SEMENTARA ITU, di seluruh medan, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Namun para pengawal dan orang – orang dari Pucang Kembar secara bahu – membahu dan gigih terus bertempur. Gerombolan Kelabang Ijo semakin lama menjadi semakin menyusut. Meski di beberapa titik terlihat Alap – Alap Abang masih mengamuk dan dihadapi oleh beberapa pemuda secara bersama –sama. Dan di titik lain Kertopati menghadapi Pangestu. Dua orang bekas pimpinan pengawal Pucang Kembar ini masih bertarung dengan sengit.
Sementara itu di kediaman demang Pucang Kembar. Sekelompok-sekelompok di antara mereka ada yang berhasil menyusup dan memasuki halaman kediaman demang Pucang Kembar. Sekelompok itu berusaha dengan sekuat tenaga bersama para komplotannyanya untuk dapat memasuki halaman, dengan meloncati dinding halaman samping.
Mereka merasa berhasil ketika mereka sudah berada di halaman. Namun ketika mereka berlari-lari ke pendapa, mereka telah bertemu dengan sekelompok pengawal Pucang Kembar yang di pimpin oleh Tundun. Dengan garangnya pimpinan kelompok itu yang ternyata Kidang Lampitan berusaha untuk menembus pertahanan di lapisan terakhir itu. Sehingga pecahlah pertempuran di halaman kediaman Demang Pucang Kembar. Dalam pada itu, Tundun masih bertempur dengan sengitnya melawan Kidang Lampitan. Keduanya yang sebelumnya pernah nampak akrab, telah dipisahkan oleh kepentingan masing –masing pihak. Karena itu, maka Kidang Lampitan itu telah kehilangan kendali. Sementara itu Tundun telah mengerahkan kemampuannya pula. Sebagai seorang pemimpin Pengawal di Pucang Kembar, maka Tundun memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi Kidang Lampitan.
Tetapi Kidang Lampitan yang bertempur demi dari gurunya Kiai Sosro Bahu itu merasa dirinya mempunyai sandaran yang teguh. Karena itu, maka Kidang Lampitan pun telah bertempur dengan menghentakkan kemampuannya. Kidang Lampitan juga ingin menunjukkan kepada gurunya, bahwa ia bukan sekedar anak bawang dalam pusaran angin di Pucang Kembar itu.
Dalam pada itu, Tundun yang bertempur melawan Kidang Lampitan , ternyata tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Semakin lama ia menjadi semakin terdesak. Tundun telah menghentakkan kemampuanya. Tundun yang bersenjata pedang panjang mencoba mengimbangi gerakan Kidang Lampitan yang sangat gesit.
Melompat kesana kemari dengan pedangnya yang mematuk –matuk ke segala arah. Namun meskipun dengan pedangnya Tundun tidak mampu membendung serangan-serangan itu. Bahkan kemudian Tundun itu harus berloncatan surut ketika terasa ujung pedang Kidang Lampitan, justru telah menggapai pundaknya. Tundun menggeretakkan giginya rapat –rapat untuk menahan pedih yang terasa menyengat pundaknya.
Kidang Lampitan itu pun segera meloncat. Pedangnya terayun dengan derasnya mengarah ke ubun-ubun Tundun. Namun Tundun tidak sempat untuk menghindar. Pada saat yang genting itu. Tiba-tiba sesosok tubuh melenting dan menangkis tebasan pedang Kidang Lampitan. Selamatlah nyawa Tundun. Pemuda itu lantas berdiri di samping Miranti yang berdiri dengan dua pedang pendek kembar tergenggam erat di tangannya.
“Bukan main,” berkata Kidang Lampitan dengan lantang, “ternyata kau benar-benar seorang perempuan yang luar biasa Miranti.”
“ Tutup mulutmu Kidang Lampitan. Sejak awal aku melihat mu masuk kademangan ini. Aku sudah menaruh kecurigaan kepadamu. Dan ternyata benar. Kau salah satu orang culas yang berusaha mengacau di Pucang Kembar! “
Tetapi sambil tersenyum serta melangkah maju Kidang Lampitan pun berkata, “Kita tidak usah bertarung mengadu senjata Miranti. Saying sekali jika wajahmu yang cantik. Atau tubuh mu yang mulus itu menjadi terluka oleh ujung pedang ku ini.”
“Baik, kita buktikan apakah kata –kata mu itu bisa menjadi kenyataan” berkata Miranti.
“Bersiaplah. Kita akan membuat perhitungan sampai akhir.”
“Apa maksudmu?”
“Kita akan berperang tanding meskipun kita berada di medan. Kau atau aku.”
Kidang Lampitan tertawa. Katanya, “Jangan Miranti. Kau terlalu cantik untuk mati muda. Karena itu, sebaiknya kita membuat janji lebih dahulu sebelum kita bertempur.”
“Baik. Kita membuat janji. Salah seorang diantara kita akan mati.”
“Tidak. Bukan itu. Sudah aku katakan, aku tidak bermaksud membunuhmu ”
“Terserah kepadamu. Tetapi aku akan membunuhmu. Karena kau sudah mengacaukan Pucang Kembar”
Kidang Lampitan tertawa semakin keras. Katanya, “Jangan mudah tersinggung. Aku pun senang terhadap perempuan yang garang seperti kau Miranti.”
“Bersiaplah. Kita akan segera bertempur,” geram Miranti.
KIDANG LAMPITAN masih akan berbicara lagi. Tetapi Miranti pun segera meloncat menyerangnya. Kidang Lampitan terkejut. Ia tidak mengira bahwa Miranti akan segera menyerangnya. Bahkan dengan gerak yang sangat cepat. Dengan tergesa-gesa Kidang Lampitan mengelak. Dengan miringkan tubuhnya ia bergeser selangkah. Tetapi Kidang Lampitan ternyata terlambat. Serangan Miranti masih juga mengenai lengannya, sehingga Kidang Lampitan itu pun tergetar surut.
“Setan betina,” geram Kidang Lampitan, “kau mampu menyentuh tubuhku. Tetapi itu bukan karena kelebihanmu. Semata-mata karena aku menjadi lengah. Jika kau bukan seorang perempuan cantik, maka kau tidak akan pernah dapat menyentuhku.”
“Aku pernah mendengar lebih dari seratus orang mengatakan bahwa kekalahannya itu bukan karena mereka tidak mampu. Tetapi semata-mata karena kelengahan mereka. Dan kau adalah seorang diantara mereka yang berlindung di balik alasan yang usang itu.”
“Ternyata kau perempuan yang sombong sekali. Tetapi jangan takut bahwa aku akan melukaimu. Apalagi di wajahmu yang cantik itu. Aku masih memerlukannya .”
Yang tidak diduga oleh Kidang Lampitan itu pun terjadi lagi. Miranti tidak hanya menyerang Kidang Lampitan dengan tangannya. Namun tiba-tiba Miranti itu seakan-akan telah meluncur seperti lembing. Kedua kakinya terjulur lurus menyamping, langsung menghantam dada Kidang Lampitan yang masih akan berbicara lagi.
Kidang Lampitan itu benar-benar terlempar beberapa langkah surut. Ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Karena itu, maka Kidang Lampitan itu pun telah terbanting jatuh terlentang. Hampir saja kepalanya terinjak oleh anak-anak muda yang terlibat dalam pertempuran sengit.
Namun Kidang Lampitan itu pun segera meloncat bangkit sambil berteriak nyaring, “Perempuan iblis. Kau membuat kesabaranku sampai ke batas.”
“Jangan hanya berbicara saja, Kidang Lampitan. Kita berada di medan perang. Jika kau masih berbicara saja, maka aku akan menyumbat mulutmu dengan tumitku.”
Darah Kidang Lampitan tersirap. Apalagi ketika ia menarik nafas panjang. Terasa dadanya menjadi nyeri.
“Aku tidak boleh membiarkannya merasa dirinya lebih baik dari aku,” berkata Kidang Lampitan dalam hatinya.
Karena itu, maka Kidang Lampitan benar-benar bersiap, ia tidak dapat lagi meremehkan lawannya meskipun ia, seorang perempuan. Kidang Lampitan pun bergeser selangkah maju. Sementara itu, Miranti-pun telah bersiap menyerangnya pula. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ternyata Kidang Lampitan harus menghadapi kenyataan, bahwa perempuan cantik itu adalah seorang perempuan yang berilmu cukup tinggi. Dengan demikian maka Kidang Lampitan pun harus meningkatkan ilmunya semakin tinggi, semakin tinggi. Namun ilmu Miranti pun meningkat semakin tinggi pula.
Karena itulah, maka Kidang Lampitan pun kemudian tidak dapat lagi meremehkan lawannya itu. Pertempuran diantara keduanya pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dengan garangnya. Kidang Lampitan yang merasa dirinya seorang yang berilmu sangat tinggi, yang sudah bermimpi untuk mempermainkan lawannya yang cantik itu, ternyata yang terjadi adalah justru sebuah mimpi yang buruk.
Miranti ingin mempercepat menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah melenting dengan kecepatan yang semakin tinggi. Demikian tiba-tiba dan bahkan di luar dugaan Kidang Lampitan, kaki Miranti itu telah menyentuh bahunya. Kidang Lampitan terdorong beberapa langkah surut. Namun Miranti tidak membiarkannya. Sekali lagi ia meloncat sambil berputar. Kakinya terayun dengan derasnya. Kidang Lampitan benar-benar terpelanting jatuh ketika kaki Miranti menyambar keningnya.
Namun Miranti terhalang ketika ia siap memburu lawannya. Seorang kawan Kidang Lampitan tiba-tiba saja telah menyerangnya. Miranti masih sempat menghindarinya. Bahkan kemudian telah menyerangnya pula. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dadanya. Ketika orang itu bergeser kesamping, maka Miranti pun menggeliat. Tiba-tiba saja kakinya menyambar lambung.
Orang itu mengaduh tertahan. Ia terdorong beberapa langkah surut. Tetapi Miranti tidak sempat menyerangnya lagi, karena Kidang Lampitan telah bangkit dan bergeser beberapa langkah mendekatinya. Wajah Kidang Lampitan menjadi merah padam. Giginya gemeretak. Sedangkan jantungnya serasa telah membara. Serangan Miranti yang datang beruntun itu telah mempermalukannya dihadapan kawan -kawannya dan bahkan mungkin ada orang lain pula yang sempat menyaksikannya.
“Dungkul,” geram Kidang Lampitan, “tinggalkan perempuan itu. Biarlah aku menyelesaikannya. Aku akan mengikatnya dan menyeretnya sepanjang jalan. Perempuan itu akan menjadi pangewan-ewan dan dipermalukan di hadapan banyak orang. Banyak cara untuk mempermalukan perempuan. Bahkan menghinakannya di tempat terbuka.”
Dungkul yang sudah bersiap pula, bergeser mundur. Sementara itu, Miranti telah bersiap sepenuhnya. Ia tahu bahwa Kidang Lampitan menjadi sangat marah. Tetapi ia pun sangat marah pula karena menjadi bahan gurauan itu.
“Bersiaplah perempuan binal. Jika kau menjadi keras kepala, aku tidak akan memaafkanmu. Aku dapat memperlakukan kau di luar dugaanmu.”
Miranti menggeram. Hatinya menjadi sangat sakit atas sikap dan anggapan Kidang Lampitan atas dirinya. Karena itu, Miranti itu pun telah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan membinasakan orang yang bernama Kidang Lampitan ini. Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran lagi. Dungkul masih berdiri termangu-mangu. Beberapa orang dari kawanannya bertempur dengan sengitnya di sekitarnya melawan para pemuda Pucang Kembar.
Namun tiba-tiba saja seseorang telah menggamit Dungkul, sehingga Dungkul itu pun terkejut. Orang itu ternyata sempat mendekatinya tanpa dihalangi oleh para kawannya yang ada di sekitarnya.
Sebelum Dungkul bertanya, maka itu telah bertanya lebih dahulu, “Kau terkejut?”
“Ya,” jawab Dungkul, “kau siapa?”
“Namaku Tundun. Salah seorang pengawal di kademangan ini”
“Kau mau apa?”
Tundun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Pertanyaanmu aneh, Ki Sanak. Kita berada di medan perang.”
“Bagus. Aku mengerti maksudmu. Bersiaplah.”
“Namamu siapa Ki Sanak. Aku sudah menyebutkan namaku.”
“Namaku Dungkul.”
“Dungkul? Nama yang baik. Tetapi kenapa kau berada di pihak pemberontak?”
“Pemberontak itu menurut pengertianmu karena kau seorang penjilat. Kami tidak memberontak. Kami sedang menegakkan kebenaran dan merebut hak di kademangan ini.”
Tundun tertawa. Katanya, “Kau aneh. Tetapi itu bukan salahmu. Kalian sudah diracuni oleh Kiai Sosro Bahu sehingga penglihatan kalian sudah menjadi kabur.”
“Jangan mengigau. Menyingkirkan dari medan. Nikmati umurmu yang tinggal sedikit itu. Jangan kau sia-siakan umurmu yang tersisa di medan pertempuran ini.”
“Aku memang akan menjadi semakin akrab dengan maut karena sudah tugasku melindungi kademangan dari para pengacau. Macam kau ini. Tinggalkan tempat ini. Kau tentu akan mendapatkan jalan kehidupan yang lebih baik.”
DUNGKUL MEMANDANG Tundun dengan tajamnya. Kemudian ia pun menggeram, “Baiklah. Jika kau tidak mau mendengarkan nasehatku, bersiaplah. Aku akan membunuhmu. Jangan menyesali nasibmu, karena kita berada di medan perang.”
Tundun bergeser mundur. Katanya, “Baik. Lawanlah aku. Jangan ganggu Kidang Lampitan bertempur melawan Miranti.”
“Aku memang tidak akan mengganggunya.”
“Tetapi kau sudah mencampurinya.”
“Tetapi kemudian tidak lagi.”
Tundun pun kemudian segera bersiap. Sementara itu Dungkul pun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Namun dengan bergeser selangkah sambil memiringkan tubuhnya, Tunduntelah terhindar dari serangan itu. Bahkan ketika Dungkul dengan cepat berputar sambil mengayunkan kakinya, maka kaki Dungkul telah membentur telapak kaki Tundun.
Hampir saja Dungkul kehilangan keseimbangannya. Untunglah Tunduntidak memburunya. Agaknya Tundun sengaja membiarkan Dungkul memperbaiki keadaannya sehingga ia mampu berdiri tegak kembali. Namun dengan demikian jantung Dungkul menjadi panas. Ditingkatkannya ilmunya semakin tinggi. Namun Tundun telah meningkatkan ilmunya pula. Bukan saja sekedar mengimbangi, tetapi dalam waktu yang pendek. Dungkul telah mengalami kesulitan. Serangan-serangannya tidak pernah menyentuh sasaran. Namun beberapa kali pukulan Tundun itu telah mampu mengenainya.
Dungkul itu pun mengumpat kasar. Namun umpatan-umpatannya itu tidak menolongnya. Ketika tangan Tundun terjulur lurus mengenai dadanya, maka Dungkul bukan saja terdorong surut. Tetapi Dungkul justru telah jatuh terpelanting. Belum lagi Dungkul berdiri. Satu tendangan keras menggedor dadanya. Tubuhnya kembali terpental dan membentur pagar yang dibuat dari susunan batu yang ditata sedemikian rupa. Dari sela –sela mulut Dungkul mengeluarkan darah segar. Tampaknya lelaki itu menderita luka dalam yang cukup parah. Setelah batuk –batuk sebentar. Tubuh Dungkul lantas tergeletak tidak berdaya lagi. Pingsan.
Dalam pada itu, Kidang Lampitan yang bertempur melawan Miranti telah dibantu oleh satu orang kawannya, ternyata tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Semakin lama mereka menjadi semakin terdesak. Meskipun Kidang Lampitan memberikan isyarat beberapa kali kepada para kawannya, namun tidak seorang pun yang sempat datang membantunya, karena mereka sudah menghadapi lawan mereka masing-masing. Bahkan mereka pun semakin mengalami kesulitan menghadapi para Pengawal Pucang Kembar. Dimana Tundun telah menceburkan diri ke dalam pertempuran yang masih berkobar setelah mengalahkan Dungkul.
“Menyerahlah,” berkata Miranti kepada Kidang Lampitan, “kau tidak akan di gantung di banjar kademangan ini.”
“Persetan kau perempuan iblis. Aku harus membunuhmu.”
Kidang Lampitan dan seorang kawannya itu telah menghentakkan kemampuan mereka. Kidang Lampitan yang bersenjata pedang yang panjang, sedang kawan yang membantunya bersenjata bindi, berusaha untuk menekan Miranti dari dua arah. Namun dengan sepasang pedang di kedua tangannya, Miranti mampu membendung serangan-serangan itu.
Kawan Kidang Lampitan itu pun segera meloncat. Bindinya terayun dengan derasnya mengarah ke ubun-ubun Miranti. Namun Miranti sempat menghindar. Sambil bergeser ke-samping, Mirantipun merendah. Namun demikian bindi itu terayun lewat diatas ubun-ubunnya, maka Mirantipun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya, langsung menusuk dada lawannya menyentuh jantung. Orang itu itu terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian orang itu pun terhuyung-huyung dan jatuh terlentang.
Miranti tidak sempat memperhatikan lawannya yang kemudian terbaring diam itu, karena Kidang Lampitan menyerangnya sambil berteriak mengerikan. Miranti memang agak terkejut. Bukan karena ujung pedang Kidang Lampitan yang terjulur kearah lambungnya. Tetapi justru karena teriakannya yang keras sekali itu. Meskipun demikian, Miranti masih sempat menangkis serangan Kidang Lampitan itu kesamping. Namun bersamaan dengan itu, maka pedang di tangan kanannya telah terayun mendatar.
Sekali lagi Kidang Lampitan berteriak keras sekali. Ujung pedang Miranti telah mengoyak dadanya. Kidang Lampitan itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Ia masih bertahan beberapa saat. Namun lelaki itu pun segera rebah di tanah. Darah mengalir dari luka di dadanya. Miranti berdiri termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya beberapa orang yang menyusup ke induk kademangan telah digiring oleh para Pengawal Pucang Kembar ke serambi gandok. Mereka telah menyerah dan meletakkan senjata-senjata mereka. Sementara dari kademangan induk Miranti dapat melihat cahaya merah masih menggapai –gapai angkasa.