matahari, hati Sukmo Ajimenjadi semakin tegang pula. Belum lagi ia mengatasi ketegangan hatinya, maka masuklah seseorang ke dalam ruangannya untuk meminta Sukmo Aji naik ke pendapa.
DI DALAM PENDAPA itu ternyata telah hadir pula jagabaya, bebahu, bekel dan para pimpinan dari pengawal kademangan kecuali Kertopati, juga Kiai Sosro Bahu dan beberapa orang pengiringnya. Juga tampak beberapa orang pembantu Ki Demang dalam melakukan tugasnya sebagai seorang demang.
Ternyata Demang Pucang Kembar pada saat itu sedang membicarakan masalah orang-orang berkuda yang berada di sekitar kota. Orang-orang berkuda itu tidak saja datang dari arah timur seperti yang ditemui oleh Sukmo Aji, tetapi menurut laporan, orang-orang berkuda semacam itu datang pula dari arah barat. Maka jelaslah sudah bahwa mereka mempunyai maksud yang jahat.
Pada pertemuan itu Sukmo Aji mendengar pula kesediaan Kiai Sosro Bahu untuk tidak pulang pada hari itu. Ia bermaksud untuk turut serta berjaga-jaga apabila ada hal-hal yang tidak dikehendaki.
“Ngger Sukmo Aji…, kata Ki Demang beberapa saat kemudian, “sebenarnya aku tidak mau mengganggu kesenangan anggeri di Pucang Kembar ini sebagai seorang tamu. Tetapi tiba-tiba keadaan orang-orang itu akan mendatangi daerah ini lagi. Aku sebagai demang pimpinan disini mohon kesediaan angger untuk membantu kami “
“ Saya bersedia membantu lahir batin ki demang”, kata Sukmo Aji denagn tegas.
Sementara itu, terdengarlah derap kuda dengan kencangnya berlari memasuki halaman. Seorang pemuda yang tegap kuat segera menghentikan kuda itu dan langsung meloncat turun. Dengan langkah yang tergesa-gesa ia naik ke pendapa menghadap Ki Demang.
Menilik wajahnya, pasti ia membawa sesuatu berita yang penting. Untuk beberapa lama ia tidak berkata apa-apa sambil memandangi orang-orang yang hadir. Tampaknya ia ragu-ragu untuk menyampaikan sesuatu.
Demang Pucang Kembarmelihat keragu-raguannya, maka katanya, “Katakanlah apa yang telah kau lihat.”
“Ki demang..”. katanya di sela-sela nafasnya yang mengalir cepat, “Pasukan Kakang Kertopati telah terlibat dalam suatu pertempuran dengan kira-kira 30 orang berkuda yang datang dari arah barat.
Tigapuluh…?” ulang Ki Demang.
“Ya, Ki demang,” jawab pemuda itu.
“Berapa orang yang dibawa oleh Kertopati?” tanya Ki Demang.
“Dua puluh orang Ki Demang,” jawabnya.
“ Masih kurang seimbang,” kata Ki Demang.
“Tetapi kau boleh membawa orang-orang Tundun bersamamu. Nah, pergilah. Di sana ada sepuluh orang.”
“Baik, Ki Demang.” Lalu dengan tangkasnya ia meloncat turun dan dengan kecepatan luar biasa, ia naik ke punggung kudanya. Sekejap kemudian derap kuda itu telah semakin jauh dan lenyap.
“Kita sudah mulai,” kata Ki Demang yang tampaknya sudah terlihat tegang.
“Para jagabaya,” sambung Ki Demang, “Suruhlah membunyikan tanda bahaya, supaya orang-orang kita di segenap arah mempersiapkan diri dan mengerti bahwa di salah satu sudut kademangan ini telah terjadi bentrokan.”
Seorang jagabaya segera memerintahkan seorang untuk membunyikan tanda bahaya. Dan sebentar kemudian telah meraung-raung hampir di seluruh kademangan Pucang Kembar, bunyi titir yang bersahut-sahutan. Orang-orang yang duduk di pendapa itu wajahnya menjadi bertambah tegang. Mereka masih menanti perintah, apakah yang harus mereka kerjakan. Tetapi Demang Pucang Kembar sendiri dapat melakukan tugasnya dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Pada saat itu gelap malam telah mulai turun. Batang-batang pohon di halaman menjadi semakin kabur diselubungi oleh kehitaman malam yang bertambah pekat. Tiba-tiba di daerah utara tampaklah langit berwarna darah. Disusul oleh bunyi kentongan titir bersahut-sahutan.
“Kebakaran,” kata seorang bebahu.
Dengan mata yang memancarkan kemarahan Demang Pucang Kembarmemandang kearah langit yang membara diarah utara itu. Tetapi meskipun demikian ia masih bersikap tenang.
“Siapakah yang berada di sana?” tanya Ki Demang kepada orang -orangnya
“Wisang dan Sembada,” jawab seorang bekel dengan singkat.
“Jagabaya…,” kata Ki Demang kemudian, “Suruh seseorang sediakan kuda-kuda kami.”
Meskipun kata-kata itu diucapkan dengan perlahan-lahan tetapi artinya adalah besar sekali. Ki Demang sendiri telah merasa perlu untuk sewaktu-waktu bertindak. Menurut perhitungannya, orang-orang yang mendatangi Pucang Kembar itu pasti terdiri dari orang-orang yang tak dapat direndahkan.